Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH BIOFARMASI

FASE FARMAKOKINETIK

Disusun oleh :

RENY AFRYLYANY A 161 109


JENISTA BUDIMAN A 161 092
NUR AFIFAH A 161 110
AGITA NOVIANTI A 161 079
MARIA LAURENTIA A 161 106
RAMADHINA SALSABILA P A 161 094
ASTIARI ARDINI A 173 045
Anita A A 183 003
Dhia Larissa A A 183 008
Lovelyta Barani A A 183 021
Rina Mardyah Simanjuntak A 183 036

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
BANDUNG
2018
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam tubuh
pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena fisikokimia yang
terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik ini merupakan salah satu
unsur penting yang menentukan profil keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan
selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik obat (Aiache, 1993).
Aktivitas serta toksisitas suatu obat tergantung pada lama keberadaan dan
perubahan zat aktif didalam tubuh (Aiache, 1993). Menurut Shargel (1988), bahwa
intensitas efek farmakologik atau efek toksik suatu obat seringkali dikaitkan dengan
konsentrasi obat pada reseptor, yang biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan. Oleh
karena sebagian besar sel-sel jaringan diperfusi oleh cairan jaringan atau plasma, maka
pemeriksaan kadar obat dalam plasma merupakan suatu metode yang sesuai untuk
pemantauan pengobatan.
Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa
dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma
dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Dengan demikian pemantauan
konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara
individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 1988).
Tanpa data farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hampir tidak berguna
untuk penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan modelfarmakokinetik
yang kemudian diuji kebenarannya, dan selanjutnya diperoleh parameter-parameter
farmakokinetiknya (Shargel, 1988).
Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih teliti
tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons farmakologik. Model
kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan kadar obat dalam
plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan kadar obat dalam jaringan.
Tetapi model ini tidak menganggap bahwa konsentrasi obat dalam tiap jaringan
tersebut adalah sama dengan berbagai waktu. Disamping itu, obat didalam tubuh juga
tidak ditentukan secara langsung, tetapi dapat ditentukan konsentrasi obatnya dengan
menggunakan cuplikan cairan tubuh (Shargel, 1988).
Saat ini telah tersedia data farmakokinetik obat, yang meliputi berbagai
parameter farmakokinetik, yaitu bioavailabilitas oral, volume distribusi, waktu paruh
dan bersihan (clearance) dalam keadaan fisiologik maupun patologik. Dimana kondisi
fisiologik dan kondisi patologik ini dapat menimbulkan perubahan pada parameter
farmakokinetik obat (Setiawati, 2007).
Data farmakokinetik ini sangat penting untuk semua jenis obat terutama untuk
obat yang lazim dikonsumsi masyarakat. Karena kemungkinan besar konsumsi obat
yang terlalu sering akan menimbulkan toksisitas serta efek samping yang beresiko
terhadap kelanjutan penyakit. Prinsip dan data farmakokinetik sangatlah penting
diketahui oleh seorang dokter agar dapat menetapkan regimen dosis yang optimal bagi
masing-masing pasiendengan berpedoman pada kadar obat dalam plasma atau serum.
Menurut Setiawati (2007).

1.2 Rumusan Masalah


Faktor apa saja yang dipengaruhi oleh disintegrasi pada tubuh?
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai salah
satu topik yang tercakup dalam farmakologi yaitu mengenai farmakokinetik dan tahap
proses obat dalam tubuh.
BAB II
ISI PEMBAHASAN

2.1 Deskripsi Sifat Kerja Obat


Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat tidak
menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah fungsi
fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari pengaruh agents kimia lain, meningkatkan
fungsi sel, atau mempercepat atau memperlambat proses kerja sel. Obat dapat
menggantikan zat tubuh yang hilang (contoh, insulin, hormon tiroid, atau estrogen).

2.2 Mekanisme Kerja Obat


Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau
dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah
zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung).
Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat
sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling
umum ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat
reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan
reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling
berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki
kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada
preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi),
farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase
farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane
biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramusscular, atau intravena,
maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari
empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan
ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau
fisiologis.

2.3 Fase Farmakokinetika


Farmakokinetik adalah ilmu tentang cara obat masuk ke dalam tubuh, mencapai
tempat kerjanya, dimetabolisme, dan keluar dari tubuh. Dokter dan perawat
menggunakan pengetahuan farmakokinetiknya ketika memberikan obat, memilih rute
pemberian obat, menilai resiko perubahan keja obat, dan mengobservasi respons klien.
Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah :

A. Absorpsi
Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari konsentrasi tinggi
dari saluran gastrointestinal ke dalam cairan tubuh melalui absorpsipasif,
absorpsi aktif, rinositosis atau pinositosis. Absorpsi aktif umumnya terjadi
melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk bergerak melawan
konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan
proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan,
makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor,
atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang
padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung,
sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi
aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga
menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute
pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi. Setiap rute
pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat,
bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat
kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran nafas
mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan
permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus
melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara
keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling
cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada
bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam
bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk
dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada
sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung
dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus
halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah
diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek
lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan
kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat
karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam
pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada
suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi,
perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau
jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot
memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat
yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada
obat yang disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan
yang lambat lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama.
Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute
pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena
menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan.
Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke
duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida
membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati
lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan
tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan
pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu tidak
larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam saluran
cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan.
Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda,
berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan
tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup.
Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi
obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di
dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat
ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi
oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap
obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin,
natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama
makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat
mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh
karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum
makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat,
perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau
berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.

