Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi Massa (Mass Communication) adalah komunikasi yang menggunakanmedia massa,
baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi) yangdikelola oleh suatu
lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepadasejumlah besar orang yang
tersebar dibanyak tempat. Salah satu teori efek komunikasimassa adalah teori agenda setting.
ari beberapa asumsi mengenai efek komunikasimassa, satu yang bertahan dan
berkembang de!asa ini menganggap bah!a media m a s s a dengan memberikan
p e r h a t i a n p a d a i s s u e t e r t e n t u d a n m e n g a b a i k a n y a n g lainnya, akan memiliki
pengaruh terhadap pendapat umum. "rang akan cenderungmengetahui tentang hal#hal
yang diberitakan dan menerima susunan prioritas yangdiberikan media massa terhada p
isu#isu yang berbeda. $sumsi ini berhasil lolos dari k e r a g u a n y a n g d i t u j u k a n k e p a d a
p e n e l i t i a n k o m u n i k a s i m a s s a y a n g m e n g a n g g a p media massa memiliki efek yang
sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan
perubahan sikap atau pendapat. Studi empiristerhadap komunikasi massa telah
mengkonfirmasikan bah!a efek yang cenderung terjadi adalah dalam hal informasi. %eori
agenda#setting mena!arkan suatu cara untuk menghubungkan temuan ini dengan kemungkinan
terjadinya efek terhadap pendapat,karena pada dasarnya yang dita!arkan adalah suatu fungsi
belajar dari media massa." r a n g belajar mengenai isu#isu apa dan
b a g a i m a n a i s u # i s u t e r s e b u t d i s u s u n berdasarkan tingkat kepentingannya. Sebagai
manusia yang membutuhkan informasi yang disiarkan melalui televisi,r a d i o , s u r a t
k a b a r d a n l a i n n y a s e r i n g k a l i k i t a d i b u a t b i n g u n g d e n g a n p e r i s t i ! a # peristi!a yang
diberitakan dan disiarkan oleh media, Kita dapat mengamati jika adadua peristi!a yang terjadi dalam
lingkungan kita pasti ada salah satu media yang lebihssering memberitakan peristi!a satu dan
melupakan peristi!a lain. Sebagai contoh jikadalam hari yang sama terjadi dua peristi!a, di kampung $
terjadi pembunuhan mutilasidan di kampung & terjadi pencurian motor, belum tentu media
akan memberitakan peristi!a yang terjadi di kampung & karena media menganggap ada berita yang
lebih penting dari pada peristi!a pencurian motor dikampung & yaitu informasi peristi!a

Dalam dunia riset komunikasi, ada begitu banyak teori dan hipotesis yang berkembang. Masing-
masing teori memiliki asumsi masing-masing. Perkembangan akan teori ini pun berangkat dari beragam
perspektif dan juga tradisi. Dalam buku Littlejohn saja, setidaknya ada tujuh tradisi teori yang ada dalam
ilmu komunikasi yakni tradisi semiotic, sibernetika, sosiopsikologis, fenomonologis, sosiokultural, kritik
dan retorika. Teori agenda setting sendiri masuk dalam tradisi sosiopsikologis. Hal ini dapat dilihat dari
pernyataan Little John dalam bukunya Theoriesof Human Communication yang mengatakan bahwa “
Beberapa tema berbeda dalam tradisi sosiopsikologis yakni mengenai bagaimana perilaku individu dapat
diprediksi, bagaimana individu mempertimbangkan dan mengakomodasi situasi-situasi komunikasi yang
berbeda, bagaimana pelaku komunikasi mengadaptasi perilaku mereka, bagaimana informasi
diasimilasi, diatur, serta digunakan dalam menyusun rencana-rencana dan strategi pesan, dengan logika
apa manusia membuat keputusan tentang bentuk pesan yang hendak digunakan, bagaimana makna
direpresentasikan dalam pikiran, bagaimana manusia menghubungkan penyebab-penyebab perilaku,
bagaimana informasi diintegrasi kan untuk membentuk sikap dan kepercayaan, bagaimana sikap
berubah, bagaimana ekspektasi dibentuk dalam interaksi dengan orang lain, apa yang terjadi ketika
ekspektasi tidak tercapai” (Little John, 2014).

Perkembangan teori dan asumsi dari sebuah teori kemudian berkembang sedemikian rupa, tidak
terkecuali terkait teori dalam media massa. Diantara berbagai asumsi tentang efek komunikasi massa,
salah satu yang masih bertahan dan berkembang pada tahun-tahun belakangan ini menyatakan bahwa
media massa, dengan memperhatikan beberapa isu tertentu dan mengabaikan yang lainnya, akan
memengaruhi opini publik. Orang cenderung mengetahui tentang hal-hal yang disajikan oleh media
massa dan menerima susunan prioritas yang ditetapkan media massa terhadap berbagai isu tersebut.
Asumsi ini berhasil lolos dari keraguan para peneliti komunikasi massa karena asumsi ini menyangkut
pemahaman (learning), bukan perubahan sikap atau perubahan opini (Ardianto,dkk, 2009: 76).

Pengertian mengenai dapat ditemukan dari beragam literature seperti yang menyebutkan definisi
agenda setting merupakan teori yang berasumsi bahwa jika media melakukan penekanan terhadap isu
tertentu maka akan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat (Bungin, 2006). Sementara itu, Rahkmat
(2011) mengatakan teori agenda setting dimulai dengan asumsi bahwa media massa menyaring berita,
artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.

