Disusun Oleh :
Muhammad Zamzami
16102038
Akuntansi
2016
Universitas Trilogi
Berikut ini merupakan program – program pemerintah desa dalam pemberdayaan masyarakat
:
Pada saat sekarang ini sangat banyak program -program yang ditujukan pada masyarakat
dengan label pemberdayaan masyarakat. Program-program ini bersumber dari pembiayaan
negara yang dikelola oleh pemerintah maupun dari sumber-sumber yang berasal dari luar negeri
yang biasanya dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Program dengan
pendekatan partisipatoris dalam rangka pemberdayaan masyarakat ini mencoba untuk
mendudukkan masyarakat menjadi pelaku sentral dari program. Pendekatan ini mencoba untuk
memperbaiki pola-pola lama yang berlaku pada program pembangunan pada era dulu dimana
masyarakat hanya menjadi objek semata.
Pada pola lama, semua program masih bersifat top down. Semua pengelolaan program
dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari perencananan, pelaksanaan sampai monitoring dan
evaluasi. Masyarakat tidak dilibatkan sama sekali sehingga tidak mendapatkan pengalaman
mengelola dari program yang ada. Masyarakat tinggal terima beres sebagai penerima manfaat.
Padahal dampak dari program yang dilakukan, masyarakat lah yang akan merasakannya.
Dalam beberapa review dan evaluasi yang dilakukan oleh beberapa kalangan, ada beberapa
kritik dari pola lama yang dilakukan dalam menjalankan program pembangunan. Diantaranya
adalah, Pertama, sering kali program yang dilakukan kurang tepat sasaran baik dari bentuk
program maupun target sasaran yang dituju. Ini dikarenakan masyarakat tidak dilibatkan dalam
perencanaan dan pemilihan sasaran. Kedua, kurangnya rasa handarbeni (baca: memiliki) dari
masyarakat terhadap hasil-hasil yang dicapai program.
Tentu itu menjadi kritik klasik. Maka sekarang pedekatan program telah diubah dengan
menggunakan pendekatan bottom up di mana seluruh program pembangunan diusahakan
berangkat dari bawah. Artinya masyarakat akan dilibatkan sejak awal dalam perencanaan dan
tahapan-tahapan selanjutnya. Pendekatan ini menjadi sebuah kecenderungan yang telah
dilakukan oleh berbagai institusi / lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah. Bahkan
mungkin hampir seluruhnya lembaga sekarang ini menggunakan pola-pola semacam ini yang
secara partisipatif melibatkan masyarakat dalam setiap program pembangunan yang ada.
Akan tetapi kondisi sekarang sudah berubah. Program yang ada sekarang menggunakan pola
kemitraan, dimana dalam suatu program yang dilakukan secara bersama-sama antar semua
pihak baik pemerintah maupun non pemerintah. Banyak program-program yang dijalankan oleh
pemerintah mempersyaratkan pola kemitraan dengan pihak non pemerintah.
Bahkan program dari lembaga non pemerintah pun sekarang lebih ditekankan pada pola
kemitraan dengan instansi pemerintah dengan manajemen kolaborasi dalam mengusung isu-isu
tertentu secara bersama-sama. Dengan pola kemitraan ini diharapkan isu yang di usung bersama
dan dapat dilanjutkan oleh pemerintah agar isu ini dapat berjalan sustainable. Ini dikarenakan
dengan argumentasi bahwa pemerintah adalah sebuah institusi yang tidak akan pernah bubar
dengan sumber pendanaan yang tidak pernah habis. Ini akan menjadikan sebuah program akan
menjadi milik bersama dan tanggungjawab semua stake holder yang terkait dengan program.
Pada tataran pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dengan lebih banyak melibatkan
partisipasi masyarakat dalam menjalankan program, ternyata juga menyimpan potensi
'penyelewengan' program.
Dari pengalaman -penulis sendiri- dan cerita dari orang lain, ternyata banyak program-program
pembangunan untuk masyarakat dengan pendekatan partsisipatif dijadikan lahan 'bisnis' yang
subur bagi segelintir masyarakat yang dapat menikmati fasilitas dan dana untuk keuntungan
pribadi. Dengan banyaknya program pemberdayaan masyarakat -baik dari pemerintah dan non
pemerintah dari dalam maupun luar negeri- yang masuk di masyarakat, menjadikan masyarakat
-terutama para elitnya- menjadi terbiasa dengan skema 'proyek' beserta dengan aturan-aturan
teknisnya.
Masyarakat juga menggunakan 'trik' untuk dapat mengambil keuntungan. Bahkan masyarakat
juga telah terbiasa untuk berkomunikasi secara lesan untuk dapat mengambil hati dari pemberi
dana. Bagaimana cara berelasi dengan pemberi dana dan bahasa yang digunakan akan
mengikuti model dan persyaratan pemberi dana.
