Anda di halaman 1dari 8

Yang Naif, Yang Berkarya

Ainun Najib/Pelajar SMA

Disini saya ingin berbicara mengenai kenaifan, “penyakit” yang


biasanya diidap oleh orang-orang muda seperti saya, atau juga yang
minder seperti saya. Kenaifan itu bisa berarti banyak hal, tapi disini saya
ingin melihatnya sebagai pengambilan resiko, pengambilan keputusan
pertama. Dari apapun profesi yang kita kerjakan, biasanya keputusan
pertama yang diambil itu berawal dari kenaifan.

Mulai dari menyiapkan diri seperti “besok saya ingin bangun jam
tujuh, saya ingin pergi jogging” walaupun pada akhirnya nggak jadi pergi.
Atau mengikuti lomba menulis puisi sekalipun. Sedikit bercerita, Februari
kemarin saya mengirim tulisan saya pada seleksi Festival Sastra Asia
Tenggara yang diadakan oleh Dewan Perpustakaan kota Padang
Panjang. Temanya itu mengenai keindahan alam di kota Padang Panjang
dan lomba ini juga melibatkan masyarakat umum di seluruh Indonesia.
Singkat cerita hingga di hari pengumuman lomba, nama saya muncul di
bagian finalis. Saya bersyukur, karena saya diundang untuk mengikuti
serangkai kegiatan Festival sastra di Padang Panjang.

Anda bisa membayangkanlah jika anda bisa ikut festival tersebut.


Pada awalnya saya bangga, saya senang. Banyak orang yang
memberikan pujian dan tidak sedikit juga yang mengkritik. Tapi intinya
saya senang, saya bangga melihat nama saya tercetak. Bolehlah
dihubungkan dengan umur; bocah umur enam belas tahun lolos finalis
lomba puisi Tingkat Asia Tenggara yang sifatnya itu untuk umum, apalagi
kita bisa bertemu dengan orang-orang baru dari luar negeri. Pengalaman
juga belum begitu yang banyak, tapi siapa sih yang tau?

Sejak mengikuti festival sastra tersebut, saya menyadari bahwa


saya mengalahkan satu hal penting. Bahwa tulisan puisi saya sebelumnya
merupakan hasil dari kenaifan saya sendiri. Saya naif; pada saat saya
mengerjakan tulisan tersebut tanpa sadar bahwa saya telah menentukan
takdir saya sendiri. Saya telah membuat keputusan sejak awal bahwa
saya ingin mengikuti kegiatan ini, masalah lolos atau tidaknya ya siapa sih
yang tau? Yang penting saya menyelesaikan tulisan ini, lalu ajukan, dan
biar Tuhan yang tentukan hasilnya; tanpa memikirkan sama sekali
mengenai konsekuensinya. Saya membuat keputusan yang tekanannya
itu tidak berasal dari manapun kecuali dari diri saya sendiri.
Apa yang memotivasi saya untuk
mengerjakan tulisan tersebut? itu
ada banyak. Dan saya rasa
banyak juga yang bisa
menginspirasi anda, entah itu
musik, objek, seni, politik, sastra,
atau mungkin juga pengetahuan,
seperti saya. Banyak motivasi
yang bisa membantu anda dalam
mengambil keputusan tersebut.

Sekarang saya ingin menjelaskan


mengenai orang-orang yang
menginspirasi saya dengan
kenaifan mereka. Mereka yang berani mengambil keputusan dan takdir
mereka sendiri

Orang yang pertama; Steve Jobs. Anda mungkin tidak merasa


asing dengan namanya. Yap, Steve Jobs adalah pendiri dari merk dagang
elektronik yaitu Apple. Disini saya tidak ingin membahas bagaimana Apple
tersebut, tapi bagaimana dengan perjuangan Steve Jobs, bagaimana
dengan kenaifannya, dan bagaimana dengan pengambilan keputusan
yang merubah hidupnya.