Perkembangan hipotesis penentuan agenda terjadi ketika para peneliti menjadi tidak puas dengan
posisi teoritis yang dominan dalam riset komunikasi massa selama tahun 1950-an dan 1960-an yakni
model dampak terbatas. Josep Klapper (1960) menyatakan model ini dengan baik dalam bukunya The
Effects of Mass Communication ketika dia dia menulis “media massa biasanya tidak berfungsi sebagai
penyebab yang perlu dan memadai dari dampak audiensi, melainkan berfungsi si antara dan melalui
hubungan dari foktor-faktor dan pengaruh-pengaruh penengah”.
Bagi sebagian orang, gagasan bahwa media massa biasanya tidak berpengaruh apapun justru
tidak tampak sangat beralasan. Para peneliti juga mulai mempertimbangkan bahwa kemungkinan mereka
mencari dampak di tempat yang salah. Selama bertahun-tahun, pendekatan yang digunakan dalam riset
komunikasi adalah mencari perubahan kecil dalam bidang ini. Tetapi mungkin peneliti melihat sasaran
yang salah. Mungkin media massa berdampak pada persepsi orang-pandangan mereka terhadap dunia-
daripada pada sikap mereka.

Perubahan pemikiran yang dialami para peneliti komunikasi ini mungkin juga dikuatkan oleh
perubahan yang ada pada saat yang sama berlangsung dalam bidang psikologi. Tahun 1950-an
menandakan munculnya psikologi kognitif sebagai saingan dari pendekatan yang dominan, behaviorisme.
Behaviorisme menekankan pentingnya penguatan, penghargaan dan hukuman, serta pengondisian dalam
membentuk tingkah laku, dan juga berusaha untuk menggunakan konsep-konsep tersebut bahkan untuk
menjelaskan pikiran dan bahasa. Psikologi kognitif sebaliknya, melihat manusia sebagai pencari
pengetahuan yang aktif dan bertindak di dunia berdasarkan pengetahuan ini (Neisser,1967).

Dalam pandangan ini orang dilihat sebagai pemecah masalah daripada sebagai objek
pengkondisian atau manipulasi. Psikologi kognitif berkenaan dengan “gambaran” dunia yang dibangun
orang di kepalanya dan bagaimana orang mulai membangun dunia itu. Hipotesis penentuan agenda
dengan menyelidiki keutamaan atau kepentingan yang diberikan orang pada isu-isu tertentu dan
bagaimana keutamaan ini dicapai, sangat sesuai dengan psikologi kognitif.

Asumsi agenda setting menawarkan kemungkinan-kemungkinan efek terhadap opini, karena pada
dasarnya, yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa. Agenda setting model
menghidupkan kemabali model jarum hipodermik, tetapi focus penelitian telah bergeser dari efek pada
sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan (Ardianto,dkk 2009).

Hubungan yang kuat antara berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai penting
oleh public merupakan salah satu jenis efek media massa yang dinamakan dengan agenda setting. Istiilah
“agenda setting” diciptakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972-1993), dua peneliti dari
Universitas Nort Carolina, untuk menjelaskan gejala atau fenomena kegiatan kampanye pemilihan umum
yang telah lama diamati dan diteliti oleh kedua sarjana tersebut. penelitian ini menjadi tonggak awal
perkembangan teori agenda setting (Morissan, 2013)

Menurut E.M.,Grifin (2003, dalam Morissan, 2013) menyatakan, bahwa McCombs dan Donald
Shaw meminjam istilah “agenda setting” dari sarjana ilmu politik Bernard Cohen (1963) melalui laporan
penelitiannya mengenai fungsi khusus media massa. Sementara itu, asumsi dasar teori ini menurut Cohen
(1963, dalam Ardianto, dkk, 2009) adalah The press is significantly more than a surveyor of information
and opinion. It my not be successful much of the time in telling people what to think, but it is stunningly
successful in telling reader what to think about. To tell what to think about artinya membentuk persepsi
khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media
memberikan test case tentang isu apa yang lebih penting. Asumsi agenda setting ini memiliki kelebihan
karena mudah untuk diuji. Dasar pemikirannya adalah, di antara berbagai topic yang dimuat oleh media
massa, topic yang lebih banyak perhatian dari media massa akan menjadi lebih akrab bagi pembacanya,
akan dianggap penting dalam suatu periode waktu tertentu, dan akan terjadi sebaliknya pada topic yang
kurang mendapat perhatian media massa.oleh karena itu, agenda setting model menekankan adalanya
hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang
diberikan khalayak pada persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media,
akan dianggap penting juga oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian
masyarakat.

Pernyataan lebih langsung ditulis oleh Nort Long dalam artikelnya (1958: 260) “dalam beberapa
hal, surat kabar adalah penggerak utama dalam menentukan agenda daerah. Surat kabar memiliki andil
besar dalam menentukan apa yang akan dibahas oleh sebagian besar orang, apa pendapat sebagian besar
orang tentang fakta yang ada, dan apa yang dianggap sebagian besar orang sebagai cara untuk menangani
masalah”. Kurt Lang dan Gladys Engel Lang 1959 juga menyatakan “media massa memaksakan
perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra public tentang figure-figur politik. Media
massa seara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya
dipertimbangkan, diketahui, dan dirahasiakan individu-individu dalam masyarakat ( Severin dan Tankard,
2007)

