Anda di halaman 1dari 6

NAMA : PUTRI DWI FITRIANI

NIM : 132011101011
SMF ILMU KESEHATAN MATA PERIODE MEI 2017
Judul Jurnal Penatalaksanaan bedah dermoids limbal kornea: studi
retrospektif terhadap teknik yang berbeda dan penggunaan
Mitomycin C

(Surgical management of corneal limbal dermoids:


retrospective study of different techniques and use of
Mitomycin C)

Lang SJ, Bohringer D, dan Reinhard T

Department of Ophtalmology, University Eye Hospital


Freiburg, Freiburg im Breisgau, Germany

Dikirim : 13 Mei 2013; Diterima : 14 April 2014;


Diterbitkan 23 mei 2014 oleh Macmillan Publishers.

Latar Belakang  Limbal dermoid merupakan tumor kornea limbus


yang paling sering. Tumor ini paling banyak terletak
pada regio epibulbar.
 Epibulbar dermoid terbagi menjadi 3 grade :
1. Grade I : Lesi dari limbal atau epibulbar dermoid
berada di lapisan superfisial dan memiliki ukuran
< 5mm.
2. Grade II : Lesi dari limbal atau epibulbar
dermoid berada pada stroma kornea dan
menembus membran descement. Berukuran lebih
besar dari grade I.
3. Grade III : Limbal dermoid sudah mengenai
seluruh kornea dan stuktur anterior chamber.
 Indikasi pengangkatan dari limbal dermoid bukan
hanya dari sisi kosmetik, dari sisi penurunan visus,
astigmatisme kornea, kemungkinan terjadi
anisometropi ambliopia pada anak-anak dan iritasi
serta terjadi opacifikasi kornea juga menjadi indikasi
pengangkatan limbal dermoid.
 Tehnik dari pengangkatan limbal dermoid : Bare-
excision, Transplantasi amniotik membran dan
Lamellar Keratoplasty.
 Resiko utama pada teknik operasi eksisi adalah
perforasi intraoperasi, epitelial defek postoperasi,
dan vaskularisasi kornea perifer. Sedangkan pada
teknik lamellar keratoplasty dapat memperbaiki visus
tetapi juga memiliki resiko meningkatkan
astigmatisme kornea.
 Untuk menghindari terjadinya jaringan parut dan
konformasional dari kornea, ada dua kemungkinan
berbeda yang telah dijelaskan :
1. Menutupi defek dengan cara menggabungkan
teknik operasi eksisi dengan memindahkan
jaringan lain pada permukaan kornea.
2. Penggunaan Mitomycin C yang merupakan
antitumor antibiotik yang pertama diisolasi dari
Streptomyces caespitosus pada tahun 1958.
Tujuan Untuk melihat efisiensi dan keamanan dari beberapa
tindakan operasi untuk mengobati limbal dermoid pada
pasien pediatri dengan memperhatikan komplikasi
intraoperasi dan postoperasi.
Metodelogi Subyek :
Terdapat 14 mata dari 12 pasien pediatri yang sudah
mengalami operasi pengangkatan dari limbal dermoid.
Pasien laki-laki sebanyak 7 orang dan perempuan 5 orang.
Terdapat 3 pasien yang memiliki diagnosis Goldenhar
syndrom. Ada 13 limbal dermoid terletak pada kuadran
temporal inferior pada mata dan satu limbal dermoid di
kuadran superior. Seluruh limbal dermoid tergolong grade I.
Bahan dan Metode :
 Indikasi operasi pada 3 pasien adalah ukuran
dermoid yang makin membesar.
 Indikasi operasi pada 2 pasien lainnya adalah
meningkatnya astigmatisme dan memburuknya
visual.
 Indikasi operasi pada 7 pasien sisanya adalah
ketidaknyamanan pada mata yang terkena.
 Evaluasi preoperasi yaitu mengukur kemampuan
visual, pemeriksaan slit-lamp dan oftalmoskopi.
 Teknik operasi dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
1. Kelompok 1 : 11 mata (7 mata dengan teknik
eksisi lamellar dan 4 mata dengan teknik
transplantasi amniotik membran). Usia rata-rata
dilakukan operasi adalah 4,4 tahun.
2. Kelompok 2 : 3 mata dengan teknik
menambahkan Mitomycin C 0,02 %. Satu mata
dari kelompok ini memiliki transplantasi
amniotik membran tambahan. Usia rata-rata
dilakukan operasi adalah 4,4 tahun.
 Pengobatan postoperasi yang diberikan adalah tetes
mata antibiotik dan air mata buatan sampai terjadi
re-epitelisasi. Jahitan dibuka setelah 2 minggu paska
operasi. Hasil dari eksisi limbal dermoid dikirimkan
