Anda di halaman 1dari 16

PEMBAHARUAN KUHAP SEBAGAI UPAYA

PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA 1


Oleh : Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H.2
Abstrak
Indonesia telah melakukan banyak ratifikasi terhadap konvensi
internasional seperti antara lain : United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC), International Convention Against Torture and
International Covenant on civil and Political Rights (ICCPR). Kovensi-
konvensi tersebut memiliki keterkaitan dengan Hukum Acara pidana,
oleh karena telah ikut meratifikasi maka Indonesia memiliki kewajiban
untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian pada undang-undang yang
berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam konvensi Internasional
tersebut. KUHAP sebagai peraturan yang mengatur tentang bagaimana
aparat penegak hukum harus bertindak dalam menegakan hukum
terhadap masyarakat sangat erat berhubungan dengan pelanggaran
HAM apabila tidak dilaksanakan sesuai ketentuan. UU nomor 8 Tahun
1981 yang telah dan masih dipergunakan hingga saat ini sudah
dipandang kurang sesuai dengan perkembangan jaman,. Oleh sebab itu
KUHAP baru dengan pemikiran-pemikiran yang lebih memberikan
perlindungan HAM telah diajukan oleh Pemerintah. Beberapa hal baru
yang ada dalam RUU KUHAP adalah adanya lembaga hakim
pemeriksa pendahuluan yang menggantikan lembaga praperadilan,
kemudian adanya penyelesaian perkara diluar pengadilan dan beberapa
hal lain yang cukup signifikan untuk memperbaharui KUHAP yang
ada.

Kata kunci : Pembaharuan, KUHAP, Penegakan Hukum.

A. Pendahuluan
Hukum acara pidana adalah sebuah bingkai bagi penegak
hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum untuk
menemukan kebenaran materiil dari suatu tindak pidana. Sebagai
sebuah bingkai maka kedudukan KUHAP menjadi sangat penting dan
harus kokoh sepanjang masa berlakunya.

1
Makalah ini disajikan dalam Seminar Hukum Nasional di Fak.Hukum Unsoed
pada hari Kamis, Tanggal 10 Oktober 2013.
2
Dosen Tetap Fak.Hukum Unsoed Purwokerto

1
Ke”Kokoh”an KUHAP yang pada saat kelahirannya dikatakan
sebagai sebuah karya agung bangsa Indonesia telah ada sejak tahun
1981 beberapa tahun belakangan ini sudah sering “digugat”. Hal ini
merupakan suatu kewajaran. Setelah 33 tahun membingkai penegakan
hukum di Indonesia pasti seiring dengan berkembangnya kehidupan
hukum di Indonesia yang luar biasa pesat maka sudah saatnya untuk
dilakukan pembaharuan agar KUHAP tetap dapat menjadi acuan bagi
penegak hukum di Indonesia.
RUU KUHAP akhirnya diserahkan oleh Presiden kepada DPR
untuk dilakukan pembahasan. RUU ini direncanakan akan diselesaikan
pada tahun 2013 ini dan telah masuk dalam Prolegnas 2013. Cukup
banyak hal baru yang diatur dalam RUU ini yang akan merubah
jalannya hukum acara pidana di Indonesia.

B. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut maka muncul permasalahan sebagai
berikut : Hal-hal kebaruan apakah yang mungkin dapat memperkokoh
penegakan hukum di Indonesia? Apakah kebaruan tersebut dapat
merespon perkembangan dinamka masyarakat?

C. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan : Yuridis normatif
2. Spesifikasi penelitian : Preskriptif
3. Sumber Bahan Hukum : Bahan hukum sekunder
4. Pengumpulan Bahan Hukum : Studi kepustakaan, inventarisasi
Peraturan perundang-undangan.
5. Penyajian Bahan Hukum : Uraian secara sistematis
6.Metode Analisis Bahan
Hukum : Normatif Kualitatif

2
D. Pembahasan
RUU KUHAP dimaksudkan untuk memperbaiki UU Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang waktu diundangkannya
dinyatakan sebagai “Karya Agung” yang menggantikan HIR (Herziene
Inlands Reglement). Penyempurnaan juga berhubungan dengan beberapa
konvensi internasional yang telah diratifikasi dan perbandingan dengan
Hukum Acara Pidana negara-negara maju, serta untuk lebih memberikan
kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan
masyarakat dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia bagi
tersangka, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum.