1. Media, Realitas dan Audien

Para sarjana komunikasi telah lama menyadari bahwa media massa memiliki kemampuan untk
menyusun isu- isu bagi masyarakat. Salah seorang komentator dan penulis awal yang merumuskan
gagasan ini adalah Walter Lippman, seorang jurnalis terkenal di AS. Lippman mengambil pandangan
bahwa masyarakat tidak merespon kejadian sebenarnya dalam lingkungan, “tetapi pada gambaran dalam
kepala kita” , yang ia sebut sebagai lingkungan palsu; karena lingkungan sebenarnya terlalu besar, terlalu
kompleks dan terlalu menuntut adanya kontak langsung. Kita tidak dilengkapi untuk berhadapan dengan
begitu banyak detail, begitu banyak keragaman, begitu banyak permutasi dan kombinasi. Bersama-sama
kita harus bertindak dalam lingkungan, kita harus menyusunya kembali dalam sebuah model yang lebih
sederhana sebelum kita berhadapan dengan hal tersebut (Littlejohn dan Foss, 2014).
Dalam tulisannya Lippman menjelaskan bahwa media bertindak sebagai A mediator between the
world outside and the picture in our head (perantara antara dunia luar dan gambaran di kepala kita).
Gagasan Lippman ini kemudian dikembangkan oleh Donald Shaw dan Maxwell McCombs dengan
pernyataan sebagai berikut:

“bukti-bukti sudah menumpuk bahwa para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran
memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka melakukan pekerjaan
untuk memilih dan membuat berita. Dampak dari media massa yaitu kemampuannya untuk memengaruhi
perubahan kognitif individu, untuk membentuk pemikiran mereka dinamakan dengan fungsi agenda
setting komunikasi massa. Disinilah letak efek paling penting komunikasi massa yaitu kemampuannya
secara mental untuk menata dan mengorganissikan dunia kita untuk kita” (Morissan, 2013)

Lebih jauh lagi, hubungan agenda media, realitas dan audien dapat dilihat dari hasil Penelitian G.
Ray Funkhouser (1973, dalam Saverin dan Tankard, 2007). Funkhouser tertarik dengan hubnungan
liputan berita dengan persepsi public tentang pentingnya isu-isu. Tetapi, Funkhouser juga menghasilkan
aspek lain-keutamaan sesungguhnya dari isu-isu spesifik dalam realitas. Penelitian ini menggunakan jajak
pendapat Gallup, di mana orang diberi pertanyaan tentang masalah penting yang dihadapi Amerika. Dia
memperoleh tingkat isi media dengan menghitung jumlah artikel tiap eksemplar yang terbit dalam tiga
majalah mingguan. Tingkat pentingnya sebuah isu dalam realitas didasarkan pada statistic yang diambil
dari Statistical Abstrak of the United States dan sumber-sumber lain.

Funkhouser kemudian melihat hubungan antara opini public dengan isi media dan hubungan
antara isi media dengan realitas. Hubungan pertama adalah hubungan tingkat pentingnya isu-isu public
dan isi media. Hasilnya menunjukkan persesuaian yang kuat antara tingkat pentingnya sebuah isu
menurut public dengan jumlah liputan yang diberikan untuk isi media. Isu-isu yang diberikan peringkat
tinggi oleh public juga merupakan isu yang banyak diberitakan oleh media.

Bagian kedua penelitiannya, Funkhouser melihat hubungan antara liputan media dengan realitas.
Pola yang ditemukan oleh sang peneliti seakan liputan media tidak sesuai dengan realitas isu-isu.
Misalnya liputan tentang perang Vietnam, kerusuhan mahasiswa yang mencapai puncaknya saat itu dalam
realitas. Liputan narkoba dan inflasi agak sesuai dengan realitas, tetapi liputan hubungan ras, kemiskinan,
polusi menghasilkan sedikit hubungan dengan realitas.

Penelitian ini menunjukkan bahwa media berita tidak memberikan gambaran yang sangat akurat
mengenai apa yang sedang terjadi pada Negara selama tahun 1960-an. Funkhouser menyimpulkan media
berita diyakini oleh banyak orang termasuk pembuat keputusan sebagai sumber informasi, tetapi data di
sini menunjukkan bahwa media berita tidak selalu demikian.
2. Efek Agenda Setting dan Riset Eksperimental

Sementara itu, agenda setting sendiri terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang
informasi (gatekeeper) harus selektif dalam menyampaikan berita. Media harus melakukan pilihan
mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagimana melaporkannya. Apa yang diketahui public mengenai
suatu keadaan pada waktu tertentu sebagian besar ditentukan oleh proses penyaringan dan pemilihan
berita yang dilakukan media massa. Dalam hal ini, agenda setting dapat dibagi ke dua tingkatan. Pertama
adalah upaya membangun isu umum yang dinilai penting dan level kedua adalah menentukan bagian-
bagian atau aspek dari dari isu umum tersebut yang dinilai penting. Kedua level tersebut sama
pentingnya. Level kedua penting karena memberitahukan kita mengenai bagaimana cara membingkai isu
atau membingkai framing terhadap isu, yang akan menjadi agenda media dan juga agenda public. Misal,
media menyatakan bahwa pemilu yang demokratis merupakan hal yang penting , ini level pertama, tetapi
media masa juga menyatakan bahwa tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat mudah terjebak
praktik politik uang. dalam hal ini, media membingkai su mengenai bagaimana mencapai pemilu yang
demokratis, ini termasuk level dua (Morissan, 2013).

