Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap orang pada hakikatnya memiliki kebutuhan masing-masing.

Kebutuhan tersebut haruslah dipenuhi sesuai dengan prioritas yang dimiliki

guna melangsungkan kehidupan. Kebutuhan manusia pun sifatnya sangatlah

beragam, dan berbeda-beda pada setiap orang. Lazimnya, kebutuhan yang

dipenuhi adalah berupa kebutuhan akan barang atau jasa. Kebutuhan akan

barang dan jasa ini diperoleh dengan berbagai macam cara pula, yang mana

salah satunya adalah melalui proses perdagangan.

Dalam kegiatan perdagangan barang maupun jasa, kita tentunya tak

asing dengan istilah konsumen dan produsen yang mana seperti yang kita

ketahui produsen dan konsumen sendiri merupakan subjek yang melakukan

tindakan perdagangan tersebut. Dalam proses perdagangan, adanya

kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh produsen dan konsumen

menyebabkan diperlukannya suatu bentuk pengaturan khusus guna menjaga

agar kepentingan produsen dan konsumen tersebut tidak saling berbenturan.

Ada beberapa pengaturan yang mengatur tentang hubungan antara

produsen dan konsumen ini, yang mana salah satunya adalah Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lahirnya UU

Perlindungan Konsumen ini menjawab semua persoalan yang saat itu

1
muncul terkait posisi dari produsen/pedagang/penjual yang seringkali

dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen

ini sendiri adalah mengenai perjanjian baku, atau yang dalam UU ini disebut

dengan istilah klausula baku. Yang mana dalam praktiknya, klausula baku

yang ada seringkali dimanfaatkan oleh produsen yang beritikad tidak baik

guna memberatkan posisi konsumen yang berujung pada kerugian

konsumen. Untuk mengatasi hal tersebut, maka di dalam UU ini diatur

mengenai kriteria-kriteria klausulla baku yang diperbolehkan maupun yang

tidak diperbolehkan dalam penerapannya. Selain itu, juga diatur mengenai

akibat hukum dari penerapan klausula baku serta tata cara penyelesaian

sengketa.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Bagaimanakah kedudukan klausula baku jika ditinjau dari UU No. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari penerapan klausula baku serta

penyelesaian sengketanya?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah

hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang

bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi

kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan

dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. 1

Menurut Black Law’s Dictionary yang dimaksud dengan konsumen adalah: “A

person who buys goods or services for personal, family or household use,

with no intention with resale; a natural person who uses products for personal

rather than business purposes.”2

Pengertian istilah konsumen yang diterima masyarakat secara umum

berbeda dengan pengertian konsumen secara yuridis. Dalam pengertian

sehari-hari sering diartikan bahwa konsumen adalah pembeli. Secara yuridis,

konsumen tidak hanya terbatas pada pembeli karena apabila dianalisa lebih

lanjut dalam Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen tidak digunakan

1 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000, hlm. 9


2 Bryan A. Gardner, Black Law’s Dictionary, Paul: West Publishing, 1999, hlm. 311

3
istilah pembeli untuk mengartikan konsumen.3 Istilah untuk menggambarkan

konsumen dalam UU Konsumen adalah orang yang menggunakan barang

dan/atau jasa yang maknanya lebih luas daripada pembeli.

Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan

dicapai atau keadaan yang akan diwujudkan. Oleh karena itu, tujuan

perlindungan konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan

dipersiapkan sejak dini. Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-

aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen disusun secara bertahap, mulai dari

penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian tujuan perlindungan

konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi

dengan melihat urgensinya. Misalnya tujuan meningkatkan kualiatas barang,

pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah

meningkatkan kesadaran konsumen. Idealnya, pencapaian tujuan

perlindungan konsumen dilakukan secara serempak.4

Klausula baku merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian.

Perjanjian yang menggunakan klausula baku ini disebut dengan perjanjian

baku. Didalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula tertentu

3 N. H. T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Bogor:


Grafika Mardi Yuana, 2005, hlm. 23
4
Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar
Lampung: Universitas Lampung, 2007, hlm. 40-41

4
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat

yang mengakibatkan sangat merugikan pihak yang lemah yang dapat

menimbulkan penyalahgunaan keadaan. Klausula baku didalam suatu

perjanjian baku merupakan batang tubuh dari perjanjian tersebut. Adapun

pengertian klausula baku menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 ayat (10) menyatakan bahwa:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.