Beberapa hal baru yang akan penulis bahas sehubungan dengan


RUU KUHAP ini adalah :
A. Hakim Komisaris
Hakim komisaris dalam RUU KUHAP disebut sebagai hakim
pemeriksaan pendahuluan. Lembaga ini menggantikan pra peradilan
yang sekarang ada dalam KUHAP.
Keberadaan lembaga hakim pemeriksaan pendahuluan akan
menjadi “gawang” bagi semua acara dalam tahap pemeriksaan
pendahuluan. Dalam KUHAP yang kita kenal sekarang sebagai alat
kontrol terhadap kesalahan/ketidaktaatan penegak hukum dalam
melaksaanakan tahapan pemeriksaan pendahuluan akan dikontrol
melalui lembaga pra peradilan.
Praperadilan yang pada awalnya memberi harapan untuk tidak
lagi terjadi pelanggaran HAM di tingkat pemeriksaan pendahuluan
ternyata mengandung banyak kelemahan. Kelemahan tersebut adalah
sifat pasif dari lembaga praperadilan. Artinya pihak-pihak yang merasa
dirugikan akibat penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan
dan sah tidaknya penghentian penyidikan/penuntutan secara aktif harus
mengajukan permohonan praperadilan. Berdasarkan permohonan ini

3
hakim praperadilan akan memeriksa perkara tersebut. Kelemahan
lainnya adalah adanya ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan
praperadilan menjadi gugur pada saat pokok perkaranya masuk
persidangan. Hal ini cukup krusial karena mengandung banyak sekali
kelemahan yang sangat merugikan pemohon praperadilan.
RUU KUHAP mengakomodir masukan tentang penghapusan
lembaga praperadilan yang dipandang tidak efektif tersebut. Hakim
komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua
Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi Pengadilan Negeri
setempat. Masa jabatan hakim pemeriksa pendahuluan adalah dua
tahun. Dapat diangkat atau diperpanjang kembali hanya untuk satu kali
masa jabatan. Selama menjabat sebagai hakim, pemeriksa pendahuluan,
yang bersangkutan dibebaskan dari tugas sehari-hari sebagai hakim
Pengadilan Negeri.
Namun setelah masa jabatannya sebagai hakim pemeriksa pendahuluan
telah habis, maka yang bersangkutan dikembalikan kepada tugasnya di
Pengadilan Negeri semula.
Hakim komisaris berkantor di atau didekat rumah tahanan.
Hakim komisaris merupakan hakim tunggal yang dibantu oleh seorang
panitera dan beberapa orang staf sekretariat. Penetapan atau putusan
hakim pemeriksa pendahuluan tidak dapat diajukan upaya hukum
banding atau kasasi.
Dalam RUU KUHAP, hakim komisaris memiliki kewenangan
yang sangat luas sehingga bila dilihat sekilas “seolah-olah” mengurangi
kewenangan dan otoritas yang dimiliki oleh penyidik dan jaksa
penuntut umum. Namun sebenarnya tidaklah demikian karena lembaga
hakim komisaris ini diberikan kewenangan untuk menilai jalannya
penyidikan dan penuntutan. Kewenangannya memang jauh lebih luas
dan lebih aktif dibanding dengan lembaga praperadilan sebagaimana
yang ada saat ini. Dengan tujuan untuk dapat memberikan perlindungan

