Anda di halaman 1dari 42

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

ABORTUS

Oleh :
Yuliana Maria N. Kancung NRP. 1522316080
Nurita A. M. P. Putri NRP. 1522316084
Andre Young NRP. 1522316086

Referat “Abortus” ini telah disetujui dan diterima sebagai sala satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian ilmu Kebidanan dan Kandungan
RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya.

Surabaya, 27 Juli 2018


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Mita Herdiyantini, Sp. OG.

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
KasihNya yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Abortus”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat kepeniteraan klinik dokter
muda Bagian Ilmu Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya.

Penulis juga ingin mengucapkan terma kasih kepada dokter pembimbing di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya atas kesediaannya dalam memberikan bimbingan
dan arahan selama kepaniteraan klinik ini. Penulis juga menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan referat ini.

Akhir kata, penulis berharap agar referat berjudul “Abortus” ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak yang membaca baik dari tenaga medis, dokter muda ataupun adik-adik
kelas.

Surabaya, 27 Juli 2018


Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3

2.1 Definisi ................................................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi Abortus ........................................................................................... 3

2.3 Etiologi Abortus .................................................................................................... 3

2.4 Klasifikasi Abortus ............................................................................................. 11

2.5 Diagnosis Banding ............................................................................................... 21

2.6 Tatalaksana ......................................................................................................... 22

2.7 Komplikasi .......................................................................................................... 34

2.8 Prognosis ............................................................................................................. 35

BAB III KESIMPULAN ................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 38

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Data kematian ibu oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa 15-
50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Asia Tenggara memiliki angka kematian ibu dan
bayi tertinggi di dunia. Berdasarkan laporan awal Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2012, angka kematian ibu (AKI) di Indonesia adalah 248/1.00.000 kelahiran
hidup. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan kesehatan ibu sangat terkait
dengan kesehatan reproduksi. Pada siklus hidupnya, wanita mengalami tahap-tahap
kehidupan diantaranya dapat hamil dan melahirkan. Beberapa kehamilan terakhir dengan
kelahiran tapi tidak jarang yang mengalami abortus. Abortus adalah penghentian atau
berakhirnya suatu kehamilan pada usia 20 minggu dan berat janin masih kurang dari 500
gram. Abortus merupakan salah satu masalah kesehatan “Unsafe Abortion“ yang
menimbulkan angka kesakitan dan kematian ibu yang tinggi, dimana AKI adalah salah satu
indikator keberhasilan layanan kesehatan disuatu Negara.1,2,3
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang
tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Sedangkan abortus spontan yang
tidak jelas umur kehamilannya, hanya sedikit menunjukan gejala dan tanda sehingga jarang
dilaporkan.4 Akan tetapi merujuk pada statistik dapat diketahui bahwa jumlah abortus di
Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Epidemiologi menunjukkan pada tahun 2010,
kejadian abortus di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,5 juta, pada tahun 2011 meningkat
sebesar 1 per 7,87 kelahiran hidup yaitu sekitar 482 pasien (372 abortus incomplete dan 110
abortus iminens) pada jumlah kelahiran hidup 3.797 pasien, kemudian kejadian abortus
meningkat lagi menjadi 641 pasien pada jumlah kelahiran hidup 4.523 pasien. Hal ini berarti
data kejadian abortus sebesar 1 per 7,06 kelahiran hidup.1.2,3,5 Berdasarkan masalah-masalah
inilah, referat abortus perlu dibuat guna memberi pengetahuan mengenai abortus kepada
dokter muda yang akan menjadi dokter masa depan agar menjadi edukator masyarakat
mengenai abortus sehingga angka kematian ibu dan anak di Indonesia dapat berkurang.

1.2 Tujuan
Mengetahui mengenai abortus mulai dari definisi sampai prognosis yang dapat terjadi.

1
1.3 Manfaat
1.3.1 Menjadi salah satu sumber pembelajaran dan sumber informasi dokter muda
mengenai abortus.
1.3.2 Menjadi bekal ilmu dokter muda mengenai abortus untuk mengurangi angka kematian
ibu dan anak dalam pendidikan di rumah sakit maupun di masa depan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
WHO mendefinisikan abortus sebagai penghentian kehamilan sebelum gestasi 20
minggu atau dengan janin memiliki berat lahir kurang dari 500 gram.1,2 Kriteria ini, sedikit
kontradiktif, karena berat badan lahir rata-rata janin 20 minggu adalah 320 gram, sedangkan
500 gram adalah berat lahir rata-rata janin 22 hingga 23 minggu.1 Meskipun demikian,
definisi tetap bervariasi sesuai hukum yang berlaku dimasing-masing Negara.1 Abortus
adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada atau sebelum
kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup di
luar kandungan.3,6

2.2 Epidemiologi Abortus


Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) persentase kemungkinan terjadinya
abortus cukup tinggi. Sekitar 15-40% kejadian abortus diketahui pada saat ibu sudah
dinyatakan positif hamil dan 60-70% kejadian abortus terjadi sebelum usia kehamilan
mencapai 12 minggu. Kejadian abortus di Indonesia setiap tahun diperkirakan sebanyak 2,5
juta kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 jumlah kejadian abortus meningkat 482 pasien
(372 abortus incomplete dan 110 abortus iminens) dengan jumlah kelahiran hidup 3.797
pasien, sehingga angka kejadian abortus sebesar 1 per 7,87 kelahiran hidup. Pada tahun 2012
didapatkan data ibu yang mengalami abortus sebanyak 641 orang dengan kelahiran hidup
4.523. Hal ini berarti data kejadian abortus sebesar 1 per 7,06 kelahiran hidup. Dari data pada
ketiga tahun tersebut didapatkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun 2010 dibandingkan
tahun 2011 dan penurunan dari tahun 2011 dibandingkan tahun 2012 dari tiap tahunnya.1

2.3 Etiologi Abortus


Penyebab abortus bervariasi dan umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab
terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut 4, :
2.3.1. Faktor Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio.
Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan

3
sitogenetik. Gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh
gangguan gen tunggal seperti kelainan Mendelian atau mutasi pada beberapa
lokus seperti pada gangguan poligenik atau multifactor yang tidak terdeteksi
pada pemeriksaan kariotip.8,9
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi, misalnya
nondisjunction miosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Sebagian besar
abortus karena kelainan sitogenetik pada trimeseter pertama berupa trisomi
autosom. Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus di mana terjadi
fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma sebagai mekanisme patologi
primer. Trisomi ini timbul akibat nondisjunction miosis selama gametogenensis
pada pasien dengan kariotip normal. Insiden trisomi meningkat seiring
bertambahnya usia. Trisomi 16 memiliki angka kejadian sekitar 30% dari
seluruh trisomi dan menjadi penyebab terbanyak dari seluruh trisomi. Selain itu
Sindroma Turner menjadi penyebab 20-25% kelainan sitogenetik pada abortus.
Semua kromosom trisomi akan mengalami abortus kecuali pada trisomi
kromosom 1 dan sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (Trisomi 21).8
Kelainan lain umumnya terjadi akibat fertilisasi abnormal seperti
tetraploidi, triploidi. Kelainan ini tidak dapat dihubungkan dengan kelangsungan
kehamilan. Angka kejadian tetraploidi adalah 8% kejadian abortus akibat
kelainan kromosom, di mana kelainan terjadi pada fase sangat awal sebelum
proses pembelahan. Kelainan sitogenetik juga meliputi kelainan struktur
kromosom. Kelainan struktur kromosom terjadi pada sekitar 3% kelainan
sitogenetik pada abortus dan sering diturunkan dari ibu. Kelainan struktur
kromosom pada pria juga dapat terjadi dan berdampak pada rendahnya
konsentrasi sperma, infertilitas, dapat mengurangi peluang kehamilan dan
terjadinya keguguran.
Kelainan sitogenetik juga sering berupa gen yang abnormal yang terjadi
karena mutasi gen sehingga dapat mengganggu proses implantasi bahkan
menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering
menyebabkan abortus berulang adalah Myotonic dystrophy yang merupakan
kelainan autosom dominan. Kelainan ini progresif dan penyebab abortus
mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.
4
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-
Danlos, Homosisteinuri dan Pseudoaxanthoma elasticum juga pada perempuan
dengan Sickel Cell Anemia beresiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena
adanya mikorinfark pada plasenta. Kelainan hematologic lain yang
menyebabkan abortus misalnya Disfibrinogenemia, Defisiensi Faktor XIII dan
Hipofibrinemia Afibrinogenemia Kongenital.8
Pemeriksaan genetik amniosentesis disarankan pada semua ibu hamil
dengan usia yang lanjut yaitu di atas 35 tahun karena resiko ibu terkena
aneuploidi adalah 1 : 80 dan akan meningkat setelah usia 35 tahun. Abortus
berulang bisa disbebkan penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal di mana
bila kelainan hanya ada pada salah satu orang tua faktor tersebut tidak
diturunkan. Ibu hamil dengan kelainan kariotip memiliki resiko abortus pada
kehamilan berikutnya.8
2.3.2. Faktor Anatomi
Defek anatomi uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas serta malpresentasi janin. Insiden kelainan
bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan
riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27% pasien. Penyebab
terbanyak abortus oleh karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus
(40-80%), Uterus Bikornis atau Uterus Didelfis atau Unikornis (10 – 30%).
Mioma Uteri dapat menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang
denganresiko kejadian antara 10 – 30% pada perempuan usia reproduksi. Selain
itu kelainan anatomi dapat pula disebabkan oleh Sindrom Asherman yang
menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium. Resiko abortus antara 25 – 80%, bergantung berat ringannya
gangguan.8
2.3.3. Faktor Autoimun
Penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA) dapat menyebabkan abortus berulang.
Antiphospholipid Antibodies (aPA) merupakan antibodi spesifik yang
didapatkan pada perempuan dengan SLE. Kejadian abortus spontan di antara
pasien SLE sekitar 10% dibandingkan populasi umum serta sebesar 75% bila
ditambah dengan kejadian pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3. Sebagian
5
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA, aPA merupakan
antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Hingga saat ini
ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu
Lupus Anticoagulant (LAC), Anticardiolipin antibodies (aCLs) dan Biologically
false-positive untuk Sifilis (FP-STS). Antiphospholipid Syndrome (APS) sering
juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetric misalnya pada Preeklampsia,
Intrauterine Growth Restriction (IUGR) dan Prematuritas. Menurut The
International Consensus Workshop pada tahun 1998 klasifikasi kriteria APS
meliputi:
a. Trombosis Vaskular
- Satu atau lebih episode thrombosis arteri, venosa atau kapilar
yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan atau
histopatologis
- Pada histopatologi, thrombosis tanpa disertai gambaran
inflamasi
b. Komplikasi Kehamilan
- Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas,
tanpa kelainan anatomik, genetik atau hormonal
- Satu atau lebih kematian janin di mana gambaran morfologi
secara sonografi normal
- Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambran janin
normal dan berhubungan degnan preeklampsia berat atau
insufisiensi plasenta yang berat
c. Kriteria Laboratorium
- aCL, IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi
apda 2 kali atau lebih pemeriksaan degnan jarak lebih dari atau
sama dengan 6 minggu
- aCL diukur dengan metode ELISA standar
d. Antibodi Fosfolipid/Antikoagulan
- Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (aPTT, PT dan
CT)
- Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang
dengna penambahan plasma platelet normal
6
- Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan
penambahan fosfolipid
- Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan
pemakaian heparin
aPA ditemukan kuran dari 2% pada perempuan hamil yang sehat, kurang
dari 20% pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33% pada
perempuan dengan SLE. Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark
plasenta yang luas, akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular sekarang
dianjurkan pemeriksaan darah terhadap β-2 Glikoprotein 1 yang lebih spesifik.
Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan
terhadap Prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregasi trombosit,
penurunan c-reaktif protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor.
Secara klinis lepasnya kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia
kehamilan di atas 10 minggu.8
Pengelolaan secara umum meliputi pemberian Heparin Subkutan, Aspirin
dosis rendah, Prednison, Imunoglobulin atau Kombinasi semuanya. yang perlu
diperhatikan adalah penggunaan Heparin jangka panjang yang memerlukan
pengawasan terhadap resiko kehilangan massa tulang, perdarahan serta
Trombositopenia. Studi case control menunjukkan pemberian Heparin 5000 IU
2x/hari dengan Aspirin 81 mg/hari meningkatkan daya tahan janin 50% jadi
80% pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dari 2 kali tes
APLAs positif.8
2.3.4. Faktor Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak
1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian
abortus berulang pada perempuan yang ternyata terdapat Brucellosis. Beberapa
jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain:8
a. Bakteri
- Listeria monocytogens
- Chlamydia trachomatis
- Ureaplasma urealitikum
- Mycoplasma hominis
- Bakterial vaginosis
7
b. Virus
- Cytomegalovirus
- Rubella
- Herpes Simplex Virus
- Human Immunodeficiency Virus
- Parvovirus
c. Parasit
- Toxoplasma gondii
- Plasmodium falciparum
d. Spirokaeta
- Treponema pallidumm
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi
terhadap resiko abortus/Early Pregnancy Loss di antaranya sebagai berikut:8
a. Adanya metabolic toksik, endotoksin, eksotoksin atau sitokin yang
berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta
b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat
sehingga janin sulit bertahan hidup
c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa
berlanjut kematian janin
d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia
bawah seperti Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealitikum,
Chlamydia trachomatis, Herpes Simplex Virus yang bisa
mengganggu proses implantasi
e. Amnionitis
f. Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh
karena virus selama kehamilan awal (TORCH).
2.3.5. Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 – 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan
kimia atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan
terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui
mengandung ratusan unsure toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui
mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteoplasenta. karbon
monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu
8
neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat
terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.8
2.3.6. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal dan gambaran
hormon setelah konsepsi terutama kadar progesterone.
a. Diabetes Mellitus
- Perempuan dengan Diabetes Mellitus yang dikelola dengan
baik resiko abortusnya tidak lebih jelek dibanding perempuan
yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan
HbA1c tinggi pada trimester pertama, resiko abortus dan
malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis Insulin
dependent dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang
2 – 3 kali lipat mengalami abortus.
b. Kadar progesterone yang rendah
- Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi
reseptivitas endometrium terhadap implantasi embrio. Pada
tahun 1929, Allen dan Corner mempublikasikan tentang proses
fisiologi korpus luteum dan sejak itu diduga bahwa kadar
progesterone yang rendah berhubungan dengan resiko abortus.
Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7
minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup
steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus
luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus dan
bila porgesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa
diselamatkan.
c. Defek fase Luteal
- Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep
insufisiensi progesterone saat fase luteal dan kejadian ini
dilaporkan pada 23 – 60% perempuan dengna abortus berulang.
Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk
mendiagnosis gangguan ini.
9
d. Pengaruh Hormonal terhadap Imunitas Desidua
- Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada
mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini
mendukung proses implantasi juga proses migrasi trofoblas dan
mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini
berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravilous dan
infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini
berupa Large Granular Lymphocite (LGL) dan makrofag,
dengna sedikit sel T dan sel B.
Sel Natural Killer dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada
endometrium yang terpapar progesterone. Peningkatan sel NK pada tempat
implantasi saat trimester pertama mempunyai peran penting dalam
kelangsungan proses kehamilan karena ia akan mendahului membunuh sel target
dengan sedikit atau tanpa ekspresi Huma Leukocyte Antigen (HLA). Trofoblas
ekstravilous dengan pembentukan cepat HLA1 tidak bisa dihancurkan oleh sel
NK desidua, sehingga memungkinakan terjadinya invasi optimal untuk plasenta
yang normal.8
2.3.7. Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan
adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen
koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embiru,
invasi trofoblas dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaaan hiperkoagulasi
dikarenakan :
a. Peningkatan kadar faktor prokoagulan
b. Penurunan faktor antikoagulan
c. Penurunan aktivitas fibrinolitik
Kadar faktor VII, VIII, X dan Fibrinogen meningkat selama kehamilan
normal terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Bukti lain menunjukkan
bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian
Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat
abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 – 6 minggu dan penurunan produksi
prostasiklin saat usia kehamilan 8 – 11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-
10
prostasiklin memacu vasospasme serta agregasi trombosit yang akan
menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai
penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi faktor XII berhubungan dengan thrombosis sistematik ataupun
plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada
lebih dari 22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi
metionin ke sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa congenital ataupun akuisita,
berhubungan dengan thrombosis dan oenyakit vaskular dini. Kondisi ini
berhubungan dengan 21% abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan
secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat.
Pada pasien ini, penambahan folat akan mengembalikan kadar homosistein
normal dalam beberapa hari.8