Istilah klausula baku beraneka ragam, ada yang menggunakan klausul

eksemsi, klausul eksenorasi, onredelijk bezwarend (Belanda), unreasonably

(Inggris), exemption clause (Inggris), exculpatory clause (Amerika). Mariam

Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausul eksonerasi adalah klausula

yang berisi pembatasan per-tanggungan jawab dari kreditur. Sutan Remy

Sjahdeini menyatakan bahwa klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan

untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak

terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersang-kutan tidak atau

tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di

dalam perjanjian tersebut. Pasal 18 ayat (1) UUPK menyatakan pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

5
diperdagangkan dilarang untuk membuat atau mencantumkan klausula baku

pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian jika menyatakan pengalihan

tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan seterusnya

sebenarnya memberikan contoh bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab

itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar dan

sebagainya.

Perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah ditentuksan klausul-

klausulnya terlebih dahulu oleh satu pihak. Masalahnya di sini apakah

perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat atau tidak. Perjanjian baku

adalah salah satu bentuk format atau modelperjanjian yang merupakan sub

sIstem dalam system hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata,

maka isi perjnjian baku haruslah tunduk pada prinsip-prinsip(asas-asas)

hukum perjanjian dan norma-norma hukum perjanjian yang diatur dalamBuku

III KUHPerdata.5

Menurut ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-

syarat Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana perjanjian itu setelah dibuat

maka berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya,

5 Abdul Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Kontrak Baku dan Asas
Kepatutan Dalam Perlindungan Konsumen, Medan: UMSU Press, 2014, hlm. 6

6
tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak, atau karena

alaan-alasan yang cukup menurut Undang-Undang dan harus dilaksanakan

dengan iktikad baik.

Hal tersebut diatas berlaku juga terhadap perjanjian baku yahg

merupakan suatu perjanjian. Banyak pandangan para ahli terhadap

persoalan mengenai kekuatan mengikat dari perjanjian baku. Dalam

perpustakaan hukum telah dicoba untuk membuat dasar ikatan dengan

syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran penaklukan kemauan

(wilsonderwerping) dari Zeylemaker. Ia berpendapat bahwa:6 “orang mau

karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yag aman, disusun

secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat berbuat lain

daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau”

Sluitjer menyatakan bahwa perjanjian baku bukan merupakan suatu

perjanjian, sebab kedudukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti

pembentuk Undang-Undang swasta (legio particuliere wet-gever). Syarat-

syarat yang ditentukan pengusaha dalam perjanjian itu adalah seperti

Undang-Undang, bukan perjanjian. Pitlo menggolongkan perjanjian baku

sebagai perjanjian paksa (dwang contract), yang walaupun secara teoritis

yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang dan

6 Sudikno Mertodikusumo, Syarat-Syarat Baku Dalam Hukum Kontrak, Yogyakarta: Fakultas


Hukum UGM, 1995, hlm. 12-13

7
oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataannya kebutuhan

masyarakat berjalana dalam arah yang berlawanan dengan keinginan

hukum.7

Ketentuan mengenai pencantuman klausula baku dalam suatu

perjanjian diatur pula oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pada

prinsipnya Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang

pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku

atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan

barang dan/ atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau

klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana yang

dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak “berbentuk” sebagaiman dilarang

dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.8

Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan

7 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007, hlm. 117
8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 57

8
2. Asas keadilan, agar partisipasi rakyat dapat diwujudkan secara

maksimal dan memberikan perlindungan pada konsumen dan pelaku

usaha kesempatan untuk menggunakan haknya dan menjalankan

kewajiban seadil-adilnya

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

dalam arti materiil dan spiritual

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang

dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Hak Pelaku Usaha dan Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen

a. Hak Pelaku Usaha (Pasal 6)

- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan

9
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik

- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen

b. Hak Konsumen (Pasal 4)

- Hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

- Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang

- Hak untuk memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai

tukar dan kondisi dan jaminan barang

- Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang

digunakan

- Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

- Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, ganti kerugian dan untuk

memperoleh pendidikan konsumen

Kewajiban Pelaku Usaha & Konsumen dalam UU Perlindungan

Konsumen

a. Kewajiban Pelaku Usaha (Pasal 7)

- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

10
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif

- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang

dan/atau jasa yang berlaku

- Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang

diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian

b. Kewajiban Konsumen (Pasal 5)

- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang demi keamanan

- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

11
BAB III

PEMBAHASAN

1. Kedudukan Klausula Baku Ditinjau Dari Undang-Undang No. 8 Tahun


1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Klausula baku memiliki kedudukan yang tegas dan dengan telah diaturnya

dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Berdasarkan Pasal 1 Angka 10

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK), klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-

syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak

oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau

perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Konsumen

sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai

barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan

diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan. Sedangkan pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 3 UUPK

adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

12
Klausula baku ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak

diperbolehkan. Ketentuan pembatasan atau larangan dari klausula baku

terdapat pada Pasal 18 UUPK. Ketentuan pembatasan atau larangan ini

dibuat dengan tujuan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara

dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, seperti

yang dijelaskan pada penjelasan Pasal 18 UUPK. Karena pada dasarnya,

hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (Pasal

1338 KUHPerdata). Dalam hal ini setiap pihak yang mengadakan perjanjian

bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar

kesusilaan dan ketertiban umum. Klausula baku yang dilarang secara isinya

dicantumkan pada Pasal 18 ayat (1) UUPK, yaitu apabila:

a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli

oleh konsumen;

d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala

tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh

13
konsumen secara angsuran;

e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasayang dibeli oleh konsumen;

f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual

beli jasa;

g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha

untukpembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Sedangkan klausula baku yang dilarang berdasarkan tata letak dan bentuk

menurut Pasal 18 ayat (2) yaitu yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau

tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit

dimengerti.

Setiap pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang

bertententangan dengan UUPK. Apabila terdapat klausula baku seperti yang

dicantumkan pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) UUPK dalam suatu dokumen

14
atau perjanjian, maka konsekuensinya menurut Pasal 18 ayat (3) UUPK

adalah dokumen atau perjanjian tersebut batal demi hukum.

Klausula baku sendiri merupakan isi atau bagian dari suatu perjanjian.

Perjanjian yang isinya terdapat klausula-klausula baku disebut dengan

perjanjian baku. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya

telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak kreditur atau

pelaku usaha, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian

baku. Di dalam suatu perjanjian baku tercantum klausula-klausula baku yang

dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat yang

dapat merugikan pihak yang lemah yang dapat menimbulkan

penyalahgunaan keadaan. Pihak kreditur sebagai pihak yang lebih kuat

kedudukannya dalam pembuatan perjanjian tersebut dapat memonopoli isi

dari perjanjian tersebut, sehingga pihak debitur atau konsumen yang

kedudukannya lemah berada dibawah kekuasaan dari debitur. Dapat dilihat

dengan adanya klausula baku terdapat perbenturan keseimbangan antara

pihak-pihak yang terikat dengan perjanjian. Namun di sisi lain, dalam

pandangan produsen, klausula baku sangat sentral posisinya dalam

menjamin efisiensi proses penjualan, memastikan terdapat standar

pelayanan yang sama bagi seluruh konsumen, serta mengurangi potensi

15
pengambilan keputusan yang salah dengan menghilangkan diskresi dari

pegawai untuk bernegosiasi langsung dengan konsumen9.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa

perjanjian baku dan klausula baku merupakan dua hal yang berbeda.

Klausula baku merupakan substansi dari perjanjian baku itu sendiri. Namun,

belum ada putusan pengadilan yang menyangkut konsumen yang sudah

berkekuatan hukum tetap yang mencoba membangun definisi baik perjanjian

baku maupun klausula baku. Dari putusan No.267k/PDT.SUS/2012,

Mahkamah Agung tidak melihat adanya perbedaan penting antara perjanjian

baku dan klausula baku. Mahkamah Agung memutuskan untuk membatalkan

perjanjian yang didalamnya terdapat klausula baku dengan tidak

menghiraukan argumentasi tergugat bahwa yang dipersoalkan adalah

perjanjian baku, bukan klausula baku.

Klausula baku terdapat di dalam jenis-jenis perjanjian yang dibuat atas

syarat-syarat baku sebagai berikut:

1. Perjanjian Kerja Kontrak Kerja/Perjanjian Kerja

Perjanjian Kerja Kontrak Kerja/ Perjanjian Kerja adalah suatu

perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan,

baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang

9 Ahmad Fikri Assegaf, Penjelasan Hukum (Restatement) Tentang Klausula Baku, Jakarta:
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 2014, hlm. 2.

16
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan

suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir.

2. Perbankan (syarat- syarat umum perbankan)

3. Pembangunan (syarat-syarat seragam administratif untuk pelaksanaan

pekerjaan)

4. Perdagangan eceran; Perdagangan eceran adalah mata rantai terakhir

dalam penyaluran barang dari produsen sampai kepada konsumen.

5. Sektor pemberian jasa-jasa

6. Hak sewa (erfpacht)

7. Dagang dan perniagaan

8. Perusahaan pelabuhan

9. Sewa-menyewa

10. Beli sewa

11. Hipotek

12. Pemberian kredit atau perjanjian kredit

13. Pertanian

14. Urusan makelar

15. Praktik notary dan hukum lainnya

16. Perusahaan-perusahaan umum

17. Penyewaan urusan pers

18. Perusahaan angkutan (syarat-syarat umum angkutan, syarat-syarat

umum ekdpedisi Belanda)

17
19. Penerbitan

20. Urusan asuransi

2. Akibat Penerapan Klausula Baku dan Penyelesaian Sengketa

Pemerintah Indonesia secara resmi melalui Undang-undang No. 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah klausula baku

sebagaimana dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10. Yang mana seperti

yang telah disinggung sebelumnya, menyatakan bahwa klausula baku adalah

setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang

dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan

wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga yang menyebutkan bahwa kontrak

standar itu dikatakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak

mengenai sesuatu hal yang telah ditentukan secara baku (standar) serta

dituangkan secara tertulis.10

Dalam UU Perlindungan Konsumen, model klausula baku yang

diterapkan adalah pelarangan yang dilakukan secara umum dan melingkupi

segala bentuk kontrak atau perjanjian. Melalui model ini, secara tegas

dinyatakan bentuk – bentuk klausula mana saja yang tidak memiliki kekuatan

hukum dan tidak boleh digunakan dalam kontrak. Model ini mencantumkan

10 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., hlm. 108.

18
daftar hitam klausula baku (black list approach) yang tidak boleh digunakan

oleh pelaku usaha dalam jenis kontrak apapun.11 Dengan adanya ketentuan

tersebut, klausula baku tidak selamanya dapat diterapkan. Ada pembatasan

pembatasan yang diatur oleh Undang-Undang terkait dengan penerapan

klausula baku ini.

Dalam klausula baku, dikenal pula istilah klausula eksonerasi. Klausula

eksonerasi merupakan klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab

dalam perjanjian yang berbentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

terhadap perlindungan konsumen yang berakibat timbulnya suatu kerugian

bagi konsumen. Shidarta membedakan antara klausula baku dengan

klausula eksonerasi yaitu bahwa, kalau dalam klausula baku, yang

ditekankan adalah mengenai prosedur pembuatannya yang sepihak dan

bukan mengenai isinya, sedangkan dalam hal eksonerasi yang dipersoalkan

adalah menyangkut substansinya, yakni mengalihkan kewajiban atau

tanggungjawab pelaku usaha.12 Klausula eksonerasi merupakan salah satu

bentuk klausula baku yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen.

Dalam penerapannya, klausula baku diperbolehkan dalam perjanjian.

Hal ini dikarenakan adanya prinsip yang dianut oleh Indonesia berupa prinsip

konsensualisme seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang

11 Inosentius Samsul, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004,


hlm. 201.
12 Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.

61.

19
menyatakan bahwa perjanjian dapat dilakukan atas dasar kesepakatan

kedua belah pihak, dan prinsip kebebasan berkontrak yang terdapat dalam

Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap orang dapat secara

bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan

tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Penggunaan

klausula baku dalam penerapannya juga dimaksudkan untuk memberikan

praktik transaksi yang efisien dan praktis. Selain itu, pencantuman klausula

baku ini diperbolehkan karena bersifat take it or leave it. Artinya, konsumen

masih diberikan kesempatan untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave

it) isi dari perjanjian tersebut.

Berbeda halnya dengan klausula eksonerasi. Dalam UU Perlindungan

Konsumen, klausula eksonerasi termasuk kedalam klausula yang dilarang

berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.

