Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

“Meningoensefalitis”

OLEH :

Nurul Hidayati

H1A 010 053

PEMBIMBING :

dr. Ilsa Hunaifi, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
MATARAM
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul “Meningoensefalitis” ini disusun dalam rangka
mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU
Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. Dr. Ilsa Hunaifi, SpS selaku pembimbing
2. Dr. Ester Sampe, SpS, selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUP
NTB.
3. Dr. Wayan Subagiartha, SpS, selaku supervisor
4. Dr. Herpan Syafii Harahap, SpS, selaku supervisor
5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-
hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Juni 2015

Penulis

2
BAB 1

LAPORAN KASUS

A. PENDAHULUAN

Meningoencephalitis adalah suatu penyakit dengan adanya infeksi selaput


meningen. Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, viral, parasit, jamur. 1,2
Meningitis bakterial akut merupakan infeksi selaput meningen oleh bakteri, sering
terjadi pada neonatus dan anak-anak. Infeksi ini menyebabkan tingginya morbiditas
dan mortalitas pada anak-anak di seluruh dunia.1,2
Insidensi meningitis bakterial adalah 5-10 kasus per 100.000 orang setiap tahun.
Dan diperkirakan 2.000 kematian dilaporkan setiap tahun. Bakteri penyebabnya
bervariasi menurut usia pasien dan faktor-faktor lain. Kira-kira 70% kasus terjadi
pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.3
Pada anak-anak hingga usia 5 tahun, patogen yang paling sering menyebabkan
meningitis adalah Haemophilus influenzae. Pada remaja, Neisseria meningitidis
(meningococcus) merupakan penyebab tersering. Streptococcus pneumoniae
(pneumokokus) menyebabkan meningitis pada semua kelompok usia. Listeria
monocytogenes dan bakteri gram negatif merupakan penyebab yang penting pada usia
lanjut, pasien debil, dan pasien yang mengalami penurunan kekebalan.3
Dalam menegakkan diagnosis meningitis bakterial, berdasarkan dari tanda-tanda
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan
cairan serebrospinal dan darah), pemeriksaan CT Scan kranial dan pemeriksaan PCR
cairan serebrospinal.4
Pilihan antibiotik untuk terapi tergantung pada bakteri yang menginfeksi
meningen. Terapi awal untuk meningitis bakterial adalah terapi empiris pada sebagia
besar kasus meningtis, namun tidak menutup kemungkinan pemberian terapi sesuai
dengan bakteri untuk setiap kelompok usia dan tingkat resistensi antibiotik lokal.

3
Pemilihan antibiotik harus memiliki aktivitas bakterisidal di dalam cairan
serebrospinal. 3

B. INITIAL PASIEN

Nama : Tn. F
Umur : 32 tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Telaga Emas, Ampenan Utara
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
No RM : 04 80 79
Tanggal Periksa : 20 Juni 2015

C. SUBJECTIVE

Keluhan Utama: Kejang berulang

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan kejang berulang sejak satu
hari sebelum masuk rumah sakit. kejang berulang sebanyak tiga kali. Kejang pada
seluruh tubuh, dengan kedua tangan menggenggam, mata melirik ke atas, keluar busa
dari mulut, dan saat kejang wajah pasien tampak membiru. Menurut pengakuan
keluarga kejang dirasakan tidak lama, yaitu kurang dari dua menit.

Pasien juga mengeluh adanya nyeri kepala sejak satu minggu sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri kepala dirasakan pada seluruh daerah kepala, nyeri dirasakan seperti

4
diikat, pasien mengatakan serangan nyeri kepala terus menerus sejak satu minggu
terahir. Mual dan muntah disangkal oleh pasien.

