Makalah Mikrobiologi Kel. 5 Farmasi B
Makalah Mikrobiologi Kel. 5 Farmasi B
Makalah Mikrobiologi Kel. 5 Farmasi B
Helicobacter pylori
DI SUSUN OLEH:
Muhammad Najib 17.71.018032
Isnawati 17.71.018020
Noorhayati 17.71.018022
M. Pahdiannur 17.71.018054
Guna untuk memenuhi tugas dari Dosen mata kuliah Mikrobiologi makalah ini berisi
tentang bakteri Helicobacter pylori. Dimana isi dari makalah ini dapat digunakan dan
dimanfaatkan dalam pembelajaran. Semoga ini dari makalah ini dapat memberikan
pemahaman dan pengetahuan lebih terhadap perkembangan pengetahuan kedepannya.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penemuan Helicobacter pylori pada tahun 1982, telah mengubah tata laksana
beberapa penyakit gastroduodenalis. Hingga saat ini, H. pyloridikenal sebagai faktor
pathogen pada gastritis kronis, ulkus peptikum, dan karsinoma gaster. Eradikasi H.
pyloriefektif untuk gastric mucosal associated lymphoid tissue (MAL T)
lymphomaderajat ringan, ulkus peptikum dengan H. pyloriyang positif serta gejala
dyspepsia yang disebabkan olehnya. Eradikasi ini juga berpotensi mencegah
terjadinya karsinoma gaster yang disebabkan oleh infeksi H. pylori.
Eradikasi H. pyloriyang dianjurkan kini meliputi penggunaan proton pump
inhibitor(PPI) berkombinasi dengan 2 jenis antibiotik. Hal ini yang dikenal dengan
triple therapy. Akan tetapi,penyalahgunaan (misuse) antibiotic yang luas akhir-akhir
ini telah menimbulkan masalah resistensi H. pyloriterhadap beberapa jenis antibiotik
yang digunakan untuk eradikasi, sehingga diperlukan modalitas tata laksana yang
lebih efektif. Sebelum memulai tata laksana, seyogianya dipastikan dahulu ada
tidaknya infeksi H. pylori.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu bakteri Helicobacter pylori?
2. Bagaimanakah diagnose, gejala klinik, epidemiologi dan terapi untuk penderita
yang terkena Helicobacter pylori?
3. Bagaimanakah cara identifikasi biakan dan imunsero bakteri Helicobacter pylori?
C. Manfaat
1. Untuk mengetahui tentang bakteri Helicobacter pylori.
2. Mengetahui diagnose, gejala klinik, epidemiologi dan terapi untuk penderita yang
terkena Helicobacter pylori.
3. Mengetahui cara identifikasi biakan dan imunsero bakteri Helicobacter pylori.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah
dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman
berbentuk spiral pada mukosa lambung. (Blaser, 2005) Pada tahun 1893, seorang
sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang
hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman
spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali dianjurkan oleh Professor
Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen
cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu dinamakan Vibrio rugula.
Tetapi laporan tersebut tidak banyak mendapat perhatian karena ditulis dalam bahasa
Polandia. (Konturek, 2003) Laporan-laporan itu tidak mendapat perhatian karena
bertentangan dengan dogma yang banyak dianut oleh para dokter bahwa tidak ada
kuman yang bisa hidup dalam lambung yang begitu asam suasananya. Kuman ini
ditemukan kembali dan dilaporkan oleh Robin Warren seorang ahli patologi dari
Australia pada tahun 1979. Selanjutnya pada tahun 1981, Warren melanjutkan
penelitian tentang kuman tersebut bersama Barry Marshall, seorang residen Penyakit
Dalam. Kedua orang tersebut berhasil membiakkan kuman spiral tersebut. Dalam
laporan Marshall dan Warren pada tahun 1984 dalam majalah Lancet, mereka telah
menyatakan bahwa kebanyakan ulkus lambung dan gastritis disebabkan oleh karena
kuman tersebut. (Warren dan Marshall, 1984) Dalam usahanya untuk membuktikan
bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah
melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori
yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi
gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori.
Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan
Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam
laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan
Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori.
Kedua sarjana yang menemukan kembali kuman spiral yang kemudian dinamakan
Helicobacter pylori ini telah menerima hadiah nobel dalam ilmu kedokteran pada
tahun 2005.
5
B. Taksonomi dan Definisi
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Epsilon Proteobacteria
Order : Campylobacterales
Family : Helicobacteraceae
Genus : Helicobacter
Species : H. pylori
Bakteri Helicobacter Pylori (H. pylori) adalah suatu bakteri yang
menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis pada manusia. Bakteri ini
juga adalah penyebab yang paling umum dari borok-borok (ulcers) diseluruh dunia.
Infeksi bakteri helicobacter kemungkinan besar didapat dengan memakan makanan
dan air yang tercemar serta melalui kontak orang ke orang.
Di Amerika, 30% dari populasi orang dewasa terinfeksi bakteri helicobacter.
