Anda di halaman 1dari 3

A.

Nikah mut’ah

Mut’ah berasal dari kata “mata’a” yang berarti menikmati. Nikah Mut’ah disebut juga nikah sementara
atau nikah yang terputus. seperti : satu hari, satu minggu, satu bulan. Nikah mut’ah dalam istilah hukum
biasa disebut:

“perkawinan untuk masa tertentu” , dalam arti pada waktu akad dinyatakan ikatan berlaku perkawinan
sampai masa tertentu yang bila masa itu telah datang, perkawinan terputus dengan sendirinya tanpa
melalui proses perceraian. [5]

Nikah ini dilarang berdasarkan hadist Nabi:

‫ﻋﻦ ﻋﻠﻲﻲ ﺑﻦ ﺍﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﺭﺿﻲ ﺍ ﻋﻨﻪ ﺍﻲﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ ﺹ ﻡ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﻣﺘﻌﺔ ﺍﻟﻲﻨﺴّﺎﺀ ﻳﻮﻡ ﺣﻴﺒﺮ‬

Dari Ali bin Abi Tholib, Ia berkata: sesungguhnya Rasul saw melarang nikah mut’ah dengan perempuan-
perempuan pada waktu perang khaibar.

Contoh nikah mut’ah: suatu ketika Adi pergi ke Jepang, kemudian Adi menikahi Desy dengan masa
kiontrak selama tiga tahun. Setelah masa kontrak habis, secara otomatis Desy sudah bukan menjadi
istrinya lagi.

Perkawinan seperti di atas dilarang oleh agama, karena dianggap mempermaikan wanita.

1. Nikah Syighar

Secara etimologi, kata syighar dari kata ‫ ﻭﻣﺸﺎﻏﺮ – ﺷﺎﻏﺮﺗﻪ – ﺷﻐﺎﺭﺍ‬. Orang arab menjadikan kata

syighar tersebut menjadi redaksi berikut ini: “ Saya akan menikahkan putriku dengan kamu, jika kamu
menikahkan putrimu denganku”. Setidaknya ada tiga bentuk nikah syighar. Salah satu ta’rif yang rajih dan
kuat menurut ulama adalah kondisi dimana seseorang hendak menikahkan putrinya, atau saudara
perempuannya, atau budaknya dengan seseorang lelaki, sebagai kompensasi juga memberikan putrinya,
atau saudara perempuan, atau budaknya untuk dinikahkan dengan dia, baik dengan membayar sejumlah
mahar atau tidak. Dengan kata lain, syighar adalah perikahan dengan sejumlah kompensasi tukar
menukar anak putrinya atau saudara perempuannya atau budak perempuannya. Dalam kata lain disebut
saling menikah sebagai maharnya adalah manfaat kelamin anak putrinya atau saudara perempuannya
atau budak perempuannya. [6] Pernikahan semacam ini dalam Islam dilarang, berdasarkan hadist Nabi:

‫ﻚ ﻋﻭ ﺍﻫﻋﺯﺸﻭﻫﺟ ﻋ‬
‫ﻚ‬ ‫ ﺍﻋﻦﻭ ﻋﺯﺸﻭﻦﺟﺑﻨﻰ ﺍﻫﻦﺧﺘﻋ ﻋ‬،‫ﻚ ﺍﻦﺑﻨﻋﺑﺘﻰ‬
‫ﻚ ﻋﻭ ﺍﻫﻋﺯﺸﻭﻫﺟ ﻋ‬
‫ ﻋﺯﺸﻭﻦﺟﺑﻨﻰ ﺍﻦﺑﻨﻋﺘﻋ ﻋ‬: ‫ ﻋﻭ ﺍﻟﺸﺸﻋﻐﺎﻫﺭ ﺍﻋﻦﻥ ﻳﻋﻘﻫﻦﻮﻋﻝ ﺍﻟﺮﺮﻫﺟﻫﻞ‬. ‫ ﻧﻋﻋﻬﻰ ﻋﺭﻫﺳﻦﻮﻫﻝ ﺍﺑ ﺹ ﻋﻋﺑﻦ ﺍﻟﺸﺸﻋﻐﺎﺑﺭ‬: ‫ﻋﻋﻦﻦ ﺍﻋﺑﺑﻰ ﻫﻫﻋﺮﻦﻳﻋﺮﺓﻋ ﻋﻗﺎﻋﻝ‬
‫ ﺍﺣﻤﺪ ﻭ ﻣﺴّﻠﻢ‬. ‫ﺍﻫﻦﺧﺑﺘﻰ‬

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Sedang nikah syighar yaitu,
seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu, dan aku akan menikahkan kamu
dengan anak perempuanku, atau nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan aku akan
menikahkan kamu dengan saudara perempuanku” . [HR. Muslim]

Contoh nikah syighar:


Seorang laki-laki bernama Dedi, mempunyai anak perempuan bernama Susy. Dedi mempunyai tetangga
bernama Heru yang secara kebetulan Heru juga mempunyai anak perempuan bernama Lia. Dedi ingin
menikahkan Susy dengan Heru. Heru pun menerima permintaan Dedi tapi dengan syarat anak
perempuan Heru, yaitu Lia harus dinakahkan denganya (Heru).

Pernikahan seperti di atas dilarang oleh syari’at.

1. Nikah Muhallil

Nikah muhallil adalah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak bain kubra) maka haramlah menikahinya
berdasarkan firman Allah:

Ÿ xsù ‘@ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ߉÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry — ¼çnu Žö xî 3

“Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain”. (Q.S Al Baqarah:
230)

Larangan pernikahan ini (tahlil) juga terdapat dalam hadist Nabi dari Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh
Ahmad, al-Nasa’I dan al-Tirmizi dan dikeluarkan oleh empat perawi hadist selain an-Nasa’i yang
bunyinya:

( ‫ ﻟﻌﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ ﺻﻲﻠﻰ ﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻲﻠﻢ ﺍﻟﻤﺤﻲﻠﻞ ﻭﺍﻟﻤﺤﻲﻠﻞ ﻟﻪ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﺍ ﺑﻦ ﻣﺴّﻌﻮﺩ ﻗﺎﻝ‬

Dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata: “Rasul Allah saw. Mengutuk orang yang menjadi muhallil (orang yang
disuruh kawin) dan muhallal lah (orang yang merekayasa perkawinan tahlil)”. (HR. Attirmidzi).

Contoh nikah tahlil:

Seorang suami bernama Andi mentalak istrinya yang bernama Rina sebanyak tiga kali, karena Andi masih
mencintai Rina dan ingin kembali memperistri Rina, Andi menyuruh Umar untuk menikahi Rina sebagai
perantara agar Andi bisa menikah lagi dengan Rina.

Pernikahan semacam ini dilarang oleh syari’at karena dianggap mempermainkan hukum pernikahan
dalam Islam.

1. Nikah Muhrim

Nikah muhrim adalah seorang laki-laki yang menikah, sedangkan ia dalam keadaan ihram untuk haji atau
umrah sebelum tahalul. Hukum pernikahan ini batal. Jika ia menginginkan nikah dengannya maka ia
melaksanakan akad kembali setelah selesai haji atau umrahnya, berdasarkan sabda nabi:

( ‫ ﻻﻳﻨﻜﺢ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﻻ ﻳﻨﻜﺢ ) ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴّﻠﻢ‬. ‫ ﻡ‬. ‫ ﺍﻲﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍ ﺹ‬: ‫ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻲﻔﺎﻥ‬

Dari Utsman bin Affan, sesungguhnya Rasullah Saw bersabda: “Orang yang berihrom tidak menikah dan
tidak menikahkan”(HR. Muslim).
Maksudnya ia tidak melaksanakan akad nikah baginya dan ia tidak melaksanakan akad untuk orang lain.
Larangan ini bersifat haram, yakni mengharuskan kebatalan.

Contoh:

Pada saat Anwar sedang melaksanakan ihram untuk ibadah haji atau umroh saat itu juga dia menikah
dengan seorang wanita yang bernama Nisa’.

Pernikahan semacam ini dilarang oleh syari’at Islam.

1. Nikah Masa Iddah

Nikah masa ‘iddah yaitu laki-laki yang menikahi perempuan yang masih ‘iddah baik karena perceraian
ataupun kematian. Pernikahan ini bathil hukumnya, yaitu hendaknya mereka berdua dipisahkan karena
batalnya akad dan ketetapan mahar tetap bagi perempuan meski ia tidak bercampur denganya.
Diharamkan baginya menikahinya sehingga setelah habis masa ‘iddahnya sebagai hukuman baginya. Hal
itu juga berdasarkan firman Allah:

Ÿ wur (#qãB̓÷ès? noy‰ø)ãã Çy%x6ÏiZ9$# 4Ó®Lym x÷è=ö6t ƒ Ü=»tFÅ3ø9$# ¼ã&s#y_r &

“ Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis ‘iddahnya“.

(QS. Al-Baqarah: 235)

1. Nikah tanpa wali

Nikah tanpa wali yaitu laki-laki yang menikahi perempuan tanpa izin walinya. Nikah ini batil karena
kurangnya rukun pernikahan, yaitu wali, Rasulullah bersabda:

‫ ﻋﻋﻦﻦ ﻫﻣﻋﻌﺎﺑﻭﻳﻋﺔﻋ ﻦﺑﺑﻦ‬،‫ ﻋﻋﻦﻦ ﻋﺳﻠﻋﻋﻤﺔﻋ ﻦﺑﺑﻦ ﻫﻛﻬﻋﻦﻴﻞﻞ‬،‫ ﻋﻋﻦﻦ ﻫﺳﻦﻔﻋﻴﺎﻋﻥ‬،‫ ﺃﻋﻋﻧﺎ ﺃﻋﻫﺑﻮ ﺃﻫﻋﺳﺎﻋﻣﻋﺔ‬،‫ ﺃﻋﻋﻧﺎ ﺃﻋﻦﺣﻋﻤﻫﺪ ﻦﺑﻫﻦ ﻋﻋﻦﺒﺑﺪ ﺍﻦﻟﻋﺤﺑﻤﻴﺑﺪ‬،‫ﺻﻢﻢ‬
‫ﺱ ﻋﻭﻫﻫﻋﻮ ﺍﻷﻋ ﻋ‬‫ ﺃﻋﻋﻧﺎ ﺃﻋﻫﺑﻮ ﺍﻦﻟﻋﻌﺮﺒﺎ ﺑ‬،‫ﻆ‬
‫ﺍﺑ ﺍﻦﻟﻋﺤﺎﻓﺑ ﻫ‬
‫ﺃﻋﻦﺧﺒﻋﻋﺮﻋﻧﺎ ﺃﻋﻫﺑﻮ ﻋﻋﻦﺒﺑﺪ ﺮ‬
‫ﻦ‬ ‫ﻦ‬
( ‫ ﻋﻻ ﻧﺑﻋﻜﺎﻋﺡ ﺑﺇﻻ ﺑﺑﺈ ﺑﺫﺑﻥ ﻋﻭﻟﺑﻲﻲ ” ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻘﻲ‬،‫ﺖ ﺑﺑﻋﻐﻦﻴﺑﺮ ﺇﺑﺫﺑﻥ ﻋﻭﻟﺑﻴﺸﻋﻬﺎ ﻓﻋﻨﺑﻋﻜﺎﻫﺣﻋﻬﺎ ﻋﺑﺎﺑﻃﻞِﻞ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﻦ‬
‫ ” ﺃﻢﻳﻋﻤﺎ ﺍﻦﻣﻋﺮﺃﻞﺓ ﻧﻫﺑﻜﻋﺤ ﻦ‬: ‫ ﻋﻗﺎﻋﻝ‬،‫ ﻋﻋﻦﻦ ﻋﻋﻠﺑﻲﻲ‬،‫ ﻋﻋﻦﻦ ﺃﺑﺑﻴﺑﻪ‬،‫ﻫﺳﻋﻮﻦﻳﻞﺪ ﻳﻋﻦﻌﺑﻨﻲ ﺍﻦﺑﻋﻦ ﻫﻣﻘﺑﺮﻞﻥ‬

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami
Abul-‘Abbaas, ia adalah Al-Asham : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Abdil-Hamiid : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Usaamah, dari Sufyaan, dari Salamah bin Kuhail, dari Mu’aawiyyah bin
Suwaid, yaitu Ibnu Muqrin, dari ayahnya, dari ‘Aliy, ia berkata : “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa
ijin dari walinya, maka pernikahannya itu baathil. Tidak sah pernikahan kecuali dengan ijin seorang wali”
(HR. Al-Baihaqiy)

Anda mungkin juga menyukai