Di lain kesempatan, (Arianto, dkk, 2009) menyebut bahwa efek dari agenda setting model terdiri
atas efek langsung dan efek lanjutan. Efek langusung berkaitan dengan isu :apakah isu itu ada atau tidak
ada dalam agenda khalayak; dari semua isu, mana yang dianggap paling penting menurut khalayak;
sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang peristiwa tertentu) atau tindakan seperti
memilih kontestan pemilu atau aksi protes (Ardianto, dkk, 2009).

Akan tetapi, penentuan agenda media mungkin tidak terjadi pada cakupan yang sama dan dalam
cara yang sama bagi semua individu. McCombs dan Weaver menyatakan bahwa individu-individu
mempunyai kebutuhan orientasi yang berbeda-beda dan bahwa hal ini biasa menentukan apakah
penentuan agenda terjadi atu tidak. Kebutuhan informasi seperti yang mereka pahami didasarkan pada
factor: relevansi informasi bagi individu dan tingkat ketidakpastian berkenaan dengan subjek pesan.
Semakin besar relevansi dan ketidakpastian berkenaan dengan subjek , maka semakin besar keperluan
akan informasi. Mereka membuat hipotesis bahwa semakin tinggi kebutuhan akan orentasi, semakin
mudah individu terpengaruh oleh dampak agenda media massa (Saverin dan Tankard, 2007)

Selanjutnya, bukti eksperimental dari berbagai penelitian atas efek agenda setting ini dengan baik
dijelaskan dalam buku Saverin dan Tankard (2007) yakni Pertama, Penelitian dari Shanto Iyengar dari
Yale University dan dua orang koleganya yang melaksanakan eksperimen untuk tujuan ini. Secara umum,
pendekatan mereka adalah merekam dengan videotape tayangan berita jaringan berita televisi dan
mengubahnya dengan membuang beberapa berita dan menggantinya dengan berita lain. Hal ini
memungkinkan mereka untuk memanipulasi isi berita dengan sedemikian rupa sehingga isu tertentu
dijadikan tampak lebih penting dan isu-isu lain dikurangi nilai pentingnya. Subjek-subjek dalam kondisi
eksperimen yang bermacam-macam kemudian dieksposs pada tayangan berita yang sudah diubah ini dan
kemudian diberi pertanyaan tentang peringkat pentingnya berbagai macam isu, termasuk isu-isu yang
dimanupulasi dalam tayangan berita.

Hasilnya, para peneliti berspekulasi bahwa para subjek telah begitu prihatin terhadap inflasi
sehingga sesungguhnya tidak mungkin meningkatkan penilaian pentingnya hal ini. Selanjutnya, peneliti
melakukan eksperimen lain yang memberikan bukti lebih lanjut untuk penentuan agenda. Dalam
sebagaian eksperimen ini, persepsi pemirsa mengenai apakah sebuah masalah adalah masalah paling
penting bagi Negara dipengaruhi secara signifikan oleh pajanan kepada satu berita televisi saja.

Kedua, penelitian tentang priming dapat dilihat dari penelitian Iyengar, Peters dan Kinder (1982)
yang juga menemukan cara khusus bagaimana tayangan berita televisi mungkin memiliki dampak pada
pemilihan presiden. Dengan menentukan agenda untuk kampanye pemilihan, media juga menentukan
keriteria yang digunakan untuk mengevaluasi calon-calon presiden. Para peneliti ini menyebut ini
Priming yaitu proses dimana media berfikus pada sebagian isu dan tidak pada isu lainnya dan dengan
demikian mengubah standar orang untuk mengevaluasi para calon pemilihan. Para peneliti menemukan
suatu bukti priming dalam eksperimen mereka. Para subjek dalam eksperimen, juga menilai presiden
Carter pada kinerjanya dalam tiga bidang masalah spesifik yakni pertahanan, inflasi dan polusi. Mereka
juga menilai mengenai kinerja, kompetensi dan integritas Carter. Seperti yang telah diramalkan dengan
konsep priming, korelasi antara penilaian keseluruhan dan penilaian dalam bidang masalah yang spesifik
adalah lebih besar bagi responden yang melihat liputan yang menekankan masalah itu. Dengan kata lain,
responden mengevaluasi Carter berdasarkan berita-berita yang sering ditampilkan.

Ketiga terkait isu yang menonjol Zucker (1978) menyatakan bahwa menonjolnya isu mungkin
menjadi factor yang penting dalam apakah terjadi penentuan agenda atau tidak. Zucker menyatakan
semakin kurang pengalaman langsung yang dimiliki public berkenaan dengan bidang isu tertentu,
semakin besar public harus bergantung pada media berita untuk informasi tentang bidang isu itu. Isu yang
dialami langsung oleh public seperti pengangguran, adalah isu yang menonjol. Isu yang mungkin tidak
dialami langsung oleh publik, misalnya polusi, adalah isu tidak menonjol. Zucker, kemudian melakukan
sebuah penelitian dengan membandingkan isu-isu yang menonjol-biaya hidup, pengangguran dan
kejahatan dengan tiga isu yang tidak menonjol seperti polusi, penyalahgunaan obat, dan krisis energy.
Jumlah liputan enam isu diambil selama delapan tahun dari Television News Index, sebuah penerbitan
bulanan. Tingkat opini public pada pentingnya enam isu tersebut diambil dari jajak pendapat Gallup yang
mempertanyakan “apakah masalah paling penting yang dihadapi Negara saat ini?”. Penelitian ini
menghasilkan bahwa penentuan agenda dapat terjadi pada isu-isu yang tidak menonjol tetapi tidak pada
isu-isu yang menonjol.

