Anda di halaman 1dari 6

GANGGUAN SOMATOFORM PADA ANAK DAN REMAJA

Mohapatra S, Deo SJK, Satapathy A, Rath N

ABSTRAK
Gangguan somatoform merupakan salah satu bidang psikiatri pada anak dan remaja yang cukup terabaikan.
Gangguan somatoform pada anak dan remaja menyebabkan penurunan fungsi sosial dan edukasi, serta dapat
menimbulkan stress psikologis yang cukup buruk. Pasien dengan gangguan somatoform lebih cenderung
untuk memeriksakan diri ke layanan kesehatan umum daripada layanan kesehatan jiwa. Pemeriksaan dini
dengan ahli kesehatan jiwa dibutuhkan untuk menghindari pemeriksaan yang tidak dibutuhkan serta diagnosis
gangguan somatoform dapat ditegakkan segera.

Introduksi
Gangguan somatoform merupakan salah satu bidang psikiatri pada anak dan remaja yang cukup
terabaikan. Gejala fisik dan keluhan rasa nyeri yang timbul tanpa penyebab yang diketahui sering muncul
pada anak – anak dan remaja. (Kelly et al, 2010). Gejala fisik yang secara medis tidak dapat dijelaskan
terhitung hampir 50% dari seluruh pasien baru di rawat jalan. Pasien cukup sulit untuk mengutarakan apa yang
mereka rasakan secara verbal. Karena itu, gejala fisik dapat timbul akibat adanya gejala psikis. Sekitar 2 –
10% anak – anak pada populasi umum mengeluhkan rasa nyeri (contohnya pada perut, sendi, kepala) yang
secara medis tidak dapat dijelaskan, namun keluhan tersebut biasanya hilang timbul dan tidak mempengaruhi
fungsional seorang anak secara keseluruhan. (Garralda, 2010). Gangguan somatoform mewakili gejala akhir
dari keluhan fisik yang terus – menerus.
Gangguan somatoform dikarakteristikan sebagai keluhan gejala fisik (pada sistem gastrointestinal,
nyeri hebat, seksual, pseudo neurological) yang berulang/terus – menerus tanpa bisa dijelaksan secara medis
atau efek dari zat tertentu. (Garralda, 1992). Pasien biasanya benar – benar merasakan dan tidak sengaja
membuat atau berpura – pura merasakan keluhan tersebut dan mereka yakin bahwa ada faktor psikologis yang
terlibat. Penurunan fungsional yang terjadi pada anak dengan berbagai usia, berbagai variasi tingkat
keparahan, dan bermacam – macam keluhan khususnya lebih dari satu, cenderung memiliki hubungan dengan
masalah psikologis. Terdapat bukti bahwa, bahkan pada anak usia yang sangat dini di usia sekolah, mereka
sering datang dengan gejala somatik lebih signifikan dibanding anak – anak tanpa gejala dalam keterkaitannya
terhadap masalah perilaku dan emosional. (Domenech et al, 2004). Anak – anak seperti itu akan cenderung
memiliki masalah psikologis pada saat beranjak pada usia remaja atau dewasa. Pasien dengan gejala – gejala
seperti itu akan terbebani dalam pemanfaatan layanan kesehatan, hospitalisasi berulang, konsultasi spesialis
yang berbeda – beda, serta pemeriksaan dan perawatan yang inefektif. (Sumathipala et al, 2008).