50% dari orang-orang yang terinfeksi adalah terinfeksi pada umur 60 tahun. Infeksi
lebih umum pada kondisi-kondisi hidup yang penuh sesak dengan sanitasi yang jelek.
Pada negara-negara dengan sanitasi yang jelek, 90% dari populasi dewasa dapat
terinfeksi bakteri helicobacter.
Individu-individu yang terinfeksi biasanya membawa infeksi terus menerus
hingga mereka dirawat dengan obat-obat untuk membasmi bakteri. Satu dari setiap
tujuh pasien dengan infeksi bakteri helicobacter akan mengembangkan borok-borok
pada usus dua belas jari dan juga lambung. Bakteri helicobacter juga berhubungan
dengan kanker perut dan suatu tipe yang jarang dari tumor lymphocytic dari perut
yang disebut MALT lymphoma.
6
dalam media agar basa dengan kandungan 7% eritrosit kuda dan dengan pH 6,7 –
8 serta tahan beberapa saat dalam suasana sitotoksin seperti ph 1,5
Menghasilkan beberapa macam enzym yang bersifat sitotoksin seperti; urease
dalam jumlah yang berlebihan, 100x lebih aktif dari yang dihasilkan bakteri
proteus vulgaris dan bakteri penghasil urease yang lain, Protease yang
diperkirakan merusak lapisan mukus, Esterase, Pospolipase A dan C, phospatase.
Menghasilkan VAC ( Vacuolating cytotoxin cell )
Disamping itu juga mengandung protein somatik cytotoxin 120 – 130 kD yang
bersifat antigenik yang dapat merusak endotel dan merangsang imun dalam
pembentukan Imunoglobulin A, G ( G1, 2, 4 ) dan M.
Mengeluarkan platelet activating factor dan chemotactic substance
Bakteri ini khususnya resisten terhadap Trimetroprim dan sensitif terhadap
Penisilin dan Metronidazole.
C. Pembiakan
Sebenarnya teknik pembiakan kuman H. pylori tidak terlalu sulit, tetapi
membutuhkan cara dan syarat-syarat khusus yang agak berbeda dengan kuman lain.
Kuman ini adalah kuman mikroaerofilik dan karena itu untuk pembiakan diperlukan
suasana mikroaerofilik. Yang paling sering dipakai untuk menumbuhkan kuman H.
pylori adalah anaerobic jar dengan katalisator paladium. Kemudian ke dalam jar
dimasukkan Campylobacter gas kit ditambah air. Pertumbuhan kuman H. pylori
memerlukan suasana yang lembab. Suasana yang hampir serupa dapat dibuat
menggunakan anaerobic jar dengan anaerobic gas kit tetapi tanpa katalisator
paladium.
Media yang paling sering dipakai adalah lempeng agar darah yang
mengandung 7% darah. Karena kuman H. pylori tumbuh lambat supaya tidak kalah
dengan pertumbuhan kuman lain yang mungkin ada dalam bahan yang akan
dibiakkan maka diberikan suplemen antibiotik yang menekan kuman kontaminan tapi
tidak menekan pertumbuhan kuman H. pylori. Yang paling banyak dipakai adalah
suplemen Skirrow yang mengandung Trimetroprim, Vankomisin dan Polimiksin-B.
Karena Pseudomonas merupakan kuman kontaminan yang sering mengganggu dan
yang rupanya mulai kebal terhadap antibiotik dalam suplemen Skirrow maka di
laboratorium kami disamping suplemen Skirrow juga dicampurkan satu antibiotik
lagi yaitu Cefsulodin, suatu derivat cephalosporin yang dikhususkan untuk kuman
7
Pseudomonas, karena biakan kuman H. pylori sering terganggu oleh adanya jamur
maka sebaiknya ke dalam media ditambahkan Amphotericin B (Fungizone) 5
mg/liter.
Selain suplemen Skirrow suplemen lain yang banyak di pakai adalah suplemen
Dent yang terdiri dari Trimetoprim, Vankomisin, Cefsulodin dan Amphotericin B.
(Dent et al, 1988)
Selain suplemen di atas untuk pembiakan kuman H. pylori dianjurkan
penambahan Isovitalex atau Vitox yang berisi asam amino dan vitamin.
Untuk memudahkan identifikasi koloni H. pylori ke dalam medium dapat
dicampurkan Triphenyl Tetrazoleum Chloride (TTC) dengan kadar 40 mg/liter.
Dengan menambahkan TTC maka koloni H. pylori akan menunjukkan warna kuning
keemasan.
Medium lain yang dapat dipakai untuk kultur H. pylori adalah medium yang
mengandung emulsi kuning telur, medium yang mengandung 0,1% pati jagung
(cornstarch), medium yang mengandung 0,2 % arang (charcoal) dll. (Westblom,
1991)
Cara yang lebih mudah dan lebih hemat untuk menumbuhkan kuman H. pylori
adalah dengan menggunakan inkubator CO2. Keuntungan penggunaan inkubator CO2
adalah lebih mudah untuk mengendalikan kadar CO2, disamping murahnya harga gas
CO2 dibandingkan dengan harga gas pack. Disamping itu sewaktu-waktu bila
diperlukan inkubator dapat dibuka untuk melihat sediaan, yang mana tidak bisa
dilakukan bila menggunakan anaerobic jar, karena begitu jar dibuka maka gas pack
harus diganti dengan yang baru.