2.4 Klasifikasi Abortus


2.4.1. Abortus Spontan
2.4.1.1. Abortus Iminens
Abortus permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus,
ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil
konsepsi masih baik dalam kandungan. Diagnosis abortus iminens
biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh sedikit nyeri
perut / mulas atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan
pervaginam. Ostium uteri masih tertutup, besar uterus masih sesuai
dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif. Untuk
menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan
melihat kadar hormone hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin
kehamilan menggunakan urin tanpa pengenceran dan dengan
pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masih positif keduanya maka
prognosisnya adalah baik sedangkan bila dengna pengenceran 1/10
hasilnya negatif maka prognosisnya lebih buruk.
Hal ini perlu dibedakan dengan perdarahan saat implantasi
yang terjadi ketika blastosit mengimplantasi dinding uterus. Pada
11
abortus biasanya perdarahan terjadi lebih dahulu kemudian diikuti
nyeri perut beberapa jam hingga hari kemudian. Keluhan perdarahan
pervaginam merupakan keluhan yang paling prediktif disertai keluhan
kram perut yang terjadi dalam ritme tertentu, nyeri punggun persisten
serta rasa tidak nyaman di daerah suprapubik. Kecurigaan abortus
dapat diabaikan bila saat pemeriksaan ditemukan Detak Jantung Janin
namun, resiko kelainan selama masa kehamilan lebih tinggi meskipun
keluhan perdarahan pervaginam tidak disertai timbulnya abortus.
Kelainan yang mungkin terjadi selama masa kehamilan dapat berupa
Plasenta Previa, Persalinan secara Sectio Caesaria maupun tindakan
manual untuk melepaskan plasenta disertai kemungkinan Ketuban
Pecah Dini, Kelahiran Preterm maupun gangguan pertumbuhan janin
dalam kandungan.2,8
Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada informed
consent yang diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan
tersebut, maka pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan
kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui
pertumbuhan janin yna gada dan mengetahui kedaan plsaenta apakah
sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri
janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan
berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin
diperhatikan di samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau
pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat dulakukan baik
secara Transabdominal atau Transvaginal. Penderita biasanya boleh
dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan tidak boleh
berhubungan seksual dulu sampai ± 2 minggu.8,10
2.4.1.2. Abortus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah
mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi
masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. Penderita
akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuar,
perdarahannya bertambah sesuai dengna pembukaan serviks uterus dan
umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengna umur kehamilan
12
dengan tes urin kegamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan
didapatkan pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur
kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau
mungkin sudah mulai tidak normal, boasanya terlihat penipisan serviks
uterus atau pembukaannya, Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan
plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita haru smemperhatikan keadaan umum
dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera
dilakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul
dengan kuretasi bila perdarahan banyak. Pada umu kehamilan di atas
12 minggu, uterus biasannay memerlukan tindakan evakuasi dan
kuretase lebih hati hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara
digital yang diikuti tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal
ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding
uterus.2,8,10
2.4.1.3. Abortus Inkompletus
Abortus Inkompletus adalah keadaan abortus dimana hasil
konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.
Batasn ini juga masih mengikuti pada umur keahmilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil
konsepsi masih tertinggal di dalam uteris di mana pada pemeriksaan
vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam
kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Besar uterus
sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit
dikenali, pemeriksaan USG di kavum uteri tampak massa hiperekoik
yang bentuknya tidak beraturan. Perdarahan biasanya masih terjadi dan
jumlahnya bisa banyak atau sedikit tergantung pada jaringan yang
tersisi, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka
sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan
anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi
dikelaurkan. Pengelolaan pasien hari diawali dengan perhatian
terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik
sebelum dilakukan kuretase.
13
Pemeriksaan USG dilakukan bila kita ragu degnan diagnosis
secara klinis. Bila terjadi perdarahan hebat sebaiknya segera dilakukan
evakuasi sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti untuk
kemudian dilakukan kuretase. Tindakan yang dianjurkan adalah
dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik.2,8,10,11
2.4.1.4. Abortus Kompletus
Abortus yang seluruh hasil konsepsi telah kelaur dari kavum
uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang
dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium telah
menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar
uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pada pemeriksaan tes urin
biasanya masih positif sampai 7 – 10 hari setelah abortus. Pengelolaan
penderita tidak memerlukan tindakan khusus atau pengobatan.
Biasanya hanya diberikan roboransia atau hematenik, uterotonika juga
tidak diperlukan.8,10
2.4.1.5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus yang telah
meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil
konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. Penderita
missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apapun kecuali
merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan.
Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru
merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan
sekunder pada payudara mulai menghilang.
Missed Abortion juga dapat diawali dengan Abortus Iminens
yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti.
Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu
minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan
USG akan didapatkan Uterus yang mengecil, kantong gestasi yang
mengecil dan bentuknya tidak bertauran disertai gambaran fetus yang
tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung
14
lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
gangguan clotting karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa
koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.
Pengelolaan keadaan ini perlu diutarakan kepada pasien dan
keluarganya secara baik karena resiko tindakan operasi dan kuretase
dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya
evakuasi dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu
diperhatikan karena penderita umumnya merasa gelisah setelah
mengetahui kehamilannya tidak timbuh atau mati. Pada umur
kehamilan < 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara
langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretasi bila serviks uterus
memungkinkan sedangkan bila umur kehamilan > 12 minggu atau < 20
minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan
untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin
atau mematangkan kanalis servikalis.8,10