Klasifikasi
Kriteria diagnostik pada ganggguan somatoform ditujukan untuk pasien dewasa dan pada pasien anak
karena kurangnya penelitian yang lebih spesifik pada anak anak dan perkembangan sistem alternatif. Bentuk
berbeda dari gangguan somatoform yang ditemukan selama masa anak dan remaja tidak sejenis, pola klinis
pada pasien remaja lebih memiliki kesamaan yang mirip dengan pasien usia dewasa. ICD 10 (World Health
Organization, 1992) membagikan subdivisi gangguan ini menjadi gangguan somatisasi, gangguan somatisasi
yang tidak ditentukan, gangguan hipokondriasis, disfungsi otonom somatik, gangguan nyeri somatoform
menetap, dan gangguan somatoform lainnya. Gangguan lainnya, yang juga memiliki kriteria somatisasi,
seperti gangguan dissosiatif (gangguan konversi dalam DSM–IV) dan neurasthenia (sindrom kelemahan
kronis), dikategorikan terpisah dalam ICD 10. Dari seluruh gangguan somatoform, yang paling sering
ditemukan pada masa anak dan remaja adalah gangguan nyeri somatoform persisten/menetap. Akhir – akhir
inii, dalam DSM-V (American Psychiatric Association, 2013) gangguan somatoform disebutkan sebagai
‘gangguan gejala somatik dan yang terkait’. Diagnosis gangguan somatisasi, hipokondriasis, gangguan nyeri,
dan gangguan somatoform yang tidak ditentukan dihapuskan dalam DSM-V. Dalam DSM-V, pasien dengan
nyeri kronis dapat didiagnosis gangguan gejala somatic dengan nyeri predominan, atau faktor psikis terkait
kondisi medis. Gangguan omatiasi dan gangguan somatisasi yang tidak ditentukan digabung menjadi
ganggyan gejala somatik, sebuah diagnosis yang tidak lagi membutuhkan jumlah spesifik dari gejala somatik.

Epidemiologi
Cukup sedikit yang diketahui tentang insiden dan prevalensi dari gangguan somatoform yang berbeda
pada anak dan remaja. Bagaimanapun, epidemiologi keluhan somatik secara umum, faktor psikosomatik dan
keluhan medis tak terjelaskan perlu didokumentasikan. Pada studi rawat jalan psikiatri anak (Lieb et al, 2000),
ringkat keluhan somatik berkisar dari 1.3 – 5%. Pada studi populasi umum, keluhan somatik ditemukan 11%
perempuan, dan 4% laki – laki (Fritz et al, 1997).
Sering kali keluhan nyeri dan gangguan yang tidak ditentukan dimulai pada masa kecil dan masa pra-
remaja. Frekuensi gejala abdominal meningkat pada usia 3 sampai 9 tahun meningkat secara stabil sampai
masa remaja. Sakit kepala lebih sering pada anak dengan usia yang lebih tua dibanding anak – anak usia pra-
sekolah. (Lieb et al, 2000). Pada perempuan, gangguan nyeri memiliki onset usia 11 – 19 tahun, sedangkan
pada laki – laki onset di bawah 13 tahun. Prevalensi keluhan terkait somatisasi cukup tinggi pada populasi
pediatrik : nyeri abdomen yang rekuren sekitar 5% dari kunjungan bangsal anak, dan nyeri kepala dilaporkan
mempengaruhi 20 – 55% pada anak anak, 10% dari usia belasan tahun mengeluhkan sakit kepala, nyeri dada,
muntah, dan kelemahan.
Gejala somatik dan gangguan somatoform secara umum lebih sering terjadi pada wanita dibanding
pria dengan rasio 5:1 (Aro, 1987). Studi menunjukkan anak – anak usia pre-puberitas memiliki rasio yang
sama antara jenis kelamin laki dan perempuan, pada usia pasca puberitas, frekuensi perempuan meningkat.
Pada penelitian yang lebih mayoritas, ditemukan pada jenis kelamin perempuan meningkat selama masa
remaja, dan frekuensi jenis kelamin laki – laki semakin menurun. Oleh karena itu, seiring peningkatan usia
dapat terlihat anak laki – laki datang dan melaporkan keluhan fisik yang lebih sedikit. (Kin & Coles, 1992).
Dapat dipresumsikan, faktor kultural pada perbedaan jenis kelamin cukup relevan. Sebagian besar, namun
tidak seluruhnya, penelitian pada onset perkembangan puberitas dan menarche terkaitdengan meningkatnya
keluhan pada perempuan.
Gangguan somatofom diyakini bawha terjadi lebih sering pada populasi dengan edukasi kurang,
terbelakang, dan kelompok status sosioekonomis yang rendah. (Haugland et al, 2001, Alven, 1993).