4
HAM baik bagi tersangka/terdakwa, korban maupun masyarakat yang
lebih besar.
Perihal panahanan pada tahap penyidikan tidak lagi sepenuhnya
menjadi hak dari penyidik, karena untuk melakukan penahanan
penyidik harus atas persetujuan penuntut umum sedang untuk
melakukan penahanan lanjutan harus mengajukan permohonon kepada
hakim komisaris. Demikian pula kewenangan penahanan oleh jaksa
penuntut umum juga dikurangi dan berpindah pada hakim komisaris.
Filosofinya adalah bahwa semua proses penegakan hukum harus dapat
dilakukan dengan cepat tetapi tanpa mengurangi kualitas dari tujuan
hukum acara yaitu mencari kebenaran materiil. Penahanan yang
berlarut-larut dapat dihindarkan.
Beberapa ijin dari pengadilan negeri yang saat ini dimiliki juga
berpindah pada hakim komisaris ini, yaitu ijin penggeledahan,
penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan. Hal ini
dimaksudkan agar hakim-hakim pengadilan lebih terfokus memeriksa
persidangan pidana nya saja. Untuk urusan yang berhubungan dengan
ijin-ijin dalam proses pemeriksaan pendahuluan menjadi wewenang
hakim komisaris.
Salah satu hal penting yang cukup bagus adalah diupayakannya
ada hubungan koordinasi yang “lebih mesra” antara penyidik dengan
penuntut umum. Paradigma yang selama ini terjadi adalah adanya
pandangan bahwa antara penyidik dan penunut umum terpisah tidak
dalam sistem yang berkesinambungan. Sehingga begitu SP3 seolah-
olah tugas kepolisian berakhir, apapun yang terjadi dengan perkara
tersebut sudah bukan urusan penyidik.
Dan hal paling sering menjadi permasalahan adalah periode
masa prapenuntutan, pada masa prapenuntutan yang seharusnya

5
menjadi jembatan koordinasi antara penyidik dan JPU justru sering
menjadi ajang adu “instansi sentries/fragmentaris’3
Adanya koordinasi dari awal hingga perkara disidangkan di
pengadilan (Jaksa penuntut umum masih bisa meminta kepada penyidik
untuk menambah penyidikannya) sebagaimana diatur dalam RUU
KUHAP akan mengurangi “instansi sentries/fragmentaris’ dan
egoisme sektoral pada kedua lembaga tersebut. Karena dalam
persidangan kedua lembaga ini akan berhadapan dengan terdakwa
beserta penasihat hukumnya.
Disamping itu dengan ketentuan tersebut dapat mengurangi
ketidakpastian dan hilangnya suatu perkara akibat proses bolak-balik
penyidik JPU (prapenuntutan) sebagaimana yang terjadi saat ini.

B. Penyelesaian di Luar Pengadilan


Penyelesaian di perkara diluar pengadilan, saat ini sudah dikenal
dalam hukum acara pidana. Penyelesaian diluar pengadilan biasa
disebut sebagai Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternative
penyelesaian sengketa.
ADR memberikan banyak keuntungan bagi para pihak, yaitu
lebih efisien waktu dan tentu saja biaya. Dalam lapang hukum pidana
penerapan ADR sebenarnya cukup jitu untuk mengurai penumpukan
beban kerja aparat penegak hukum dengan tanpa mengurangi asas
kepastian hukum. Sebagai contoh konkrit bagaimana kasus Mbok
Minah yang didakwa mencuri 5 butir biji kakao mendapat reaksi keras
dari masyarakat atas disidangkannya kasus ini, kasus bu Nanik Teluk,
pencurian sandal jepit dan sebagainya. Masyarakat mengecam pihak

3
Istilah ini dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, 2009, Bunga Rampai Potret
Penegakan Hukum di Indonesia, Edisi IV, Tanpa Penerbit. Hlm. 18. Pembahasan
lebih lanjut mengenai “instansi sentries/fragmentaris’ dan ego sektoral dapat
dibaca pada buku Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
2012, Hibnu Nugroho, Penerbit Media Prima Aksara, Jakarta.