Keluhan lain yang dialami pasien yaitu adanya gigi berlubang dan nyeri pada
gigi sejak satu minggu yang lalu, dan gigi pasien sempat di tambal. Keluhan lemas
separuh badan (-), riwayat trauma (-), pandangan kabur (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien pernah dirawat di RSUP NTB dengan status epileptikus pada tanggal
10 Juni 2015 . Riwayat infeksi pada gigi (+) sejak satu minggu sebelum masuk rumah
sakit. HT (-), kencing (-), DM (-), kolesterol tinggi (-), penyakit jantung (-) .

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga dengan keluhan kejang seperti pasien disangkal. Riwayat HT (-),
kencing (-), DM (-), kolesterol tinggi (-), penyakit jantung (-).

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien bekerja di meubel sebagai karyawan yang kadang- kadang mengangkat


barang-barang meubel. Riwayat merokok (-), minum alkohol (-).

Riwayat Pengobatan : Pasien pernah dirawat di RSUP NTB pada tanggal 10 Juni
2015 dengan diagnosis status epileptikus.

D. OBJECTIVE

5
PEMERIKSAAN FISIK (22/6/2015)

Status Generalis

- Keadaan umum : Sedang


- Kesadaran : Delirium
- GCS : E4V4M6
- Vital sign :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 kali/menit
Frekuensi nafas : 18 kali/menit
Suhu : 36,3 ºC

Status Lokalis
Kepala
- Anemis : (-/-)
- Ikterus : (-/-)
- Sianosis : (-/-)
- Bentuk dan ukuran : normal
- Rambut : normal
- Edema : (-)
- Hiperpigmentasi : (-)
- Nyeri tekan kepala : (-)
- Massa : (-)
- Cavum oris : caries dentis
Thorax

6
1. Inspeksi:

 Bentuk & ukuran : normal, simetris antara sisi kiri dan kanan

 Pergerakan dinding dada simetris, jejas (-), kelainan bentuk dada (-), ictus
cordis tidak tampak

 Pergerakan dinding dada: simetris.

 Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider
naevi (-), vena kolateral (-), massa (-).

 Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tak tampak hipertrofi SCM,
otot bantu abdomen tidak aktif

 Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-)

 Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris kiri dan kanan.

 Tipe pernapasan: torako-abdominal

2. Palpasi:

 pengembangan dada simetris, vocal fremitus (+/+), simetris, nyeri tekan (-/-)

 Trakea: deviasi (-)

 Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-), getaran (-)

 Gerakan dinding dada : simetris

 Fremitus vocal : +/+, simetris kiri dan kanan.

3. Perkusi :

 Paru : sonor (+/+) di seluruh lapang paru

 Jantung : batas kanan → ICS 2 parasternal dekstra

batas kiri → ICS 5 midklavikula sinistra

4. Auskultasi :

7
 Paru : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).

 Jantung : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-).

Abdomen :

 Inspeksi : distensi (-), jejas (-)

 Auskultasi : bising usus (+) normal

 Palpasi : nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba.

 Perkusi : timpani pada seluruh kuadran abdomen

Ekstremitas

- Akral hangat : + +

+ +

- Edema : - -

- -

 Status Neurologis

 Kesadaran : Delirium

 GCS : E4V4M6

 Kepala : Posisi → normal, simetris

Penonjolan → (-)

8
 Nervus Cranialis

 N. I (olfaktorius) : normosmia bilateral

 N. II (optikus) :

OD OS

Ketajaman penglihatan > 3/60 > 3/60

Lapang pandang normal ke segala arah normal ke segala arah

Funduskopi Tde Tde

 N. III, IV danVI

 Celah kelopak mata

Ptosis : (-/-)

Exophthalmus : (-/-)

 Posisi bola mata : orthoforia

 Pupil

Ukuran/bentuk : Ø 3 mm-3mm / bulat

Isokor/anisokor : isokor

Refleks cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)

 Gerakan bola mata

Paresis ke arah : (-)

Nistagmus : (-)

 N. V (Trigeminus)

9
 Sensibilitas : N. V1 → simetris, normal

N. V2 → simetris, normal

N. V3 → simetris, normal

 Motorik : teraba kontraksi otot masseter dan temporalis simetris


sinistra dan dekstra

 Refleks dagu/masseter : normal

 Refleks kornea : (+/+)