Gejala
Gangguan nyeri somatoform persisten merupakan salah satu tipe paling sering dari seluruh jenis
gangguan somatoform pada masa anak dan remaja. Keluhan yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri
abdominal rekuren, nyeri muskuloskeletal dan nyeri kepala, namun nyeri multipel juga dapat muncul
bersamaan.

- Gangguan somatisasi
Kriteria untuk gangguan somatisasi ditujukan untuk pasien dewasa, dan percobaan telah dilakukan
untuk mengaplikasikan kriteria tersebut pada populasi pediatrik. Meskipun demikian, diagnosis ini jarang
dibuat untuk pasien anak dan remaja, karena kriteria waktu yang dibutuhkan bertahun – tahun untuk memenuhi
kriteria diagnosis ini.
Sayangnya, contoh klinis dalam ICD-X bersifat atipikal untuk usia anak dan remaja, sebagai contoh,
gejala genito-urinari yang cukup jarang. Namun, pasien akan menemui spesialis anak, seringkali dengan
keluhan gastrointestinal, sendi, dan nyeri lainnya serta gejala neurologis.

- Gangguan nyeri somatoform persisten


Nyeri abdominal, sakit kepala, dan nyeri sendi serta nyeri bagian lainnya dapat berujung pada
gangguan nyeri somatoform persisten ketika nyeri dirasakanan menetap, berat, tekanan, dan terjadi akibat
assosiasi dari stressor psikososial yang cukup untuk menjadi etiologi yang signifikan. Secara khusus, nyeri
abdomen fungsional dirasakan secara difus atau nyeri periumbilical yang hebat. Nyeri cenderung makin
memburuk saat siang hari dan tidak dirasakan pada malam hari atau saat libur sekolah. Keluhan dapat disertai
terganggunya sistem pencernaan, muntah, nyeri kepala, letargi, dan penampilan menjadi pucat, di mana
keluarga pasien yakin bahwa terdapat kelainan patologis. Nyeri kepala lebih mungkin dirasakan dan tidak
dikarakteristikan sebagai nyeri kepala tipe tension (frekuensi, bilateral, biasa pada bagian frontal) tetapi
kadang – kadang dapat muncul bersamaan dengan nyeri kepala tipe migrain (secara periodik, berat, nyeri salah
satu sisi dengan aura, mual, dan riwayat keluarga.)
Nyeri abdominal rekuren merupakan nyeri yang paling sering dirasakan pada anak kecil. Nyeri
abdominal rekuren didefinisikan sebagai nyeri intermitten dengan pemulihan yang seutuhnya diantara episode
nyeri selama 3 bulan terakhir. (Schulte & Petermann, 2011). Secara epidemiologi penelitian menunjukkan
bawha efek nyeri abdominal rekuren 8-25% pada usia sekolah 9 – 12 tahun, prevalensi lebih sering pada
perempuan, dan terhitung sekitar 2 – 4% pada kunjungan bangsal (Dufton et al 2009). Terdapat relasi yang
cukup erat antara nyeri abdominal rekuren dengan tingkat anxietas pada anak – anak. Masa waktu prevalensi
dari gangguan anxietas pada anak – anak dengan nyeri abdominal rekuren didapatkan lebih tinggi dari
ekspetasi pada populasi umum. Studi menunjukkan orang tua pasien mengatakan bahwa anak mereka yang
mengalami nyeri abdominal rekuren secara signifikan mengalami peningkatan anxietas, masalah afektif, dan
gejala somatik lebih tinggi dibanding anak – anak yang sehat.
- Gangguan somatoform yang tidak ditentukan
Anak – anak dan remaja lebih memenuhi kriteria gangguan somatoform yang tidak ditentukan daripada
kriteria gangguan somatisasi (DeMaso & Beasley, 1998). Kondisi ini muncul saat masa remaja yang
menyebabkan perburukan keadaan yang signifikan. Gejala multipel yang cukup berat dirasakan minimal
selama 6 bulan untuk memenuhi kriteria diagnosis kondisi ini. Keluhan yang dirasakan termasuk, tetapi tidak
terbatas, sindrom nyeri, gangguan gastrointestinal, urogenital, kelelahan, hilangnya nafsu makan, gejala pseuo
neurologis.

