Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BIODIESEL
Biodiesel adalah bahan bakar diesel alternatif yang mengandung campuran
ester mono-alkil dari asam lemak rantai panjang yang berasal dari minyak nabati
atau lemak hewani (Ardi et al., 2015). Biodiesel dapat diproduksi dari banyak
sumber terbarukan, termasuk jenis minyak tumbuhan sebagai berikut: babassu,
canola, crambe, palem, minyak lobak, bunga matahari, jatropha, lupin, kedelai,
kacang, minyak jarak, dan macauba. Biodiesel dapat juga terbuat dari lemak
hewani, minyak goreng dan ganggang fotosintesis (Monteiro et al., 2018).
Penggunaan langsung dari minyak nabati dan lemak hewani sebagai bahan
bakar tidak akan sesuai karena viskositas kinematiknya tinggi dan memiliki
volatilitas yang rendah. Oleh karena itu, untuk mengurangi viskositas minyak,
minyak sayur dan lemak hewani harus mengalami reaksi kimia seperti
transesterifikasi, mikro emulsi dan pirolisis. Transesterifikasi adalah teknik yang
paling banyak diadopsi untuk menurunkan viskositas dan produksi biodiesel.
Transesterifikasi minyak nabati dengan alkohol dapat dilakukan menggunakan
katalis basa ataupun asam. Reaksi yang terjadi bersifat reversible, oleh karena itu
untuk meningkatkan laju reaksi dan hasil, jumlah alkohol yang digunakan
dilebihkan untuk menggeser kesetimbangan ke sisi produk (Ardi et al., 2015).
Proses pembuatan biodiesel dengan proses transesterifikasi dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

CH2 – O – CO – R1 R1 – COOCH3 CH2 - OH


Katalis
CH – O – CO – R2 + CH3OH ↔ R2 – COOCH3 + CH - OH

CH2 – O – CO – R3 R3 – COOCH3 CH2 - OH


Trigliserida Metanol Metil Ester Gliserol
(Biodiesel)

Gambar 2.1 Reaksi Transesterifikasi Trigliserida (Ardi et al., 2015)

8
Keuntungan menggunakan proses transesterifikasi berkatalis basa adalah
aktivitas katalitik tinggi, biaya rendah, kinetika menguntungkan dan kondisi
operasi sederhana. Katalis basa juga lebih disukai karena proses yang relatif lebih
cepat dan kondisi reaksi dimoderasi (Ardi et al., 2015). Dari beberapa alkohol
primer, metanol lebih baik digunakan saat proses transesterifikasi karena
reaktivitasnya yang tinggi (rantai alkil terpendek dan bersifat lebih polar) dan
merupakan alkohol yang paling murah, kecuali di beberapa negara (Thanh et al.,
2012).
Produksi biodiesel global telah berkembang dalam beberapa tahun
terakhir. Pada 2016 lebih dari 30,8 juta m3 (Mm3) biodiesel diproduksi, 7,5%
lebih dari produksi tahun 2015. Negara utama penghasil biodiesel pada tahun
2016 adalah Amerika Serikat (5,5 Mm3), Brazil (3,8 Mm3), Jerman (3,0 Mm3),
Indonesia (3,0 Mm3) dan Argentina (3.0 Mm3). Negara-negara Uni Eropa
memproduksi 10,7 Mm3, yaitu setara dengan 34,7% dari produksi biodiesel global
pada tahun 2016. Diperkirakan bahwa di masa depan, produksi biodiesel akan
tumbuh sekitar 4,5% per tahun, mencapai 41 Mm3 pada 2022 (Monteiro et al.,
2018).
Biodiesel secara efektif dapat mengurangi masalah krisis energi, karena
sifat yang dimiliki bahan bakar biodiesel dekat dengan diesel petroleum, sehingga
diasumsikan biodiesel bisa menggantikan bahan bakar yang dibutuhkan untuk
menjalankan mesin diesel (Charoenchaitrakool dan Juthgate, 2011). Keuntungan
utama menggunakan biodiesel adalah biodegradable, dapat digunakan tanpa
memodifikasi mesin yang ada, dan menghasilkan emisi gas yang kurang
berbahaya seperti sulfur oksida (Ondul dan Nadir, 2014).

