Anda di halaman 1dari 13

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN INDONESIA

“Berguru pada Ki Hajar Dewantara”

Pendahuluan

Ki Hadjar Dewantara, pendidik asli Indonesia, mempunyai pemikiran cerdas dalam

memberikan solusi atas kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat

itu, sebagaimana digambarkan dalam azas-azas pendidikan yang diterapkan pada sekolah

Taman Siswa yang didirikannya jauh sebelum Indonesia mengenal kemerdekaan.

Saat ini kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan muncul kembali. Indikasinya

terlihat pada kegagalan membangun manusia yang utuh. Terbukti adanya kebijakan

pendidikan karakter yang menunjukkan bahwa pendidikan hanya mampu membangun

manusia ‘pinter’ yang tidak cerdas lahir dan batin. Belum lagi bicara kualitas pendidikan.

Konon, mutu pendidikan Indonesia kini berada di urutan ketujuh dari 10 negara di Asia

Tenggara, dan urutan 124 dari seluruh Negara di dunia (UNDP, 2011), ditambah lagi dengan
biaya pendidikan yang akhir akhir ini tidak sesuai dengan apa yang di cita cita kan oleh UUD
1945 .

Padahal menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu dilaksanakan dalam rangka

kesempurnaan hidup manusia. Sedangkan manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa

dan karya. Maka kesempurnaan hidup manusia itu jika terdapat pengembangan semua daya

itu secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan

menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Dan ternyata pendidikan

sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang

memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan

manusia yang tidak berkarakter (manusiawi). (Riyanto, 2010).

Ada dua kata kunci yang bisa dicermati dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu

pertama keseimbangan. Pendidikan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai kebutuhan

lahiriah, seperti strata pendidikan, ijazah, gelar, dan pekerjaan. Tetapi pendidikan harus
mampu mengupayakan terbentuknya kecerdasan akal yang dibarengi dengan kecerdasan

moral-spritual. Perpaduan dua kecerdasan ini akan tampak dalam sikap dan pemikiran.

Sebaliknya, kecerdasan moralitas tidak akan ter-upgrade tanpa dorongan pemahaman akal

yang mumpuni. Kedua, kebanggaan. Ada sebuah fenomena yang sudah lazim dipahami

masyarakat kita mengenai ‘Barat’ dan ‘Timur.’ Jika orang Barat berkunjung ke Timur

(baca: Indonesia), maka mereka pasti akan meninggalkan jejak budaya Baratnya kepada

kita. Sebaliknya, jika orang Timur yang berkunjung ke Barat, bukan jejak budayanya yang

ditinggalkan tetapi justru budaya Barat itu dibawanya pulang. (Syafbrani, 2012).

Kalau demikian sungguh luar biasa pemikiran Ki hajar Dewantara yang telah

memprediksi bahwa “di zaman akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan”

(Soeratman, 1985). Ramalan ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara jauh sebelum

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara

Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
2

negeri ini merdeka telah khawatir akan munculnya sebuah krisis ketidakpercayaan

terhadap bangsa sendiri. Krisis identitas diri yang akan klimaks pada hilangnya jati diri

bangsa. Ironisnya, pemikiran bangsa sendiri justru termarjinalkan. Beliau hanya dikenang

dengan upacara bendera, tetapi pemikiran cerdasnya tentang pendidikan nyaris terlupakan.

Untuk itulah dalam carut marut pendidikan dewasa ini perlu ada rekonstruksi sistem

pendidikan dengan revitalisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara.

Sistem Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara terangkum dalam tujuh azas Taman Siswa

1922 dan lima dasar Taman Siswa 1947 yang dipraktikkan dengan “Sistem Pendidikan

Among” atau “Among Metode”.


Azas dan Dasar pendidikan

Orientasi azas dan dasar Taman Siswa dari Ki Hajar Dewantara merupakan pijakan

awal dari perjuangan beliau di bidang pendidikan nasional, jauh sebelum Indonesia

mengenal kemerdekaan. Tujuh azas yang berintikan (1) kodrat alam, (2) kemerdekaan, (3)

kebudayaan sendiri, (4) kerakyatan, (5) percaya pada kekuatan sendiri, (6) pembiayaan

sendiri, dan (7) keikhlasan lahir batin.

Adapun azas Taman Siswa selengkapnya (Soeratman, 1985) sebagai berikut:

1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri (zelfbeshikkingsrech) dengan mengingat

terbitnya persatuan dalam perikehidupan umum itulah azas kita yang pertama.