- Gangguan Hipokondriasis
Preokupasi dengan ketakutan memiliki atau ide tentang penyakit serius pada satu organ berdasarkan
interpretasi yang salah pada gejala fisik. Preokupasi seperti ini menetap walaupun telah dilakukan evaluasi
medis. Hipokondriasis dibedakan oleh keyakinan dan sikap tentang penyakitnya. Kurangnya literatur yang
mendukung tentang hipokondriasis pada masa anak – anak, dan lebih sering terlihat pada masa akhir remaja
atau masa dewasa (Silber, 2011). Pasien dengan gangguan hipokondriasis didapati memiliki korelasi yang
kuat dengan depresi, anxietas, dan gejala somatik. Gangguan obsesif kompulsif sebagai komorbid cukup
sering ditemui, 8% prevalensi dari gangguan obsesif kompulsif pada pasien dengan gangguan hipokondriasis
(dibandingkan 2% pada populasi umum) (Shaw et al, 2010). Individu dengan gangguan seperti ini dilaporkan
sering menggunakan layanan kesehatan tetapi tidak puas dengan hasil yang diterimanya.

- Gangguan dismorfik tubuh


Gangguan dismorfik tubuh didefinisikan sebagai gangguan dengan preokupasi penampilan yang cacat
tentang bentuk tubuh atau kekhawatiran yang berlebihan atas sedikit anomali fisik. Preokupasi dapat terjadi
pada satu bagian tubuh, namun, sering kali melibatkan gambaran atau sedikit kekurangan, misalnya pada
wajah atau kepala seperti jerawat, bekas luka, rambut yang kurang tebal, asimetri wajah, atau rambut wajah
yang berlebih. Hanya terdapat sedikit referensi mengenai gangguan dismorfik tubuh pada anak dan remaja
karena kebanyakan pasien diam – diam mengenai gejalanya dan enggan memeriksakan ke ahli psikiatri. Onset
penyakit sering kali terjadi pada masa remaja, dengan rasio laki – laki dan perempuang seimbang, tidak seperti
pada gangguan somatoform lainnya (Shaw & DeMaso, 2006). Kebanyakan pasien berkonsultasi dengan ahli
bedah, ahli penyakit kulit, dan bedah kosmetik, namun kurang puas dengan hasilnya. (Didie et al, 2006).
Proporsi yang tinggi dari individu dengan gangguan dismorfik tubuh melaporkan riwayat perawatan
masa kecil yang kurang baik, termasuk secara fisik, sekual, dan perlakuan emosional yang buruk serta fisik
yang terbengkalai. Gangguan psikiatri komorbid termasuk depresi, gangguan obsesif kompulsif, phobia social,
gangguan delusi/waham, anorexia nervosa, gangguan identitas jenis kelamin. Gangguan disformik tubuh
terkait dengan tingginya ide dan tingkat percobaan bunuh diri, 24 – 48% melakukan percobaan bunuh diri.
(Phillips & Kelly, 2009).