Dalam kisahnya yang biasa dituliskan, Steve Jobs pernah


mengatakan “pada usia dua puluh tahun saya menghasilkan uang satu
juta dollar, setahun setelahnya saya menghasilkan sepuluh juta dollar, lalu
setahun setelahnya, total yang saya dapatkan seratus juta dollar”.
Fantastis bukan? Anda bisa membayangkan apa saja yang bisa anda
lakukan dengan nilai seperti itu. Tapi tidak bagi Steve Jobs, “uang
bukanlah tujuan saya”. Lalu banyak orang yang beranggapan “Hei! ini
orang gila ya? Atau alah palingan dia cuman cari perhatian doang”

Anda bisa juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Tapi
sekarang coba anda perhatikan bagaimana hasil yang didapatkannya;
perusahaannya menjadi tersukses di dunia, namanya dikenang di
manapun, dan ratusan penghargaan juga membanjirinya. Bagaimana
bisa? Ya, karena dia sudah mengambil keputusan, dan dia naif. Saya
tidak tahu apa yang dikataknnya ketika mengambil keputusan itu, tapi
saya bisa membayangkan dia berkata seperti ini; “saya punya tujuan, dan
uang bukanlah tujuan saya, banyak hal yang bisa dicapai selain uang.
Saya pengen perusahaan saya maju, dan bisa ngebantu banyak orang,
masalah berhasil atau nggaknya ya siapa sih yang tau? Yang penting
saya sudah berusaha”.

Orang kedua; Albert Einstein. Seperti yang kita ketahui, dua ratus
tahun sebelum Einstein lahir, ilmu pengetahuan khususnya Fisika
mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Issac Newton. Mulai dari
teori gravitasinya yang terkenal, sampai pada teori waktu. Nah, disini saya
ingin membahas bagaimana kenaifan yang dilakukan oleh Einstein
terhadap fisika khususnya teori waktu.

Pada saat mengembangkan teorinya, Einsten berhasil mengambil


kesimpulan bahwa “waktu itu bergantung pada tempatnya”. Teori ini
sangat berbalik dengan teori yang telah dipakai para ilmuan pada saat itu
yang mengatakan bahwa “waktu di semua tempat di dunia itu sama” yang
merupakan hasil penelitian Newton. Lalu bagaimana dengan Einstein?
Apakan ia akan pesimis teorinya ini diterima di masyarakat? Melawan
keyakinan masyarakat pada teori Newton?

Pada awalnya ya, dia pesimis. Tapi apa salahnya mencoba? Hasilnya
siapa sih yang tau? Dan
akhirnya dia mencoba,
ia sudah mengambil
keputusan, dan kira-kira
yang dikatakannya itu
seperti ini “disini saya
punya teori yang
berbeda jauh dengan
Newton, dan saya pikir
kalau saya bawa teori ini ke masyarakat kayaknya gak bakal gampang.
Tapi, ya udahlah, kenapa saya gak coba aja? Siapa sih yang tau, kalau
aja teori saya ini lebih benar”. Naif bukan?

Sekarang kita membicarakan bagaimana realitanya, siapa yang


paling benar? Yap, teori Einstein telah membuktikan bahwa waktu
tergantung terhadap tempatnya. Lalu kita bisa melihat kembali bagaimana
perjuangan Einstein; awalnya dia ragu, melawan teori yang sudah berlaku
dua abad lebih siapa sih yang berani? Tapi sekali lagi Einstein sudah
mencoba, mengambilan keputusan yang naif. “Yang penting saya udah
berusaha, diterima atau nggak ya siapa sih yang tau?

Sekarang saya sering bertanya kepada diri saya. Kenapa konotasi


kata-kata kenaifan atau keluguan itu negatif. Kenapa kalau misalnya saya
bicara ke anda “kamu naif”. Artinya bisa berarti banyak hal seperti, “kamu
tidak tahu apa-apa, saya lebih tau dari kamu, atau masih banyak hal lagi
yang kamu perlu pelajarin”. Atau kalau kata kasarnya itu“kamu nggak
selevel sama saya”. Saya bisa bicara seperti itu, tapi disini saya ingin
bilang kalau kenaifan itu tidak selamanya negatif, kenaifan itu bisa
menjadi langkah awal anda. Kenaifan dari Einstein yang berani mencoba,
dan keputusan dari Steve Jobs yang ingin merubah keadaaan.

