Rekonstruksi Pendidikan Indonesia
Rekonstruksi Pendidikan Indonesia
Pendahuluan
memberikan solusi atas kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat
itu, sebagaimana digambarkan dalam azas-azas pendidikan yang diterapkan pada sekolah
Saat ini kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan muncul kembali. Indikasinya
terlihat pada kegagalan membangun manusia yang utuh. Terbukti adanya kebijakan
manusia ‘pinter’ yang tidak cerdas lahir dan batin. Belum lagi bicara kualitas pendidikan.
Konon, mutu pendidikan Indonesia kini berada di urutan ketujuh dari 10 negara di Asia
Tenggara, dan urutan 124 dari seluruh Negara di dunia (UNDP, 2011), ditambah lagi dengan
biaya pendidikan yang akhir akhir ini tidak sesuai dengan apa yang di cita cita kan oleh UUD
1945 .
kesempurnaan hidup manusia. Sedangkan manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa
dan karya. Maka kesempurnaan hidup manusia itu jika terdapat pengembangan semua daya
itu secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan
Ada dua kata kunci yang bisa dicermati dari pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu
lahiriah, seperti strata pendidikan, ijazah, gelar, dan pekerjaan. Tetapi pendidikan harus
mampu mengupayakan terbentuknya kecerdasan akal yang dibarengi dengan kecerdasan
moral-spritual. Perpaduan dua kecerdasan ini akan tampak dalam sikap dan pemikiran.
Sebaliknya, kecerdasan moralitas tidak akan ter-upgrade tanpa dorongan pemahaman akal
yang mumpuni. Kedua, kebanggaan. Ada sebuah fenomena yang sudah lazim dipahami
masyarakat kita mengenai ‘Barat’ dan ‘Timur.’ Jika orang Barat berkunjung ke Timur
(baca: Indonesia), maka mereka pasti akan meninggalkan jejak budaya Baratnya kepada
kita. Sebaliknya, jika orang Timur yang berkunjung ke Barat, bukan jejak budayanya yang
ditinggalkan tetapi justru budaya Barat itu dibawanya pulang. (Syafbrani, 2012).
Kalau demikian sungguh luar biasa pemikiran Ki hajar Dewantara yang telah
memprediksi bahwa “di zaman akan datang, rakyat kita ada di dalam kebingungan”
(Soeratman, 1985). Ramalan ini menunjukkan bahwa Ki Hajar Dewantara jauh sebelum
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
2
negeri ini merdeka telah khawatir akan munculnya sebuah krisis ketidakpercayaan
terhadap bangsa sendiri. Krisis identitas diri yang akan klimaks pada hilangnya jati diri
bangsa. Ironisnya, pemikiran bangsa sendiri justru termarjinalkan. Beliau hanya dikenang
dengan upacara bendera, tetapi pemikiran cerdasnya tentang pendidikan nyaris terlupakan.
Untuk itulah dalam carut marut pendidikan dewasa ini perlu ada rekonstruksi sistem
Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara terangkum dalam tujuh azas Taman Siswa
1922 dan lima dasar Taman Siswa 1947 yang dipraktikkan dengan “Sistem Pendidikan
Orientasi azas dan dasar Taman Siswa dari Ki Hajar Dewantara merupakan pijakan
awal dari perjuangan beliau di bidang pendidikan nasional, jauh sebelum Indonesia
mengenal kemerdekaan. Tujuh azas yang berintikan (1) kodrat alam, (2) kemerdekaan, (3)
kebudayaan sendiri, (4) kerakyatan, (5) percaya pada kekuatan sendiri, (6) pembiayaan
terbitnya persatuan dalam perikehidupan umum itulah azas kita yang pertama.
Terbit dan Damai itulah tujuan kita yang setinggi-tingginya. Tidak aka nada ketertiban
kalau tak bersandar pada perdamaian. Sebaliknya tak akan ada orang hidup damai, jika
Bertumbuh menurut kodrat itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolusi) dan
harus dimerdekakan seluas-luasmya. Maka dari itu pendidikan yang beralaskan syarat
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian
untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri.
2. Dalam sistem ini maka pelajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia merdeka
batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya member
pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid
menggali sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.
Pengetahuan yang baik dan perlu yaitu yang manfaat untuk keperluan lahir dan batin
Seringkali kita tertipu oleh keadaan, yang kita pandang perlu dan laras untuk hidup kita,
padahal itu adalah keperluan bangsa asing, yang sukar di dapatnya dengan adat
penghidupan kita sendiri. Demikianlah kita acapkali merusak sendiri kedamaian hidup
kita.
