Anda di halaman 1dari 15

EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Filsafat Ilmu Keislaman”
Pengampu: Prof. Dr. H. Abdul Jamil, M.A.

Nur Kholis
Labib Fahmi

PROGRAM DOKTOR STUDI ISLAM


PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2017
2

EPISTEMOLOGI ILMU DALAM PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM


Nur Kholis & Labib Fahmi

A. Pendahuluan
Makalah ini ditulis sebagai kelanjutan dari kajian filsafat kelilmuan Islam yang
telah berlangsung sebelumnya. Jika pembahasan mengenai ontologi ilmu sudah berhasil
dilaksanakan, maka makalah epistemologi ilmu ini merupakan kelanjutannya.
Dalam banyak hal, epistemologi dipahami akan mampu menentukan kebenaran
cara kerja suatu ilmu. Epistemologi dengan polanya yang tertentu akan membentuk pola
kebenaran dari suatu ilmu tersebut. Bahkan, pada tahap tertentu, kebenaran yang masih
selalu ingin ditemukan tersebut mampu menjadi pijakan tindakan dalam peradaban
manusia, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur.
Hubungan epistemologi dengan filsafat dapat diibaratkan seperti pohon dengan
rantingnya. Pohon filsafat memiliki cabang-cabang berupa subdisiplin: filsafat ilmu, etika,
estetika, filsafat antropologi dan metafisika. Cabang disiplin filsafat ilmu tersebut akhirnya
memiliki ranting-ranting dan sub-sub disiplin yakni logika, ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Namun ruang lingkup filsafat ilmu dapat disederhanakan menjadi tiga
pertanyaan mendasar, yakni: apa yang ingin diketahui (ontologi),1bagaimana cara
memperoleh pengetahuan-pengetahuan (epistemologi) dan apakah nilai pengetahuan
tersebut bagi manusia (aksiologi).
Makalah ini mencoba memposisikan epistemologi ilmu dalam perspektif Barat dan
Islam. Tentu saja, di antara mereka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan sekaligus.
Dengan pendekatan deskriptif makalah ini disajikan.

B. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kedudukan Epistemologi


Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani episteme yang
berarti pengetahuan atau ilmu, dan logos yang juga berarti pengetahuan. Epistemologi
berupaya menjawab pertanyaan “apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita dapat
mengetahuinya” (what can we know, and how do we know it ).1 Dari dua pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan, atau
pemikiran tentang pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme memiliki arti
knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and
the means by which we know.2
Pada mulanya istilah epistemologi digunakan untuk membedakan dua cabang
filsafat; yaitu epistemologi dan ontologi.3 Epistemologi dapat diartikan sebagai studi yang
menganalisa dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang
membentuk keyakinan. Persoalan epistemologi menempati pokok bahasan yang begitu

1
Suparlan Supartono, Filsafat ilmu Pengetahuan,(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), 157.
2
A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Dipertais Agama RI, 2003), 2.
3
Ledger Wood, ”Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy, (New
Jersey: litlle Field, Adam &co., 1976), 94.
3

penting, sehingga seorang filosof Muslim modern Muhammad Baqir al-Shadr


menyatakan, “Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilai
pengetahuannya tidak ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apapun,
bagaimanapun bentuknya.”4
Dalam dunia filsafat, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
mengenai hakikat ilmu, dan di saat bersamaan menjadikan ilmu sebagai proses yakni
usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang
terdapat pada suatu kajian ilmu. Epistemologi menanyakan apakah yang menjadi obyek
kajian suatu ilmu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan
kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu; kebenaran obyektif,
subyektif, absolut atau relatif.5
Dalam pandangan Azizy,6 epistemologi adalah filsafat ilmu yang
berkecenderungan berdiri sendiri. Epistemologi seolah membicarakan dirinya sendiri,
membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia berhubungan dengan apa yang perlu
diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Epistemologi atau teori
pengetahuan ini kemudian didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum
yang dapat digunakan untuk mengakui sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Gadamer,7 mengingat subyek ilmu
adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, maka kajian
ilmu pada kenyataannya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang
melingkupi hidup manusia, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan
setiap batas-batas itu dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu.