Perdarahan
Ostium Hasil Konsepsi
Pervaginam
Masih di dalam
Abortus Iminens Tertutup Iya
Uterus
Masih di dalam
Abortus Insipiens Terbuka Iya
Uterus
Abortus Sudah keluar
Terbuka Iya
Inkompletus sebagian
Abortus Sudah keluar
Terbuka Iya
Kompletus seluruhnya
Masih di dalam
Missed Abortion Tertutup Tidak
Uterus

15
Gambar 1. Macam-macam Abortus. (USMLE 2011).
2.4.1.6. Abortus Habitualis
Abortus Habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali
atau lebih berturut-turut. Penderita abortus habitualis pada umumnya
tidak sulit untuk hamil namun kehamilannya berakhir dengan abortus
secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus habitualis
sekitar 0,41% dari seluruh kehamilan.
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak
dikaitkan dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap
antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi
terhadap antigen ini rendah atau tidak ada maka akan terjadi abortus.
Kelainan ini dapat diobati dengan transfuse leukosit atau heparinisasi.
Akan tetapi, beberapa decade terakhir menyebutkan perlunya mencari
penyebab abortus secara lengkap aga dapat diobati sesuai
penyebabnya.

16
Salah satu peneybab yang sering dijumpai adalah
inkompetensia serviks yaitu kedaan di mana serviks uterus tidak dapat
menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan
melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka
tana disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi
pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks
pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha
pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas
sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar. Diagnosis
inkompetensia serviks dapa melalui anamnesis dan pemeriksaan
dalam/inspekulo. Pada pemeriksaan dalam dapat dinilai diameter
kanalis servikalis dan didapatikan selaput ketubah yang mulai
menonkol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini
melebih 8 mm. Untuk itu pengelolaan penderita inkompetensia serviks
dianjurkan untuk periksa hamil seawall mungkin dan bila dicurigai
adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk
memfiksasi serviks agar dapat menerima bebad dengan berkembanya
umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 – 14
minggu dengan cara Shirodkar atau McDonald dengan melingkari
kanalis servikalis dengan benang Mersilene yang tebal dan simpul baru
dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.8,10
2.4.1.7. Abortus Infeksiosus / Septik
Abortus Infeksiosus adalah abortus yang diertai infeksi pada
alat genital. Abortus septic adalah abortus yang disertai penyebaran
infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum. Kejadian ini
merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering
terjadi terutama bila dilakukan dengan kurang memperhatikan asepsis
dan antisepsis.
Abortus infeksiosus dan abortus septic perlu segera
mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapate terjadi infeksi
yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga
peritoneum, bahkan seluruh tubuh sehingga menimbulkan keadaan
syok septik. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis mengenai upaya
17
tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan aspesis dengan
disertai gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardi,
perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan
lembut, serta nyeri tekan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
tanda-tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan
syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil dan tekanan
darah turun. Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah
membaik minimal 6 jam setelah antibiotik adekuat diberikan tidak lupa
disertai pemberian uterotonika.2,8
2.4.2. Abortus Provokatus
Abortus Provokatus adalah abortus yang terjadi dengan sengaja. Alasan
abortus provokatus sebagain besar adalah karena kehamilan yang tidak
dikehendaki. DI Indonesia, abortus provokatus adalah suatu tindak pidana
sehingga dokter dapat diminta bantuannya oleh polisi selaku penyidik untuk
memeriksan kasus tersebut. Abortus Provokatus dapa dibagi menjadi 2, yaitu
Abortus Provokatus Medisinalis atau atas indikasi medis dan Abortus
Kriminalis.8,12
2.4.2.1. Abortus Provokatus Medisinalis
Abortus Medisinalis atau Abortus atas indikasi medis adalah
abortus yang dilakukan atas indikasi medis untuk menyelamatkan
nyawa ibu sehingga tidak dibenarkan bila abortus dilakukan atas
indikasi ekonomi, etis (korban perkosaan atau hubungan di luar nikah)
serta sosial (takut adanya penyakit turunan atau janin yang cacat).
Dalam melakukan tindakan abortus atas indikasi medis, seorang dokter
juga sebaiknya melakukan konsultasi pada dokter ahli kandungan dan
kebidanan yang berpengalaman dengan syarat :12
a. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keahlian dan kewenangan untuk melakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi
b. Harus meminta pertimbangan tim ahli
c. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau
suaminya atau keluarganya

18
d. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki
tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh
pemerintah
e. Prosedur tidak dirahasiakan
f. Dokumen medik harus lengkap
Cara-cara yang dipakai untuk melakukan abortus atas indikasi
medis dibagi berdasarkan cara vaginal dan abdominal. Cara vaginal
antara lain dengan cara ketuban dipecah, dilatasi servik atau injeksi 10
unit Oksitosi intra uterin sedangkan cara abdominal melalui Sectio
Caesaria.
2.4.2.2. Abortus Provokatus Kriminalis
Abortus Provokatus Kriminalis meliputi ± 40% dari semua
kasus abortus. Abortus Provokatus Kriminalis adalah tindakan abortus
yang disengaja dengan indikasi selain indikasi medis untuk
menyelamatkan ibu. Pelaku abortus provokatus kriminalis biasanya
adalah wanita yang bersangkutan, dokter/tenaga medis (demi
keuntungan atau demi rasa simpati) serta orang lain yang bukan tenaga
medis yang karena suatu alasan tidak menghendaki kehamilan seorang
wanita. Cara-cara yang dilakukan untuk melakukan Abortus
Provokatus Kriminalis dapat dibagi menjadi Kekerasan Mekanik dan
Kekerasan Kimiawi.12
a. Kekerasan Kimiawi
- Emmenagogum, obat untuk menstimulasi atau
meningkatkan menstruasi :
 Direk; aloea, caulopylin, apiol, santonin
 Indirek; tonicum, hematinin
- Purgative/Emetica, obat yang bersifat laksatif
menimbulkan kontraksi Sistem Pencernaan:
 Colocynth
 Castor oil
- Ecbolics, obat yang menimbulkan kontraksi
uterus:
 Apiol
19
 Ergot
 Ergotmetrine
 Extract Secale
 Oksitosin
 Pituitrine
b. Kekerasan Mekanik
- Umum
 Latihan olahraga berlebihan
 Naik kuda berlebihan
 Mendaki gunung, berenang, naik turun
tangga
 Tekanan / trauma pada abdomen
- Lokal
 Memasukkan alat-alat yang dapat
menusuk ke dalam vagina
 Alat merenda, kateter atau alat
penyemprot untuk menusuk atau
menyemprotkan cairan ke dalam uterus
untuk melepas kantung amnion
 Alat untuk memasang IUD
 Alat yang dapat dilalui arus listrik
Abortus Provokatus Kriminalis dengan cara mekanik lokal
dapat menyebabkan kematian dengan waktu yang bervariasi, mulai
dari kematian seketika, kematian beberapa saat setelah tindakan
abortus maupun kematian yang terjadi lama sekali setelah tindakan
abortus, dengan kematian sebagai berikut : 12
a. Immediate
- Vagal reflek
- Emboli udara
- Perdarahan
- Keracunan Anestesi
b. Delayed