Zucker mengatakan bahwa dengan penentuan agenda semestinya tampak bagi pengguna dan
bukan pengguna media berita. Apabila penentuan agenda sebagian besar terjadi pada isu-isu yang tidak
menonjol, maka cara orang mengetahui isu-isu tersebut hanya melalui media atau dengan berbicara
dengan orang lain yang telah terekspose pada media. Dengan kata lain, penentuan agenda dan arus
komunikasi dua langkah bisa berkombinasi dalam mempunyai dampak.

Terakhir adalah terkait isu abstrak dan isu konkret yakni dalam riset Yagade dan Dozier (1990)
yang berusaha menentukan apakah dampak penentuan agenda lebih mudah terjadi pada isu konkret
daripada isu abstrak. Mereka berspekulasi bahw audieni mempunyai keuslitan untuk membayangkan isu-
isu abstrak seperti deficit anggaran, belanja Negara, dan bahwa hal ini mungkin mengurangi
kemungkinan terjadinya penentuan agenda.

Keabstrakan isu adalah sebuah konsep yang berbeda dengan menonjolnya isu. Peneliti tersebut
menggambarkan keabstrakan sebagai tingkat di mana sebuah isu sulit untuk dibayangkan atau
diwujudkan. Pertama mereka menguji empat isu untuk mengetahui seberapa abstrak reponden
menanggapi isu-isu tersebut. para responden ditanya seberapa mudah mereka dapat membayangkan setiap
isu. Apakah isu itu nyata bagi mereka, apakah isu itu mudah dimengerti dan sebagainya. Terdapat dua isu
yang menurut para peneliti adalah abstrak-defisit anggaran belanja Negara dan perlombaan senjata nuklir-
dan dua isu yang menurut para peneliti adalah konkret-penyalah gunaan obat dan krisis energy- dan
menyelidiki terjadinya dampak penentuan agenda untuk masing-masing isu. Penelitian tersebut dilakukan
denga jajak pendapat dan analisis dari majalah Time.

Hasilnya, penelitian tersebut menemukan hubungan yang signifikan antara media dan agenda
public untuk issu konkret tetapi tidak untuk isu abstrak. Penelitian tersebut menyatakan bahwa media
mungkin tidak menentukan agenda public atau isu-isu abstrak. Hal ini mungkin menjadi pertimbangan
yang berharga dalam pertimbangan dampak media massa, kare isu-isu public yang benar-benar penting
mungkin juga agak abstrak.

3. Jenis Pengaruh Dalam Agenda Setting

Dalam Morissan (2013), dijelaskan bahwa Karen Siune dan Ole Borre (1975) melakukan penelitian untuk
mengetahui kompleksitas agenda setting dalam pemilu di Denmark. Dalam penelitian ini, Siune dan
Borre menemukan tiga jenis pengaruh agenda setting yaitu pengaruh pertama disebut representasi yakni
ukuran atau derajat dalam hal seberapa besar agenda media atau apa yang dinilai penting oleh media
dapat menggambarkan apa yang dianggap penting oleh masyarakat (agenda public). Dalam tahap ini,
kepentingan public akan memengaruhi apa yang dinilai penting oleh media. Suatu korelasi atau kesamaan
antara agenda public pada periode satu dan agenda media pada periode dua menunjukkan terjadinya
representasi di mana agenda public memengaruhi agenda media.

Kedua presistensi. Pengaruh kedua adalah mempertahankan kesamaan agenda antara apa yang menjadi
isu media dan apa yang menjadi isu public. Dalam hal ini, media memberikan pengaruhnya yang terbatas.
Suatu korelasi antara agenda public pada periode satu dan tiga menunjukkan presistensi atau stabilitas
agenda public.

Persuasi. Pengaruh ketiga terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda public yang disebut
persuasi. Suatu korelasi antara agenda media pada period eke dua dan agenda public pada periode tiga
menunjukan persuasi, atau agenda media mempengaruhi agenda public. Ketiga agenda tersebut tidak
harus terjadi dalam waktu yang berbeda tetapi dapat juga terjadi dalam waktu bersamaan.

Menurut Everett Rongers dan James Dearling (1988, dalam Morissan 2013), agenda setting
merupakan proses linear yang terdiri atas tiga tahap yaitu agenda media, agenda public, agenda kebijakan.
Bagian pertama adalah penetapan agenda media, yaitu penentuan prioritas isu oleh media massa. Kedua,
media agenda dalam cara tertentu akan memengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang dipikirkan public
maka interaksi tersebut akan menghasilkan agenda public. Ketiga, agenda public akan berinteraksi
sedemikian rupa dengan apa yang dinilai penting oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah dan
interaksi tersebut akan menghasilkan kebijakan public. Walaupun sejumlah studi menunjukkan bahwa
media dapat memiliki kekuatan sangat besar dalam mempengaruhi agenda public namun tidaklah jelas
apakah agenda public juga mempengaruhi agenda media. Dala hal ini, hubungan yang terjadi adalah non
linear dan saling memngaruhi. Lebih jauh, peristiwa-peristiwa besar seperti bencana alam memberikan
efek pada egenda media dan agenda public.

