Anda di halaman 1dari 2

Akuntansi Sumberdaya Manusia, Kapan Dimulai?

Oleh: Purwiyanto

Dosen STIE INDOÇAKTI Malang

Pada dasa warsa terakhir, telah terjadi lompatan pemikiran yang luar biasa pada ranah
manajemen sumberdaya manusia (SDM). Para pakar menganjurkan, agar SDM suatu
organisasi perusahaan tidak lagi dipandang sebagai faktor produksi yang bisa dieksploitasi
sedemikian rupa sebagaimana mesin atau faktor produksi lain. Hal ini karena SDM
mempunyai kharakteristik yang berbeda dengan faktor produksi lain. Karakteristik yang
menjadikan SDM berbeda adalah karena SDM secara kodrati dilengkapi dengan perasaan dan
harapan-harapan.

Oleh karenanya, para pakar Manajemen SDM menyarankan agar setiap


pemimpin/manajer organisasi perusahaan dapat mengubah paradigma terhadap SDM. Yaitu,
SDM harus disikapi sebagai aset yang harus diberdayakan, dikembangkan dan dijaga
perasaan serta harapan-harapannya. Maksudkan, agar SDM selalu dapat meningkatkan
motivasi kerja dan kinerjannya.

Sayangnya, revolusi pemikiran dan perlakuan terhadap SDM belum diikuti oleh
lompatan pemikiran sepadan pada ranah Akuntansi, khususnya Akuntansi Sumberdaya
Manusia (ASDM).

Sudah dipahami, bahwa SDM merupakan aset yang sangat besar nilainya. Bahkan
tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa maju atau mundurnya organisasi perusahaan sangat
ditentukan oleh SDM-nya. Sebagai justifikasi argumen ini, marilah sejenak menengok ke
lapangan hijau sepak bola. Maju-mundurnya atau bahkan hidup-matinya sebuah klub sepak
bola sangat ditentukan oleh kualitas SDM-nya. Mulai dari pengurus, manajer, pelatih, lebih-
lebih pemainnya. Klub-klub sepak bola papan atas di Eropa, misalnya, harus menghabiskan
dana trilyunan rupiah untuk mendapatkan SDM berkualitas. Menchester City misalnya, klub
yang sebenarnya miskin prestasi di kancah sepak bola profesional Inggris Raya ini, pada
2009 menyediakan dana 70 juta poundsterling atau sekitar Rp. 1.140.000.000.000,00 hanya
untuk belanja beberapa pemain saja (Okezone.com). Sungguh jumlah yang luar biasa besar.

Kalau klub yang miskin prestasi saja berani mengeluarkan dana yang super besar
untuk belanja SDM, apalagi klub-klub raksasa papan atas dunia semisal: Juventus, Inter
Milan, AC Milan, Real Madrid, Barcelona, Menchester United, Liverpool, atau Chelse.
Tentu, jauh lebih besar.

Merujuk salah satu prinsip akuntansi, yaitu materiality, tentu jumlah dana untuk
belanja SDM bola tersebut sangat material. Oleh sebab itu, dalam ranah Akuntansi harus
melakukan perubahan paradigma terhadap SDM ini. Jelasnya, SDM bola harus dianggap
sebagai aset, dengan konsekuensi harus dilaporkan di dalam neraca. Kalau tidak, tentu
Akuntansi Konvensional seperti sekarang akan gagal memberikan informasi yang relevan dan
akurat kepada para stakeholders-nya. Argumen ini juga didukung oleh realitas, bahwa pemain
dan pelatih sepak bola bisa dijual atau ditransfer kepada klub lain dengan harga yang material
juga.
Berdasar deskripsi di muka, kini sudah saatnya ada revolusi pemikiran tentang
penerapan Akuntansi Sumberdaya Manusia dengan memasukkan SDM sebagai aset pada
neraca. Kalau tidak, kapan lagi?

Anda mungkin juga menyukai