Saya kalau mau jujur, saya tidak sepenuhnya patuh dengan


anjuran saya sendiri. Contoh kalau di sekolah, sebelum masuk kelas
biasanya ada tuh yang ninggalin pesan di wa atau line; “jib, gua tipsen
dong”. Tipsen itu titip absen; itu salah satu syarat untuk ikut UAS, dan kita
sebagai siswa harus punya kuota absen tertentu.

Disini saya naif, berifikir, saya bayangin kalau misalnya saya


nasehatin teman saya yang minta titip absen itu, “kamu nggak boleh
tipsen, orang tua kamu udah bayar mahal di sekolah ini, ngapain kamu
masih mau tipsen?”. Saya naif berpikir, kalau saya menasehati teman
saya akan berdampak banyak, akan meruntuhkan sistem yang sudah ada,
akan meruntuhkan epidemi yang ada. Saya naif, dan akhirnya saya tidak
berbuat apa-apa, saya tipsennin, kalau nggak saya pura-pura tipsennin,
padahal tidak.

Pada akhirnya saya


pesimis, tapi kalau
misalnya ada banyak
selain saya yang
dihadapkan oleh
pilihan itu, siapa
yang tau? Kenapa
kita nggak nebak
aja? Siapa tau kalau
kita menasehati akan membuat dia sadar. Kenapa kita takut menebak?

“Saya nggak tau kalau saya bisa merubah keadaan, tapi siapa sih
yang tau?”

Kenaifan itu juga bisa menjadi “bensin” bagi aktivisme, entah itu
politik, ekonomi, sosial atau yang lainnya. Beberap hari yang lalu saya
membaca mengenai proyek tulisan maupun podcast yang bernama “ingat
65” yang biasa ditulis oleh orang-orang penyintas dari kerusuhan
genosida tahun 1965. Saya bisa menebak motivasi dia, pasti dia ingin
mencari kejelasan, pasti dia ingin membuat orang Indonesia sadar tentang
“apa sih yang sebenarnya dilakukan pemerintah kita tahun dulu?” Motivasi
mereka barangkali itu, dan saya bisa menebaknya dengan mudah.

Lantas apakah saya juga bisa dengan mudah menebak apa


hasilnya? Apakah semua orang akan membaca, mendengar, atau
mengerti? Saya nggak tau, tapi mereka mencoba, dan mereka sudah
mencobanya. Hasilnya siapa yang tau sih? Kita cuman bisa
mengharapkan iya atau enggak, tapi apa salahnya memulai, mengambil
keputusan itu dari awal. Itu semua dilandasi oleh kenaifan.

Bahkan, sekarang mungkin anda berfikir, disini saya naif. Hal


apapun yang saya tuliskan disini itu bisa berdampak banyak. Bukan
cuman bagi anda yang punya akses untuk membaca tulisan ini nanti kalau
sudah dipublish. Saya nggak tau bakalan berdampak atau tidak.
Barangkali anda juga ngomong “kalau misalnya kamu sendiri gak yakin
ngapain kamu tetep nulis?” untuk menjawab pertanyaan itu saya cuman
punya dua kata simpel; “kenapa nggak?”

Terima Kasih.
Tentang Penulis

Ainun Najib adalah pelajar absurd di SMAN


11 Pinrang, satu dari lima SMA berasrama di
Sulsel. Lahir pada 17 Desember 2001, di
Indonesia. Punya sejuta mimpi yang harus
dicentang ketika tercapai. Kritik dan saran
melalui: najibexcel11@gmail.com
LAMPIRAN: Pengganti Data Diri

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI


SELATAN
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 11 PINRANG
Alamat: Jl. Ir. H. Djuanda No.7, Watang Sawitto,
Pinrang

SURAT KETERANGAN SISWA

Nomor: 420/ /SMA.11/2017

Yang bertanda tangan di bawah ini kepala sekolah SMAN 11 Pinrang


menerangkan nama yang terlampir di bawah:

Nama: Ainun Najib

TTL: Pinrang, 17 Desember 2001

NIS: 00467

Merupakan siswa(i) SMAN 11 Unggulan Pinrang, Demikian surat ini dibuat


sedemikian semestinya

Anda mungkin juga menyukai