4. Penentu Agenda Media

Stephen Reese (1991, dalam Morissan, 2013), menyatakan agenda media merupakan hasil dari tekanan
yang berasal dari luar dan dari dalam media itu sendiri. Dengan kata lain agenda media merupakan
kombinasi dari sejumlah factor yang memberikan tekanan kepada media seperti proses penentuan
program internal, keputusan redaksi dan menejemen serta pengaruh dari luar yang berbentuk individu
tertentu sperti pejabat pemerintahan, pemasang iklan san sponsor. Kekuatan media dalam membentuk
agenda public sebagain tergantung pada hubungan media dengan pusat kekuasaan. Jika media memiliki
hubungan yang dekat dengan kelompok elite masyarakat, maka kelompok tersebut akan memengaruhi
agenda media dan pada gilirannya juga akan memengaruhi agenda public. Para pendukung teori kritis
percaya bahwa media dapat menjadi atau bisa menjadi instrument ideology dominan di masyarakat. Dan
bila hal itu terjadi, maka ideology dominan itu akan mempengaruhi agenda public. Dalam hal ini ada
empat tipe hubungan kekuasaan antara media massa dengan sumber-sumber kekuasaan di luar media,
khususnya pemerintah penguasa yaitu high power source-high power media, high power source-low
power media, low power source-high power media, dan low power source –low power media.

High power source-high power media adalah hubungan yang terdapat kedekatan antara penguasa atau
pejabat public dengan para pengelola media. Dalam hubungan ini terdapat sekenario sebagai berikut: jika
keduanya bekerjasama maka terjadi hubungan yang saling menguntungkan di antara keduanya yang akan
memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap agenda public. Sebaliknya, jika bertentangan maka
keduanya akan bersaing untuk memengaruhi agenda public.

High power source-low power media adalah ketika kekuasaan besar kemungkinan akan melakukan
kooptasi terhadap media yaitu menggunakan media untuk mencapai tujuannya. Hal ini dapat terjadi
misalnya ketika politisi atau pejabat membeli jam tayang media massa dengan memasang iklan politik
atau menjadi sponsor terhadap suatu program atau misalnya ketika presiden memberikan kesmpatan
kepada media tertentu untuk melakukan wawancara khusus.

Low power source-high power media adalah ketika media sendiri yang menentukan agendanya. Media
dapat memberitakan atau tidak memberitakan atau mengurangi intensitas pemberitaan, terhadap
peristiwa-peristiwa tertentu yang mungkin penting bagi masyarakat.

Terakhir, low power source-low power media terjadi ketika agenda public dan agenda media ditentukan
oleh peristiwa itu sendiri. Dalam hal ini, agenda tidak juga ditentukan oleh pejabat public atau penguasa,
pejabat public dan atau politisi.

Sementara itu, berbeda dengan yang dinyatakan Reese, Funkhouser (1973b, dalam Saverin dan Tankard,
2007), memberikan sebuah daftar lima mekanisme sebagai tambahan untuk arus peristiwa nyata yang
bekerja memengaruhi besarnya perhatian media yang mungkin diterima sebuah isu.

1. Adaptasi media terhadap arus peristiwa. Ketika pola yang sama terus ada, maka hal itu dianggap
sebagai kurang lebih sama dan tak lagi dianggap sebagai berita.
2. Pelaporan yang berlebihan tentang peristiwa penting yang tidak biasa. Beberapa kejadian seperti
tumpahan minyak Santa Barbara, penting tapi menerima liputan yang berlebihan karena keunikan
atau sifatnya yang menimbulkan sensasi.
3. Pelaporan selektif aspek-aspek yang patut diberitakan dari situasi yang tidak layak diberitakan.
Misalnya sebuah penelitian terkenal menunjukkan bahwa dengan menyeleksi detail tertentu,
liputan televisi tentang sebuah parade Jendral Douglas MacArthur, tanpak lebih menarik dari
kejadian sebenarnya (K. Lang dan G. E. Lang, 1972).
4. Pseudoeven atau pembuatn peristiwa yang patut dijadikan berita. Gerakan protes, demonstrasi,
protes public dengan menduduki tempat, dan trik publisitas adalah contohnya yang biasa
membantu memindahkan isu ke agenda pers.
5. Rangkuman kejadian, atau situasi yang melukiskan kejadian biasa dengan cara yang patut
dijadikan berita. Contohnya adalah penulisan laporan ahli bedah pada tahun 1964 yang
menunjukkan hubungan antara merokok dengan kanker paru-paru.

Selain itu, individu-individu tertentu, yang disebut orang-orang yang mengetahui terlebih dahulu, juga
bisa memainkan peran kunci dalam menentukan agenda media(Brosius dan Weimam, 1996 dalam
Saverin dan Tankard). Ini adalah orang-orang yang mengetahui sebuah isu pada tahap-tahap
perkembangannya. Mereka mungkin adalah para professional media yang pekerjaannya melakukan
pengmatan dan yang terkait dengan jaringan kerja organisasi sosial.

Terkait dengan waktu yang diperlukan untuk menentukan agenda media, Winter dan Eyal (1980)
menemukan bahwa korelasi yang paling kuat antara agenda media dan agenda public selama rentang
waktu 4 sampai 6 minggu. Penelitian lain dari McCombs (1981) menunjukkan periode waktu terjadinya
penentuan agenda yakni satu sampai dua bulan dan empat sampai lima bulan. Tetapi terdapat juga suatu
bukti dampak penentuan agenda yang muncul dalam periode waktu yang lebih singkat. Wanta dan Roy
(1995) menemukan bahwa dampak penentuan agenda untuk televisi local muncul setelah enam hari dan
lenyap setelah 11 hari. Dampak penentuan agenda untuk surat kabar local muncul setelah delapan hari
namun berlangsung lebuh lama, dan lenyap setelah 85 hari (Saverin dan Tankard)

6. Proses Pembentukan Agenda

Gladiys Engel Lang dan Kurt Lang (1983, dalam Saverin dan Tankard) merinci proses pembentukan
agenda ke dalam enam langkah.