 N. VII (Fasialis) :

 Motorik M. frontalis M. orbicularis M .orbikularis


Okuli
Oris

- Istirahat Normal, Normal, Normal,


simetris simetris simetris

- gerakan mimik Normal, Normal, Normal,


simetris simetris simetris

 pengecapan 2/3 lidah bagian depan : tde

 N. VIII (Auditorius) :

 Pendengaran : normal
 Tes Rinne : normal
 Tes Weber : normal
 Fungsi vestibularis : tde

 N. IX, X (Glossofaringeus, Vagus) :

10
 Posisi arkus faring (istirahat/AAH) : uvula di tengah, arkus faring
simetris

 Refleks menelan/muntah : (+)

 Pengecap 1/3 lidah bagian posterior : tde

 Suara : dbn

 Takikardia/bradikardia : (-)

 N. XI (Accecorius) :

 Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : normal

 Mengangkat bahu : dapat mengangkat kedua bahu

 N. XII (Hypoglosus) :

 Deviasi lidah : istirahat simetris, menjulurkan lidah deviasi (-)

 Fasikulasi : (-)

 Atrofi : (-)

 Tremor : (-)

 Ataksia : (-)

 Leher

 Meningeal Sign : Kaku kuduk (-)

 Kernig’s sign : (+/+)

 Kelenjar lymphe : pembesaran KGB (-)

 Arteri carotis

 Palpasi : frekuensi 84 x/menit, reguler, kuat angkat, thrill (-).

 Auskultasi : bruit (-)

11
 Kelenjar tiroid : struma (-)

 Abdomen

 Refleks kulit dinding perut : tde

 Kolumna Vertebralis

 Inspeksi : lordosis (-), kifosis (-), skoliosis (-)

 Pergerakan : kaku(-), krepitasi (-), keterbatasan gerak(-)

 Palpasi : nyeri (-), asimetri (-)

 Perkusi : nyeri (-)

 Ekstremitas

Superior Inferior
Motorik
Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Pergerakan Aktif Aktif Aktif Aktif

Kekuatan 5 4 5 4

Tonus Otot Normal Normal Normal Normal

Bentuk Otot Normal Normal Normal Normal

 Otot yang terganggu : (-)

 Refleks Fisiologis

o Biceps : + 2/+2

o Triceps : +2/+2

o Patella : +2/+2

o Achilles : +2/+2

 Refleks Patologis

12
o Hoffman : (-/-)

o Trommer : (-/-)

o Babinsky : (-/-)

o Chaddock : (-/-)

o Gordon : (-/-)

o Schaefer : (-/-)

o Oppenheim : (-/-)

 Tropic : (-)

 Klonus
o Lutut : -

o Kaki : -

 Sensibilitas
o Eksteroseptif : Nyeri → dbn

Suhu → tde
Raba halus → dbn
o Proprioseptif : Rasa sikap → dbn

Nyeri dalam → tde


o Fungsi kortikal : Diskriminasi → tde

Stereognosis → tde
 Pergerakan Abnormal yang Spontan : (-)

 Gangguan Koordinasi : tde

 Gangguan Keseimbangan : tde

 Pemeriksaan Fungsi Luhur : tde

13
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Laboratorium (20/6/2015)

o Hb : 15,9 g/dL

o RBC : 5,78 106 /uL

o Hct : 47,0 %

o WBC : 20,60 103 /uL

o PLT : 384 103 /uL

o GDS : 149 mgl/dl

o Kreatinin : 0,6 mgl/dl

o SGOT : 43 mgl/dl

o SGPT : 76 mgl/dl

 CT Scan kepala

14
Interpretasi :

- Fraktur basis kranii (-), fraktur orbita (-)

- Perdarahan lapisan duramater (-)

- Perdarahan lapisan subaraknoid (-)