2.2 GLISEROL
Gliserol (propana-1,2,3-triol) adalah senyawa organik multi-fungsional,
yang menunjukkan sifat hidrofilik dan hidrofobik karena struktur kimia yang
stabil dengan tiga gugus hidroksil. Karena stabilitas termal, ketersediaan energi
tinggi untuk pemutusan ikatan dan pembentukan senyawa lain yang diperlukan
(Rodrigues et al., 2017). Gliserol adalah produk samping utama dalam proses
produksi biodiesel. Karena diproduksi dalam jumlah yang signifikan, sekitar 10%

9
gliserol diperoleh pada setiap proses produksi biodiesel (Chol et al., 2018).
Struktur kimia dari gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur Kimia Gliserol (Monteiro et al., 2018)

Gliserol dikenal sebagai komponen utama untuk banyak reaksi dan


aplikasi kimia. Sejumlah aplikasi industri dan penggunaan gliserol dari hari ke
hari sangat beragam di berbagai bidang seperti medis, farmasi, makanan (pemanis
dalam permen dan kue), perlengkapan mandi (sabun dan pasta gigi), plasticizer,
kosmetik, dan pelumas dalam produksi kertas, industri tekstil, pelapis permukaan
dan tinta cetak. Gliserol juga banyak digunakan dalam produksi beberapa jenis
polimer (Ardi et al., 2015). Gambar 2.3 menunjukkan distribusi konsumsi gliserol
dalam berbagai produk dan industri.

Gambar 2.3 Distribusi Konsumsi Gliserol dalam Berbagai Produk dan Industri
(Ardi et al., 2015)

10
Pada produksi biodiesel dihasilkan dua lapisan produk setelah proses
transesterifikasi. Lapisan yang terletak diatas mengandung biodiesel sebagai
produk utama, sedangkan lapisan bawah terdiri dari gliserol dan banyak bahan
kimia lainnya seperti air, organik dan garam anorganik, sedikit ester dan alkohol,
dan jejak gliserid (pengotor) (Hajek dan Frantisek, 2010).
Gliserol yang diperoleh dari sintesis biodiesel dikenal sebagai crude
glycerol atau gliserol kasar. Crude glycerol memiliki warna gelap, kadar air,
katalis, asam lemak bebas, mono-, di- dan triasilgliserol, garam, alkohol (biasanya
metanol) dan biodiesel (Monteiro et al., 2018). Karena variasi dalam metode
produksi biodiesel, maka komposisi crude glycerol juga bervariasi (Chol et al.,
2018). Tabel 2.1 menunjukkan komposisi crude glycerol yang dihasilkan dengan
metode yang berbeda.

Tabel 2.1 Komposisi Crude Glycerol dari Berbagai Metode yang Berbeda
Trans- Saponifikasi Hidrolisis
Komponen
esterifikasi (%) (%) (%)
Kadar Gliserol 30-60 83-84 88-90
Kadar Abu 10-19 8,5-9,5 0,7-1,0
Kadar Air ≤ 10 6-7 8-9
MONG (Matter Organic
≤ 40 3-4 0,7–1,0
Non-Glycerol)
Trimethylene glycol 1 0,1 0,2
Sumber: Chol et al. (2018)

2.3 PEMURNIAN GLISEROL


Crude glycerol membutuhkan serangkaian langkah pemurnian sebelum
diubah menjadi produk berharga yaitu dengan menghilangkan pengotor seperti
katalis berlebih, sabun, asam lemak bebas dan matter organic non-glycerol
(MONG) (Isahak et al., 2016). Pemurnian gliserol akan meningkatkan nilai
ekonomis dan aplikasinya serta membuat produksi biodiesel lebih layak. Gliserol
murni adalah komoditas terbarukan dan bahan baku untuk biorefineries (industri
makanan, kimia, dan farmasi) dan digunakan dalam produksi bahan bakar atau
tambahan bahan bakar (Chol et al., 2018).

11
Refined gliserol yang ditemukan di pasar terdiri dari tiga jenis yang
didasarkan pada kemurnian dan penggunaan potensial yaitu, kualitas teknis,
United States Pharmocopeia (USP) dan Food Chemical Codex (FCC). Kualitas
teknis biasanya digunakan sebagai elemen produk kimia dan bukan untuk
makanan dan obat-obatan. Gliserol United States Pharmocopeia (USP) yang
berasal dari lemak hewani atau minyak nabati cocok untuk kedua produk farmasi
dan makanan, sedangkan gliserol Food Chemicals Codex (FCC) yang berasal dari
sumber minyak nabati sesuai untuk digunakan dalam makanan (Ardi et al., 2015).
Pemurnian crude glycerol dapat dilakukan dengan metode seperti distilasi,
pertukaran ion, dan beberapa perlakuan fisikokimia, termasuk saponifikasi,
asidifikasi, pemisahan fasa, ekstraksi pelarut, netralisasi, dan adsorpsi dengan
karbon aktif (Chol et al., 2018). Pertimbangan untuk pemurnian gliserol sangat
tergantung pada penggunaan gliserol dan efek pengotor pada proses. Pada gliserol
kualitas teknis, keberadaan beberapa kontaminan dapat diterima tetapi untuk
penerapan gliserol di sektor makanan dan farmasi akan membutuhkan gliserol
kemurnian tinggi (Ardi et al., 2015). Setiap metode pemurnian crude glycerol
memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri, seperti yang dipaparkan pada Tabel
2.2 berikut.