Bila digunakan inkubator CO2 dipakai kadar CO2 sebesar 10%. Salah satu
hambatan pemakaian inkubator CO2 adalah tingginya harga inkubator CO2.
Karena kuman H. pylori peka sekali terhadap produk-produk toksik maka
untuk menumbuhkan kuman H. pylori diperlukan medium yang mengandung
substansi yang mudah menyerap bahan-bahan toksik, misalnya darah, serum, heme,
charcoal dll.
Hampir semua pemula (young players) dalam H. pylori mengalami
kekeliruan-kekeliruan teknis pada awal mereka bekerja dengan kuman ini. Yang
terpenting kita harus yakin bahwa yang ditumbuhkan adalah benar-benar kuman H.
pylori dan bukan kuman lainnya. Pertumbuhan kuman ini sangat rentan terhadap
kontaminasi oleh kuman lain, karena itu tidak jarang kita ingin menumbuhkan kuman
8
H. pylori tetapi yang tumbuh ternyata bukan kuman H. pylori. Kontaminan yang
berbentuk batang sering dikelirukan sebagai H. pylori yang ada dalam bentuk batang
bengkok, apalagi bila hasil pengecatan Gramnya negatif. Perlu diingat bahwa selain
kuman H. pylori ada juga kuman-kuman yang urease positif, sehingga kesalahan yang
tersering adalah tumbuhnya kuman batang Gram negatif dan urease positif yang
dikira H. pylori. Yang perlu diingat adalah prinsip bahwa kuman H. pylori pada
biakan baru selalu berbentuk spiral, dan bukan batang bengkok.
Bila sediaan biopsi segara dibawa ke ruang mikrobiologi dan segera di tanam
dalam waktu 2-4 jam maka dapat dipakai media transpor sederhana misalnya PBS,
saline atau Dekstrosa 10% steril. Sebelum ditanam sediaan biopsi disimpan pada suhu
2-4°Celcius.
Tetapi bila sediaan ini membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai
laboratorium mikrobiologi maka sediaan biopsi sebaiknya disimpan pada Stuart
transport medium. (Glupczynski, 1996)
Tes kepekaan antibiotika kuman H. pylori sebenarnya tidak berbeda dengan
tes yang dilakukan untuk kuman-kuman lain. Hanya ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Yang terpenting adalah yakinkan bahwa kuman yang sedang anda teliti
adalah benar-benar kuman H. pylori dan bukan kuman kontaminan. Hal ini sangat
penting karena biakan kuman H. pylori sangat rentan terhadap kontaminasi, dan
kontaminan ini lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan H. pylori. Tidak jarang
dilaporkan spektrum kepekaan kuman H. pylori yang “aneh”, tetapi setelah di teliti
ternyata kuman yang diperiksa bukan H. pylori. Kekeliruan ini banyak dialami bila
kontaminannya adalah kuman berbentuk batang yang dikelirukan dengan kuman H.
pylori yang berbentuk batang bengkok. Karena itu suatu prinsip yang harus
diperhatikan adalah keharusan menggunakan kuman H. pylori yang baru ditumbuhkan
(paling lama 2-3 hari) yang berbentuk spiral. Karena zona hambatan antibiotika yang
biasa dipakai biasanya luas maka dalam tes difusi dalam 1 plate ditempatkan tidak
lebih dari 3 disk.
Indikasi utama pemeriksaan kepekaan antibiotika kuman H. pylori adalah kegagalan
terapi. Selain itu pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.
Ada 2 macam bentuk kokoid pada H. pylori yaitu bentuk kokoid besar dengan
sitoplasma yang longgar dan rongga perisitoplasmik yang lebar yang lebih merupakan
bentuk degeneratif dan bentuk kokoid kecil dengan sitoplasma yang lebih “dense” dan
membran sitoplasmik yang intak. Bentuk kokoid kecil ini merupakan bentuk
9
“pertahanan” dan menurut penelitian bentuk ini menunjukkan kadar protein yang
paling tinggi. Dengan pengecatan acridine orange bentuk ini tampak masih “viable”.
Bentuk kokoid besar tidak dapat ditumbuhkan dalam biakan, sedang bentuk kokoid
kecil masih dapat dibiakkan walaupun lebih sulit dan lebih lama. (Goodwin,1993)
D. Diagnosa
Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang
memerlukan endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang
tidak memerlukan endoskopi dan biopsi. Diagnosa invasif meliputi :
1. deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik
2. tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi
lambung.
3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.
4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung
Diagnosa noninvasif meliputi :
1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada
dalam lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam
darah penderita.
3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan
dalam tinja.