ke bagian histopatologi.
 Evaluasi komplikasi postoperasi dengan cara
memperkirakan jenis pseudopterygium
menggunakan metode Kaplan-Meier. Selain itu juga
dilihat perbedaan yang signifikan dari jenis
pseudopterygium antara pengobatan Mitomycicn C
dan kelompok lainnya menggunakan log-rank test.
Hasil  Tidak terlihat perbedaan secara statistik pada
perbedaan umur disetiap kelompok (P=0.344). Tidak
ditemukan adanya komplikasi intraoperasi. Dan
pengangkatan limbal dermoid tercapai kecuali pada
satu mata.
 Reepitelialisasi terbentuk pada 1 minggu paska
operasi. Hasil dari histopatologi merupakan solid
limbal dermoid pada semua kasus.
 Evaluasi komplikasi postoperasi dilakukan pada
pasien yang di follow-up dari bulan ke-2 hingga ke-
53. Rata-rata dari follow-up adalah 17 bulan.
 Komplikasi Pseudopterygium paska operasi
ditemukan pada 4 mata di kelompok 1 yang
mengalami defisiensi sel induk limbal dalam 2-16
bulan. Satu dari mata dilakukan bare-excision dan 3
mata lainnya pernah mengalami transplantasi
amniotik membran. Sedangkan komplikasi
Pseudopterygium paska operasi tidak ditemukan
pada mata yang diobati dengan Mitomycin C.
 Pada log-rank test tidak menunjukan berbeda
signifikan pada setiap kelompok (P=0.053). Rata-rata
dari kemampuan visual adalah 0.21 logMAR pada
kelompok 1 dan 0.0 logMAR pada kelompok 2.
Tidak ada perbedaan secara statistik (P=0.18).
Kejadian astigmatisme postoperasi menunjukan
angka -0.25 D pada kelompok 1 dan -4.25 D pada
kelompok 2. Dan tidak menunjukan perbedaan
secara statistik (P=0.56).
Pembahasan  Metode yang sering digunakan pada kasus limbal
dermoid adalah operasi eksisi pada massa.
 Penggunaan transplantasi amniotik membran pada
defek konjungtiva dilakukan karena menghasilkan
proses reepitelialiasasi yang baik dan mencegah
terjadinya inflamasi postoperasi, neovaskularisasi
dan terjadinya fibrosis.
 Tindakan operasi yang hanya melakukan eksisi pada
limbal dermoid dapat menyebabkan terjadinya
defisiensi sel induk limbal, maka dari itu disertai
dengan penggunaan transplantasi amniotik membran.
 Penggunaan Mitomycin C selama dilakuakn
limbokeratoplasti pada defisiensi sel induk
memberikan hasil yang baik. Dari hasil hipotesis,
mitomycin C dapat menghambat pertumbuhan
fibroblas dan terjadinya pseudopterygium atau
neovaskularisasi kornea.
 Komplikasi terjadinya defisiensi sel induk limbal
pada mata yang mendapatkan transplantasi amniotik
membran terjadi pada 3 mata dari 4 mata yang
diberikan terapi. Defisiensi sel induk limbal dapat
menyebabkan terjadinya pseudopterygium.
 Semua mata yang diberikan Mitomycin C tidak
menimbulkan komplikasi terjadinya
pseudopterygium. Maka dari itu harus diteliti lebih
jauh tetang efek menguntungkan dari Mitomycin C
yang dapat menghambat formasi pesudopterygium.
 Dari keseluruhan hasil, menunjukan bahwa
Mitomycin C dapat menghilangkan limbal dermoid
dan dapat menjadi terapi pilihan pada kasus limbal
dermoid.
Kesimpulan  Kasus tumor limbus kornea sangat jarang terjadi.
Limbal dermoid merupakan jenis tumor yang paling
umum. Teknik operasi yang biasa digunakan adalah
bare-excision namun sering terjadi komplikasi
pseudopterygium paska operasi yang disebabkan
karena defisiensi sel induk limbal. Transplantasi
amniotik membran baru-baru ini dijelaskan dapat
mencegah terjadinya komplikasi paska operasi.
 Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa,
penggunaan transplantasi amniotik membran tidak
dapat mencegah terjadinya pseudopterygium paska
operasi. Dengan ditambahkannya penggunaan
Mitomycin C pada intraoperasi menunjukan hasil
yang menghambat terjadinya pesudopterygium.
Kemungkinan Mitomycin C memiliki efek
perlindungan yang berkaitan dengan terjadinya
pseudopterygium. Maka dari itu harus dilakukan
penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai