Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KEPERAWATAN KRITIS

SYOK ANAFILAKTIK

Disusun Oleh :
1. Hikmah Safitri 1611020076
2. Dewi Asmiati 1611020077
3. Nur Fitriani 1611020078
4. Cindy Yuni Fitri 1611020079
5. Anzila Atfhi Nur H 1611020080
6. Istian Dewi 1611020081
7. Evi Triyani 1611020082
8. Gigih Fajar Anzani 1611020090
9. Imam Fajar S 1611020097

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
A. Patofisiologi
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe
I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada
Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E
spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan
reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam
tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya
reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin,
bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel
yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa
waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah
waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet
activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan
neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

2
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia
ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan
penderita.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Syok anafilaktik sering disebabkan oleh obat, terutama yang diberikan intravena
seperti antibiotik atau media kontras. Obat-obat yang sering memberikan reaksi
anafilaktik adalah golongan antibiotik penisilin, ampisilin, sefalosporin, neomisin,
tetrasiklin, kloramfenikol, sulfanamid, kanamisin, serum antitetanus, serum
antidifteri, dan antirabies. Alergi terhadap gigitan serangga, kuman-kuman,
insulin, ACTH, zat radiodiagnostik, enzim-enzim, bahan darah, obat bius
(prokain, lidokain), vitamin, heparin, makan telur, susu, coklat, kacang, ikan laut,
mangga, kentang, dll juga dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
2) Riwayat Keperawatan
a. Riwayat kesehatan : Keluhan utama klien terlihat sesak.
b. Riwayat kesehatan masa lalu : klien sebelumnya pernah mengalami riwayat
alergi baik obat, makanan, atau debu.
c. Riwayat keluarga : Adanya penyakit tertentu dalam keluarga, yaitu ibu atau
bapak klien mempunyai riwayat alergi yang sama.
3) Pemeriksaan fisik
a. Kepala
Inspeksi : Bentuk semestris / tidak, warna rambut hitam / tidak, distribusi
rambut merata / tidak.
Palpasi : rambut rontok / tidak, kulit kepala kotor / tidak, ada benjolan / tidak
, tekstur rambut kasar / halus.
b. Mata
Inspeksi : bentuk mata simetris / tidak, reflek kedip baik / tidak
Palpasi : konjungtiva merah muda / tidak, adanya nyeri tekan /tidak

3
c. Hidung
Inspeksi : hidung simetris / tidak,adanya inflamasi / tidak, adanya sekret /
tidak.
Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak pada daerah sinus, adanya massa / tidak.
d. Mulut
Inspeksi : bentuk mulut simetris / tidak, andanya kelainan kongenental / tidak
seperti bibir sumbing, mukosa bibir kering / tidak, gigi ada yang berlubang /
tidak, adanya caries gigi atau tidak. Palatum berada di tengah / tidak.
e. Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris / tidak, leher bersih / tidak, adanya lesi / tidak.
Palpasi : adanya benjolan / tidak, adanya pembesaran kelenjar tiroid / tidak,
adanya bendungan vena jugularis / tidak.
f. Dada
Paru – paru
Inspeksi : bentuk dada simetris / tidak,adanya interaksi interkosta / tidak,
amati klavikula dan scapula simetris / tidak. Palpasi : merasakan paru kanan /
kiri sama / tidak. Auskultasi : apakah suara paru vesikuler/ wheezhing /
creckles Perkusi : suara paru sonor / tidak.
Jantung
Inspeksi : bentuk dada simetris atau tidak. Palpasi : adanya nyeri tekan /
tidak. Auskultasi : bunyi S1LUB, adanya suara tambahan / tidak. Bunyi S2
DUB adanya suara tambahan / tidak. Perkusi : bunyi jantung normal / tidak
adanya sura tambahan.
g. Abdomen
Inspeksi : bentuk perut simetris / tidak, adanya massa / tidak, adanya benjolan
/ tidak. Palpasi : adanya nyeri tekan / tidak. Auskultasi :mendengarkan
peristaltic usus 5 – 35 kali/ menit atau tidak
h. Ektremitas
Inspeksi : Kaki kiri dan kanan simetris / tidak. Palpasi : adanya lesi atau
tidak

4
i. akral
Palpasi : Dingin, hangat / tidak.
4) Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Hematologi : Hitung sel meningkat, Hemokonsentrasi, trombositopenia,
eosinophilia naik/ normal / turun
b) Kimia: Plasma Histamin meningkat, sereum triptaase meningkat
b. Radiologi
a) X foto: Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus, plug.
b) EKG: Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia
C. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit
dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian
sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai
3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan
kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak
mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang
torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus
segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan
memadai.

5
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati.
Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. System pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena
trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka
tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi
membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke
rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang
diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-
lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid
(NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan
cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan

6
koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar
pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga
dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular
dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP
ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan
pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor
dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena.
Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa (
konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60
mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan
sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang
berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara
endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum
panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan :
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit
reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin
atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa
tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas
atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin dan
kortikosteroid secara intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung

7
beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan
terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai
ranitidin.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid
tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat
untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika
pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih disukai
memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau
ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W.
Sudoyo, IPD, Hal.190-192)

8
DAFTAR PUSTAKA
Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I. Penerbit Erlangga :
Jakarta.
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3. Penerbit P.T.
Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta.
Swearingen .PL. 1995. Manual of Critical Care Nursing. Mosby Year Book, Inc: St.Louis
Missouri.

Anda mungkin juga menyukai