6
kepolisian, kejaksaan dan bahkan pengadilan. Dari sisi penegak hukum
sendiri dalam menangani kasus yang demikian mengalami dilema, tidak
dilanjutkan dapat dikenakan praperadilan, dilanjutkan sebenarnya tidak
efisien dan tidak sebanding dengan jumlah kerugian.
Jika melihat dari sejarahnya, upaya alternative penyelesaian
perkara pidana ini sudah jauh diberlakukan sebelum Indonesia merdeka,
tepatnya pada masa kolonial Belanda. Proses yang dilakukan dikenal
dengan Afdoening Buiten Process (Penyelesaian perkara di luar
pengadilan). Di dalam KUHPidana, penyelesaian di luar pengadilan
diatur di dalam Pasal 82 KUHPidana yang disebut dengan Afkoop, yang
menyatakan, bahwa kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam
dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar
maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau
penuntutan telah dimulai. Oleh Jan Remmelink, Afkoop tersebut disebut
juga dengan compositie.4
Dalam RUU KUHAP Pasal 42 ayat (2) diatur bahwa penuntut
umum demi kepentingan umum dan/atau alasan tertentu menghentikan
penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Dalam ayat (3) nya
disebutkan mengenai syarat-syarat untuk dihentikannya penuntutan
adalah :
1. Tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
2. Tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana
penjara paling lama 4 (tahun);
3. Tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana
denda;

4
Altenatif peneyelesaian perkara pidana, http://te-effendi-
pidana.blogspot.com/2011/10/alternatif-penyelesaian-perkara-pidana.html. Diakses
tanggal 27 Sept 2013.

7
4. Umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas
tujuh puluh tahun; dan/atau
5. Kerugian sudah diganti.

Penyelesaian melalui jalur ini memungkinkan korban


mendapatkan kembali hak-haknya dengan lebih cepat dan tepat.
Sebenarnya penyelesaian semacam ini ditingkat penyidikan sudah
dilakukan, hal ini mendasari pada Surat Kapolri Nomor: B/ 3022/ XII/
2009/ Sdeops, tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus
melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) menjadi pedoman bagi
penyidik untuk memberlakukan alternative penyelesaian perkara
sebelum dilakukan proses pidana. Menurut Surat Kapolri tersebut,
penegakan hukum terkait dengan penanganan perkara pidana yang
mempunyai kerugian materi/ ekonomi sangat kecil, penyelesaiannya
dapat diarahkan melalui konsep ADR. Penyelesaian perkara melalui
konsep ADR tersebut harus disepakati oleh pihak-pihak yang
berperkara, namun apabila tidak terjadi kesepakatan baru diselesaikan
sesuai prosedur hukum yang berlaku. Namun, walaupun Surat Kapolri
tersebut mengatur tentang konsep ADR sebagai alternative
penyelesaian perkara pidana, namun tidak dijelaskan perkara apa
sajakah yang dapat diterapkan konsep ADR tersebut.5
Salah satu hal baik yang dapat dipetik dari cara penyelesaian
ADR ini adalah dapat menghindarkan pelaku masuk Lembaga
Pemasyarakatan. Karena hingga saat ini dalam faktanya kita melihat
bahwa LP yang diharapkan dapat memperbaiki perilaku terpidana pada
kenyataannya justru sebaliknya. Masyarakat bisa melihat berbagai
berita dimedia masa bagaimana LP dengan segala keterbatasannya
justru menjadi pabrik ekstasi, bahkan ada narapidana yang meninggal
karena over dosis dan perkelahian antar napi yang beberapa kali terjadi

5
Ibid.

8
diberbagai lembaga pemasyarakat di Indonesia akibat kelebihan
kapastias penghuni. Hal ini memperlihatkan kegagalan program LP
yang seharusnya bisa menjadi tempat pendidikan dan membekali para
mantan napi untuk menjadi manusia yang lebih berguna.
Dengan sifat hukum pidana sebagai ultimum remedium, maka
pemidanaan diupayakan sebagai cara terakhir selama ada cara lain yang
dipergunakan dan cara tersebut dapat mencapai tujuan berupa
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
Adanya penyelesaian perkara di luar persidangan tentunya akan
menyelesaikan konflik yang terjadi akibat tindak pidana tersebut karena
ketika kedua pihak yaitu pelaku dan korban telah berdamai maka
dengan sendirinya akan membebaskan rasa bersalah pada terpidana
karena dari pihak korban telah memaafkan terpidana. Rasa damai dalam
masyarakat dapat tercapai dan dikembalikan dalam kondisi semula
seperti pada saat sebelum terjadinya tindak pidana

C. Jalur Khusus
Jalur khusus dalam RUU KUHAP tampaknya diadopsi dari
lembaga plea bargaining yang dikembangkan dalam criminal justice
system negara-negara yang termasuk keluarga hukum Anglo Saxon,
khususnya di Amerika Serikat. Lembaga plea bargaining ini
menawarkan kepada terdakwa jalur yang tidak begitu rumit dan
penerapan ketentuan pidana yang lebih ringan apabila terdakwa
mengaku bersalah serta mengakui perbuatannya.6

6
Nyoman Serikat Putra Jaya, Catatan Atas RUU KUHAP,
http://nasional.kompas.com/read/2013/04/25/02044788/Catatan.atas.RUU.KUHAP,
diakses tanggal 27 Sept 2013.

9
Jalur khusus ini dilakukan sebagai upaya untuk menghargai
pengakuan terdakwa dalam persidangan. Walaupun tidak mutlak (hanya
apabila hakim setuju) namun hal ini cukup dapat mempercepat jalannya
persidangan dan memberikan “penghargaan” atas kejujujuran (dalam
bentuk pengakuan) bagi si terdakwa.
Dalam RUU KUHAP diatur, pada saat JPU membacakan surat
dakwaan, terdakwa bisa mengakui semua dakwaan yang ditujukan
kepadanya dan kemudian terdakwa juga mengaku bersalah, dengan
catatan bahwa ancaman hukum bagi tindak pidana yang didakwakan
tidak lebih dari 7 tahun penjara, maka pada saat itu JPU dapat
melimpahkan perkara ke sidang pemeriksaan singkat.
Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa apabila dia ragu-
rahu/tidak takin pada pengakuan terdakwa maka hakim akan meminta
JPU untuk mengajukan pada sidang pemeriksaan biasa. Apabila hakim
menyetujui maka pidana yang dijatuhkan pada terdakwa tidak boleh
melebihi 2/3 dari maksimum ancaman.
Jalur ini lebih memberikan keringanan secara nyata pada
terdakwa dibandingkan apa yang saat ini biasa terjadi, saat ini
penghargaan kepada kejujuran terdakwa biasa hanya bersifat
“formalitas” yaitu disebut oleh JPU dalam tuntutan dalam “hal yang
meringankan” biasanya akan disebut terdakwa berkata jujur dan tidak
berbelit-belit dalam persidangkan dan akan disurutkan dengan terdakwa
belum pernah dihukum dan seterusnya. Hal-hal yang meringankan ini
tidak dapat diketahui dengan pasti seberapa besar pengaruhnya (secara
konkrit) dalam mengurangi tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU.
Dalam jalur khusus ini jauh lebih nyata yaitu pidana yang
diajatuhkan pada terdakwa tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum
ancaman.

10
D. Alat Bukti
Dalam RUU KUHAP, ketentuan mengenai alat bukti mengalami
perkembangan dibanding dengan ketentuan KUHAP saat ini. Dalam
ketentuan Pasal 175 RUU KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang
sah mencakup :
a. Barang bukti
b. Surat-surat
c. Bukti elektronik
d. Keterangan seorang ahli
e. Keterangan seorang saksi
f. Keterangan terdakwa
g. Pengamatan hakim.

Yang baru sebagai alat bukti adalah “barang bukti”, dalam pasal
selanjutnya yang dimaksud sebagai barang bukti adalah alat atau sarana
yang dipakai untuk melakukan tindak pidana atau yang menjadi obyek
tindak pidana atau hasilnya atau bukti fisik atau materiel yang dapat
menjadi bukti dilakukannya tindak pidana. Dengan kata lain barang
bukti adalah bukti yang sungguh-sungguh, contohnya ada mayat, ada
pisau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dan sebagainya.
Bukti elektronik juga telah masuk menjadi salah satu alat bukti,
dengan demikian kegamangan yang saat ini masih terjadi atas
keabsahan alat bukti elektronik dapat dihilangkan setelah berlakunya
RUU KUHAP ini.
Tata urutan alat bukti yang tidak meletakan keterangan saksi
pada urutan pertama, mengandung maksud bahwa jangan sampai terjadi
suatu tindak pidana dianggap tidak ada akibat ketiadaan saksi. Dengan
tata urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 175 RUU KUHAP tersebut
maka cukup dengan adanya barang bukti maka sudah dapat disebut ada
suatu tindak pidana dan dapat dilakukan proses.