Hasil dan keberlanjutan dari sebuah program tidak ada jaminan akan terpelihara. Hasil-hasil
program baik berupa bangunan fisik, sarana dan prasarana banyak yang terbengkalai karena
tidak dirawat secara baik. Timbul semacam rasa iri dan tidak ada tanggungjawab bersama untuk
merawatnya. Apabila di tanyakan alasannya, maka jawaban klasik yang muncul, karena tidak
ada dana untuk perawatan. Akhirnya menyalahkan pihak lain, pemerintah yang tidak mau
memperhatikan lagi atau pendampingan masyarakat yang terputus.
Hal ini bisa menjadi bumerang bagi program yang bertujuan untuk memberdayakan
masyarakat. Adanya program bisa menimbulkan persoalan baru. Ada perubahan mental
masyarakat dari masyarakat yang tanpa pamrih dan mau berkorban untuk kepentingan
masyarakat banyak menjadi masyarakat peminta imbalan dan egois dengan mendahulukan
kepentingan pribadi atau kelompok dari kepentingan orang banyak. Ini akan bisa meruntuhkan
bangunan tata nilai masyarakat yang selama ini terbentuk dengan modal sosial dan kearifan
lokal yang ada. Dan dampaknya bisa terjadi gesekan- gesekan sosial dalam masyarakat.
Gejala-gejala ini telah banyak ditemui di dalam masyarakat. Ini menjadi fenomena yang perlu
di antisipasi terutama bagi lembaga-lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat.
Sekarang ini seperti banyak "pengelabuan sistemik" yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
berkaitan dengan program/proyek pemberdayaan masyarakat. Ini banyak dilakukan oleh elit
masyarakat yang mampu mengakses pada pemberi dana dan menggunakannya untuk
keuntungan pribadi.
Program pemberdayaan masyarakat ini akan bisa menjadi hal yang kontra produktif apabila
tidak dikawal dalam tataran konsep sampai teknis pelaksanaan. Ini bisa menjadi bumerang pada
masa yang akan datang. Maka bagi lembaga-lembaga yang concern dengan pemberdayaan
masyarakat perlu mengkaji ulang tentang apa yang mesti dilakukan dalam konsep
pemberdayaan masyarakat.
Beberapa lembaga non pemerintah telah mulai menyadari hal ini dan mulai mengubah pola-
pola pemberdayaan masyarakat. Beberapa lembaga mencoba menghidupkan kembali peran CO
(Community Organizer). Istilah CO dulu pernah menjadi istilah yang akrab digunakan oleh
Ornop dalam mengorganisir rakyat dalam mewujudkan cita-cita bersama dalam scope yang
kecil. Sekarang istilah CO ini seakan telah terreduksi dengan istilah Pendamping Masyarakat
atau mungkin Fasilitator Masyarakat. Terjadi penghalusan istilah dan ternyata pada tataran
peran dan fungsi di masyarakat juga berbeda. Istilah-istilah yang terakhir lebih cenderung
berada pada posisi 'di luar" sedangkan CO lebih larut dalam dinamika masyarakat.
Salah satu Ornop di Jogja misalnya, sudah mulai tidak menggunakan lembaga dalam
melakukan gerakan / kegiatannya tetapi mengandalkan personil CO yang hidup menjadi bagian
dari sebuah masyarakat untuk mengadakan perubahan. CO ini di tuntut harus bisa hidup dari
dan bersama masyarakat itu dengan ketrampilan hidup yang dipunyainya. Misinya adalah ikut
mewarnai dan mengakselerasi dinamika perubahan dalam masyarakat ke keadaan yang lebih
baik. Sekecil apapun itu dilakukan berdasar kebersamaan.
Hal itu bertujuan akhir akan menuju gerakan kemandirian dalam segala bidang dalam
masyarakat. Sebuah gerakan rakyat yang di dorong kesadaran kolektif untuk berubah. Bukan
karena di dorong adanya dana akan tetapi berdasarkan kebutuhan akan perubahan itu sendiri di
sesuaikan dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki suatu masyarakat.
Inilah arti pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya. Masyarakat mampu melakukan dengan
usahanya sendiri dengan sedikit mungkin mengandalkan bantuan dari orang / pihak lain. Dan
akhirnya bisa berdaulat atas dirinya sendiri.
Pemberdayaan masyarakat di bidang pemerintahan desa mencakup semua sumber daya yang
ada di pemerintahan desa seperti kepala desa, perangkat desa dan BPD. Bentuk dari
pemberdayaan ini dapat berupa pelatihan, musyawarah dalam penyusunan program-program
desa, koordinasi dalam pelaksanaan program-program desa, dan peningkatan kualitas kinerja
di pemerintahan desa. Dengan adanya program pemberdayaan ini, diharapkan dapat
meningkatkan kinerja dipemerintahan desa dalam membangun serta memajukan desa.