Penelitian menunjukkan bahwa di tangan yang berpengalaman sensitifitas deteksi
H. pylori secara histologik lebih tinggi dibandingkan dengan kultur mikrobiologik
(sensitifitas dan spesifisitas 98% bila diperiksa 2 spesimen biopsi).
Secara teoritik diagnosa pasti infeksi H. pylori ditegakkan dengan pembiakan.
Yang paling sering dilakukan adalah pembiakan yang dilakukan terhadap spesimen
biopsi mukosa lambung yang diambil dengan endoskopi. Disamping itu ada cara-cara
diagnosa tidak langsung. Salah satu kendala dari pembiakan kuman H. pylori adalah
diperlukannya endoskopi untuk pengambilan spesimen dan lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pembiakan. Untuk kultur kuman biasa kita hanya
membutuhkan 2-3 hari. Tetapi untuk kuman H. pylori yang pertumbuhannya lambat
pembiakan baru memberikan hasil setelah 4-7 hari.
Disamping itu pembiakan kuman H. pylori relatif sulit dan diperlukan expertice
yang tinggi serta biaya yang mahal. Karena itu kultur kuman H. pylori terutama
10
dilakukan untuk tujuan penelitian atau bila diperlukan tes kepekaan antibiotik pada
kasus-kasus yang gagal dilakukan eradikasi.
Salah satu kit untuk deteksi urease cepat adalah CLO (Campilobacter Light
Organism). Karena itu tes urease cepat sering dinamakan tes CLO. Tes CLO memang
sangat praktis untuk tujuan diagnostik karena hasilnya cepat diketahui. Tetapi
sebenarnya hasil tes CLO tidak mutlak. Bila jumlah kuman dalam jaringan biopsi
sangat rendah, maka ada kemungkinan tes CLO negatif, walaupun bila dilakukan
kultur H. pylori hasilnya positif. Demikian pula penggunaan tes CLO untuk follow up
terapi eradikasi tidak akurat. Misalnya bila pada biopsi awal hasil CLO positif, setelah
dilakukan terapi eradikasi hasilnya CLO negatif. Tetapi seringkali bila dilakukan
pembiakan hasilnya masih tetap positif.
Untuk menghindarkan hasil negatif palsu selama 2 minggu sebelum endoskopi
sebaiknya penderita tidak minum antibiotika, obat H2 antagonis atau penekan pompa
proton.
Manfaat utama PCR adalah untuk deteksi genom H. pylori. Primer yang paling
sering dipakai untuk deteksi genom H. pylori adalah primer yang berasal dari gen
urease A dan gen urease B. Tetapi belakangan ini lebih banyak dipakai primer yang
berasal dari fragmen gen urease C karena hasilnya lebih spesifik dan lebih sensitif.
Keuntungan pemakaian PCR dalam diagnosa infeksi H. pylori adalah kemampuan
PCR untuk mendeteksi baik kuman H. pylori yang berbentuk spiral maupun yang
berbentuk kokoid. Sedang cara-cara lain misalnya test urease dan tes nafas urea hanya
dapat mendeteksi kuman yang berbentuk spiral karena ternyata kuman yang
berbentuk kokoid tidak menunjukkan aktifitas enzim urease. Disamping itu PCR
dapat dipakai untuk deteksi gen CagA dan gene cag A serta gene lain yang ada dalam
kelompok patogenecity island. Akhir-akhir ini PCR dipakai untuk memeriksa
genotype H. pylori berdasarkan variasi urutan DNA pada gene yang termasuk dalam
kelompok patogenecity island.
Dalam tes napas urea penderita diberikan urea yang mengandung isotop C13 atau
C14. C13 tidak radioaktif sedang C14 adalah radioaktif. Bila dalam lambung
terdapat urease yang dihasilkan oleh kuman H. pylori maka urease tersebut akan
memecah urea menjadi CO2 dan H2O. Kemudian radioaktifitas dari CO2 yang
dikeluarkan diukur. Tes ini merupakan tes yang sangat berguna untuk tujuan
diagnostik maupun untuk follow up setelah terapi. Kerugiannya pemeriksaan ini
mahal. Lihat gambar 3.
11
Karena lamanya hasil pembiakan H. pylori maka untuk mendapatkan hasil
yang cepat maka sering digunakan rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO
test (CLO adalah singkatan dari Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini
spesimen biopsi mukosa lambung dimasukkan dalam medium agar yang dicampur
urea dan indikator. Bila dalam bahan biopsi tersebut mengandung urease maka akan
terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah.
Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan hasil yang baik adalah
dengan diagnosa histologis
Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua
cara ini tidak memerlukan endoskopi.
Belakangan ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi
antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa (Vaira et al, 1999).
12
E. Klinik
Spektrum gambaran klinik akibat infeksi H. pylori sangat luas, meliputi :
1. Asimptomatik, Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak
mengalami keluhan walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada
kasus-kasus asimptomatik sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik
aktif.
2. Dyspepsia dengan gambaran endoskopik yang bermacam-macam, mulai dari
normal sampai dengan ulkus lambung atau ulkus duodeni, gastritis, duodenitis,
gastritis atrofik, gastritis hypertrofik.
