NASIONAL
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya lah makalah “Hukum Perkawinan Nasional “ ini dapat
diselesaikan. Meskipun masih banyak kekurangan baik dari segi isi, sistematika,
maupun cara penyajiannya. Makalah Hukum Perkawinan Nasional ini merupakan
hasil dari rangkuman berbagai sumber yang menjelaskan tentang masalah Hukum
Perkawinan yang menjelaskan tentang Perkawinan
Saya mengharapkan semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa yang
lain dalam mempelajari tentang Hukum Perkawinan baik dari segi pandangan
mahasiswa maupun masyarakat lainnya. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan ................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan dan Persiapan Perkawinan .............................. 2
B. Persetujuan, Batas umur dan Izin Perkawinan ............................... 4
C. Pencegahan dan pembatalan perkawinan dan siapa saja yang dapat
melakukannya ................................................................................ 6
D. Perjanjian sebelum dan setelah perkawinan belangsung dan apa saja
yang dapat diperjanjikan ................................................................ 8
E. Hak/kewajiban suami dan hak kewajiban istri ............................... 10
F. Hak/kewajiban orang tua dan anak ................................................ 10
G. Harta benda dalam perkawinan, harta bawaan dan harta bersama . 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria
dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi
hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria
dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,
mawadah serta saling menyantuni antara keduanya.
Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang
tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan
dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan
agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak
sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada
kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum
Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan
yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu
wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai
bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain
yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan
harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan
fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau
pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.
B. Rumusan Permasalahan
Atas dasar latar belakang diatas, maka saya mengambil rumusan
permasalahan: “bagaimana seluk beluk tentang perkawinan dan
permasalahannya?”. Dengan materi ini, saya akan membahasnya satu persatu.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Secara umum AlQuran hanya menggunakan 2 kata ini, untuk
menggambarkan terjadinya hubungan suami isteri secara sah. Kata-kata ini
mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima).
Ijab kabul pernikahan pada hakekatnya adalah ikrar dari calon isteri melalui
walinya dan dari calon suami untuk hidup seia sekata, guna mewujudkan keluarga
sakinah dengan melaksanakan segala tuntunan ajaran agama serta melaksanakan
segala kewajiban sebagai seorang suami.
3
Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakandasar
fundamentaldari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan
berdasar atas Pancasila dan UUD1945. Falsafah Pancasila telah memandang
bahwa manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada
hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya. Persiapan perkawinan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki sebagai calon suami
dan seorang wanita sebagai calon isteri beserta keluarga masing-masing calon
dalam rangka mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempertemukan dua insan
(calon suami dan calon isteri) dalam ikatan cinta yang sah.
4
4) Dengan adanya putusan ini, maka Pegawai Pencatat Nikah dapat
melangsungkan perkawinan tersebut.
5
C. Pencegahan dan pembatalan perkawinan dan siapa saja yang dapat
melakukannya
1. Pencegahan perkawinan
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab
III “PENCEGAHAN PERKAWINAN” Pasal 13 dinyatakan bahwa: perkawinan
dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah
segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat sahnya perkawinan serta
persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah satunya adalah harus
memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 tahun 1974.
Di dalam Pasal 14 dikemukakan sebagai berikut:
Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
menyebabkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.
perkawinan yang harus dicegah, sebagaiman yang telah dijelaskan
sebelumnya, adalah perkawinan yang menyimpang dari undang-undang yang
berlaku. Di antara perkawinan yang marak dilakukan adalah: perkawinan di
bawah tangan, perkawinan agama, perkawinan sirri, perkawinan mut’ah/kawin
kontrak, dan sejenisnya.
Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat para
fuqoha atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka perkawinan
tersebut harus dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan berbagai alasan, di
antaranya adalah:
Kedua pasangan takut berbuat zina
Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya
Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya
Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan
Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang
yang berlaku
Secara sosiologis perkawinan secara sirri tidak berbeda dengan kumpul kebo
karena hidup bersama yang dilakukan oleh kedua pasangan suami istri yang ilegal
tersebut tidak memperdulikan hukum sosial yang berlaku. Padahal dalam ajaran
Islam, setiap perkawinan sebaiknya diumumkan agar masyarakat dan yang
terpenting saudara dekat, para kerabat mengetahui secara pasti dan meyakinkan
sehingga tidak menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika pergaulan antara laki-laki
dan perempuan terlampau melewati batas, dan keduanya takut berbuat zina, nikah
sirri secara teologis merupakan upaya menyelamatkan diri dari azab Allah. Oleh
sebab itu, dapat dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari
6
kerusakan. Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan “dar-u al-mafasid muqadamun
min jalb al-mashalih” artinya meniadakan kerusakan lebih didahulukan daripada
menarik kemaslahatan.