Terbit dan Damai itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak aka nada ketertiban

kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika

ia dirintangi dalam segala syarat kehidupannya.

Bertumbuh menurut kodrat itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolusi) dan

harus dimerdekakan seluas-luasmya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat

“paksaan-hukuman-ketertiban” itulah kita anggap memperkosa hidup kebatinan anak.

Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian

untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri.

Itulah yang kita namakan “Among-methode”.

2. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia merdeka

batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya member

pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid

menggali sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.

Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin

dalam hidup kebersamaan.


3. Tentang zaman yang akan datang, maka rakyat kita ada di dalam kebingungan.

Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita,

padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar di dapatnya dengan adat

penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup

kita.

Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya

pikiran (intelektualisme), padahal pengajaran itu membawa kita kepada gelombang

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara

Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
3

penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan

rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri (cultuur

histoe) kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras

dengan kodrat kita dan akan member kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban

bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa

lain.

4. Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak

berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran

secukupnya. Kekuatan bangsa dan Negara itu jumlahnya kekuatan orang-orangnya.

Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada

meninggikan pengajaran, kalau usaha meninggikan ini seolah-olah mengurangi

tersebarnya pengajaran.

5. Untuk dapat berusaha menurut azas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja

menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan

tetapi kalau bantuan akan mengurangi kemerdekaan kita lahir dan batin haruslah
ditolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan,

karena berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.

6. Oleh karena itu kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segera belanja

dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Itulah yang kita

namakan “Zelfbedruiping system” yang jadi alatnya semua perusahaan yang hidup tetap

dengan berdiri sendiri.

7. Dengan tidak terikat lahir dan batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan

dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan

berhamba kepada Sang Anak.

Ketujuh azas ini sesungguhnya merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar

Dewantara tentang pendidikan Barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan

kemanusiaan (Soeratman, 1985).

Sedangkan lima dasar Taman Siswa tahun 1947 atau terkenal dengan nama Panca

Dharma dan sekaligus menjadi azas kurikulum 1947 memuat, (1) dasar kemerdekaan, (2)

dasar kebangsaan, (3) dasar kemanusiaan, (4) dasar kebudayaan, dan (5) dasar kodrat alam.

Kelima dasar ini merupakan ‘operasionalisasi’ (mempertegas) dari azas pendidikan yang

menjadi pijakan awal Ki Hajar Dewantara. (Asmuni, 2011).

Sistem Among

Ki Hajar Dewantara merangkum konsep pendidikan yang dikenal dengan istilah

“Among Metode” atau “Sistem Among”. Dalam konteks ini, “among” mempunyai

pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana among

(momong) disebut “Pamong”, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari

yang diamong. Guru atau dosen disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar

anak sepanjang waktu. Tujuan pendidikan sistem among adalah membangun manusia

seutuhnya yang seimbang antara cipta, karsa dan karya, yaitu membangun peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur,

cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara

Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
4

yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada

umumnya. (Dwiarso, 2008).

Sistem Pendidikan Among Ki Hajar Dewantara ini merupakan aplikasi dari azas-azas

pendidikan Tamansiswa 1922. Hal ini terlihat dari sendi-sendi yang menjadi pijakannya,

yaitu pertama kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan

dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya; dan sendi kedua kemerdekaan sebagai

syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat

hidup mandiri.

Kedua sendi pendidikan ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara menempatkan

jiwa merdeka sebagai sifat kodrati sang anak yang harus ditumbuh kembangkan melalui

pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itulah sistem among mengharamkan hukuman

disiplin dengan paksaan atau kekerasan, tetapi dilaksanakan secara tut wuri handayani

dimana guru/dosen dapat menemukenali peserta didik, bila perlu perilaku mereka boleh

dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Karena konsep

kemerdekaan menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah kemerdekaan yang tidak tak terbatas.

Kemerdekaan dibatasi oleh tertib damainya masyarakat sehingga kemerdekaan seseorang

tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan orang lain. Kemerdekaan diri mengandung

arti kemerdekaan yang bertanggungjawab atas pengendalian diri dan tidak melanggar

kemerdekaan orang/golongan lain. (Dwiarso, 2008).