3. MALT (Mucosal Associated Lifoid Tissue) limfoma dan kanker lambung di
bagian destal (tipe intestinal).
Benar, pada tahun 1994 WHO dan Badan Riset Kanker Internasional telah
mengklasifikasikan H. pylori sebagai karsinogen kelompok 1 (definite), sejajar
dengan Hepatitis B dan C untuk Kanker Hati Primer.
14
menunjang diagnosa (Taley, 1993). Istilah yang sering dipakai untuk dispepsia non
ulkus adalah dispepsia fungsional.
F. Patogenesa
Setelah berhasil menembus asam lambung dan masuk ke dalam habitatnya
maka kuman H. pylori dapat bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi. Kuman H.
pylori mengadakan kontak dengan epitel mukosa lambung melalui bagian kuman
yang disebut adhesin. Melalui adhesin H. pylori berikatan dengan suatu gliserolipid
yang didapatkan pada epitel lambung. Kuman H. pylori menghasilkan berbagai enzim
misalnya urease, catalase, protease dan fosfolipase dll. Protease dan fosfolipase dapat
merusak mukus lambung. Disamping itu H. pylori juga memproduksi beberapa
macam toksin. Toksin-toksin ini akan menyebabkan reaksi keradangan dan kerusakan
jaringan dan menyebabkan gastritis kronik. Demikian pula reaksi imun serta reaksi
radang lokal akan menambah beratnya gastritis. (Dooley, 1991)
Adanya infeksi H. pylori kronik menimbulkan gangguan fungsi sekretorik
lambung misalnya terjadinya hipergastrinemia dll. yang menyebabkan hiperasiditas
dalam lambung dan duodenum. Adanya hiperasiditas dalam duodenum merupakan
salah satu keadaan yang memungkinkan hidupnya sel-sel mukosa lambung dalam
duodenum. Pindahnya sel-sel mukosa lambung ke dalam duodenum disebut
metaplasia gastrik dalam duodenum. Dengan adanya “pulau-pulau” sel mukosa
lambung dalam duodenum maka kuman H. pylori dapat pula hidup dalam duodenum.
Adanya kuman-kuman tersebut dalam dodenum akan menyebabkan duodenitis dan
akhirnya terjadi ulkus di daerah tersebut (Dooley, 1991). Lihat gambar 1.
Infeksi H. pylori akut menimbulkan gastritis yang disertai dengan
hypochlorhydria. Hal itu dibuktikan dengan infeksi buatan pada sukarelawan
termasuk Marshall sendiri. Tetapi infeksi kronik memang dapat menimbulkan
hyperchlorhydria. Infeksi H. pylori terutama mengenai daerah antrum dimana banyak
didapatkan sel-sel G yang diketahui memproduksi somatostatin. Somatostatin
berfungsi memberikan umpan balik (feedback) untuk asiditas dalam lambung. Dengan
adanya infeksi pada sel-sel antrum maka sel G juga banyak terkena dan produksi
somatostatin terhenti. Sebagai akibatnya mekanisme umpan balik tersebut tidak
bekerja. Walaupun produksi asam sudah cukup atau berlebih tubuh tetap merangsang
produksi tersebut sehingga terjadi hyperchlorhydria. Bila dilakukan eradikasi kuman
H. pylori maka fungsi sel-sel G tersebut pulih, demikian pula produksi somatostatin.
(Moss, 1992)
15
16
Penelitian menunjukkan bahwa adanya sifat tertentu dari kuman H. pylori
yang berhubungan dengan kemampuan untuk menimbulkan reaksi keradangan hebat,
yaitu kemampuan untuk memproduksi Vacuolating cytotoxin dan adanya gene yang
berhubungan dengan hal itu yaitu Cytotoxin Associated Gene A (cag A) I. Isolat yang
menghasilkan Vacuolating cytotoxin umumnya juga menghasilkan Cytotoxin
Associated Antigen suatu antigen dengan BM 120 kDa.
17
Pada saat ini diketahui bahwa infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis
kronik aktif, ulkus duodeni, ulkus lambung dan keganasan lambung.
G. Epidemiologi
Penemuan tersebut merupakan salah satu dari beberapa penemuan terbesar
dalam bidang gastroenterologi dalam abad ini, yang telah menimbulkan perubahan
mendasar dalam konsep patogenesis beberapa penyakit gastroduodenal. Gastritis
kronik merupakan suatu keadaan yang sangat banyak dijumpai di mana-mana. Bila
dahulu penyakit ini dikenal sebagai penyakit non infeksi maka kini diketahui bahwa
sebagian besar gastritis kronik disebabkan oleh karena infeksi kuman H. pylori.
Benar. Menurut konsep sekarang sebagian besar gastritis kronik disebabkan
karena infeksi H. pylori. Karena infeksi H. pylori dapat ditularkan dari seorang
penderita kepada orang lain maka penyakit ini dapat digolongkan dalam kelompok
penyakit menular. Dan karena itu epidemiologi gastritis kronik dan penyakit
gastroduodenal lain yang berkaitan dapat dipelajari seperti halnya penyakit menular
lainnya.