1. Pers menyoroti beberapa kejadian atau aktifitas dan membuat kejadian tersebut menjadi menonjol
2. Jenis isu yang berbeda membutuhkan jumlah dan jenis liputan berita yang berbeda untuk
mendapatkan perhatian. Watergate adalah isu ambang batas tinggi atau menonjol, dan oleh karena
itu, dia memerlukan liputan yang konverhensif untuk mendapatkan perhatian public.
3. Peristiwa-peristiwa dan aktivitas dalam focus harus “dibingkai” atau diberi bidang makna di
mana di dalamnya peristiwa dan aktivitas tersebut dapat dipahami. Watergate semula dibingkai
sebagai isu partisan dalam kampanye pemilihan, dan hal ini membuatnya sulit untuk dilihat dalam
kerangka yang berbeda, yaitu sebagai sebuah gejala korupsi politik yang tersebar luas.
4. Bahasa yang digunakan media dapat mepengaruhi persepsi akan pentingnya sebuah isu. Referensi
awal pendobrakan Watergate sebagai sebuah “kelakar”, yang terus ada selama berbulan-bulan,
cenderung merendahkannya. Refrensi berikutnya yang mengganti refrensi sebelumnya dengan
istilah skandal meningkatkan nilai penting isu tersebut.
5. Media menggabungkan kejadian yang telah menjadi focus perhatian dengan symbol-simbol yang
lokasinya dalam lanskap politik mudah diketahui. Orang memerlukan dasar untuk berpihak
kepada sebuah isu. Dalam kasus Watergate, mereka dibantu untuk melakukan keberpihakan
ketika isu ini dihubungkan dengan sumber-sumber skunder seperti “keharusan menyampaikan
fakta” dan “kepercayaan terhadap pemerintah”.
6. Pembentukan agenda dapat dipercepat ketika individu-individu yang terkenal dan dapat dipercaya
mulai berbicara tentang sebuah isu. Misalnya ketika hakim John Sirica berkata bahwa ada
kebenaran yang disembunyikan kepada public dalam kasus Watrgate, ernyataan ini mempunyai
dampak yang dramatis pada public dan juga pada orang-orang ternama lainnya, termasuk
beberapa orang dari partai Republik, yang kemudian lebih bersedia membuka mulut.
7. Bagaimana Penentuan agenda Agenda Bekerja?

Meskipun terdapat banyak riset pada penentuan agenda, namun salah satu hal yang masih belum kita
mengerti dengan sangat baik adalah bagaimana penentuan agenda bekerja. Dengan kata lain, kita belum
mempunyai pemahaman yang sangat baik mengenai proses penentuan agenda bekerja. Apa yang terjadi
ketika isu dipindahkan dari media ke pikiran individu? Apakah beberapa isyarat, ruang halaman depan,
posisi dalam tayangan berita, penggunaan foto atau visual lebih penting dalam menunjukkan keutamaan
daripada yang lainnya. Atau, apakah factor-faktor pentingnya adalah akumulasi isyarat dari waktu ke
waktu, tidak peduli bentuk khususnya? Bagaimana pikiran menyimpan informasi yang diakumulasikan
untuk sebuah isu?? Apakah terdapat semacam lembar skor mental dan pencatat? Sejauh mana penentuan
agenda merupakan proses sadar dalam pikiran manusia? Apakah penentuan agenda mencapai
efektivitasnya dengan menjadi proses tidak sadar? Apa peran komunikasi antarpribadi dalam penentuan
agenda? Apakah komunikasi antarpribadi meningkatkan penentuan agenda? Atau apakah komunikasi
antarpribadi berfungsi sebagai dukungan utama, seperti fungsi pengaruh kelompok, dan dengan demikian
membantu orang untuk melawan dampak-dampak media?

Sebuah penelitian yang dilaksanakan Wanta dan Miller (1995) mengenai pidato kenegaraan Presiden
Clinton tahun 1994 memberitahu kita sesuatu tentang pemrosesan informasi yang berlangsung dalam
individu ketika terjadi penentuan agenda media. Para peneliti ini membuat hipotesis bahwa penentuan
agenda lebih mungkin terjadi apabila para responden berasumsi bahwa presiden melakukan pekerjaan
yang baik sebagai presiden. Kedua hipotesis ini didukung. Penemuan-penemuan yang menyatakan bahwa
penentuan agenda tidak bersifat mekanis atau otomatis, tetapi bahwa penentuan agenda melibatkan
pemrosesan informasi oleh anggota audien secara individu. Orang mengevaluasi informasi yang
didapatkannya, dan evaluasi ini bisa mengakibatkan dampak penentuan agenda bagi sebagian inividu tapi
tidak untuk individu yang lain. Sedikit banyak, proses persepsi selektif dan daya ingat mulai berperan
dalam memengaruhi penentuan agenda.