11
E. Upaya Hukum
Tentang upaya hukum kebaruan yang ada berupa semua perkara
untuk melakukan upaya hukum harus melalui prosedur banding
(pengadilan Tinggi) baru kemudian pada tahap selanjutnya melakukan
kasasi kepada Mahkamah Agung. Dan putusan MA tidak menyangkut
mengenai fakta atau pembuktian melainkan mengenai penerapan
hukum.
Salah satu hal baru adalah berupa “konklusi”, ketentuan tersebut
dapat dibaca pada Pasal 234 RUU KUHAP.
(1)Sebelum pengadilan tinggi memutus perkara banding tindak pidana
korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme, pencucian
uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, pembacaan
konklusi7 dilakukan oleh kepala Kejaksaan Tinggi.
(2)Ketua pengadilan tinggi memberitahukan kepada kepala kejaksaan
tinggi mengenai waktu pembacaan konklusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3)Dalam hal kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, pembacaan
konklusi dilakukan oleh wakil kepala Kejaksaan Tinggi atau salah
seorang asisten Kejaksaan Tinggi yang ditunjuknya.
(4)Konklusi kepala Kejaksaan Tinggi menjadi salah satu pertimbangan
putusan pengadilan tinggi.

Istilah konkulsi tidak diberikan pengertiannya dalam RUU


KUHAP. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konklusi mempunyai
pengertian sebagai kesimpulan atau pendapat.8
Kewajiban membuat konklusi dibebankan kepada Kepala
Kejaksaan Tinggi. Namun demikian konklusi ini hanya dilakukan
terhadap perkara-perkara khusus yaitu korupsi, pelanggaran berat
HAM, terorisme, pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan
negara. Kewajiban ini cukup penting mengingat konklusi akan menjadi
pertimbangan majelis hakim banding dalam memutus perkara. Sebagai
konsekuensi adanya acara pembacaan konklusi maka berarti terhadap

7
Huruf tebal ditandai oleh penulis
8
WJS. Poerwadarminta , 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka. Hlm. 519.

12
perkara-perkara tersebut diatas acara persidangan pada pengadilan
banding bersifat terbuka seperti pada persidangan di pengadilan negeri.
Upaya hukum PK dalam RUU KUHAP dapat diajukan dengan
alasan novum atau putusan yang saling bertentangan. Sehingga apabila
dalam praktik nantinya benar-benar terjadi kekeliruan penerapan hukum
yang berakibat terdakwa dijatuhi pidana yang lebih berat maka upaya
yang dilakukan berupa grasi kepada presiden. Dan grasi diajukan oleh
Jaksa Agung mewakili masyarakat.
PK terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum
tidak dapat diajukan PK.

F. Saksi Mahkota
Selama ini pemahaman mengenai saksi mahkota sering
mendapat penfsiran yang keliru. Saksi mahkota sering diartikan jika
sesama terdakwa saling bersaksi terhadap terdakwa yang lain dalam
satu tindak pidana.
Saksi mahkota sebenarnya memiliki pengertian bahwa apabila
salah seorang tersangka/terdakwa yang paling ringan perannya dalam
tindak pidana terorganisasikan yang bersedia mengungkapkan tindak
pidana tersebut. Dan untuk jasanya tersebut dia akan dikeluarkan dari
daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan saksi.
Dalam RUU KUHAP yang menentukan kedudukan sebagai
saksi mahkota adalah JPU. Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya9 RUU
KUHAP melalui Pasal 200 mengadopsi pemikiran yang berkembang
di masyarakat bahwa dalam tindak pidana tertentu yang melibatkan
beberapa orang pelaku, seperti dalam perkara korupsi, salah seorang
di antaranya dapat dijadikan justice collaborator. Saksi mahkota
selama ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia, di mana
seorang terdakwa bisa menjadi saksi atau terdakwa yang lain dan

9
Nyoman Serikat Putra Jaya, Op.Cit

13
begitu sebaliknya. Berarti pada saat menjadi terdakwa boleh
mengingkari/berbohong, tetapi pada saat menjadi saksi tidak boleh
berbohong atau memberikan kesaksian palsu.