Kesan bahwa penyakit lambung itu merupakan penyakit menular dapat kita
jumpai dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang bahwa penyakit lambung
mengelompok dalam keluarga.
Sebagai suatu penyakit menular tentunya mempunyai suatu petanda atau
“marker” tertentu. Misalnya kalau kita mempelajari epidemiologi infeksi Hepatitis
18
Virus B maka petandanya adalah HBsAg dan anti-HBs atau anti-HBc. Oleh karena itu
gastritis kronik yang kira-kira identik dengan infeksi H. pylori kita bisa memakai IgG
anti-H. pylori. Maka dengan menggunakan IgG anti-H. pylori sebagai marker kita
dapat mempelajari epidemiologi gastritis kronik secara tidak langsung.
Penularan dengan modus yang hampir sama pernah dilaporkan, yang terjadi
pada beberapa orang yang dilakukan pengukuran pH lambung dengan elektroda yang
dimasukkan ke dalam lambung yang dipakai oleh beberapa orang bergantian.
Risiko tertular juga terjadi pada para endoskopis dan perawat endoskopi,
karena mereka berhubungan dengan endoskop yang belum dibersihkan yang banyak
mengandung sekreta lambung. Dan ada suatu laporan yang menunjukkan bahwa para
endoskopis menunjukkan frekuensi antibodi terhadap H. pylori yang jauh lebih tinggi
dibandingkan populasi normal. Namun penularan melalui endoskop pada saat ini
sudah sangat rendah karena cara pembersihan endoskop setelah dipakai sudah lebih
19
baik dan disinfeksi endoskop sudah jauh lebih baik. Disamping itu para endoskopis
maupun perawat endoskopi diharuskan memakai sarung tangan pada waktu bekerja.
20
rokok, dll. Karena itu perlu ditekankan pentingnya cuci tangan setiap kali selesai
kontak dengan penderita, dan menghindarkan makan minum dalam ruangan
perawatan. Disamping itu para perawat diharuskan memakai sarung tangan pada
waktu memandikan pasien dan sebagainya.
21
Betul, penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara yang sedang
berkembang infeksi H. pylori terjadi pada masa kanak-kanak dan bahkan pada masa
bayi. Hal ini berhubungan dengan tingkat sosioekonomik yang secara tidak
langsung berhubungan dengan tingkat higiene dan sanitasi. Sedang di negara-negara
maju umur mulai terjadinya infeksi lebih tinggi, tetapi sebagian besar infeksi terjadi
pada umur kurang dari 15 tahun. Disamping itu didapatkan bukti bahwa dengan
makin membaiknya tingkat sosioekonomi, maka usia mulai mendapat infeksi H.
pylori makin meningkat (Megraud, 1995).
H. Terapi
Dahulu dalam pengobatan ulkus duodeni, kita hanya mampu untuk sementara
mengatasi suatu “diathesis” yang pasti akan kambuh kembali. Sehingga tidak
berlebihan bila dahulu ada pepatah bahwa sekali ulkus peptikum maka seumur hidup
tetap ulkus peptikum. Tetapi sekarang tidaklah demikian, karena kita ketahui bahwa
hampir semua ulkus duodeni disebabkan oleh infeksi H. pylori, dan dengan
mengadakan terapi eradikasi maka angka kekambuhan ulkus duodeni dapat
diturunkan dari 70% lebih pertahun menjadi mendekati 0% (Tytgat et al, 1993).
Di negara-negara Barat terapi tripel yang terdiri dari gabungan bismuth,
Amoksisilin dan metrodasol menunjukkan angka keberhasilan eradikasi sekitar 90%.
Sedang gabungan Omeprasol dan Amoksisilin menunjukkan angka keberhasilan
sekitar 70%.
Memang dalam rekomendasi NIH (National Institute of Health) Amerika
Serikat sampai akhir tahun 1994 indikasi eradikasi hanyalah untuk ulkus duodeni dan
ulkus ventrikuli dengan H. pylori positif, dan belum dibenarkan untuk memberi terapi
eradikasi pada penderita dispepsia non ulkus dengan H. pylori positif. Ada beberapa
alasan dari hal ini, pertama banyak penelitian yang menunjukkan bahwa frekuensi
infeksi H. pylori pada DUN tidak berbeda dengan kontrol. Alasan kedua dari hal ini
adalah belum didapatkannya bukti bahwa terapi eradikasi dapat menghilangkan
simtom dispepsia secara bermakna, karena hasil penelitian yang masih merupakan
kontroversi.
