Mulai dari menyiapkan diri seperti “besok saya ingin bangun jam
tujuh, saya ingin pergi jogging” walaupun pada akhirnya nggak jadi pergi.
Atau mengikuti lomba menulis puisi sekalipun. Sedikit bercerita, Februari
kemarin saya mengirim tulisan saya pada seleksi Festival Sastra Asia
Tenggara yang diadakan oleh Dewan Perpustakaan kota Padang
Panjang. Temanya itu mengenai keindahan alam di kota Padang Panjang
dan lomba ini juga melibatkan masyarakat umum di seluruh Indonesia.
Singkat cerita hingga di hari pengumuman lomba, nama saya muncul di
bagian finalis. Saya bersyukur, karena saya diundang untuk mengikuti
serangkai kegiatan Festival sastra di Padang Panjang.
Anda bisa juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Tapi
sekarang coba anda perhatikan bagaimana hasil yang didapatkannya;
perusahaannya menjadi tersukses di dunia, namanya dikenang di
manapun, dan ratusan penghargaan juga membanjirinya. Bagaimana
bisa? Ya, karena dia sudah mengambil keputusan, dan dia naif. Saya
tidak tahu apa yang dikataknnya ketika mengambil keputusan itu, tapi
saya bisa membayangkan dia berkata seperti ini; “saya punya tujuan, dan
uang bukanlah tujuan saya, banyak hal yang bisa dicapai selain uang.
Saya pengen perusahaan saya maju, dan bisa ngebantu banyak orang,
masalah berhasil atau nggaknya ya siapa sih yang tau? Yang penting
saya sudah berusaha”.
Orang kedua; Albert Einstein. Seperti yang kita ketahui, dua ratus
tahun sebelum Einstein lahir, ilmu pengetahuan khususnya Fisika
mengacu kepada teori yang dikembangkan oleh Issac Newton. Mulai dari
teori gravitasinya yang terkenal, sampai pada teori waktu. Nah, disini saya
ingin membahas bagaimana kenaifan yang dilakukan oleh Einstein
terhadap fisika khususnya teori waktu.
Pada awalnya ya, dia pesimis. Tapi apa salahnya mencoba? Hasilnya
siapa sih yang tau? Dan
akhirnya dia mencoba,
ia sudah mengambil
keputusan, dan kira-kira
yang dikatakannya itu
seperti ini “disini saya
punya teori yang
berbeda jauh dengan
Newton, dan saya pikir
kalau saya bawa teori ini ke masyarakat kayaknya gak bakal gampang.
Tapi, ya udahlah, kenapa saya gak coba aja? Siapa sih yang tau, kalau
aja teori saya ini lebih benar”. Naif bukan?
“Saya nggak tau kalau saya bisa merubah keadaan, tapi siapa sih
yang tau?”
Kenaifan itu juga bisa menjadi “bensin” bagi aktivisme, entah itu
politik, ekonomi, sosial atau yang lainnya. Beberap hari yang lalu saya
membaca mengenai proyek tulisan maupun podcast yang bernama “ingat
65” yang biasa ditulis oleh orang-orang penyintas dari kerusuhan
genosida tahun 1965. Saya bisa menebak motivasi dia, pasti dia ingin
mencari kejelasan, pasti dia ingin membuat orang Indonesia sadar tentang
“apa sih yang sebenarnya dilakukan pemerintah kita tahun dulu?” Motivasi
mereka barangkali itu, dan saya bisa menebaknya dengan mudah.
Terima Kasih.
Tentang Penulis
NIS: 00467