G. Penyadapan
Permasalahan mengenai penyadapan dipandang cukup krusial,
mengingat selama ini menilai penyadapan merupakan salah satu alat
bukti yang sangat tangguh untuk membuktikan terjadinya tindak
pidana korupsi atau pencucian uang.
Hasil penyadapan selama ini baru dapat disaksikan/didengarkan
pada persidangan di pengadilan Tipikor. Bagi pihak-pihak yang
“berkepentingan” pembuktian dengan cara penyadapan dinilai cukup
menakutkan sehingga pembahasan mengenai hal ini cukup tarik ulur.
RUU KUHAP memang mengatur masalah penyadapan dalam
Pasal 83 ayat (1), yang berbunyi :
Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat
telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap
pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga
keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat
diungkap jika tidak dilakukan penyadapan.

Penyadapan hanya bisa dilakukan terhadap 20 tindak pidana


yang masuk dalam katagori serius, yaitu : tindak pidana terhadap
Keamanan negara; perampasan kemerdekaan/Penculikan; pencurian
dengan kekerasan; pemerasan; pengancaman; perdagangan orang;
penyelundupan; korupsi; pencucian Uang; pemalsuan uang;
keimigrasian; mengenai bahan peledak dan senjata api; terorisme;
pelanggaran berat HAM; psikotropika dan narkotika; dan
pemerkosaan.
Proses untuk mendapatkan ijin penyadapan dalam RUU
KUHAP cukup “ribet” sehingga sebenarnya cukup dapat
menghilangkan eksistensi dari tujuan penyadapan. Untuk melakukan

14
penyadapan maka penyidik harus mendapat ijin dari hakim komisaris.
Dan hakim komisaris dapat menolak permohonan ijin penyadapan
tersebut.
Proses perijinan ini tentu saja juga berlaku bagi penyidik KPK,
selama ini kinerja KPK dalam tahap penyelidikian dapat dikatakan
sangat rahasia namun hasilnya cukup signifikan. Tidak dapat
dibayangkan apabila nantinya pada saat harus mengajukan ijin kepada
hakim komisaris saja telah terjadi kebocoran informasi. Tentu akan
sangat sia-sia. Padahal sebagaimana kita ketahui tindak pidana korupsi
juga bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk penegak hukum.

E. Penutup
Dari apa yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. RUU KUHAP telah mencoba, memperhatikan perkembangan
dinamika masyarakat dan dinamika perkembangan hukum
diberbagai negara untuk diadopsi disesuaikan dengan dinamika
kejahatan dan perkembangan masyarakat Indonesia, yaitu adanya
Hakim pemeriksaan pendahuluan (Hakim Komisaris) , penyadapan,
ADR, jalur khusus, alat bukti, saksi mahkota dan upaya hukum.
2. Kebaruan RUU KUHAP telah menselaraskan asas-asas hukum
acara pidana, landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dalam
kerangka mencari kebenaran materiil, demi mewujudkan cita-cita
bersama terwujudnya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

F. Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 2009, Bunga Rampai Potret Penegakan
Hukum di Indonesia, Edisi IV, Tanpa Penerbit

15
Effendi T, Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana, diakses dari :
http://te-effendi-pidana.blogspot.com/2011/10/alternatif-penyelesaian-
perkara-pidana.html

Nugroho, Hibnu. 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana


Korupsi di Indonesia, Penerbit Media Prima Aksara, Jakarta.

Poerwadarminta , WJS. 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia.


Jakarta : Balai Pustaka

Putra Jaya, Nyoman Serikat. Catatan Atas RUU KUHAP,


http://nasional.kompas.com/read/2013/04/25/02044788/Catatan.atas.R
UU.KUHAP,

Naskah Rancangan KUHAP 2013.

Majalah Desain Hukum Vol 13 nomor 4, Bulan Mei tahun 2013 ,


Newsletter KHN.

16

Anda mungkin juga menyukai