- Tak Tampak gambaran hipoderns ataupun hiperdens pada kedua hemisfer

Kesan : CT scan dalam batas normal

 Kultur darah : (-)

F. RESUME

15
Laki-laki 32 tahun, datang dengan keluhan kejang berulang yaitu sebanyak tiga
kali. Kejang pada seluruh tubuh, dengan kedua tangan menggenggam, mata melirik
ke atas, keluar busa dari mulut, dan saat kejang wajah pasien tampak membiru.
Lamanya kejang yaitu kurang dari dua menit. Nyeri kepala (+) yang dirasakan seperti
diikat, infeksi pada gigi (+). Mual (-), muntah (-), riwayat trauma (-). Pernah dirawat
d RS dengan status epilepsi. Kesadaran delirium, dengan GCS E4V4M6, kernig sign
(+). Pada pemeriksaan penunjang laboratorim didapatkan peningkatan pada WBC
20,60 103 /ul. CT scan kepala ditemukan kesan normal dan waters ditemukan adanya
periodontitis.

G. ASSESSMENT

1. Diagnosis klinis : Kejang

2. Diagnosis topis : Meningeal

3. Diagnosis etiologi : Meningoensefalitis e.c bakterial

Differential Diagnosis

1. Menigoencephalitis e.c virus


2. Meningoencephalitis e.c parasit

H. PLANNING

1. DIAGNOSTIK :

- Lumbal pungsi

2. TERAPI

- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Meropenem 3x1 (iv)
- Inj. Citicolin 2x250 (iv)
- Inj. Dexametason 4x1 amp (iv)
- Inj. Antrain 3x1 amp (iv)
- Inj. Phenitoin 3x1 ampl (iv)

16
I. PROGNOSIS

- Ad vitam : dubia ad bonam


- Ad funcionam : dubia ad bonam

J. PEMBAHASAN DAN CLINICAL REASONING

Meningoensefalitis atau meningitis adalah radang pada meningen yang


disebabkan oleh virus, bakteri ataupun jamur. Infeksi meningeal umumnya
dihubungkan dengan satu atau dua jalan yaitu melalui aliran darah sebagai
konsekuensi dari infeksi- infeksi bagian lain. Pada kasus diatas, serangan
meningoensefalitis disebabkan oleh adanya infeksi ditempat lain yaitu adanya infeksi
pada gigi. Pada Tn. F dibuktikan dengan hasil foto panoramic adanya periodontitis
(peradangan pada jaringan yang menyelimuti gigi dan akar gig) hal ini dibuktikan
oleh adanya riwayat dan hasil pemeriksaan laboratorium.

Pasien ini memiliki keluhan utama yaitu kejang. Kejang terjadi akibat lepas
muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan
normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangan
lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Kejang timbul
akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan
edema serebral.

Pasien juga mengeluh nyeri kepala yang menjalar ke tengkuk dan punggung,
adalah gejala awal yang sering. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang
selalu berat dan sebagai iritasi meningen. Demam umunya ada dan tetap tinggi
selama perjalanan penyakit. Namun pada pasien ini tidak didapatkan peningkatan

17
suhu pada pemeriksaan. Perubahan tingkat kesadaran dihubungakan dengan
meningitis bakteri, disorentasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal
adanya infeksi . iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali
yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Pada pasien ini ditemukannya
tanda kernig positif.
Evaluasi diagnostik untuk menegakkan meningitis antara lain CT scan, lumbal
pungsi, laboratorium darah untuk melihat kondisi dan kultur darah untuk melihat
bakteri penyebab. Pada Tn. F semua pemeriksaan dilakukan yaitu antara lain CT
Scan, biakan darah, kecuali lumbal pungsi tidak dilakukan, karena kondisi pasien
yang tidak memungkinkan karena gelisah dan dari pihak keluarga tidak setuju.
Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis
pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna,
terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons
inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko
edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,
vaskulitis, dan cedera neuron.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

18
2.1. Definisi

Meningitis adalah radang selaput otak yang disebabkan karena adanya infeksi pada
cairan serebrospinal (CSS) disertai radang pada pia dan arachnoid, ruang
subarachnoid, jaringan superfisial otak dan medula spinalis. 1

2.2. Epidemiologi

Proporsi penderita meningoensefalitis berdasarkan umur dan jenis kelamin


tertinggi pada kelompok umur 0-5 tahun 53,4%, proporsi laki-laki 28,4% dan
perempuan 25,0%.2,3
2.3. Faktor Penyebab

 Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),


Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa.

 Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

 Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan


wanita.

 Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan.

 Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

 Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan
sistem persarafan.

2.4. Klasifikasi

19
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak, yaitu1,2,3 :

 Meningitis serosa  adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang
disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
 Meningitis purulenta  adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang
meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus
pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

2.5. Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti


dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan daerah medulla spinalis
bagian atas. Faktor-faktor predisposisi mencakup infeksi jalan napas bagian atas,
otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit, dan hemoglobinopatis lain, prosedur
bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh immunologis. Saluran vena yang
melalui nasofaring posterior; telinga bagian tengah, dan saluran mastoid menuju
otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini menyokong
perkembangan bakteri.3
Organisme masuk kedalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di
dalam meningen dan dibawah daerah korteks, yang dapat menyebabkan thrombus
dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan
metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitas dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medulla spinalis. Radang juga
menyebar kedinding membrane ventrikel serebral. Meningitis bakteri
dihubungkan dengan perubahan fisiologis intracranial, yang terdiri dari

20
peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier otak),
edema serebral dan peningkatan TIK.1,3
2.6. Manifestasi Klinis

 Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)

 Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.

 Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb :

 Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran
karena adanya spasme otot-otot leher.
 Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan
fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
 Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut
dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah
satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.

 Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.

 Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat
purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-
tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur,
sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.

 Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

 Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba


muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler
diseminata.

21
2.7 Kriteria Diagnosis

 Analisis CSS dari fungsi lumbal :


1. Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip
terhadap beberapa jenis bakteri.
2. Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur
biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.

22
 Glukosa serum : meningkat (meningitis)
 LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)

 Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi


bakteri)

 Elektrolit darah : Abnormal.

 Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah


pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.

 MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat


ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.

 Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra


kranial.

23
2.8 Terapi

Pilihan antibiotik empirik pada pasien harus berdasarkan epidemiologi lokal,


usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta.
Antibiotik harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis, pasien
harus diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat inotropik. Jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian manitol.1,3,6
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifi k jika hasil
kultur sudah ada. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab,
keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal
epidemik dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler
sesuai dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik
paling sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau
kejang yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara
maju menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal
dan haemofilus 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.3

Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis


pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna,
terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons
inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko
edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,
vaskulitis, dan cedera neuron. Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis
10 mg setiap 6 jam secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian
Dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB
bukan H. infl uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain

24
merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi MB yang ditemukan.
Pemberian dexamethasone pada pasien MB dengan sepsis berat atau syok sepsis
dapat meningkatkan kesintasan. Pada penelitian lain, pemberian dexamethasone tidak
menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara bermakna.3
 Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.
o seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12
jam; atau

o sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.

 Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:

o Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam

o ditambah ampisilin: 50 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam

 Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama


sedikitnya 5 hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak ada
gangguan absorpsi. Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh pengobatan
harus diberikan secara parenteral. Lama pengobatan seluruhnya 10 hari.