Selain azas kodrati dan kemerdekaan tersebut sistem pendidikan among menerapkan
pendekatan kekeluargaan, terutama dalam hubungan antara pamong dengan peserta didik,

sehingga terjadi penyatuan ‘kehangatan’ keluarga dengan sekolah. Dengan demikian dalam

sistem among guru/dosen tak ubahnya ibu dan bapak di keluarganya yang setiap saat selalu

siap diminta nasehat (pertimbangan)-nya apabila anak menghadapi kesulitan. Sebaliknya

anak tidak merasa takut menyampaikan masalah-masalahnya, karena antara keduanya

terdapat ikatan batin yang intim sebagaimana ikatan yang terdapat dalam keluarga.

Hasil penelitian Wangid (2009) ditemukan bahwa sebagai suatu model konseptual,

sistem among karya Ki Hadjar Dewantara merupakan suatu sistem pendidikan dan

pembelajaran yang lengkap dan komprehensif, baik teknis maupun filosofis. Pada dasarnya

sistem among dapat diterapkan dalam situasi saat ini. Hal ini terbukti dari proses belajar

mengajar dan kehidupan di SMA Taruna Nusantara yang mengadopsi konsep sistem

among, dan ternyata dapat terarah dan berhasil.

Analisis

Pendidikan yang Humanis

Ki Hajar Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologisnya.

Menurut beliau, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan

manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan

yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan

perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan

pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.

(Riyanto, 2010).

Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran Eduart Spranger (1950)

yang melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara


Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
5

dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-

sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang

meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik

(Suwariyanto, 1998).

Oleh karena itulah, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu pada hakikatnya

adalah memanusiakan manusia (humanisasi). Hal ini ditunjukkan dengan sikap ke-bapak-

an beliau. Padahal beliau adalah bangsawan tulen bergelar “Raden Mas”, cucu Paku Alam

III. Pendapat Ki Hajar Dewantara tentang arti bangsawan tidak jauh berbeda dengan

pendapat Kartini, yang menyatakan bahwa bangsawan itu berarti berbudi (Soeratman,

1985). Maka untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan,

beliau mengubah namanya dari Raden Mas Suryadi Suryaningrat menjadi Ki Hajar

Dewantara, sehingga gelar kebangsawanannya tidak nampak dan tidak lagi dipanggil

“denmas” atau “ndoro” oleh anak didiknya dan masyarakat pada umumnya. Dengan nama

baru inipun menunjukkan bahwa beliau telah melakukan ‘hijrah’dari satria pinandita ke

pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang

berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan

negara. (Soeratman, 1985, Suwariyanto, 1998).

Dari sudut ini saja telah nampak bahwa pendidikan ala Ki Hajar Dewantara adalah

pendidikan yang humanis. Dan karena itu, menurut Ki Hajar Dewantara, para guru

hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru

kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta

didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai

pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri

memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.

Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan

dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. (Suwariyanto, 1998).

Pendidikan yang Konstruktivistik

Jika dicermati, maka sistem among dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan

konstruktivisme. Dasar pemikiran konstruktivisme adalah: pengetahuan merupakan hasil

konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang

yang diajarkan, melainkan menciptakan sendiri pengertian. Menurut ahli konstruktivisme,

pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun

pengetahuannya sendiri. (Takwin, 2007).

Pandangan konstruktivisme tentang pendidikan sejalan dengan pandangan Ki Hadjar

yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu

dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekedar menurut dan

melakukan perintah (sendika dawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai berdaya-

upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh)

dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Menurutnya, jangan ada

perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, member

teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam

memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka ganjaran

dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan

keadaan. (Takwin, 2007). Hal ini sejalan dengan teori kognitif Jean Piaget (1954), bahwa

anak mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui pengalaman bertemu dengan objek-

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara


Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
6

objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah

memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari

tindakan-tindakannya.

Pendekatan kekeluargaan yang diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara ada kesamaan

dengan prinsip konstruktivisme, yakni guru/dosen sebagai mitra para siswa/mahasiswa

untuk menemukan pengetahuan. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan

dari guru ke murid, melainkan sebagai sebuah partisipasi dalam membentuk pengetahuan,

mencipta makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan memberikan penilaian-penilaian

terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir

secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri. Untuk

itulah guru/dosen dituntut agar memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat

memahami dan menghargai pemikiran siswa/mahasiswa, meskipun seringkali berbeda

pendapat atau bahkan bertentangan dengan pemikirannya. Atau dalam perkataan Ki

Hadjar, Si pendidik hanya boleh membantu kodrat-iradat-Nya keadilan, kalau buahnya

segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya

itu tidak terlihat nyata dan terang.