Pemeriksaan
Melalui wawancara psikiatri diagnosis gangguan dapat ditegakkan (DeMaso et al, 2009). Beberapa
skala pemeriksaan untuk anak – anak telah berkembang sebagai penilaian kelompok gejala fisik dan
somatisasi. Children’s Somatization Inventory (CSI) (Walker et al, 2009) adalah sebuah skala dengan 35
pertanyaan dengan versi dewasa dan anak – anak. Pemeriksaan ini menyediakan informasi tentang gejala
somatik pada anak dan dengan waktu penilaian di atas 2 minggu (Campo & Fritz, 2001) dan dapat digunakan
pada anak dengan usia 7 tahun. Functional Disability Inventory (FDI) dapat digunakan bersamaan dengan CSI
untuk menilai tingkat keparahan gejala. FDI berkorelasi dengan laporan gejala somatik dan absensi sekolah.
Illness Attitude Scale (Skala penilaian sikap dan perilaku penyakit) dan Soma Assessment Interview (SAI)
merupakan wawancara terhadap orang tua (Rask et al, 2009).

Komorbiditas
Gangguan psikiatri komorbid dapat mendahului perkembangan gejala somatik, namun sering kali
berkembang selama gangguan somatoform. Di antara anak – anak yang hadir, sepertiga hingga setengah
diantaranya memiliki gangguan komorbiditas psikiatrik. Pada anak usia sekolah, anxietas dan depresi
merupakan komorbiditas yang paling utama (Shaw et al, 2010). Komorbiditas ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) dan gangguan opposisi yang bertentang juga cukup sering dijumpai, khususnya pada
anak laki – laki. Keluhan somatik muncul dua kali lebih sering pada anak – anak dan remaja yang memenuhi
kriteria depresi pada DSM-IV daripada subjek kontrol (McCauley et al, 1991), dengan gejala somatik yang
timbul selama 4 tahun setelah onset depresi (Zwaigenbaum et al, 1999). Gangguan anxietas (seperti anxietas
perpisahan, PTSD) dapat muncul dengan keluhan somatik (nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah) (Ibeziako
& Bujoreanu, 2011). Oleh karena itu, sangat krusial untuk mempertimbangkan komorbiditas penyakit
psikiatrik (seperti anxietas, depresi) pada seluruh pasien pediatrik yang datang dengan gejala yang tidak dapat
dijelaskan.

Tatalaksana

- Strategi tatalaksana umum


Berdasarkan penilaian, dan pemeriksaan fisik dan psikiatri telah dilakukan, tatalaksana gangguan
somatoform harus direncakan. Strategi yang cukup membantu :
 Usahakan untuk mengerti keadaan penderita terhadap keyakinan tentang penyakit mereka,
tingkat kepercayaan terhadap penyebab fisik, kepuasan terhadap pemeriksaan, dan pandangan
tentang pelayanan dan rujukan kesehatan.
 Jangan menanyakan tentang realitas dari gejala.
 Percaya bahwa pasien benar – benar memiliki gangguan penyakit yang mempengaruhi
kehidupan dan keluarga.
 Menggali gejala dengan berbagai alternatif lain.
 Diskusi mengenai perhatian fisik yang menjadi preokupasi terhadap keluarga dan hasil dari
pemeriksaan fisik.
 Diskusi tentang mekanisme dari patofisiologi timbulnya gejala.
 Jangan memiliki perasaan ragu saat mengkomunikasikan tentng diagnosis gangguan
somatoform atau penyakit psikiatri lainnya.
 Meyakinkan pasien bahwa kelainan tersebut akan pulih dari waktu ke waktu terutama pada
usia muda akan lebih cepat.
 Bantu keluarga dan cara berkembang anak mengatasi gejala dan mengurangi perburukan
fungsional.