Meski secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausula eksonerasi di

dalam suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang, namun

pencantuman itu sering kali terjadi dalam praktik perjanjian. Bukan saja

terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan

sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering

mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan. Misalnya saja di

dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada

masyarakat seperti perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, dalam

20
penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan

transportasi laut maupun transportasi darat, dan masih banyak lagi. Semua

kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah

terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan

cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.

Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam

praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan

pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya

untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining

position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3), penerapan atas

klausula eksonerasi dinyatakan batal demi hukum. Akibat dari batal demi

hukum suatu perjanjian adalah pembatalan perjanjian secara deklaratif yang

berarti pembatalan seluruh isi pasal perjanjian. Jadi ketika perjanjian standar

memuat klausula eksenorasi, dan diajukan gugatan ke pengadilan, hakim

memutuskan untuk membatalkan demi hukum perjanjian, maka perjanjian

menjadi batal seluruhnya (bukan hanya klausula bakunya, namun

seluruhnya.

Terkait penyelesaian sengketa atas pelanggaran mengenai klasula

baku dalam hal ini diatur dalam Bab X UU Perlindungan Konsumen dalam

21
Pasal 45 sampai dengan Pasal 48, yang mana didalamnya meliputi

penyelesaian sengketa melalui pengadilan, penyelesaian diluar pengadilan,

serta badan penyelesaian sengketa yang berwenang.

Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa

setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antar konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Jika konsumen memilih untuk menggugat melaui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa, maka konsumen dapat menggugat melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) dijelaskan bahwa ugatan

atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh seorang konsumen

yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; kelompok konsumen yang

mempunyai kepentingan yang sama; lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum

atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas

bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan

anggaran dasarnya; serta pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian

materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

22
Dalam hal pelaku usaha tidak memberikan ganti kerugian, maka

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi

administratif terhadap pelaku usaha berupa penetapan ganti rugi paling

banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah. Pasal 62 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha yang melanggar

ketentuan sebagaimana dimaksud juga dapat dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.

2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dan terhadap sanksi pidana tersebut,

dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu,

pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian

kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen,

kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha.

Disamping itu, Berdasarkan Pasal 45 ayat (4) UU Perlindungan

Konsumen menyatakan bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian

sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya

dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah

satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

23
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian

yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Klausula baku memiliki

kedudukan yang tegas dan dengan telah diaturnya dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999.

Dalam penerapannya, klausula baku diperbolehkan dalam perjanjian.

Hal ini dikarenakan adanya prinsip yang dianut oleh Indonesia berupa prinsip

konsensualisme dan prinsip kebebasan berkontrak. Penggunaan klausula

baku dalam penerapannya juga dimaksudkan untuk memberikan praktik

transaksi yang efisien dan praktis. Berbeda halnya dengan klausula

eksonerasi. Dalam UU Perlindungan Konsumen, klausula eksonerasi

termasuk kedalam klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan

ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Meski secara yuridis perbuatan yang

mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan

perbuatan yang dilarang. Terkait penyelesaian sengketa atas pelanggaran

mengenai klasula baku dalam hal ini diatur dalam Bab X UU Perlindungan

Konsumen dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 48, yang mana didalamnya

24
meliputi penyelesaian sengketa melalui pengadilan, penyelesaian diluar

pengadilan, serta badan penyelesaian sengketa yang berwenang.

B. Saran

Meskipun penerapan klausula baku dan klausula eksonerasi telah

dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen akan tetapi pada kenyataannya

masih banyak pelaku usaha yang menerapkan klausula baku di dalam

perjanjiannya, hal tersebut berpotensi merugikan konsumen sehingga

sebaiknya pemerintah melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha

agar para pelaku usaha tersebut tidak membuat perjanjian dengan klausula

baku di dalamnya. Selain itu pula pemerintah harus melakukan sosialisasi

kepada masyarakat sebagai konsumen agar berhati-hati dalam berkontrak

untuk menghindari klausula baku di dalam kontraknya karena apabila di

dalam kontrak tersebut terdapat klausula baku dan klausla eksonerasi maka

kontrak tersebut dinyatakan batal demi hukum yang mana hal ini dapat

merugikan para pelaku usaha dan juga masyarakat sebagai konsumen.

25

Anda mungkin juga menyukai