C. Epistemologi dalam Perspektif Barat


Para ilmuwan berbeda pendapat dalam menguraikan epistemologi. Louis O.
Kattsoff, misalnya, mengklasifikasikan epistemologi menjadi enam, yakni rasionalisme,
empirisme, fenomenologisme, intuisionisme, metode ilmiah dan hipotesis.8 Sedangkan
Pradana Boy ZTF mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu rasionalisme, empirisme, dan
kritisisme.9 Dalam makalah ini, epistemologi dalam perspektif Barat diuraikan melalui
tiga gambaran epistemologi, yakni Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme. Hal ini,
paling tidak dalam pandangan penulis, ketiga model epistemologi tersebut dianggap
“mewakili” pokok-pokok pemikiran Barat lainnya semacam positivisme,
fenomenologisme, ataupun pragmatisme.

4
Muhammad Baqir ash-Shadr, Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991),
25.
5
Ledger Wood, ”Epistemology”, 94.
6
A. Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman,... 2
7
Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, (Cambridge :
Cambridge : University, 1993), 12.
8
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996), 136-148.
9
Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam, Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press, 2003), 12.
4

1. Rasionalisme
Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal
budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan.10 Hal ini menunjukkan bahwa
sumbangan akal lebih besar daripada sumbangan indra, sehingga dapat diterima adanya
struktur bawaan (ide, kategori). Dalam pandangan epistemologi rasionalisme, tidak
mungkin suatu ilmu dibentuk hanya berdasarkan fakta dan data empiris (pengamatan)
semata.11 Pada masa klasik, aliran rasionalisme dipelopori oleh Plato,12 sedangkan masa
modern dipelopori oleh Descartes13 dan Leibniz.14 Ketiga tokoh ini merupakan tokoh
yang paling terkenal dalam aliran rasionalisme.
Dalam polemik pemikiran Plato dan Aristoteles yang merupakan cikal bakal aliran
Rasionalisme dan Empirisme, terlihat jelas bahwa Plato lebih menekankan akal sebagai
sumber pengetahuan, sedangkan Aristoteles lebih menekankan indera daripada akal
sebagai sumber pengetahuan. Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak
memberikan pengetahuan yang kokoh, karena sifatnya selalu berubah-ubah, sehingga
kebenarannya tidak dapat dipercayai. Dalam proses pencariannya, Plato menemukan
bahwa ada kebenaran di luar pengamatan inderawi yang disebut “idea”. Dunia idea
bersifat tetap dan tidak berubah-ubah dan kekal. Berbeda dengan Aristoteles,
menurutnya bahwa ide-ide bawaan ini tidak ada dan dia tidak mengakui dunia semacam
itu. Dia lebih mengakui bahwa pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, dan
tidak kekal, tetapi dengan pengamatan inderawi dan penyelidikannya yang terus-
menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal/rasio akan dapat
melepaskan atau mengabstraksikan idenya dengan benda-benda yang konkret
tersebut.15
Rene Descartes, sebagai peletak dasar kebangkitan filsafat di Eropa melalui
filsafatnya dengan badai skeptismenya (meragukan sesuatu). Dan dalam meragukan
segala sesuatu maka ia harus eksis supaya dapat ragu, karena ragu merupakan satu
bentuk berfikir yang berarti eksis “aku berfikir, karena itu aku ada” (cogito ergo sum).
Ini adalah proposisi pertama yang baginya adalah pasti. Menurutnya, berfikir adalah
suatu kebenaran yang pasti. Apakah persoalan pikiran manusia merupakan persoalan
penipuan dan penyesatan atau persoalan pemahaman dan pemastian. Realitas tersebut

10
Larens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 929.
11
Harold H. Titus, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 79.
12
Plato (427-347 SM) adalah seorang filsuf Yunani yang dilahirkan di Athena.dan berguru pada
Sokrates (419 399 SM) ketika usianya sudah mencapai 20 tahun dan belajar padanya sampai gurunya
dihukum mati. Lalu meninggalkan Athena dan berkelana ke berbagai wilayah Eropa, Afrika dan Asia pada
saat berusia 28 tahun. Lihat Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu
Filsafat, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 53.
13
Rene Descartes (1596-1650 M) adalah seorang Prancis yang kemudian hidup di negeri Belanda
dan dia terkenal dengan ucapannya “Cogito Ergo Sum” yang berarti “aku berfikir, karena itu aku ada”.
Conny R. Semiawan. dkk.,Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, (Bandung: CV. Remaja Rosdakarya, 1988),
26.
14
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716 M) adalah filsuf Jerman yang dilahirkan di kota Leipzig
di Jerman. Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawaili, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,... 68.
15
Amin Abdullah, dkk.,Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis
Perspektif, (Yogyakarta: LESFI, 1992), 30.
5

merupakan asas filsafat Descartes dan titik tolak bagi keyakinan filosofis
rasionalisme.16
Sedangkan Leibniz dalam pengetahuannya menggagas konsep fitrah (natural,
alamiah) dan menganggap ide-ide, serta prinsip-prinsip umum sebagai kesiapan-
kesiapan tersembunyi dalam jiwa yang tidak dirasakan. Ia membutuhkan stimulus-
stimulus melalui indera hanya agar dapat beralih pada perasaan.17 Pada dasarnya,
menurut aliran ini, rasionalisme sebenarnya tidak mengingkari kegunaan indera, akan
tetapi indera hanyalah sebagai perangsang akal dan memberikan laporan bahan-bahan
untuk dicerna oleh akal. Akal mengatur bahan yang diterima dari indera, sehingga dapat
terbentuk pengetahuan yang benar dan valid. Kalau aliran Empirisme menggunakan
metode induksi, maka aliran Rasionalisme punya kecondongan ke arah metode deduksi.
Aliran ini lebih banyak menggunakan logika dalam pengambilan keputusannya.

2. Empirisme
Secara etimologis, empirisme berasal dan kata Yunani yaitu empeiria/ empeiros
yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan terampil untuk. Bahasa
Latinnya yaitu experientia (pengalaman). Sehingga secara istilah, empirisme adalah
doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman atau
pengalaman inderawi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan bukan
akal/rasio.18
Dengan demikian, penganut epistemologi empirisme mengembalikan pengetahuan
dengan semua bentuknya kepada pengalaman inderawi. Dalam masa klasik, aliran
empirisme dipelopori oleh Aristoteles,19 sedangkan pada masa modern dipelopori oleh
F. Bacon, T. Hobbes, John Locke, David Hume dan John Stuart Mill. Pengetahuan
inderawi menurut Aristoteles merupakan dasar dari semua pengetahuan. Tak ada ide-
ide natural yang mendahuluinya. Akan tetapi, ilmu hakiki dalam pandangannya adalah
ilmu tentang konsep-konsep dan makna-makna universal yang mengungkapkan hakikat
dan esensi sesuatu.20
Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris dilahirkan di London dan belajar
di Universitas Cambridge mendalami ilmu pengetahuan berpandangan bahwa tidak
mungkin manusia mengetahui berbagai hakikat tanpa perantara indera. 21 Kemudian
menurut Thomas Hobbes (1588-1678), pengalaman inderawi merupakan permulaan
dari segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh oleh inderalah yang
merupakan kebenaran, sedangkan pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah
merupakan penggabungan data inderawi belaka.22

16
Moh. Baqir Ash-Sadr, Falsafatuna, (Bandung: Mizan. 1993), 67-69.
17
Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, …, 71.
18
Larens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), 42.
19
Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM
dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM. Ia mencapai umur 63 tahun. Memperdalam matematik pada
guru-guru astronomi yakni Eadoxoi dan Kalippas.Ia terkenal dengan “Bapak Logika”. Inti sari dari ajaran
logikanya yaitu Syllogismos/silogisme (mencapai kebenaran tentang suatu hal dengan menarik kesimpulan
dan kebenaran yang umum. Lihat M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta: Tintamas, 1986), 115-121.
20
Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, 76.
21
Fu’ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, 77.
22
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 22.
6