Sinergitas Pendidikan dan Pengajaran

Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, memang dibedakan antara

pendidikan dan pengajaran, tetapi keduanya harus bersinergis. Pengajaran harus bermuatan

pendidikan, demikian juga sebaliknya pendidikan harus bermuatan pengajaran. Ki Hadjar

mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani

anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak

yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Outcome-nya adalah “tringa” (ngerti,
ngrasa, dan nglakoni).

Ki Hajar Dewqantara, mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita

hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya.

Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada

artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Begitu pula, merasa saja

dengan tidak mengerti dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa

pengertian tidak akan membawa hasil. Sebagaimana pepatah: Ilmu tanpa amal seperti

pohon kayu yang tidak berbuah; Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet.

(Muaddab, 2011). Di sinilah urgesinya, bahwa pengajaran harus bermuatan pendidikan,

dan pendidikan harus bermuatan pengajaran. Karena pengajaran itu hanya menitikberatkan

pada aspek kehidupan lahiriyah, sedangkan pendidikan menitikberatkan pada aspek

batiniyah saja. Di sinilah keutuhan manusia yang dibangun dalam konsep pendidikan Ki

Hajar Dewantara.

SIMPULAN

Pemikiran tentang pendidikan yang berkonteks Indonesia merupakan sumbangan

orisinil dari Ki Hajar Dewantara yang sesungguhnya tidak kalah dengan pemikiran pakar

pendidikan dari negeri seberang. Untuk itulah beberapa pemikiran pendidikan Ki Hajar

layak dijadikan pijakan untuk merekonstruksi pendidikan di negeri ini. Di mulai dari diri

sendiri sebagai pendidik maupun sebagai pengambil kebijakan di lingkungan lembaga

Rekonstruksi Pendidikan Indonesia: Berguru pada Ki Hajar Dewantara

Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
7

pendidikannya masing-masing. Paling tidak, merubah paradigma pembelajaran menjadi

humanis, konstruktivistik, dan sinergis antara pengajaran dan pendidikan, yang kemudian

dilaksanakan dengan penuh keikhlasan lahir dan batin, sudah merupakan usaha luhur untuk
membangun bangsa. Syukur kalau bisa menerapkan azas-azas pendidikan dalam

penyelenggaraan lembaga pendidikan kita masing-masing, yang nuansanya sekaligus dapat

meningkat pada tataran rekonstruksi sistem pendidikan nasional. Semoga!

Daftar Kepustakaan

Asmuni dan Nana, 2011. Sejarah Pendidikan di Indonesia: Pasca Kemerdekaan Hingga

Era Reformasi. (Makalah Diskusi Pendidikan Karakter). Surakarta: PPs-UNS Prodi

Ilmu Pendidikan.

Dwiarso, Priyo. 2008. Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir-batin. (Online), edisi 29

Maret 2008, (dalam http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pijar-mainmenu-

37/34, diakses 9 Mei 2012).

Muaddab, Hafis. 2011. Pendidikan Karakter: Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

(Refleksi Hari Pendidikan Nasional). (Online), edisi 2 Mei 2011, (dalam http://

hafismuaddab.wordpress.com/2011/05/02/pendidikan-karakter-revitalisasi-pemikiran-

ki- hajar-dewantara-refleksi-hari-pendidikan-nasional, diakses 7 Mei 2012).

UNDP, 2011. Human Development Reports, (Online), (dalam http://hdr.undp.org/en/

reports, diakses 25-12-2011).

Piaget, Jean. 1954. The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books.

Riyanto, Theo. 2010. Pendidikan yang Humanis. (Online), (dalam http://bruderfic.or.id/ h-

60/pendidikan-yang-humanis.html., diakses 7 Mei 2012).

Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hajar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Suwariyanto, Theodorus. 1998. The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara:

Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis). Manila, De

la Salle University.
Takwin, Bagus. 2007. Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara. (Online),

edisi 1 Desember 2007, (dalam http://tamansiswa.org/publikasi-mainmenu-29/pusara-

mainmenu-38/23, diakses 8 Mei 2012).

Wangid, Muhammad Nur. 2009. Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan

Praktik Pendidikan, dalam Jurnal kependidikan, Volume 39, Nomor 2, November

2009, hal. 129-140.

Anda mungkin juga menyukai