Beberapa penelitian antara lain yang dilakukan oleh Rauws dkk (Rauws et al,
1988) dan Rokkas dkk (Rokkas et al, 1988) menunjukkan bahwa keluhan subyektif
pada penderita H. pylori positif yang berhasil dilakukan eradikasi menurun secara
bermakna dibandingkan dengan kelompok penderita dimana eradikasi H. pylori tidak
22
berhasil. Penelitian lain (Lofeld et al, 1989) menunjukkan bahwa penurunan keluhan
subyektif antara kelompok yang mendapat obat untuk eradikasi tidak berbeda
bermakna dengan kelompok yang mendapat plasebo. Tetapi banyak kekurangan
dalam penelitian ini misalnya; kriteria diagnostik yang kurang baik, kurangnya
kelompok kontrol dengan H. pylori negatif, dan jangka waktu follow up yang terlalu
pendek (>3 bulan) (Lambert, 1993).
Yang diberikan adalah kombinasi terapi tripple klasik dengan Omeprasol yang
sering disebut terapi kwadrupel yaitu :
25
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Tetrasiklin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
atau
Bismuth subsitrat 4 dd tb II
Metronidazol 4 dd 250 mg
Amoksisilin 4 dd 500 mg
Omeprasol 2 dd 20 mg
Yang diberikan selama 1 minggu (de Boer et al, 1996). Keberhasilan terapi
kwadrupel ini telah dilaporkan juga dari Mataram. (Palgunadi et al, 1997)
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi mengenai perlu tidaknya eradikasi
H. pylori pada kasus-kasus dyspepsia fungsional pada H. pylori positif. Ada beberapa
alasan dalam kontroversi tersebut :
1. banyak penelitian yang menunjukan bahwa frekuensi H. pylori pada dyspepsia
fungsional tidak berbeda dengan populasi kontrol.
2. belum banyak penelitian yang membuktikan bahwa terapi eradikasi dapat
menghilangkan symptom dyspepsia secara bermakna.
Tetapi salah satu penelitian yang dilaporkan tahun 1998 oleh McColl et al
menunjukkan bahwa penderita dyspesia fungsional dengan eradikasi H. pylori yang
berhasil lebih sering mengalami hilangnya symptom dyspepsia dibandingkan dengan
terapi Omeprasol saja, dan perbedaan tersebut cukup signifikan. (McColl et al, 1998)
Demikian pula hasil review oleh Moayyedi dkk-nya (2006) yang dilakukan terhadap
20 penelitian yang dilakukan secara acak dan terkontrol (randomized and controlled)
tentang terapi eradikasi H. pylori pada dyspepsia fungsional menunjukkan penurunan
keluhan dyspepsia secara signifikan dibandingkan dengan terapi noneradikasi,
walaupun perbedaan itu kecil.
Makin banyak para ahli gastroenterologi yang melakukan eradikasi pada
kasus-kasus dispepsia fungsional yang berat dengan H. pylori positif. Misalnya 70%
ahli gastroenterologi di Inggris melakukan hal tersebut.
27
Konsensus nasional tentang eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori
Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan
bahwa eradikasi H. pylori :
1. a. Sangat dianjurkan pada :
- Ulkus duodeni
- Ulkus ventrikuli
- Pasca reseksi kanker lambung dini
- MALT lymphoma
b. Dianjurkan :
- Dispepsia tipe ulkus
- Gastritis kronik aktif berat
- Gastropati AINS (NSAID)
- Gastritis hipertrofik
c. Tidak dianjurkan :
- penderita asimtomatik
Salah satu kerugian dari strategi tersebut adalah kemungkinan ada kecenderungan
untuk begitu saja memberikan terapi eradikasi tanpa melakukan pemeriksaan (war up)
yang cukup. Sehingga kemungkinan ada kelainan gastroduodenal yang serius yang
tidak terdeteksi, misalnya adanya keganasan lambung, dll, sehingga kelainan tersebut
tidak mendapat penanganan yang memadai.
Untuk terapi awal dipakai terapi lini pertama yaitu terapi yang memungkinkan
keberhasilan lebih dari 90%. Bila terapi lini pertama gagal maka dipakai terapi lini
kedua. Bila terapi lini kedua gagal maka terapi dilakukan berdasarkan hasil tes
kepekaan antibiotika.
Terapi lini pertama : PPI + Amoksisilin + Klaritromisin atau RBC (ranitidin
bismuth complex) + Amoksisilin + Klaritromisin.
Terapi lini kedua :
28
Terapi kwadrupel : PPI + Bismuth + Metronidasol + Tetrasiklin
Terapi penyelamatan (salvage):
Terapi kwadrupel atau PPI + Amoksisilin + Rifabutin Tergantung
antibiogram.
Tidak, kuman ini juga ditemukan pada mamalia lain misalnya pada anjing dan
kucing didapatkan kuman Helicobacter felis, pada rodentia didapatkan Helicobacter
muridarum. Pada kera didapatkan Helicobacter nemestrinae dan pada ferret
didapatkan Helicobacter mustellae. Secara eksperimental kuman Helicobacter pylori
dapat ditularkan kepada babi muda dan kepada mencit.
Kuman H. pylori pada manusia bukan kuman komensal karena adanya kuman
tersebut dalam lambung hampir selalu disertai timbulnya gastritis kronik secara
histologik. Disamping itu jelas bahwa tubuh juga mengadakan perlawanan berupa
reaksi imunologik lokal maupun sistemik.