- Strategi tatalaksana spesifik


Terdapat kurangnya rujukan berdasarkan evidence-based (bedasarkan bukti) terkait dengan
penatalaksanaan gangguan somatoform pada anak dan remaja. (Campo & Fritz, 2001). Ada beberapa studi
terkontrol farmakoterapi dan psikoterapi gangguan somatoform pada dewasa. Percobaan terkontrol pada
dewasa menunjukkan efisiensi yang cukup kuat dan konsisten terhadap CBT (Cognitive Behavior Therapy)
pada beberapa jenis gangguan somatoform (Jackson et al, 2006; Allen et al, 2006; Sumathipala et al, 2000).
Penatalaksaan terkontrol secara acak oleh Allen dan kawan – kawan, 2006 pada efektivitas CBT terhadap
gangguan somatisasi menunjukan bahwa dengan 10 kali tahapan, individu dengan terapi CBT mengalami
perbaikan gejala yang cukup signifikan. Protokol pengobatan meliputi pelatihan relaksasi, regulasi aktivitas,
fasilitas terhadap kesadaran emosional, restruktur kognitif, dan komunikasi iinterpersonal. Perbaikan
gangguan somatik diobservasi segera setelah fase intervensi hingga 12 bulan tambahan. Penelitian
menunjukan bahwa CBT dapat menghasilkan perbaikan gejala, fungsional, dan pemanfaatan layanan
kesehatan pada pasien dengan gangguan somatoform dalam waktu jangka panjang. Percobaan
penatalaksanaan terkontrol lainnya (Speckens et al, 1995; Escobar et al, 2007; Sumathipala et al, 2000)
mengevaluasi efektivitas terapi CBT pada gangguan somatoform, dengan cara mendatangi pasien dengan
keluhan berat dan ringan menunjukan individu dengan CBT mengalami perbaikan dan pengurangan gejala
somatik dibanding pelayanan medis standar umum. Secara keseluruhan, literatur pada penatalaksanaan
gangguan somatisasi membutuhkan 6 – 12 sesi terapi CBT oleh ahli kesehatan mental.
Percobaan terkontrol acak akhir – akhir ini menilai akseptabilitas dan efektivitas MBCT (Mindfull-
Based Cognitive Therapy) untuk pasien dengan MUS (Medically Unexplained Symptoms) (fjorback et al,
2013). Pasien yang menjalani MBCT melaporkan perbaikan fungional mental signifikan lebih cepat pada
akhir terapi. Meta-analisis lainnya memperlihatkan efek positif yang kecil hingga sedang pada MBCT dalam
mengurangi nyeri, keparahan gejala, depresi, dan anxietas terkait gangguan somatisasi, dan perbaikan kualitas
hidup pada pasien dengan gangguan tersebut (lakhan et al, 2013). Jadi dapat disimpulkan bahwa MBCT
merupakan pilihan yang baik untuk dilakukan pada pasien dengan MUS di layanan kesehatan primer.
Psikoterapi intervensi selain CBT (interpersonal therapy, problem-solving therapy, brief
psychodinamic therapy) serta jenis pengobatan lainnya yang dianggap ‘psikologikal’ (optimisasi analgetik,
program self-management nyeri) memerlukan penelitian lebih lanjut pada gangguan somatoform.
Beberapa percobaan kontrol menilai efektivitas anti – depresan berbeda pada gangguan somatorm usia
dewasa telah dilakukan. Dalam 12 minggu, penelitian secara multisenter, acak, double–blind, mengevaluasi
efektifitas dan tingkat toleransi dari venlafaxine pada pasien dewasa di layanan kesehatan primer dengan
gangguan multisomatoform [MSD (Multi Somatoform Disorder)] dan komorbid gangguan mayor depresif,
gangguan anxietas menyeluruh, atau gangguan anxietas sosial (kriteria DSM-IV). Penelitian menunjukan
penggunaan venlafaxine cukup efektif dalam memperbaiki gejala somatik, nyeri, pada pasien dengan depresi
dan/atau gangguan anxietas (Kroenke et al, 2006).
Dalam waktu 8 minggu, penelitian kontrol dengan placebo, double-blind, dan acak, fluoxetine
memiliki efek analgesik yang baik dibanding placebo dalam mengatasi gangguan nyeri somatofom persisten,
dan dianggap sebagai terapi yang aman. Efek analgesik yang timbul dari fluoxetine dapat berhubungan dengan