Menurut John Locke (1632-1704), semua pengetahuan berasal dari pengalaman,


akal ibarat kertas putih dan akan digambari oleh pengalaman tadi sehingga lahirlah apa
yang disebut ide, sehingga pengetahuan terdiri atas connection and agreement
(disagreement) of our ideas. Dengan “ide” ini pasti tidak dimaksud ide umum, atau
bawaan yang juga disebut kategori, namun gambaran mengenai data empiris.23
Kalau Aristoteles, F. Bacon dan J. Locke mengakui adanya alam realitas dengan
segala hakikat yang ada padanya, berbeda dengan David Hume yang mengingkari
adanya substansi material sebagai akibat dan keterputusannya pada indera saja, serta
pengetahuan pengetahuan yang berubah secara alami.24 Kemudian David Hume
menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan
logika/kemestian sebab akibat. Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan
peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu.
Pengalamanlah yang memberikan informasi yang langsung dan pasti terhadap objek
yang diamati sesuai dengan waktu dan tempat.25
Selanjutnya J. Stuart Mill (1806-1873) mengemukakan bahwa pengalaman indera
merupakan sumber pengetahuan yang paling benar, akal bukan menjadi sumber
pengetahuan, akan tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Mill memilih menggunakan pola pikir induksi, karena
menurutnya induksi sangat penting, karena jalan pikirannya dari yang diketahui menuju
ke yang tidak diketahui.26
Sebagai produk pemikiran, empirisme memiliki kelemahan-kelemahan. Antara
lain:
a. Indera terbatas. Contohnya; benda yang jauh akan kelihatan kecil padahal benda itu
besar, keterbatasan kemampuan indra dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana
adanya, sehingga akan menimbulkan satu kesimpulan tentang pengetahuan yang
salah.
b. Indera menipu. Contohnya; pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit dan
udara panas dirasakan dingin. Hal ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang
salah.
c. Obyek yang menipu. Contohnya; ilusi, fatamorgana yang sebenarnya obyeknya ada
namun indera tidak bisa menjangkaunya.
d. Kelemahan yang berasal dari indera dan obyek sekaligus. Contohnya; indera (mata)
tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau itu juga tidak
dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika manusia melihat dari
dekat, maka yang kelihatan kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak
mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.27

23
Van Peurson, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum, 1993), 82.
24
Fu ‘ad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, …, h. 87.
25
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 43-44.
26
Van Peurson, Susunan Ilmu Pengetahuan …, 82.
27
Ahmad Tafsir, T. Jun Surjaman (ed.), Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales Sampa Capra,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), 23-24.
7

3. Kritisisme
Antara rasionalisme dan empirisme telah terdapat pertentangan yang sangat jelas,
yakni antara rasio dan pengalaman sebagai sumber kebenaran pengetahuan. Manakah
yang sebenarnya sebagai sumber pengetahuan itu?28 Karena kedua aliran tersebut saling
mempertahankan pendapatnya masing-masing, maka untuk “mendamaikan”
pertentangan kedua aliran tersebut, tampillah Immanuel Kant sebagai seorang filsuf
Jerman (1724-1804). Kant mengubah kebudayaan dengan menggabungkan aliran
rasionalisme dan empirisme, sehingga terbentuk aliran yang dikenal dengan kritisisme.
Kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Immanuel Kant dengan memulai
perjalanannya menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan
manusia, sekaligus kelemahan kemampuan indera.29
Kant bertanya secara kritis, apakah syarat-syarat pengetahuan manusia itu?.Bila
orang-orang mengetahui syarat-syarat pengetahuannya maka tidak akan terjerumus ke
dalam kekacauan kebenaran.30 Isi utama dari Kritisisme adalah gagasan Immanuel Kant
tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena terdapat
tiga pertanyaan yang mendasar, yakni: Pertama, apa yang dapat saya ketahui?
(pengetahuan); Kedua, apa yang harus saya lakukan? (etika); Dan ketiga, apa yang
boleh saya harapkan? (estetika).31 Sehingga dari tiga pertanyaan mendasar tersebut
maka memunculkan tiga karya besar yang menunjukkan kritisismenya, yakni Critique
of Pure Reason (1781), Critique of Practical Reason (1788) dan Critique of Judgment
(1790).