Tabel 2.2 Teknologi Pemurnian Gliserol


No. Metode Keuntungan Kerugian
1. Distilasi  Menghasilkan produk dengan  Tidak memungkinkan
vakum kualitas yang tinggi untuk proses skala
 Metode yang telah ditetapkan kecil
 Membutuhkan energi
yang besar
2. Penukar ion  Memiliki biaya yang rendah  Membutuhkan
 Mudah dalam scale-up penanganan untuk
pencucian air
3. Filtrasi  Operasi yang sederhana dan  Biayanya mahal
membran ramah lingkungan  Tidak optimal untuk
 Membutuhkan energi yang kecil skala industri
 Mudah dalam scale-up dan
pengontrolannya
 Fleksibel untuk pemakaian dalam
skala besar

12
Tabel 2.2 (Lanjutan)
No. Metode Keuntungan Kerugian
4. Adsoprsi  Membutuhkan energi yang kecil  Kurang efisien untuk
 Dapat beroperasi pada suhu dan menghilangkan
tekanan ambient pengotor lain
 Adsorben yang digunakan dapat
diregenerasi
 Ketersediaan adsorben yang luas
Sumber: Ardi et al. (2015), Chol et al. (2018), Hunsom dan Chaowat (2015)

Gliserol memiliki parameter standar yang harus dipenuhi. Berikut adalah


parameter standar gliserol dari technical grade (kualitas teknis) dan United States
Pharmocopeia (USP) grade seperti dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Spesifikasi Gliserol


Technical USP Grade
Parameter
Grade Glycerol Glycerol
Gliserol % (min) 98,0 99,7
Abu % (maks) - -
Air % (maks) 5,0 0,5
MONG % (maks) 2,0 -
Specific Gravity @ 25 °C 1,262 1,2612
pH (10% Larutan) 4,0-9,1 -
Warna (maks) 40 (Pt – Co) 10 (APHA)
Moisture content %
2,0 0,3
(maks)
Klorida (ppm) (maks) 10 10
Sulfat (ppm) (maks) - 20
Logam berat (ppm)
5 5
(maks)
Sumber: Quispe et al. (2013)

2.4 ADSORPSI
Adsorpsi adalah proses yang terjadi ketika suatu zat terlarut gas atau cairan
terakumulasi di permukaan suatu padatan atau cairan, membentuk film molekuler,
ionik, atau atom (Kralik, 2014). Substansi yang berada pada permukaan padatan

13
atau cairan disebut adsorbat. Sedangkan materi yang di atas permukaannya terjadi
proses adsorpsi disebut adsorben (Gawande et al., 2017).
Dengan kata lain, adsorpsi adalah perubahan konsentrasi zat tertentu
(biasanya kontaminan) pada antarmuka di mana konsentrasi awal menurun.
Adsorpsi memiliki arti penting untuk industri, terutama dalam pemurnian gas,
minyak, udara dan air. Adsorpsi diterapkan untuk pemurnian zat-zat organik dan
SO2 dari fase gas. Adsorpsi juga digunakan untuk pemisahan gas, seperti N2 dari
O2, aseton dan C2H2 dari aliran ventilasi, dan CO, CH4, CO2, N2, Ar dari
hidrogen. Dalam fase cair, adsorpsi juga diterapkan, misalnya, untuk
penghilangan zat organik dan anorganik, dan penghilangan warna (Musin, 2013).
Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi
dapat dibedakan menjadi dua macam :
1. Adsorpsi Kimia
Area permukaan spesifik dari fase, jenis situs aktif, jumlah situs aktif, dan
kemampuan situs aktif sangat bermanfaat untuk adsorpsi kimia. Adsorpsi
kimia terjadi sebagai hasil reaksi kimia antara molekul dan atom dari
adsorbat dan adsorben. Adsorpsi kimia bersifat irreversible karena
molekul yang diadsorpsi secara kimia tidak dapat bergerak di permukaan
dalam antarmuka. Keuntungan utama dari adsorpsi kimia ini adalah
selektivitas pemisahan yang tinggi dan kemampuan untuk menangani
konsentrasi zat terlarut yang sangat kecil. Adsorpsi kimia dapat dipercepat
oleh peningkatan suhu di mana energi aktivasi bervariasi antara 10-100
Kcal/mol (Musin, 2013). Dalam suatu kasus, adsorpsi kimia hanya
berlangsung selama adsorptif dapat membuat kontak langsung dengan
permukaan; oleh karena itu adalah proses lapisan tunggal (Webb, 2003).
2. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisik bersifat reversible dan cepat. Molekul-molekul teradsorpsi
ke permukaan oleh gaya tarik Van der Waals (gaya antarmolekul dan
interaksi interatomik dengan energi 10-20 kJ/mol). Oleh karena itu,
kurangnya energi interaksi dapat merusak ikatan antara adsorben dan
adsorbat, misalnya dengan gerakan mekanis antarmuka. Akibatnya,
parameter yang paling berharga untuk Adsorpsi fisik adalah ukuran pori,