efek antidepresi. (Luo et al, 2006).
Sebuah percobaan secara acak, dalam waktu 12 minggu, secara open-label, fluoxetine (10-60 mg/hari)
dan sertraline (25-350 mg/hari) pada pasien dengan gangguan somatoform yang tidak ditentukan
menunjukkan kedua obat memiliki peran potensial dalam penatalaksanaan terhadap gangguan dan keduanya
dapat ditoleransi serta tidak terdapat laporan tentang efek samping yang cukup serius (Han et al, 2008). Sebuah
penelitian double-blind, percobaan dengan kontrol placebo, atau perbandingan head-to-head dengan sampel
yang lebih banyak dibutuhkan untuk mendapat kesimpulan pasti.
Sebuah penelitian multicenter, secara acak, dalam waktu 6 minggu, percobaan klinis dengan kontrol
placebo dilakukan dengan sampel 200 pasien gangguan somatoform menurut ICD-X. Opipramol (200
mg/hari) secara statistik lebih efektif pada placebo. Hasil penelitian pada gangguan somatoform menunjukan
hasil yang efektif pada opipramol dengan indikasi tersebut, namun diperlukan tanggapan lebih lanjut
mengenai penelitian. (Volz et al, 2000).
Studi penelitian di atas menunjukan beberapa antidepresan memiliki keuntungan dalam mengatasi
gangguan somatoform, namun apakah efek tersebut dipertarai oleh efek antidepresi dan antianxietas atau efek
spesifik tertentu pada gejala somatik perlu dipastikan.
Tatalaksana spesifik pada anak dan remaja melibatkan kerja psikologikal individu, keluarga, hubungan
dengan sekolah dan layanan sosial. Tatalaksana harus tepat sasaran untuk mengembangkan hubungan relasi
denan anak, keluarga, dan seluruh ahli profesional, termasuk guru. Strategi spesifik akan bervariasi tergantung
sifat pasti dari gangguan somatoform.
Tatalaksana psikologikal spesifik dan hubungan yang sering akan bervariasi tergantung sifat
gangguan. Intervensi melibatkan hal berikut:
 Penekanan terhadap pengurangan kelainan.
 Tekhnik motivasional disesuaikan untuk stimulasi anak – anak yang ambivalen.
 Secara kolaboratif menemukan cara yang lebih baik yang dapat diterima oleh anak – anak.
 Penggunaan catatan harian/rekam medis untuk memonitor variasi gejala, perburukan maupun
proses. Hal ini dapat memotivasi pasien dan keluarga untuk terapi lebih lanjut.
 Rehabilitasi dapat memperburuk gejala dan perlu diperhatikan tentang hal tersebut.
 Kembangkan tekhnik utuk mengatasi gejala spesifik dan perburukan (mengalihkan, relaksasi
otot untuk sakit kepala, latihan fisik untuk masalah otot dan kelelahan).
 Kembangkan aktivitas, fokus masalah, dan meliputi strategi dan tingkah laku.
 Tidur yang sehat dan asupan makanan yang baik.
 Intervensi psikologis, seperti VBT untuk gangguan emosional sebagai komorbid.
 Secara sedikit demi sedikit mengurangi beban tanggung jawab klinisi kepada orang tua dan
paien.
 Fungsi keluarga dalam mengatasi faktor keluarga yang mungkin berkontribusi terhadap gejala
dan turut camput dengan resolusi dari keluarga.

Kesimpulan
Gangguan somatoform pada anak dan remaja menyebabakan perburukan dalam hal edukasi dan fungi
sosial serta mengakibatkan stress psikososial. Diangosis dengan gangguan tersebut cukup rumit oleh karena
pasien datang dengan keluhan medis. Pasien dengan gangguan seperti ini secara umum lebih sering datang ke
pelayanan kesehatan umum dibanding layanan kesehatan jiwa. Rujukan dini ke ahli layanan kesehatan jiwa
diperlukan untuk menghindari pemeriksaan yang tidak diperlukan serta penundaan waktu diagnosis gangguan
somatoform pada anak – anak. Secara empiris penelitian tentang tatalaksana gangguan somatoform relatif
kurang, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengatassi gangguan somatoform pada anak – anak dan
keluarga mereka.

Anda mungkin juga menyukai