D. Epistemologi Ilmu dalam Perspektif Islam


Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri,
yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan
ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan
diri manusia sendiri.32 Kajian terhadap kitab suci akan kembali melahirkan ilmu agama,
sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu
alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya
dengan dimensi fisiknya. Akan tetapi, suatu kajian pada dimensi non fisiknya, yaitu
perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmu
humaniora. Adapun kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada
tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.33

28
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam FiIsafat, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 107.
29
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika Suatu Pengantar, (Bandung: Yayasan Plara,
1997), 76.
30
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), 30.
31
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat …, 76.
32
Para filosof Muslim, sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, ar-Razi, Ibnu al-Rawandi, dan lainnya,
meski begitu simpatik terhadap filsafat Hellenistik, semuanya menyatakan bahwa yang mereka lakukan
dengan filsafat itu adalah untuk mempelajari konsep-konsep al-Qur’an baik menyangkut penciptaan dunia,
validitas hari akhir, kebangkitan, dan lain-lain. Di pihak lain, para filosof itu juga mempelajari ayat-ayat
Tuhan yang terkait dengan eksplorasi ilmiah eksperimental. Bandingkan Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu,
(Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2007), 49-59.
33
Sebagai perbandingan, al-Farabi mengklasifikasikan ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu Bahasa, 2.
Logika (’ilm al-manthiq), 3. Ilmu Matematika (‘ulum al-ta’lim) terdiri : a) Aritmatika, b) Geometri, c)
8

Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan filsafat
adalah berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari
kebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya
berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-Nya. Dalam kaitan ini, maka ketiganya pada
hakikatnya saling berhubungan dan saling melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan
persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang
menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual,
memasuki dimensi yang Ilahi.
Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah bidang
kajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan pentafsiran
manusia terhadap doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran
dan pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian ilmu humaniora. Sedangkan
kajian filsafat dapat memberikan penjelasan dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan
kenabian, tetapi sifatnya spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara
yang teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya,
yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.
Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya “bercorak tauhid”,
dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi
juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak
mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan
umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non
syariah.
Epistemologi Islam lahir dan berkembang secara dinamis dalam kurun waktu yang
panjang. Bahkan, perkembangannya bukan hanya saja secara ilmiah semata, melainkan
juga karena dinamika politik dan keberpihakan ideology yang sangat kental. Dengan
demikian, dalam tulisan ini penulis secara sengaja “mencukupkan” pada peta epistemologi
sebagaimana yang diperkenalkan Muhammad Abid al-Jabiri dalam kedua karya besarnya;
Takwin al-‘Aql al-Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Dalam pandangan al-Jabiri,
epistemology Islam secara keseluruhan terpola ke dalam tiga bentuk, yaitu Bayani, Irfani,
dan Burhani.

1. Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri menjelaskan
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab mengartikan sebagai
al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi
dan al-dhuhur wa al-idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode
bayani.34

Optika, d) Ilmu Perbintangan, e) Music, f) ilmu tentang Berat, g) Ilmu Pembuatan Alat, 4. Fisika atau Ilmu
Kealaman, 5. Metafisika, 6. Ilmu politik terdiri : a) Ilmu Politik, b) Yurisprudensi, c) Teologi Dialektis.
Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung :
Mizan, 1998), 145-148.
34
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,
2000), 60.
9

Sementara itu, secara terminologi bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan
penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Makna terminologi
ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode
pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak
langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.
Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-
makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang hingga ke furu’
atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan
tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu
yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya, 2)
Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 3)
Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayan
sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, 5) Bayan
Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an
maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa
yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.35
Pada perkembangan selanjutnya, bayani tidak lagi sekedar penjelas atas kata kata
sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana
memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian
secara sistematis atas pemahaman tersebut. Paduan antara metode fikih yang
eksplanatoris dan theologi yang dialektik dalam rangka membangun epistemologi
bayani ini terlihat sangat kental mewarnai.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan.
Pertama, berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.
Kedua, menggunakan metode qiyas (analog); dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu
masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks
karena adanya kesamaan ‘illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan qiyas: 1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan
dipakai sebagai ukuran, 2) al-far’ yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,
3) hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4) ‘illah yakni
keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl .36
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan
kurma disebut far’u (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia
akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab terdapat dalam
teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena memabukkan. Hasilnya,

35
A. Khudori Soleh, “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, dalam, A. Khudori Soleh,
(ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 182.
36
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-
‘Arabiyah, 1992), 146; A. Khudori Sholeh, Wacana Baru…, 188-189.
10

arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr , yakni sama sama
memabukkan.
Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam
epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali , dimana far’u
mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl , 2) qiyas fi ma’na al-nash di
mana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, 3) qiyas al-kahfi di mana
‘illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Metode
qiyas bayani ini tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa
dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik (ghaib).37

2. Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan ma’rifah yang berarti
pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas
(‘aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya
setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.38
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase pembibitan,
Terjadi pada abad pertama Hijriyah dengan bentuk prilaku zuhud atas dasar takut dan
mengharap pahala (al-khauf wa al-raja’). Kedua, fase kelahiran terjadi pada abad kedua
Hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam
periode ini, di tangan Robiah al-Adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atas dasar cinta
(al-hubb) pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase
pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H, Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme
menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5
H. Pada periode ini, irfani mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelas
karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
Kelima, fase spesifikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh al-Ghazali yang
besar, irfani menjadi metode pemikiran yang semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat Muslim. Pada fase ini, pengertian irfani telah terpecah dalam 2 aliran, yaitu
irfani Sunni dan irfani teoretis. Keenam, fase kemunduran terjadi abad ke -8 H. Sejak
abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.39
Epistemologi irfani tidak didasarkan secara utama atas teks sebagaimana bayani,
tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani,
di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep, kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh

37
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi...147.
38
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta:
Rajawali, 1987), 68.
39
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, 69.
11

melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan
atau tulisan.40

3. Burhani
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa lainnya adalah
al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-idzhar (menampakkan). Secara umum ia
berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.41
Sebagai aktifitas kognitif, epistemologi burhani merupakan gerakan rasional
dengan melakukan penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi yang
bernilai. Burhani ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan
dari gerakan penerjemahan buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam
peradaban Arab. Karena penerjemahan buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik
untuk mendukung akal retoris melawan serbuan tren akal gnostis, maka tidak heran
kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan
terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi
maupun filsafat Islam.42
Cara berfikir analitik ala Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama
kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan Al-Makmun. Pemikir Muslim pertama yang mengenalkan dan menggunakan
metode burhani adalah al-Khindi. Namun, karena masih dominannya epistemologi
bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema.
Epistemologi burhani ini semakin berkembang dalam sistem pemikiran Islam Arab
setelah masa al-Razi. Metode burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam
sistem pemikiran Islam setelah masa al-Farabi.43
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan
premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis
yang memberi keyakinan, menyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila
memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak
dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan
sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak
mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-
jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa obyek-obyek pengetahuan indera
tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, di manapun dan kapanpun, dan
tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.44

E. Integralisasi dan Objektifikasi; Merespon Pemikiran Epistemologi Kuntowijoyo


Dalam kesadaran berkeilmuan yang berperspektif antara Barat dan Islam,
Kuntowijoyo menyatakan bahwa “ilmu-ilmu sekular adalah produk bersama seluruh

40
A. Khudori shaleh, Wacana Baru Filsafat Islam…, 204.
41
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, 383.
42
A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, 208.
43
Soleh, A. Khudori, “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, .. 183.
44
A. Khudori shaleh, Wacana Baru …, 217.
12

manusia, sedangkan ilmu-ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia


beriman”.45
Hal ini dinyatakannya karena sekarang ini, menurutnya, pemikiran yang ada adalah
produk, partisipan, dan konsumen ilmu-ilmu sekular karena pada kenyataannya memang
dilahirkan oleh sekularisme. Tidak bijak jika para ilmuwan Muslim, khususnya,
menistakan pemikiran secular, melainkan perlu menghormatinya dengan cara mengkritisi
dan meneruskan perjalanannya.
Kuntowijoyo menguraikan pentingnya dua langkah dalam menyikapi pertemuan
perspektif Barat dan Islam dalam dunia keilmuan. Dua langkah tersebut adalah
integralisasi dan objektifikasi.46
Integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu
(petunjuk Allah dalam al-Qur’an serta pelaksanaannya dalam sunnah Nabi), sementara
objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang.
Secara sederhana, berikut ini adalah gambaran dari ide tersebut.

“Alur pertumbuhan ilmu-ilmu sekular”

Filsafat antroposentrisme diferensiasi ilmu sekular

Filsafat barat menolak teosentrisme karena menganggap sumber kebenaran adalah


manusia dengan segala potensinya. Dengan menempatkan manusia sebagai kedudukan
tertinggi dan sebagai subjek penuh inilah yang diistilahkan dengan antroposentrisme.
Diferensiasi ialah pemisahan antara ilmu dengan unsur wahyu dana ketuhanan. Sementara
ilmu sekular mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya.

“Alur pertumbuhan integralistik”

Agama teoatroposentrisme dediferensiasi ilmu integralistik

Agama merupakan symbol pengakuan manusia dengan segala potensinya tidak


bisa terlepas dari unsur ketuhanan. Namun di saat bersamaan, pengakuan akan ketuhanan
diproses dalam ruang kemanusiawian manusia. Kesadaran semacam ini yang diistilahkan
dengan teoantroposentrisme. Dedirefensiasi adalah “rujuk kembali” manusia dengan
menyatukan agama dengan ilmu. Ilmu integralistik adalah tujuan dan bentuk dari integrasi
yang diharapkan.

45
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, ..50.
46
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, 49-79.
13

“ilmu Barat dan ilmu Islam”


PERIODE SUMBER ETIKA PROSES ILMU
SEJARAH
BARAT Modern Akal Humanisme Diferensiasi Secular,
otonom
ISLAM Pascamodern Wahyu-akal Humanisme- Dediferensiasi Integralistik
teosentris

“Alur objektifikasi”

Internalisasi eksternalisasi

Objektifikasi

Subjektifikasi gejala objektif

Objektifikasi adalah proses penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-


kategori objektif. Bermula dari internalisasi nilai, tidak dari subjektifikasi kondisi objektif.
Objektifikasi merupakan penyebaran pemahaman internal tentang nilai-nilai Islam kepada
semua orang, baik muslim maupun nonmuslim. Misi rahmatan li al-alamin merupakan
misi proyek objektifikasi ini. Namun di saat bersamaan, objektifikasi menghindari
subjektifitas dan dominasi.

F. Penutup
Epistemologi sebagai bagian dari filsafat mengalami tarik-ulur dari aneka ragam
pemikiran yang dipengaruhi latar belakang masing-masing. Hal ini wajar sebagaimana
terjadi dalam ruang filsafat yang memang lahir dan berkembang dalam horizon pemikiran;
yang subjektif, universal, radikal, dan kritis.
Epistemologi Barat yang berdasar pada semangat humanisme pada kenyataannya
berbenturan dengan epistemologi Islam yang terlahir bukan hanya karena proses
pemikiran yang bersumber pada akal dan indera semata, namun juga mengalami
keterikatan dengan eksistensi wahyu. Pada tahap inilah, ketegangan pemikiran mengenai
ilmu terjadi dengan segenap faktor-faktor historis dan kultural yang melingkupinya.
Setelah mengalami proses dinamika yang panjang, baik epistemologi Barat
maupun epistemoogi Islam senantiasa dapat dikembangkan seiring perkembangan filsafat
itu sendiri. Itu sebabnya, perubahan epistemologi sangat dimungkinkan terjadi meskipun
sarat dengan negosiasi.
14

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, dkk.,Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis,


Historis Perspektif, Yogyakarta: LESFI, 1992.
Azizy, A. Qodri, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Jakarta: Dipertais Agama RI,
2003.
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto,
Bandung : Mizan, 1998.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
Bagus, Larens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Boy ZTF, Pradana, Filsafat Islam, Sejarah, Aliran dan Tokoh, Malang: UMM Press, 2003.
Gadamer, Hans-Georg, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence,
Cambridge : Cambridge : University, 1993.
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta: Tintamas, 1986.
Ismail, Fu’ad Farid dan Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyah, 1992.
____________________, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, Yogyakarta:
LKiS, 2000.
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1996.
Nicholson, Reynold A., Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman Jakarta:
Rajawali, 1987.
Peurson, Van, Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar Filsafat, Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum, 1993.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam FiIsafat, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Semiawan, Conny R., dkk.,Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: CV. Remaja
Rosdakarya, 1988.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
Ash-Shadr, Muhammad Baqir, Falsafatuna, terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan,
1991.
Soleh, A. Khudori, “M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam”, dalam, A. Khudori
Soleh, (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Supartono, Suparlan, Filsafat ilmu Pengetahuan,Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005.
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
15

Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Akal dan Hati Sejak Thales Sampa Capra, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1999.
Wood, Ledger, ”Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy,
New Jersey: litlle Field, Adam &co., 1976.

Anda mungkin juga menyukai