8. Mengenai Tingkat Kedua Penentuan Agenda

Sebuah agenda pada dasarnya adalah sebuah daftar hal-hal yang disusun berdasarkan urutan
kepentingannya, dengan yang paling penting berada di tempat paling atas. Dalam penentuan agenda
tingkat pertama hal-hal itu adalah isu. Model penentuan agenda tingkat kedua membentuk ide bahwa
sebuah agenda atau gagasan yang abstrak dan bahwa banyak hal lain selain isu bisa dicantumkan dalam
daftar.

McCombs dan Estrada (1997, dalam Saverin dan Tankard) menggambarkan tingkat kedua penentuan
agenda sebagai berikut

Apabila kita menganggap kata kunci metafora teoritis ini-agenda-dalam istilah benar-benar abstrak,
kemungkinan untuk meluas melampaui isu-isu menjadi jelas. Dalam mayoritas penelitian sampai saat ini,
unit analisis pada setiap agenda adalah sebuah objek, sebuah isu public.

Di luar agenda objek-objek, juga ada dimensi lain untuk dipertimbangkan. Masing-masing objek ini
mempunyai banyak sekali atribut, karekteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang mengisi dan
menghidupkan gambar dari masing-masing objek. Seperti halnya objek yang bervariasi dalam
keutamaannya, demikian pula atribut setiap objek.

Dengan demikian, tingkatan kedua penentuan agenda juga dapat digunakan untuk menangani
variable-variabel penyajian-variabel yang harus berhubungan dengan cara isu-isu tersebut disajikan dalam
media massa. Misalnya sebuah penelitian liputan kejahatan mungkin mengkaji bermacam-macam atribut
penyajian. Penelitian tersebut mungkin mengkaji karakteristik fisik seperti lokasi berita dalam surat kabar
dan juga karakteristik berita seperti apakah pelaku kejahatan mengenal korban atau tidak (Ghanem dan
Evatt,1995, dalam Saverin dan Tankard, 2007). Ghanem dan Evatt menemukan bahwa variable seperti ini
pada tingkat atribut berhubungan dengan kepentingan public yang terkait dengan isu kejahatan tersebut
(tingkat pertama).

Tingkat kedua penentuan agenda juga dapat dianggap identik dengan fenomena yang disebut
perbingkaian media (media framing) oleh para peneliti lain. Ghanem mengidentifikasi empat dimensi
utama pembingkaian yang juga dapat dianggap dimensi dari tingkat atribut penentuan agenda. Dimensi
itu adalah topic artikel berita (apa yang dimasukkan dalam bingkai), penyajian (ukuran dan penempatan),
atribut kognitif (detail-detal yang dimasukkan ke dalam bingkai) dan terakhir atribut efektif (suasana
gambar).

9. Aplikasi Penentuan Agenda

Sebagian peneliti melangkah melampaui penelitian penentuan agenda oleh pers untuk
mempertimbangkan bagaimana gagasan-gagasan penentuan agenda mungkin diterapkan dalam car-cara
untuk membuat masyarakat bertindak dengan lebih baik. Gurevich dan Blumer (1990, dalam Saverin dan
Tankard, 2007) menyatakan bahwa demokrasi menuntut media massa terlibat dalam “penentuan agenda
yang bermakna, dengan mengidentifikasi isu-isu kunci sekarang ini, termasuk kekuatan-kekuatan yang
telah membentuk dan mungkin telah menjelaskan isu-isu itu.

Shaw dan Martin (1992, dalam Saverin dan Tankard) mengatakan bahwa media, melalui penentuan
agenda berfungsi untuk memberi kesepakatan yang cukup memadai pada isu-isu public untuk
memungkinkan sebuah dialog diantara kelompok-kelompok yang mempunyai pandangannyang berbeda.
Dalam hal ini, pembentukan agenda menjadi sebuah piranti pembentuk konsesus yang memungkinkan
demokrasi bekerja.

Kampanye politik tampak semakin dijalankan oleh tim sukses dan juru bicara-para professional yang
dibayar untuk menentukan agenda media. Disamping itu, liputan pers mengenai kampanye pemilihan
telah berfokus pada aspek-aspek “pacuan kuda” dengan mengesampingkan permasalahan dan
menekankan yang negative. Kekurangan ini dan kekurangan lain dalam jurnalisme mengarah pada
jurnalisme public atau jurnalisme umum, sejenis jurnalisme yang menekankan pelayanan masyarakat
yang lebih baik dengan mengidentifikasi maslah-masalah dan isu-isu penting serta berfokus pada
masalah-masalah dan isu terebut (Shepard, 1994, dalam Saverin dan Tankard, 2007).

10. Model Agenda Setting


Ada banyak model agenda setting yang ditawarkan para ahli komunikasi. Akan tetapi, dalam makalah
ini yang akan ditampilkan adalah model agenda setting dalam buku Rachmat Kriyantono yang
berjudul Teknik Praktis Riset Komunikasi

Agenda Agenda Agenda

Media Publik Kebijakan


Sumber: Kriyantono, 2006.

Dari bagan tersebut dapat kita pahami bahwa, agenda media akan mempengaruhi agenda public yang
kemudian mempengaruhi agenda kebijakan. Sementara itu, model lain yang lebih memfokuskan pada
efek agenda media terhadap agenda public yang disertai efek lanjutan pada diri individu, disampaikan
oleh Rakhmat, 2001 dalam Kriyantono, 2006 yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Variable media Variable antara Variable efek Variable efek


massa lanjutan

-Panjang -sifat stimulus -pengenalan -persepsi

-Penonjolan -sifat khalayak -salience -aksi

-Cara penyajian -prioritas

2)

Anda mungkin juga menyukai