B. Distribusi
Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh
dan jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah (dinamika
sirkulasi), afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, berat dan
komposisi badan, dan efek pengikatan dengan protein. Satu parameter yang
penting adalah mengenai volume distribusi (Vd). Volume distribusi adalah
suatu volume yang mengandung sejumlah obat pada cairan-cairan tertentu di
dalam tubuh (volume hipotesis penyebaran obat dalam cairan tubuh). Volume
distribusi menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan konsentrasi obat
(C) dalam darah atau plasma.
Jumlah obat di dalam tubuh
Vd ∶
𝐶
Obat–obat yang memiliki volume distribusi yang sangat tinggi mempunyai
konsentrasi yang lebih tinggi di dalam jaringan ekstravaskular daripada obat-
obat yang berada dalam bagian vaskular yang terpisah, yakni obat-obat tersebut
tidak didistribusikan secara homogen. Sebaliknya, obat-obat yang dapat
bertahan secara keseluruhan di dalam bagian vaskular yang terpisah, pada
dasarnya mempunyai kemungkinan minimum Vd yang sama dengan komponen
darah di mana komponen-komponen tersebut didistribusi.

C. Metabolisme
Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat
diinaktifkan oleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah menjadi metabolit
inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat
ditransformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan respons
farmakologik, penyakit-penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis,
mempengaruhi metabolisme obat.
Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu yang
dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan
eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi
hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat
dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka
dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90%
obat itu dieliminasi. Proses alternatif yang memiliki kemungkinan menuju pada
penghentian atau perubahan aktivitas biologis adalah metabolisme. Peran
metabolisme dalam inaktivasi obat-obat larut lemak cukup luar biasa. Jika obat
memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan
beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu
paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik,
karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
Dalam hal tertentu, sebagian besar biotransformasi metabolik terjadi pada
suatu tahap diantara penyerapan obat ke dalam sirkulasi umum dan eliminasi
melalui ginjalnya. Beberapa transformasi terjadi di dalam lumen usus atau
dinding usus. Secara umum, semua reaksi ini dapat dimasukkan dalam satu dari
dua kategori utama yang disebut reaksi-reaksi fase I dan fase II. Metabolisme
yang terjadi di usus halus harus diperhitungkan pada saat pemberian obat secara
oral oleh karena isoform enzim sitokrom P450 (CYP3A4) banyak dijumpai
dalam usus halus. Dapat dikatakan bahwa metabolime merupakan proses awal
dari ekskresi.

D. Eksresi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru- paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas yang
tidak berkaitan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui urin.
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.
Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah.
Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika
seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat
diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah
yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
Eliminasi obat dari tubuh meliputi proses-proses yang terjadi di dalam
ginjal, paru, hati dan organ lainnya. Dengan membagi laju eliminasi pada setiap
organ dengan konsentrasi obat yang menuju pada organ menghasilkan klirens
pada masing-masing organ tersebut. Kalau digabungkan, klirens-klirens yang
terpisah ini sama dengan klirens sistemik total. Dua lokasi utama eliminasi obat
adalah kedua ginjal dan hati. Klirens dari obat yang tidak berubah di dalam
urine menunjukkan klirens ginjal. Di dalam hati, eliminasi obat terjadi melalui
biotransformasi obat induk pada satu metabolit atau lebih, atau ekskresi obat
yang tidak berubah ke dalam empedu atau kedua-duanya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam mencapai kerja maksimal, obat memerlukan beberapa tahap. Yakni


tahap farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Sebelum obat benar-benar
diserap oleh tubuh, obat perlu diubah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil.
Masing-masing obat tidak akan mempunyai waktu perubahan yang berbeda-beda.
Tergantung kandungan obat itu sendiri. Karena beberapa obat tidak 100% obat. .
Keadaan asam-basa urin juga berpengaruh di dalam perubahan partikel obat tersebut.

Setelah obat mencapai kerja obatnya, obat akan dimetabolasi menjadi bentuk
yang tidak aktif, sehingga lebih mudah untuk diekskresi. Setelah dimetabolisasi, obat
akan keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru-paru, dan kelenjar eksokrin.
Struktur kimia sebuah obat akan menentukan organ yang akan mengekskresinya.
DAFTAR PUSTAKA

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC
Kee Joyce L. Dan Hayes Evelyne R.1996. Farmakologi. Jakarta: EGC
Santoso B. Farmakokinetika klinik. Cermin Dunia Kedokteran No 37. 1985
Katzung BG. Basic principle. 10th ed. Basic and Clinical Pharmacology. McGraw
Hill.San Fransisco.2006

Anda mungkin juga menyukai