Dari suatu penelitian yang dilakukan oleh Hazell didapatkan bahwa kuman H.
pylori akan dihambat oleh garam empedu dalam usus, dan karena itu walaupun ada
kuman H. pylori dalam tinja tetapi banyak kuman H. pylori yang tidak “viable” dalam
tinja. Tetapi pada tahun 1992 Thomas dkk melaporkan keberhasilan untuk
menumbuhkan kuman H. pylori dari tinja pada 9 orang dari 23 anak-anak (39%) yang
diperiksa di Gambia, Afrika (Thomas et al, 1992). Hal ini memperkuat teori bahwa
infeksi H. pylori dapat ditularkan secara fekal-oral.
30
I. Imunsero
31
mengalami infeksi H. pylori dapat sembuh spontan tanpa pengobatan. Hal itu
mengherankan karena sebenarnya respon imun tubuh baik lokal maupun sistemik
cukup besar, tetapi rupanya respon imun tersebut tidak efektif untuk membunuh
kuman H. pylori, karena kuman H. pylori berada di luar jaringan sehingga tidak
terjangkau oleh respon imun yang sebagian besar terjadi dalam jaringan. Salah satu
kemungkinan penyebab lain adalah ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi
antigen yang terpenting dari H. pylori (critikal antigen) antara lain karena H. pylori
mampu merubah komposisi antigennya (antigenic variation) (Rathbone dan Heatly,
1989).
Untuk penyakit infeksi yang tersebar begitu luas yang sudah banyak terjadi
pada masa anak-anak, apalagi yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya
keganasan, vaksinasi sangat penting artinya untuk pencegahan penyakit. Apalagi kita
ketahui bahwa eradikasi infeksi H. pylori relatif sulit. Penelitian menunjukkan bahwa
disamping untuk pencegahan ada harapan besar bahwa vaksinasi H. pylori dapat juga
dipakai untuk tujuan pengobatan.
Karena infeksi H. pylori terjadi secara oral, maka vaksin H. pylori yang tepat
adalah vaksin oral. Penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa vaksinasi
H. pylori per oral dapat mencegah infeksi H. pylori dengan efektif (Chen et al, 1993,
Marchetti et al, 1995).
32
proparia sistem saluran makan dan juga lamina propria sistem-sistem lain (urogenital,
repiratorik, jaringan glandular). Dalam jaringan efektor sel-sel tersebut akan
mengalami proliferasi klonal dan tumbuh menjadi sel plasma yang akan memproduksi
secretory IgA yang spesifik terhadap kuman H. pylori.
Benar. Secara preventif mungkin vaksin ini ditujukan pada anak-anak. Sedang
secara terapeutik vaksin ini dipakai untuk eradikasi infeksi pada penderita.
Mekanisme vaksinasi terapeutik sebenarnya belum jelas. Tetapi ada suatu teori
yang mengatakan bahwa pada infeksi alami respon imun pada jaringan mukosa
terhadap infeksi H. pylori sudah terjadi tetapi masih belum adekwat untuk melawan
infeksi. Sehingga dalam hal ini vaksinasi merupakan booster yang meningkatkan
respon imun dalam mukosa yang akhirnya menjadi efektif untuk melawan infeksi
(Lee, 1996).
33
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi Helicobacter pylorimerupakan penyebab utama gastritis dan ulkus
peptikum serta faktor risiko untuk terjadinya karsinoma gaster . Diagnosis dan tata
laksana infeksi H. pylorimenjadi penting dalam evaluasi pasien dengan keluhan
dispepsia. Saat ini diagnosis infeksi H. pyloridapat menggunakan metode
pemeriksaan yang invasive maupun noninvasif. Beberapa metode pemeriksaan
noninvasif lebih sering digunakan karena bersifat nyaman. Tata laksana terkini untuk
infeksi H. pyloriterdiri dari 3 lini yang mengandung antibiotik yang efektif terhadap
H. pylori. Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi H. pylori diperlukan mengingat
kemungkinan kegagalan eradikasi yang dikaitkan dengan risiko terjadinya berbagai
penyakit gastrointestinal pada pasien dengan infeksi H. pyloriyang persisten.
B. Saran
Seiring dengan pengembangan zaman, ilmu pengetahuan akan semakin
berkembang pula. Untuk itu diperlukan referensi yang update secara terus menerus
untuk bisa melengkapi setiap kekurangan dalam makalah ini.
34
DAFTAR PUSTAKA
Soemoharjo, S. (2009). Helicobacter Pylori dan Penyakit Gastroduodenal. [Online].
Tersedia: https://biomedikamataram.wordpress.com/tag/helicobacter-pylori-dan-
penyakit-gastroduodenal/ [1 Januari 2015]
Wibowo, J. (2012). Mengetahui Lebih Jauh Bakteri Helicobacter Pylori. [Online]. Tersedia:
http://penyakitmaag.com/mengetahui-lebih-jauh-bakteri-helicobacter-pylori.mht [1
Januari 2015]
35