Lagi pula kita sering juga mementingkan pengajaran yang hanya menuju terlepasnya
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
3
penghidupan yang tidak merdeka dan memisahkan orang-orang yang terpelajar dengan
rakyatnya. Di dalam zaman kebingungan ini seharusnyalah keadaan kita sendiri (cultuur
histoe) kita pakai sebagai penunjuk jalan, untuk mencari penghidupan baru, yang selaras
dengan kodrat kita dan akan member kedamaian dalam hidup kita. Dengan keadaban
bangsa kita sendiri kita lalu pantas berhubungan bersama-sama dengan keadaban bangsa
lain.
4. Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat oleh sebagian kecil dari rakyat kita itu tidak
berfaedah untuk bangsa, maka haruslah golongan rakyat yang terbesar dapat pengajaran
Maka dari itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat umum daripada
tersebarnya pengajaran.
5. Untuk dapat berusaha menurut azas yang merdeka dan leluasa, maka kita harus bekerja
menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan
tetapi kalau bantuan akan mengurangi kemerdekaan kita lahir dan batin haruslah
ditolak. Itulah jalannya orang yang tidak mau terikat atau terperintah pada kekuasaan,
6. Oleh karena itu kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah segera belanja
dari usaha kita itu dipikul sendiri dengan uang pendapatan biasa. Itulah yang kita
namakan “Zelfbedruiping system” yang jadi alatnya semua perusahaan yang hidup tetap
7. Dengan tidak terikat lahir dan batin, serta dengan suci hati, berniatlah kita berdekatan
dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri akan
Dewantara tentang pendidikan Barat yang mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan
Sedangkan lima dasar Taman Siswa tahun 1947 atau terkenal dengan nama Panca
Dharma dan sekaligus menjadi azas kurikulum 1947 memuat, (1) dasar kemerdekaan, (2)
dasar kebangsaan, (3) dasar kemanusiaan, (4) dasar kebudayaan, dan (5) dasar kodrat alam.
Kelima dasar ini merupakan ‘operasionalisasi’ (mempertegas) dari azas pendidikan yang
Sistem Among
“Among Metode” atau “Sistem Among”. Dalam konteks ini, “among” mempunyai
pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana among
(momong) disebut “Pamong”, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari
yang diamong. Guru atau dosen disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar
anak sepanjang waktu. Tujuan pendidikan sistem among adalah membangun manusia
seutuhnya yang seimbang antara cipta, karsa dan karya, yaitu membangun peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur,
cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
4
yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada
Sistem Pendidikan Among Ki Hajar Dewantara ini merupakan aplikasi dari azas-azas
pendidikan Tamansiswa 1922. Hal ini terlihat dari sendi-sendi yang menjadi pijakannya,
yaitu pertama kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan
syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat
hidup mandiri.
jiwa merdeka sebagai sifat kodrati sang anak yang harus ditumbuh kembangkan melalui
pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itulah sistem among mengharamkan hukuman
disiplin dengan paksaan atau kekerasan, tetapi dilaksanakan secara tut wuri handayani
dimana guru/dosen dapat menemukenali peserta didik, bila perlu perilaku mereka boleh
dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Karena konsep
kemerdekaan menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah kemerdekaan yang tidak tak terbatas.
arti kemerdekaan yang bertanggungjawab atas pengendalian diri dan tidak melanggar
Selain azas kodrati dan kemerdekaan tersebut sistem pendidikan among menerapkan
pendekatan kekeluargaan, terutama dalam hubungan antara pamong dengan peserta didik,
sehingga terjadi penyatuan ‘kehangatan’ keluarga dengan sekolah. Dengan demikian dalam
sistem among guru/dosen tak ubahnya ibu dan bapak di keluarganya yang setiap saat selalu
terdapat ikatan batin yang intim sebagaimana ikatan yang terdapat dalam keluarga.
Hasil penelitian Wangid (2009) ditemukan bahwa sebagai suatu model konseptual,
sistem among karya Ki Hadjar Dewantara merupakan suatu sistem pendidikan dan
pembelajaran yang lengkap dan komprehensif, baik teknis maupun filosofis. Pada dasarnya
sistem among dapat diterapkan dalam situasi saat ini. Hal ini terbukti dari proses belajar
mengajar dan kehidupan di SMA Taruna Nusantara yang mengadopsi konsep sistem
Analisis
Menurut beliau, manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan
yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
(Riyanto, 2010).
Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini sejalan dengan pemikiran Eduart Spranger (1950)
yang melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia
dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-
(Suwariyanto, 1998).