14
struktur pori, volume pori, dan luas permukaan. Adsorpsi fisik berlaku
pada suhu rendah, dan energi aktivasi adalah 5-10 Kcal/mol (Musin,
2013). Dalam kondisi yang tepat, adsorpsi fisik dapat menghasilkan
molekul teradsorpsi yang membentuk banyak lapisan (Webb, 2003).

2.4.1 Mekanisme Adsorpsi


Mekanisme adsorpsi secara umum terjadi dalam tiga langkah. Langkah
pertama terjadi difusi adsorbat pada permukaan adsorben oleh gaya antarmolekul
antara adsorbat dan adsorben. Langkah kedua melibatkan migrasi adsorbat ke
dalam pori-pori adsorben. Selama langkah terakhir, ketika partikel adsorbat
didistribusikan di permukaan dan mengisi volume pori-pori, partikel-partikel
adsorbat membangun monolayer molekul, ion dan atom yang bereaksi ke situs
aktif adsorben (Musin, 2013). Mekanisme adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(a) (b) (c)


Gambar 2.4 Tiga Langkah Mekanisme Adsorpsi: (a) Difusi Adsorbat ke
Permukaan (b) Migrasi ke Pori-Pori Adsorben (c) Penumpukan
Monolayer Adsorbat pada Adsorben (Musin, 2013)

Adsorpsi dapat terjadi karena beberapa sebab (Gawande et al., 2017)


yaitu:
a. Kontaminan memiliki kelarutan rendah dalam limbah.
b. Kontaminan memiliki afinitas yang lebih besar untuk karbon daripada
limbah.
c. Kombinasi keduanya.

15
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adsorpsi
Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah
sebagai berikut:
1. Luas permukaan adsorben
Luas permukaan kimia terkait dengan gugus fungsi yang ditemukan pada
adsorben. Gugus fungsional permukaan ini penting untuk proses adsorpsi karena
dapat mempengaruhi sifat adsorpsi dan reaktivitas adsorben. Beberapa teknik
dapat digunakan untuk memodifikasi atau memperluas luas permukaan kimia
adsorben, seperti perlakuan panas, oksidasi, aminasi, dan impregnasi dengan
berbagai senyawa anorganik (Kose, 2010). Semakin luas permukaan adsorben,
maka adsorpsi yang terjadi semakin besar karena kemungkinan zat yang
menempel pada permukaan adsorben akan bertambah (Widayatno et al., 2017).
2. Ukuran pori adsorben
Ukuran pori-pori pada adsorben harus tepat untuk memungkinkan adsorbat
(molekul teradsorpsi) dapat masuk (Bonenfant et al., 2008). Kekuatan adsorpsi
meningkat dengan menurunnya ukuran pori. Ketika ukuran pori berkurang, titik
kontak antara adsorbat dan permukaan adsorben mengalami peningkatan, dan
potensi adsorpsi antara dinding pori yang berseberangan mulai tumpang tindih
(Kose, 2010)
3. Karakteristik adsorbat
Sifat fisikokimia dari suatu adsorbat memiliki efek penting pada proses
adsorpsi, karena kapasitas dan laju adsorpsi juga bergantung pada sifat molekul
yang teradsorpsi. Dimensi molekuler akan mengontrol aksesibilitas ke pori-pori,
sedangkan kelarutan menentukan interaksi hidrofobik. Konstanta laju adsorpsi
akan menurun dengan meningkatnya ukuran molekul dari adsorbat. Dari segi
energi, adsorpsi senyawa hidrofilik kurang disukai daripada adsorpsi hidrofobik,
karena interaksi zat terlarut/pelarut lebih lemah (Kose, 2010).
4. Temperatur
Peningkatan suhu adsorpsi dapat meningkatkan energi kinetik, yang
memungkinkan adsorbat berdifusi lebih cepat ke pori-pori adsorben. Kenaikan
suhu juga dapat mengintensifkan proses desorpsi. Hal ini berarti sejumlah