20
- Septicaemia
- General peritonitis
- Toksemia
- Tetanus
- Perforasi uterus dan viscera abdomen
- Emboli lemak
c. Remote
- Jaundice
- Renal failure
- Bakterial endokarditis
- Pneumonia, Empiema
- Meningitis
2.5 Diagnosis Banding
2.5.1. Kehamilan Ektopik Terganggu13
Gejala pada Kehamilan Ektopik Terganggu adalah nyeri pada perut bagian
bawah disertai perdarahan pervaginam. Nyeri dideskripsikan sebagai nyeri
menusuk atau kram namun pada umumnya nyeri ini sangat hebat hingga sering
kali menyebabkan pingsan. Pemeriksaan fisik pada pasien dapat ditemukan
adanya nyeri tekan abdomen terutama pada daerah suprapubik, suprailiaka
kanan dan kiri disertai nyeri tekan panggula dan teraba massa di daerah adneksa
pada pemeriksaan bimanual. Hasil pemeriksaan penunjang menggunakan tes
kehamilan akan menunjukkan hasil yang positif namun pada hasil pemerisksaan
USG, kantong gestasi tidak terletak di dalam uterus melainkan pada adneksa
disertai adanya cairan bebas di panggul atau cavum Douglas.
2.5.2. Mola Hidatidosa14
Pasien dengan Mola Hidatidosa memiliki keluhan yang sama dengan
pasien yang mengalami abortus, yaitu adanya perdarahan pervaginam.
Perdarahan dapat terjadi beberapa kali disertai keluarnya jaringan mola dan
dapat menimbulkan anemia. Gejala lain yang menyertai adalah Hiperemesis
Gravidarum akibat tingginya kadar hormon Human Chorionic Gonadotropin
(HCG). Pemeriksaan fisik biasanya dapat ditemukan tinggi fundus uteri yang
tidak sesuai / lebih tinggi dari usia kehamilan disertai pemeriksaan kadar