 Jika tidak ada perbaikan:

o Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural


atau abses serebral. Jika hal ini dicurigai, rujuk.

o Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam,


seperti selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau
osteomielitis.

o Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah
3–5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS

25
 Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat
ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:

o INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan

o Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9


bulan

o Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan


pertama

o Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau


Streptomisin: 30-50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan

Terapi empiris pada meningitis bakterial

Terapi antibiotik spesifik pada meningitis bakterial

26
Terapi kortokosteroid jangka panjang

Terapi kortikosteroid sistemik digunakan secara luas untuk mengobati


gangguan autoimun atau infl amasi. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang
(terutama dalam dosis tinggi) berhubungan dengan efek samping serius pada berbagai
sistem fisiologik tubuh, termasuk sistem imun. Efek samping tersebut sebenarnya
dapat diminimalisasi dengan cara memantau kondisi pasien secara seksama dan
menggunakan jenis kortikosteroid dengan potensi dan dosis serendah mungkin.
Kortikosteroid menekan fungsi imun normal dengan menurunkan ekspresi
limfosit T, monosit, makrofag, eosinofi l, mastosit, dan sel endotelial. Supresi sitokin
bukan satu-satunya efek kortikosteroid pada respons imun dan antiinfl amasi normal.
Kortikosteroid juga dipercaya mengeksitasi produksi sitokin antiinflamasi TGF-ß
(Transforming Growth Factor-β). Kortikosteroid juga mengganggu ekspresi molekul
pengikat pada antigen-precenting cell serta menginduksi apoptosis pada limfosit T
matur dan monosit.3,5
Pengguna kortikosteroid jangka panjang rentan terhadap infeksi karena
kortikosteroid dapat menghambat kerja sistem imun normal dan menekan proses infl
amasi. Gejala infeksi pada pengguna kortikosteroid jangka panjang dapat
menunjukkan gejala yang tidak khas karena adanya inhibisi pelepasan sitokin dan
reduksi respons inflamasi.Untuk mencegah infeksi oportunistik pada pengguna
kortikosteroid jangka panjang, beberapa pakar menganjurkan memulai terapi

27
kortikosteroid dengan dosis dan potensi serendah mungkin tanpa mengabaikan
efikasi.3
Sebelum memulai terapi kortikosteroid jangka panjang, pemeriksaan darah
lengkap harus dilakukan sebagai data dasar. Selanjutnya, pemeriksaan darah lengkap
harus dilakukan setiap 3 bulan (selama pasien masih dalam terapi kortikosteroid)
untuk melihat adanya kemungkinan infeksi yang belum bermanifestasi spesifi k.
Setiap pasien juga harus memiliki termometer pribadi di rumah dan harus segera ke
dokter bila suhu meningkat di atas 38°C. American College of Rheumatology
merekomendasikan vaksinasi pneumokokus dan influenza pada pasien tersebut.

2.9 Komplikasi

Skala jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka
panjang sangat penting untuk mendeteksi skala.7

Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis,


hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar,
hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.3

Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% penderita. Pemberian dini


dexamethasone dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Jika
ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional,
rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan
fungsi motorik.4,5

2.10 Prognosis

28
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan
sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis
merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang
disebabkan oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki
case fatality rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis
meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya
tahan tubuh penderita. 7

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Machfoed,M et al. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University
Press. Surabaya; p13-18.

2. WHO, 2008. Meningitis Season 2007-2008: moderate levels of meningitis


activity. http://www.who.int/emc/diseases/meningits
3. Bamberger, David. 2010. Diagnosis, Initial Management and Prevention of
Meningitis. University of Missouri–Kansas City School of Medicine, Kansas
City, Missouri. Accessed on 2nd july 2015.
http://www.aafp.org/afp/2010/1215/p1491.pdf
4. Harsono. 2011. Buku Ajar neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press.
Jakarta; p289-300.

5. Mardjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-
31.

6. WHO., 2009 . Meningococcal, Staphylococcal and Streptococcal Infections.


Accessed on 3rd july 2015.
http://www.who.int/vaccine_research/documents/Meningo20091103.pdf
7. National Institute for Health and Care Excellence. 2010. Bacterial meningitis
and meningococcal septicaemia. Accessed on 2nd july 2015.
http://www.nice.org.uk/guidance/cg102/resources/guidance-bacterial-
meningitis-and-meningococcal-septicaemia-pdf

30

Anda mungkin juga menyukai