16
adsorbat akan dilepaskan dari pori-pori adsorben ketika suhu naik (Aziz et al.,
2018).
5. Kecepatan pengadukan
Semakin cepat pengadukan maka molekul-molekul adsorbat dan adsorben
akan saling bertumbukan sehingga akan memercepat proses adsorpsi (Widayatno
et al., 2017). Akan tetapi, bila pengadukan terlalu cepat kemungkinan struktur
adsorben cepat rusak, sehingga proses adsorpsi kurang optimal (Syauqiah et al.,
2011).
6. Waktu kontak
Waktu kontak optimum atau waktu kesetimbangan akan menghasilkan
kapasitas adsorpsi yang maksimum (Syauqiah et al., 2011). Akan tetapi, semakin
lama waktu kontak kemungkinan akan terjadi proses desorpsi atau pelepasan
kembali antara adsorben dan adsorbat. Hal ini disebabkan karena gugus fungsi
dari adsorben telah jenuh untuk berinteraksi dengan senyawa pengotor (Aziz et
al., 2018).

2.5 ADSORBEN
Adsorben adalah zat dengan sifat pengadsorpsi. Sifat-sifat penting dari
adsorben (Musin, 2013) adalah:
1. Memiliki kemampuan menjaring (selektivitas)
2. Luas permukaan besar sehingga kapasitas adsorpsinya tinggi
3. Stabil terhadap panas dan bahan kimia
4. Tidak larut dalam zat yang akan diadsorpsi
5. Dapat diregenerasi kembali dengan mudah
6. Mudah didapat dan harganya murah
Menurut afinitas padat terhadap air, adsorben dapat dipisahkan menjadi
hidrofilik dan hidrofobik. Sebagian besar zeolit memiliki afinitas yang tinggi
terhadap air. Zeolit bersilika rendah (Zeolit A dan X) dan zeolit Si/Al intermediate
(chabazite, erionite, clinoptilolite, mordenit dan zeolit Y) dikenal sebagai
adsorben hidrofilik dan zeolit bersilika tinggi (beta, ZSM-5 dan silicalite) disebut
adsorben hidrofobik (Sayilgan, 2013). Ada beberapa jenis adsorben yang biasa
digunakan dalam proses penjerapan (Gawande et al., 2017) seperti:

17
1. Oxygen-containing compounds, adsorben ini biasanya bersifat hidrofilik
dan bersifat polar. Contoh: silika gel dan zeolit
2. Carbon-based compounds, adsorben ini biasanya bersifat hidrofobik dan
nonpolar. Contoh: karbon aktif dan grafit
3. Polymer-based compounds, adsorben ini terdiri dari matriks polimer
berpori yang mengandung gugus fungsi polar atau nonpolar.
Adsorben yang digunakan dalam penelitian ini adalah adsorben dari
limbah coal fly ash, karena memiliki kapasitas penyerapan yang baik (Dash et al.,
2018) serta harganya relatif murah (Attari et al., 2016).

2.6 BATUBARA
Batubara adalah bahan bakar fosil. Batubara merupakan sebuah sedimen
atau batu organik yang mana terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen yang
mudah terbakar. Batubara terbentuk dari vegetasi, yang telah dikonsolidasikan
antara strata batuan lainnya dan diubah oleh gabungan efek tekanan dan panas
selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara (World Coal Institute,
2005). Batu bara adalah salah satu sumber energi yang paling penting di dunia,
mendorong hampir 40% dari listrik di seluruh dunia. Batu bara telah menjadi
sumber energi yang tumbuh paling cepat di dunia dalam beberapa tahun terakhir,
lebih cepat dari gas, minyak, nuklir, hidro dan energi terbarukan (World Coal
Institute, 2005).
Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam, salah satunya
batubara dengan jumlah melimpah mencapai 120,34 miliar ton (Rinaldi et al.,
2012). Indonesia memiliki cadangan batubara yang sangat besar dan menduduki
posisi ke-2 dunia sebagai Negara pengekspor batubara dan posisi ke-6 sebagai
Negara penghasil batubara (International Energy Agency, 2007).
Konsumsi batubara yang meningkat akibat dari penggunaannya pada
pembangkit listrik tenaga termal menyebabkan penumpukan jutaan ton abu. Telah
diperkirakan bahwa pembakaran empat ton batubara berpotensi menghasilkan satu
ton abu batubara. Volume abu batubara yang substansial ini dapat menjadi sumber
berbagai masalah lingkungan (seperti polusi air dan tanah) (Chelgani dan James,
2018). Abu batubara adalah bagian batubara yang tidak terbakar dan tetap di