21
hormon HCG yang tinggi dan ditemukan gambaran snow storm pada
pemeriksaan USG.
2.5.3. Mioma Uteri Bertangkai13
Pasien dengan Mioma Uteri Bertangkai biasanya akan mengeluhkan siklus
menstruasi yang tidak teratur disertai jumlah perdarahan yang banyak dan nyeri
saat menstruasi. Keluhan siklus menstruasi yang tidak normal juga disertai
distensi abdomen dan teraba adanya massa di perut akibat massa mioma yang
semakin lama semakin membesar. Pada pemeriksaan bimanual dapat ditemukan
massa pada rahim yang teraba padat dengan permukaan halus dengna bentuk
yang tidak teratur sedangkan pemeriksaan penunjang menggunakan USG dapat
ditemukan massa padat pada uterus.
2.6 Tatalaksana
2.6.1. Tatalaksana Umum15,10
1. Tentukan stabilitas hemodinamik dan mengatasi ketidakstabilan.
2. Jika pasien dalam syok hemoragik:
a. Posisi Trendelenburg
b. Oksigen
c. Resusitasi cairan agresif (setidaknya double IV line dengan Ringer
Lactate atau Normal Saline.
d. Transfusi : Periksa golongan darah untuk transfusi dan transfusi
sesuai kebutuhan.
3. Tentukan status kehamilan (kualitatif dan kuantitatif).
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium kadar hematokrit (Ht) dan status Rh.
5. Lakukan pemeriksaan panggul untuk menentukan tingkat perdarahan;
adanya bekuan darah, fetus ; dan kondisi ostium serviks, serviks, rahim, dan
adneksa.
6. Lakukan ultrasonografi panggul untuk menentukan kandungan intrauterin
dan / atau ekstrauterin (aktivitas jantung janin) dan / atau secara klinis
mengklasifikasikan keguguran spontan.
2.6.2. Tatalaksana Khusus
2.6.2.1. Abortus Iminens
Pasien diminta untuk tirah baring sampai perdarahannya
berhenti. Bisa diberikan spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau
22
diberi tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah
terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik
kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita
sangat menguntungkan. Pasien boleh dipulangkan setelah tidak terjadi
pendarahan dengan edukasi tidak berhubugan seksual dulu sampai 2
minggu.16 Pada penelitian yang dilakukan di Turki dengan tujuan untuk
menentukan outcome perinatal dan komplikasi kehamilan (kelahiran
prematur, ruptur prematur membran prelabour / PPROM, preeklamsia,
abrupsi plasenta dan pembatasan pertumbuhan intrauterin / IUGR) dari
keguguran yang terancam (abortus iminens) Hasilnya menunjukkan
insidensi kelahiran prematur, abortus, berat janin gestasional yang
lebih rendah, dan ketuban pecah dini meningkat pada kelompok yang
abortus iminens. Abortus iminens merupakan situasi penting untuk
memprediksi baik outcome ibu dan janin pada kehamilan lanjut.17 Uji
dengan randomize dan atau quasi randomized control oleh Hayfaa A
Wahabi dkk untuk menilai efikasi dan keamanan progesteron untuk
pengobatan aborsi iminens menunjukkan bahwa tidak ada bukti
efektivitas dengan penggunaan progesteron vagina dibandingkan
dengan placebo dalam mengurangi risiko keguguran.18 Istirahat di
tempat tidur adalah saran yang paling umum, tetapi hanya sedikit bukti
mengenai manfaatnya.
Pilihan lain termasuk progesteron, human chorionic
gonadotropin (HCG) dan relaksan otot. Terapi komplementer dan
pengobatan alternatif (CAM / Complementery Alternatif Medicine)
seperti akupunktur dan ramuan Cina juga telah dicoba. Ada beberapa
bukti dari studi klinis yang menunjukkan bahwa terapi CAM dapat
mengurangi tingkat keguguran, tetapi kualitas penelitiannya buruk.
Dengan demikian, lebih lanjut double-blind, uji coba terkontrol secara
acak diperlukan untuk mengkonfirmasi efektivitasnya, terutama
akupunktur dan ramuan Cina.19
2.6.2.2. Abortus Insipeins
Pengelolaan pasien harus memperhatikan keaadaan umum dan
perubahan keadaan umum dan perubahan hemodinamik yang terjadi
23
dam segera lakukan tindakan evakuasi atau pengeluaran janin disusul
dengan kuretase bila pendarahan banyak. Untuk detailnya akan
dijelaskan pada terapi operatif abortus. Pada umur kehamilan diatas 12
minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi
dan kuretase harus hati-hati sambil diberikan uterotonika. Hal ini
diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus.
Pasca tindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika
dan antobiotik profilaksis.8
2.6.2.3. Abortus Inkompletus
Bila terjadi pendarahan yang hebat dianjurkan segera
melakukan pengeluaran sisa janin secara manual agar jaringan yang
mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi
uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti.
Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus
dilakukan dengan hati hati seuai dengaan keadaan umum ibu dan
besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan adalah dengan karet vakum
menggunakan kanula dari plastik, pasca tindakan perlu diberikan
uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotik.8
Aborsi yang tidak lengkap, sebelum usia kehamilan 13
minggu, terapi standarnya adalah Dilatation & Curetase (D & C) hisap
(akan dijelaskan pada operatif aborsi mengenai metodenya). Namun,
setidaknya 2 uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa
misoprostol adalah terapi medis alternatif yang efektif. Dalam satu
studi aborsi tidak lengkap, antara misoprostol oral (600 mcg) atau D &
C hisap, dengan tingkat keberhasilan misoprostol 96,3% sedangkan D
& C hisap 91,5%. Tingkat komplikasi rendah (0,9% untuk
misoprostol).15
2.6.2.4. Abortus Kompletus
Tidak diperlukan tindakan khusus ataupun pengobatan.
Biasanya hanya diberikan roboransia atau hematenik bila keadaan
pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.8 Aborsi
complete biasanya tidak membutuhkan perawatan lebih lanjut, secara
medis atau pembedahan. Pasien tidak perlu dirawat di rumah sakit
24
ketika diagnosis aborsi lengkap dilakukan; pasien biasanya
dipulangkan. Namun, jika ada kekhawatiran tentang kehilangan darah
yang signifikan, maka pasien mungkin perlu dirawat selama 24 jam
untuk observasi dan menerima transfusi darah jika diperlukan. Jika ada
kekhawatiran mengenai infeksi yang signifikan, terapi antibiotik IV
mungkin diperlukan dalam waktu yang singkat sampai demam / gejala
membaik.9
2.6.2.5. Missed Abortion
Perawatan dapat bervariasi tergantung pada usia kehamilan sebagai
berikut 9:
a. Trimester pertama : Kebanyakan janin keluar secara spontan.
Gangguan koagulasi akibat janin mati jarang terjadi.
Manajemen ekspektan, kuret hisap, atau misoprostol untuk
manajemen medis untuk memfasilitasi lewatnya janin dapat
dilakukan.
b. Trimester kedua : Rahim dikosongkan dengan dilatasi dan
evakuasi; sebagai alternatif, uterus dikosongkan dengan induksi
persalinan.
Rawat inap jika pendarahan vagina tidak dapat dikendalikan di
ruang gawat darurat, pindahkan pasien ke ruang operasi untuk
pemeriksaan, jika diperlukan tindakan bedah harus segera dilakukan.
Rujuk pasien ke tingkat perawatan yang lebih tinggi jika ada bukti
gangguan koagulasi.
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien
dan keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan
kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak
bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor yang mental
penderita perlu diperhatikan, karena penderita umumnya gelisah
setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Bila umur
kehamilan diatas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan
keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan
tindakan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau
mematangkan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara
25
lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitoksin dimulai dosis
10 unit dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan 20 tetes per menit dan
diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan
untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil,
penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi
biasanya maksimal tiga kali. Setelah janin atau jaringan janin berhasil
keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretse sebersih
mungkin.8
Pada dekade belakangan ini banyak yang telah menggunakan
prostaglandin atau sintesisnya untuk melakukan induksi pada missed
abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan
pemberian misoprostol secara sublingual sevabya 400 mg yang dapat
diulangi 2 kali dengan jarak 6 jam. Dengan obat ini akan terjadi
pengeluaran janin atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga
tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan
kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini
lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding
uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipofibronogenemia
perlu dipersiapkan trasnfusi darah segar atau fibronogen. Pasca
tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus ciran oksitoksin dan
pemberian antibiotik.8
2.6.2.6. Abortus Habitualis
The American College of obstetricians and Gynecologist
(2001) melaporkan hanya dua pemeriksaan yang perlu dilakukan pada
abortus habitualis yaitu analisis sitogenik parenteral dan lupus
antikoagulan dan antibodi antikardiolipin. Perempuan dengan persisten
lupus antikoagulan dan antikardiolipin antibodi dapat diobati dengan
low dosis aspirin dan heparin selama kehamilan berikutnya.
Jika penyebabnya inkompetensia serviks maka pengelolaannya
harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar
dapat menerima bebean dengan berkembangnya umur kehamilan.
Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12-14 minggu dengan cara
Shirodkar dan McDonald dnegan melingkari kanalis servikalis dengan
26
benang sutera yang tebal dan simpul bari dibuka setelah umur
kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.8
Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk menilai adanya
polikistik ovarium. Risikonya dapat dikurangi dengan pemberian
metformin. Gangguan tiroid dan gangguan kadar gula darah dapat
dideteksi dari gejala klinis dan laboratorium (TSH, T3 dan T4) serta
(GDP, GD2PP, HbA1C). Jika ada gangguan maka perlu diobati.
Infeksi seperti servitis, bakterial vaginosis dan PID perlu diobati
dengan pemberian antibiotik.

Gambar 2. Teknik operasi McDonald. (Williams Obstetrics Ed. 24)

27
Gambar 3. Teknik operasi Shirodkar. (Williams Obstetrics Ed. 24)

2.6.2.7. Abortus Infeksiosus / Septik


Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan
keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotik yang
adekuat seusai dengan kultur dan sensivitas kuman yang diambil dari
darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap
pertama dapat diberikan penisilin 4 x 1,2 juta unit atau ampisiliin 4 x 1
gram ditambah gentamisin 2 x 80 mg dan metronidazol 2 x 1 gram.
Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah
membaik minimal 6 jam setelah pemberian antibiotika adekuat. Jangan
lupa pada saat tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika.
Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bola dalam 2
hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan
antibiotik yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi tetenus, perlu
ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vaginalis/uterus
dengan larutan H2O2 kalau perlu histerektomi total secepatnya.

28
2.6.3. Tatalaksana Operatif
2.6.3.1. Pengeluaran secara digital
Tindakan ini dilakukan untuk menolong pasien di tempat-
tempat yang tidak memiliki fasilitas kuretase, sekurang-kurangnya
untuk menghentikan perdarahan. Tindakan itu sering dilakukan pada
abortus insipiens atau inkompletus.18 Syarat pembersihan secara digital
a. Telah ada pembukaan serviks uteri yang dapat dilalui oleh satu
jari secara longgar.
b. Kavum uteri cukup luas
Prosedur
a. Manipulasi pada rahim menimbulkan nyeri maka sebaiknya
diberikan narkosa umum intravena menggunakan ketalae-
diazepam yang didahului dengan premedikasi sulfas atropin 1
ampul.
b. Melakukan tindakan asepsis.
c. Pemberian antibiotik profilaskis, antibiotik yang digunakan
adalah sefalosporin- metronidazole.
d. Menggunakan dua tangan (bimanual); jari telunjuk tangan
kanan dimasukkan ke dalam jalan lahir untuk mengeluarkan
hasil konsepsi, sedangkan tangan kiri memegang korpus uteri
untuk menfiksasi melalui dinding perut.
e. Menggunakan jari, kikislah hasil konsepsi sebanyak mungkin
atau sebersih mungkin.18