Oleh karena itulah, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu pada hakikatnya
adalah memanusiakan manusia (humanisasi). Hal ini ditunjukkan dengan sikap ke-bapak-
an beliau. Padahal beliau adalah bangsawan tulen bergelar “Raden Mas”, cucu Paku Alam
III. Pendapat Ki Hajar Dewantara tentang arti bangsawan tidak jauh berbeda dengan
pendapat Kartini, yang menyatakan bahwa bangsawan itu berarti berbudi (Soeratman,
beliau mengubah namanya dari Raden Mas Suryadi Suryaningrat menjadi Ki Hajar
Dewantara, sehingga gelar kebangsawanannya tidak nampak dan tidak lagi dipanggil
“denmas” atau “ndoro” oleh anak didiknya dan masyarakat pada umumnya. Dengan nama
baru inipun menunjukkan bahwa beliau telah melakukan ‘hijrah’dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang
berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan
Dari sudut ini saja telah nampak bahwa pendidikan ala Ki Hajar Dewantara adalah
pendidikan yang humanis. Dan karena itu, menurut Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru
kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta
didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai
pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figur keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan
Jika dicermati, maka sistem among dari Ki Hadjar sejalan dengan pandangan
konstruksi manusia. Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang
pengetahuan tidak mungkin ditransfer kepada orang lain karena setiap orang membangun
yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu
dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekedar menurut dan
upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh)
dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan. Menurutnya, jangan ada
perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, member
teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam
memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka ganjaran
dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan
keadaan. (Takwin, 2007). Hal ini sejalan dengan teori kognitif Jean Piaget (1954), bahwa
objek di lingkungan. Merujuk Piaget, anak adalah pembelajar yang pada dirinya sudah
memiliki motivasi untuk mengetahui dan akan memahami sendiri konsekuensi dari
tindakan-tindakannya.
dari guru ke murid, melainkan sebagai sebuah partisipasi dalam membentuk pengetahuan,
terhadap berbagai hal. Mengajar dalam konteks ini adalah membantu siswa untuk berpikir
secara kritis, sistematis dan logis dengan membiarkan mereka berpikir sendiri. Untuk
itulah guru/dosen dituntut agar memiliki fleksibilitas pikiran yang tinggi agar dapat
segala pekerjaan dan keadaan itu tidak timbul karena adanya rintangan, atau kalau buahnya
pendidikan dan pengajaran, tetapi keduanya harus bersinergis. Pengajaran harus bermuatan
mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani
anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Outcome-nya adalah “tringa” (ngerti,
ngrasa, dan nglakoni).
hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya.
Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada
artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Begitu pula, merasa saja
dengan tidak mengerti dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa
pengertian tidak akan membawa hasil. Sebagaimana pepatah: Ilmu tanpa amal seperti
pohon kayu yang tidak berbuah; Ngelmu tanpa laku kothong, laku tanpa ngelmu cupet.
dan pendidikan harus bermuatan pengajaran. Karena pengajaran itu hanya menitikberatkan
batiniyah saja. Di sinilah keutuhan manusia yang dibangun dalam konsep pendidikan Ki
Hajar Dewantara.
SIMPULAN
orisinil dari Ki Hajar Dewantara yang sesungguhnya tidak kalah dengan pemikiran pakar
pendidikan dari negeri seberang. Untuk itulah beberapa pemikiran pendidikan Ki Hajar
layak dijadikan pijakan untuk merekonstruksi pendidikan di negeri ini. Di mulai dari diri
Makalah Seminar Pendidikan pada Peringatan Hardiknas di STKIP PGRI Jombang, 23 Mei 2012
7
humanis, konstruktivistik, dan sinergis antara pengajaran dan pendidikan, yang kemudian
dilaksanakan dengan penuh keikhlasan lahir dan batin, sudah merupakan usaha luhur untuk
membangun bangsa. Syukur kalau bisa menerapkan azas-azas pendidikan dalam
Daftar Kepustakaan
Asmuni dan Nana, 2011. Sejarah Pendidikan di Indonesia: Pasca Kemerdekaan Hingga
Ilmu Pendidikan.
Dwiarso, Priyo. 2008. Sistem Among Mendidik Sikap Merdeka Lahir-batin. (Online), edisi 29
(Refleksi Hari Pendidikan Nasional). (Online), edisi 2 Mei 2011, (dalam http://
hafismuaddab.wordpress.com/2011/05/02/pendidikan-karakter-revitalisasi-pemikiran-
Piaget, Jean. 1954. The Construction of Reality in the Child. New York: Ballantine Books.
Kebudayaan.
la Salle University.
Takwin, Bagus. 2007. Konstruktivisme dalam Pemikiran Ki Hajar Dewantara. (Online),
Wangid, Muhammad Nur. 2009. Sistem Among pada Masa Kini: Kajian Konsep dan