18
boiler atau keluar dari boiler dan tersuspensi dalam aliran gas buang (Skousen et
al., 2012). Sisa pembakaran batubara terbentuk dalam wujud abu layang (80%),
dan abu dasar (20%) (Kumar et al., 2018). Abu layang batubara (coal fly ash)
adalah bahan partikulat bubuk yang dibawa keluar dalam gas (Upadhyay dan
Manish, 2007), sedangkan abu dasar batubara (coal bottom ash) adalah material
kasar yang terbentuk sebagai agregat kecil di ruang boiler, dan turun ke bagian
bawah boiler (Skousen et al., 2012).

2.7 ABU LAYANG BATUBARA (COAL FLY ASH)


Menurut American Society for Testing and Materials (ASTM) C.618-12a
coal fly ash didefinisikan sebagai butiran halus residu pembakaran batubara atau
bubuk batubara (American Society for Testing Material, 1998). Coal fly ash
adalah abu batubara yang dikumpulkan dari gas buang oleh kolektor debu dalam
bentuk bubuk abu-abu halus (Feng et al., 2018).
Coal fly ash juga dapat dikenal dengan nama yang berbeda seperti abu
batubara, abu buang bubuk dan Pozzolona (Kumar et al., 2018). Pozzolan adalah
sebuah bahan berupa alumina atau silika yang bila dicampur dengan kapur dan air
akan membentuk senyawa semen. Coal fly ash merupakan pozzolan terbaik dan
terkenal dan salah satu yang paling umum digunakan di dunia. Coal fly ash
dikenal mempunyai efek buruk pada lahan pertanian, polusi air sub-permukaan,
tanah, dan polusi udara (Patil et al., 2013).

2.7.1 Karakteristik Coal Fly Ash


2.7.1.1 Karakeristik fisik
Coal fly ash adalah residu halus yang terdiri dari partikel yang tidak
terbakar yang mengeras saat tersuspensi dalam gas buang. Coal fly ash dibawa
dalam tumpukan gas dari unit boiler, dan dikumpulkan dengan metode mekanis
atau presipitator elektrostatik. Karena dikumpulkan dari gas buang, coal fly ash
terdiri dari partikel butiran halus berbentuk bulat dalam kisaran 0,074 hingga
0,005 mm (Upadhyay dan Manish, 2007). Butiran halus coal fly ash dapat dilihat
pada Gambar 2.5.

19
Gambar 2.5 Butiran Coal Fly Ash (American Coal Ash Assosiation, 2003)

Coal fly ash dapat berwarna abu-abu gelap, tergantung adanya konstituen
kimia dan mineral. Warna gelap dan warna terang biasanya terkait dengan
kandungan kapur tinggi. Warna kecoklatan biasanya terkait dengan konten besi.
Warna abu-abu gelap menjadi hitam biasanya dikaitkan dengan peningkatan
kandungan karbon yang tidak terbakar. Warna abu terbang biasanya sangat
konsisten untuk setiap pembangkit listrik termal dan batubara (American Coal
Ash Assosiation, 2003).

2.7.1.2 Karakteristik kimia


Sifat kimia dari coal fly ash sangat mempengaruhi dampak lingkungan
yang mungkin timbul dari penggunaan/pembuangannya. Dampak buruk tersebut
adalah adanya kontaminasi di permukaan air dan tanah dengan logam berat
beracun yang terkandung dalam abu batubara, hilangnya kesuburan tanah di
sekitar lokasi pabrik, dan lain-lain (Upadhyay dan Manish, 2007).
Coal fly ash mengandung sejumlah besar aluminium dan silikon sebagai
elemen utama. Komposisi coal fly ash biasanya berkisar antara 25-30% alumina
dan 40-60% silika (Aphane et al., 2015). Coal fly ash umumnya terdiri dari Si
dan Al sebagai elemen utama (dalam bentuk aluminosilikat), dengan sejumlah
kecil Fe, Na, K, Ca, P, ti dan S. Mineral kristal lainnya juga terdapat dalam
jumlah kecil seperti mullite, quartz dan lime anhydrite (Klamrassamee et al.,
2010). Adapun komposisi kimia dari coal fly ash seperti dapat dilihat pada Tabel
2.4.