Gambar 4. Abortus secara Digital. (Sinopsis obstetri, Sofian


Amru 2011)

29
2.6.3.2. Kuretase (kerokan)
Kuretase adalah cara pembersihan hasil konsepsi memakai alat
kuretase (sendok kerokan). Pemeriksaan sebelum melakukan kuretase
yaitu pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaa
serviks, dan besarnya uterus. Tujuannya untuk mencegah perforasi
uterus.18 Persiapan pre kuretase
a. Persiapan pasien
- Lakukan pemeriksaan umum: tekanan darah, nadi, keadaan
jantung dan paru
- Pasanglah infus cairan sebagai profilaksis
b. Persiapan alat-alat kuretase, alat kuretase hendaknya telah
tersedia dalam bak alat dalam keadaan aseptik. Terdiri dari
- Spekulim dua buah
- Sonde uterus
- Cunam muzeuz atau cunam portio
- Berbagai ukuran dilator Hegar
- Bermacam-macam alat kuret
- Cunam abortus kecil dan besar
- Pinset dan klem
- Kain steril dan sarung tangan dua pasang.
c. Pasien dibarinngkan dalam posisi litotomi
d. Pada umumnyam diperlukan anestesi infiltrasi lokal atau umum
secara intravena dengan ketalar.
Teknik kuretase:18
a. Tentukan letak rahim, yaitu dengan melakukan pemeriksaan
dalam. Alat-alat yang dipakai umumnya terbuat dari metal dan
biasanya melengkung. Karena itu, alat-alat tersebut harus
dimasukan sesuai dengan letak rahim. Tujuannya adalah supaya
tidak salah arah (false route) dan perforasi.
b. Sondage. Masukkan sondage rahim sesuai dengan letak rahim
dan tentukan panjang atau dalamnya sondage. Caranya setelah
ujung sonde terasa membentuk fundus uterim telunjuk kanan
kanan diletakkan/dipindahkan pada porsio untuk menandai
30
sonde dan tariklah sonde keluar, lalu baca berapa cm dalamnya
rahim.
c. Dilatasi, jika pembukaan serviks belum cukup untuk
memasukan sendok kuret, lakukanlah terlebih dahulu dilatasi
dengan dilatator atau bougie Hegar. Peganglah busi Hegar
seperti seperti memegang pensil dan masukkalah dengan hati-
hati sesuai dengan letak rahim. Untuk sendok kuret terkecil
biasanya diperlukan dilatasi sampai Hegar nomor 7. Untuk
mencegah kemungkinan perforasi, usahakanlah memakai
sendok kuret yang agak besar, dengan dilatasi yang lebih besar.

Gambar 5. Cara kerja Laminaria untuk dilatasi dan


mematangkan servik. Gambar A ketika Laminaria baru
dipasang, Gambar B ketika Laminaria sudah mengembang dan
mendilatasi servik, Gambar C, jika Laminaria dimasukkan
terlalu dalam dapat menyebabkan robekan pada servik.
(Williams Obstetrics Ed. 24).

31
Gambar 6. Gambar A adalah bentuk Hygorscopic dilator saat
masih kering (kiri) dan saat mengembang ketika diletakkan di
lingkungan yang basah (kanan). Gambar B adalah contoh
Hygroscopic dilator berupa Laminaria (kiri) dan Dilapan-S
(kanan). (Williams Obstetrics Ed. 24).

Gambar 7. Dilatasi serviks dengan Busi Hegar (Sinopsis


obstetri, Sofian Amru 2011)

Gambar 8. Teknik dilatasi menggunakan Hegar dilator.


(Williams Obstetrics Ed. 24).

32
d. Kuretase. Jangan memasukkan sendok kuret dengan kekuatan,
dan pengerokan biasanya dimulai di bagian tengah. Pakailah
sendok kuret yang tajam (ada tanda bergerigi) karena lebih
efektif dan terasa sewaktu melakukan kerokan pada dinding
rahim dalam (seperti bunyi mengukur kelapa). Dengan
demikian, kita tahu bersih atau tidaknya hasil kerokan.
e. Cunam abortus. Pada abortus insipiens, jaringan sudah terlihat.
Pakailah cunam abortus untuk mengelurkan jaringan tadi yang
biasanya diikuti oleh keluarnya jaringan lainnya. Dengan
demikian, sendok kuret hanya dipakai untuk membersihkan
sisa-sisa yang tertingal saja.
f. Perhatian. Memegang, memasukan dan menarik alat-alat
haruslah dilakukan dengan hari-hati, lakukanlah dengan lembut
(with lady’s hand) sesuai dengan arah dan letak rahim.

Gambar 9.Pengeluaran hasil konsepsi. (Hegar Sinopsis


obstetri, Sofian Amru 2011)
2.6.3.3. Vakum kuretase
Adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum.
Alat tersebut terdiri dari kanul kuret dalam berbagai ukuran yang
dihubungkan dengan pompa vakum atau sumber vakum laiinya. Untuk
vakum kuretase diperlukan tekanan negatif sekitar 700 mmHg.18
Teknik kuretase
a. Kanul dengan ukuran sesuai dengan pembukaan diamsukkan ke
dalam kavum uteri.

33
b. Kanul dihubungkan dengan sumber vakum baik yang elektrik
maupun yang berupa semprit besar.
c. Kanul digerakkan pelan pelan dari atas ke bawah, kemudian
diputar sampai 180 derajat sehingga isi rahim seluruhnya keluar
dalam suatu penampungan atau dalam semprit.
Kelebihan cara kuretase vakum
a. Kurang menimbulkan trauma, nyeri dan perdarahan.
b. Jarang terjadi perforasi karena dipakai kanul plastik,
dibandingkan dengan sendok kuret dari logam.
c. Waktu yang diperlukan untuk kuretase dan juga dilatasi serviks
lebih singkat, serta dapat dipakai pada pembukaan kecil.
2.7 Komplikasi
Akibat abortus beberapa komplikasi dapat terjadi antara lain sebagai berikut:2,8,17
2.7.1. Perdarahan
Pendarahan pada abortus dapat terjadi akibat luka pada jalan lahir, atonia
uteri, sisa jaringan tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat
timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan.
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena perdarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada wakuya.
2.7.2. Perforasi
Perforasi dapat terjadi akibat kerokan pada uterus terutama pada posisi
uterus hiporetrofleksi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh orang
awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas,
dapat terjadi perlukaan pada kandung kemih atau usus. Pada keadaan perforasi,
penderita perlu diamat-amati dengan teliti. Apabila ada tanda-tanda bahaya,
perlu segera dilakukan laparatomi, tergantung dari luar dan bentuk perforasi,
penjahitan luka perforasi atau histerektomi.
2.7.3. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi
biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus
buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila

34
infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan
kemungkinan diikuti oleh syok.
2.7.4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik).
2.7.5. Emboli udara
Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam
uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga
gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem
vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil
biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml
dapat menyebabkan kematian dengan segera.
2.7.6. Inhibisi vagus
Inhibisi vagus hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan
tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Inhibisi vagus
dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan
cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin.
2.7.7. Keracunan obat/ zat abortivum
Keracunan obat dapat disebabkan oleh obat-obat dalam tindakan abortus
maupun obat-obat anestesi.
2.8 Prognosis
Prognosis untuk kehamilan yang sukses tergantung pada etiologi keguguran spontan
sebelumnya, usia pasien, dan sonografi kehamilan. Koreksi kelainan endokrin pada wanita
dengan keguguran rekuren memiliki prognosis baik untuk keberhasilan kehamilan (> 90%).
Pada wanita dengan etiologi kehilangan kehamilan sebelumnya yang tidak diketahui,
kemungkinan mencapai keberhasilan kehamilan: 40-80%. Tingkat keguguran keseluruhan
untuk pasien yang lebih tua dari 35 tahun adalah 14% dan untuk pasien yang lebih muda dari
35 tahun adalah 7%. Pada Abortus iminens, prognosisnya dinilai dengan melihat kadar
hormon hCG pada urine dengan cara melakukan tes urine kehamilan dengan menggunakan
urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urine masih positif keudanya
maka prognosisnya dubia ad bonam bila pengenceran 1/10 negatif maka prognosisnya dubia
ad malam.12 Mortalitas / Morbiditas berdasarkan data surveilans menunjukkan bahwa

35
keguguran spontan dan aborsi menyebabkan sekitar 4% kematian terkait kehamilan di
Amerika Serikat.12

36
BAB III
KESIMPULAN

Abortus adalah penghentian kehamilan sebelum gestasi 20 minggu atau dengan janin
memiliki berat lahir kurang dari 500 gram menurut WHO. Kejadian abortus di Indonesia
setiap tahun diperkirakan sebanyak 2,5 juta kasus pada tahun 2010. Pada tahun 2011 jumlah
kejadian abortus meningkat 482 pasien (372 abortus incomplete dan 110 abortus iminens)
dengan jumlah kelahiran hidup 3.797 pasien, sehingga angka kejadian abortus sebesar 1 per
7,87 kelahiran hidup. Abortus dapat terjadi akibat berbagai macam faktor, antara lain faktor
genetik, anatomi, autoimun, infeksi, hormonal, hematologi maupun interaksi dari semua
faktor tersebut yang menyebabkan berhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat
bertahan hidup di luar rahim. Berdasarkan mekanisme terjadinya, abortus dapat dibagi
menjadi abortus spontan dan provokatif. Abortus spontan kemudian dibedakan menjadi
Abortus Iminens, Insipien, Inkompletus, Kompletus dan Missed berdasarkan ada tidaknya
dilatasi ostium servik serta keadaan janin dalam rahim, apakah sudah seluruhnya keluar dari
rahim atau belum. Selain itu ada juga Abortus yang diakibatkan oleh infeksi serta abortus
habitualis. Abortus Provokatif juga dibagi menjadi Abortus Provokatif Kriminalis dan
Provokatus Medisinalis berdasarkan ada tidaknya indikasi medis dilakukannya abortus.
Keluhan yang sering muncul pada pasien abortus adalah adanya perdarahan pervaginam
sehingga perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab timbulnya perdarahan pervaginam lain seperti
Kehamilan Ektopik Terganggu, Mola Hidatidosa serta Mioma Uteri Bertangkai.
Tatalaksana pada pasein abortus meliputi tatalaksana umum yang bertujuan untuk
menstabilkan kondisi pasien serta tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus pada pasien
abortus menyesuaikan keadaan janin di dalam rahim, bila janin di dalam rahim telah
meninggal maka terapi bertujuan untuk mengeluarkan sisa janin yang masih ada di dalam
rahim sedangkan bila janin masih hidup maka tujuan terapi adalah mempertahankan janin
agar tidak mengalami abortus. Tatalaksana khusus yang dapat dilakukan meliputi terapi
menggunakan obat-obatan maupun operatif. Abortus yang tidak ditangani dengan baik dapat
menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa dan menyebabkan kematian bagi ibu.

37
DAFTAR PUSTAKA

Hutapea M. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian abortus di rumah sakit bangkatan


PTPN II Binjai Tahun 2016. Skripsi. Tidak diterbitkan. Sumatera Utara: Akademi
Kebidanan Kharisma Husada Binjai. Jurnal ilmiah kohesi. Vol 1. No 1 April 2017.
Cunningham F.Gary et al. Williams Obstetrics. Ed. 24. Jakarta : EGC; 2014; Hal 226-
246, 350-364.
Nugroho, T. Kesehatan Wanita Gender dan Permasalahannya. Yogyakarta: Nuha
Medika.2010.
Prawirohardjo S. Abortus; Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Edisi 1. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 2013; 145-152.
Kementrian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes
RI; 2015.
Achadiat. Abortus (Keguguran). Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC.
Hal. 2009. 26-31
Sukarni, I dan Sudarti. 2014. Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Neonatus Resiko
tinggi. Nuha Medika. Yogyakarta.
Hadijanto B. Pendarahan Pada Kehamilan Muda; Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
2013; Hal. 458 – 491.
Rauf S. Riu D S. Sunarno I. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi; Ilmu Kandungan.
Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011. Hal 197-
211.
Kementrian Kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan Ibu di fasilitas kesehata dasar
dan rujukan. 2013. [ cited 17 June 2018]. Diunduh dari
http://www.searo.who.int/indonesia/documents/976-602-235-265-5-buku-saku-
pelayanan-kesehatan-ibu.pdf?ua=1
Andriza. Hubungan Umur dan Paritas Ibu Hamil dengan Kejadian Abortus Inkomplit di
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.Jurnal Harapan Bangsal. 2013. [ cited 17
June 2018]. Diunduh dari
http://pskb.binahusada.ac.id/sites/default/files/files/Jurnal%20andriza%202013.pdf
Hoediyanto. “Abortus” dalam Kusuma S E, Solichin S, Yudianto A. Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal. 2012. Hal. 292-296.
38
Hartono P. Saraswati W, Askandar B. “Abortus” dalam Paraton H, Widohariadi,
Warsanto. Pedoman Diagnosis dan Terapi:Hal. 49-51
Bain Catrina M, Burton Kevin, Ramsden ian. Ilustrasi Ginekologi. 2015. Hal. 197-200.
Puscheck Elizabeth E. Early Pregnancy Loss Treatment & Management. Medscape. 2018.
[ cited 16 June 2018]. Diunduh dari https://reference.medscape.com/article/266317-
treatment
Sofian A. Terapi Operatif Abortus dan Abortus Buatan. Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta.
2011; Hal. 31-39
SöylemezFeride, YüceTuncay, YakıştıranBetül. First Trimester Bleeding and Pregnancy
Outcomes: Case-Control Study.International Journal of Women’s Health and
Reproduction Sciences. Vol. 4 2016; 4–7
Wahabi Hayfaa A, Althagafi Nuha F Abed, Elawad Mamoun, Zeidan Rasmieh A Al.
Progestogen for treating threatened miscarriage. The Cochrane Collaboration. 2011;
4-6.
BettsDebra, Smith Caroline A, Hannah Dahlen G. Acupuncture as a therapeutic treatment
option for threatened miscarriage. BMC Complementary and Alternative Medicine.
2012; 1-7.
Maryunani, A. Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info
Media. 2009

39

Anda mungkin juga menyukai