20
Tabel 2.4 Komposisi Coal Fly Ash
Komponen %
Na2O 0,39
MgO 1,74
Al2O3 29,72
SiO2 51,25
SO3 0,55
K2O 0,77
CaO 7,10
TiO2 1,53
FeO 3,36
Sumber: Adams et al. (2017)

Keragaman sifat kimia dan fisik dari coal fly ash tergantung pada beberapa
faktor seperti jenis batubara dan sumber, jenis boiler, kondisi selama pembakaran,
jenis perangkat kontrol emisi, dan penyimpanan dan metode penanganan
(Upadhyay dan Manish, 2007).

2.7.2 Klasifikasi Coal Fly Ash


Menurut ASTM C618 coal fly ash dibagi menjadi dua kelas yaitu coal fly
ash kelas F dan kelas C. Coal fly ash kelas F biasanya dihasilkan dari pembakaran
batubara antrasit atau bituminous. Coal fly ash kelas F mengandung lebih dari 70
% berat SiO2, Al2O3 dan Fe2O3. Sedangkan Coal fly ash kelas C biasanya
dihasilkan dari pembakaran batubara lignit atau subbituminous. Coal fly ash kelas
C mengandung total kandungan berat SiO2, Al2O3 dan Fe2O3 berkisar 50%. Coal
fly ash kelas C biasanya memiliki kandungan kalsium total, dinyatakan sebagai
kalsium oksida (CaO), yang lebih tinggi dari coal fly ash Kelas F (American
Society for Testing Material, 1998). Sejak tahun 2008 PT. SOCI MAS telah
resmi menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Berikut ini adalah hasil analisa
yang dilakukan terhadap komposisi yang terkandung dalam coal fly ash PT. SOCI
MAS.

21
Tabel 2.5 Unsur Kimia Coal Fly Ash PT. SOCI MAS
Komponen Unit Data
SiO2 % 82,2
Al2O3 % 9,7
Fe2O3 % 1,8
CaO % 1,2
MgO % 0,4
Na2O % 1,9
K2O % 2,8
H2O % 0,1
Density % 1500
Softening point Deg C 1200
Sumber: PT. SOCI MAS

2.7.3 Aplikasi Coal Fly Ash


Keberadaan coal fly ash yang semula masih dianggap sebagai polutan, kini
telah mengalami pergeseran fungsi. Pada era modern ini banyak penelitian yang
telah dilakukan untuk memanfaatkan coal fly ash. Berikut beberapa pemanfaatan
coal fly ash:
1. Coal fly ash pada beton semen Portland
Coal fly ash digunakan dalam campuran beton untuk meningkatkan
kinerja beton. Campuran dapat meningkatkan daya kerja, kekuatan, dan
mengurangi panas hidrasi beton (Upadhyay dan Manish, 2007).
2. Coal fly ash untuk perbaikan tanah
Aplikasi coal fly ash yang umum meliputi: stabilisasi tanah, pengeringan
tanah, dan kontrol pembesaran (Upadhyay dan Manish, 2007).
3. Coal fly ash untuk jalan dan tanggul
Coal fly ash dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan dan tanggul
(Upadhyay dan Manish, 2007).
4. Coal fly ash sebagai adsorben
Coal fly ash telah digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan SO2
dan NOx dari gas buang. Fly ash juga digunakan dalam pengolahan air limbah
untuk menghilangkan zat-zat organik, warna dan logam berat (Missengue, 2016).

22
5. Briket Coal fly ash
Produk coal fly ash bersifat ramah lingkungan. Salah satunya
penggunaannya sebagai briket. Pembuatan briket secara konvensional
membutuhkan banyak clay. Sedangkan penggunaan coal fly ash sebagai briket
tidak membutuhkan clay (Patil et al., 2013).

2.8 AKTIVASI
Proses aktivasi dilakukan untuk meningkatkan luas permukaan dan daya
adsorpsi. Pada proses ini terjadi pelepasan hidrokarbon, tar, dan senyawa organik
yang melekat pada karbon tersebut. Proses aktivasi terdapat 2 jenis yaitu aktivasi
fisika dan aktivasi kimiawi.

2.8.1 Aktivasi dengan Fisika


Aktivasi dengan fisika melibatkan pemanasan coal fly ash sehingga dapat
mengubah sifat fisik dan kimia coal fly ash dimana produk yang dihasilkan
menjadi lebih stabil dan padat. Metode ini sangat efisien dalam menghancurkan
dioksin, furan, dan senyawa organik beracun lainnya karena suhu tinggi yang
digunakan (Hartuti et al., 2018). Pada aktivasi secara fisika, adsorben akan
dipanaskan pada suhu sekitar 800-1000 oC dan dialirkan gas pengoksidasi seperti
uap air, oksigen, atau CO2. Gas pengoksidasi akan bereaksi dengan karbon dan
melepaskan karbon monoksida dan hidrogen untuk gas pengoksidasi berupa uap
air. Senyawa-senyawa produk samping pun akan terlepas pada proses ini sehingga
akan memperluas pori dan meningkatkan daya adsorpsi (Shofa, 2012).

2.8.2 Aktivasi dengan Kimia


Pada aktivasi ini, adsorben dicampur dengan larutan kimia yang berperan
sebagai activating agent. Larutan kimia yang dipakai biasanya adalah garam dari
logam alkali dan alkali tanah serta zat asam. Activating agent ini berperan sebagai
dehydrating agent yang akan mempengaruhi dekomposisi pirolisis, menghambat
pembentukan tar, dan mengurangi pembentukan asam asetat, metanol, dan lain-
lain (Shofa, 2012). Aktivasi secara kimia bertujuan untuk membersihkan
permukaan pori, membuang senyawa pengotor dan mengatur kembali letak atom

23
yang dapat dipertukarkan. Proses aktivasi dengan asam dapat meningkatkan
kristalinitas, keasaman dan luas permukaan (Hesas et al., 2013). Peningkatan
keasaman mampu memperbesar kemampuan penyerapan. Hal ini terjadi karena
banyaknya pori-pori yang terbuka dan permukaan padatannya menjadi bersih dan
luas (Elsayed dan Zalat, 2015).

2.9 KARAKTERISTIK GLISEROL


2.9.1 Kadar Gliserol
Penentuan kadar gliserol dilakukan untuk menunjukkan tingkat kemurnian
dari gliserol yang dinyatakan dalam persen. Metode yang digunakan untuk
menentukan kadar gliserol sesuai standar SNI 06-1564-1995 adalah dengan
metode alkalimetri. Prinsipnya adalah mereaksikan gliserol dengan natrium
periodat (NaIO4) yang akan menghasilkan formaldehid dan asam format yang
kemudian dititrasi dengan larutan standar natrium hidroksida (NaOH) (Wita,
2015).

2.9.2 Kadar Air


Air merupakan bahan pengotor yang tidak diinginkan dalam gliserol
karena dapat menurunkan kualitas dan kemurnian gliserol. Adanya kandungan air
tersebut berasal dari reaksi hidrolisis maupun oksidasi gliserol saat proses
produksi maupun saat penyimpanan (Wita, 2015).

2.9.3 Kadar Abu


Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik berupa sisa garam,
logam, maupun mineral dalam gliserol yang tetap tertinggal setelah pemanasan
suhu tinggi. Bahan anorganik tersebut merupakan kotoran yang masuk ke dalam
gliserol pada saat produksi dan penyimpanan gliserol. Kadar abu yang tinggi tidak
diharapkan karena akan mempengaruhi kualitas gliserol murni dan dapat
menyebabkan warna gliserol menjadi gelap (Wita, 2015).

24
2.9.4 Kadar MONG
Selain gliserol dan bahan anorganik, terdapat pula bahan pengotor berupa
material organic non-glycerol (MONG) atau bahan organik bukan gliserol.
Kandungan MONG ini adalah asam lemak, metanol, dan sisa metil ester
(biodiesel) dari proses produksi biodiesel (Wita, 2015).

2.9.5 Warna Gliserol


Warna pada crude glycerol disebabkan oleh bahan baku biodiesel yaitu
minyak kelapa sawit yang mengandung zat warna alami berupa α,β-karoten dan
antosianin. Sehingga zat warna tersebut menyebabkan crude glycerol berwarna
kuning dan kuning kecoklatan (Wita, 2015).

25

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB 1 Ya
    BAB 1 Ya
    Dokumen8 halaman
    BAB 1 Ya
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat
  • 2a - INTISARI Pembuatan Gliserol
    2a - INTISARI Pembuatan Gliserol
    Dokumen1 halaman
    2a - INTISARI Pembuatan Gliserol
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen3 halaman
    Bab I
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat
  • BAB 18 Kuliah 1
    BAB 18 Kuliah 1
    Dokumen17 halaman
    BAB 18 Kuliah 1
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat
  • Kuliah 2
    Kuliah 2
    Dokumen7 halaman
    Kuliah 2
    Mas Bima Bratajaya McLaren
    Belum ada peringkat