Menurut Ahmad Rofiq pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat
tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini terjadi akibat
pemahaman yang fiqh sentris, yang dalam kitab fiqh hampir tidak pernah
dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu kitab fiqh itu ditulis.
Namun apabila kita coba perhatikan ayat al Mudayanah (Q.S al Baqarah: 282)
yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[1]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu), jika tidak ada dua oang lelaki, maka
boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat agar
tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah
kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (Q.S al Baqarah: 282).
7
2. Pembatalan Perkawinan
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB
IV BATALNYA PERKAWINAN” Pasal 22 dikatakan bahwa: Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua
calon mempelai, persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin
orangtua kedua mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya
perkawinan menurut Undang-Undang No.9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum
Islam.
Dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu:
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
Suami atau istri
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 27:
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
Pasal 28:
Batalnya suatu perkawina dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut kepada:
a) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
b) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu
.
D. Perjanjian sebelum dan setelah perkawinan belangsung dan apa saja
yang dapat diperjanjikan
Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal
139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian
yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan
perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries.
Tujuannya adalah:
a. Keabsahan perkawinan
b. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari
perkawina itu untuk seumur hidup.
c. Demi kepastian hukum
d. Alat bukti yang sah
8
e. Mencegah adanya penyelundupan hukum
Perjanjian kawin juga diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51
Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah
seperti berikut:
1) Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan.
2) Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk
perjanjian lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3) Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang meliputi
semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan
maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan; pemisahan
harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga.
4) Kewenangan masing-masing pihak untuk melakukan pembebasan atas
hipotek atau hak tanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.
9
3. Masing-masing dari mereka memiliki usaha sendiri-sendiri; sehingga jika
salah satu jatuh, maka yang lainnya tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum pernikahan, masing-masing
akan bertanggunggugat secara sendiri-sendiri.
10
1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila
perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus
3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas alasan-
alasan tertentu.
ad 1.Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua oranng tua, yaitu ayah dan
ibu, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau
dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan
perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang
tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena
sakit keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada
dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak
mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang
wali.
ad 2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan berlangsung
sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan bubar, maka
berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur.
Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan menunjukkan asas bahwa
kekuasaan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu
sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan
masih ada anak yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang
tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak
yang masih belum dewasa.
ad 3.Kekuasaan orang tua hanya ada selama mereka memenuhi kewajibannya
terhadap anak. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang tua
yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan
pembebasan kekuasaan orang tua.
Di Indonesia karena belum ada hakim khusus untuk anakanak, maka baik
pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan kepada hakim
perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja terhadap salah satu dari
mereka, melainkan dapat keduanya baik terhadap salah seorang atau terhadap
semua anak-anak.
11
bidang perwalian anak tidak mempunyai hak hipotik terhadap barang-
barang ayahnya, yang berbeda dengan diatur dalam perwalian.
Pasal 309 BW mengatakan, penguasaan oleh orang tua hanya dapat
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-
barang anak yang masih minderjarig kedalam hal perwalian. Pelaksanaan
pengurusan itu terikat kepada ketentuan-ketentuan tentang perwalian dalam
menjalankan penguasaan atas barang-barang anak itu. Baru kalau
pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena suatu sebab, maka pengurusan
itu jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua.
ad b. Menikmati hasil
Pasal 311 ayat 1 BW menngatakan, bahwa bapak atau ibu yang melakukan
kekuasaan orang tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas harta
benda anak-anak itu. Ayat 2 menentukan bahwa jika kedua orang tua
dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua
yang berikutnya yang akan memperoleh kenikmatan hasil atas kekayaan
anak-anak inderjarig itu.
Pasal 311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah seorang orang tua itu
meninggal dunia atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian dan
kemudian orang tua yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua
dihentikan atau dibebaskan maka penghentian atau pembebasan itu tidak
mempengaruhi kenikmatan hasilnya. Penikmatan keuntungan adalah suatu
hak pribadi yang tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain dan
merupakan suatu hak atas harta benda anak yang diperoleh orang tua,
sedang isinya adalah apa yang dihasilkan oleh harta benda anak itu, sesudah
dikurangi dengan bebanbeban yang melekat pada harta benda itu.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1).
Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian
antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain
pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali
calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua
orang saksi.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina
oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan
menjadi empat macam, yaitu: Kematian salah satu pihak, tidak hadirnya suami-
istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru, adanya putusan hakim,
Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata
13
DAFTAR PUSTAKA
Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2004
14
SOAL-SOAL
15
1. Hak orang tua terhadap diri anak
2. Hak orang tua terhadap harta benda anak
3. Tentang kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga sedarah
dengan anak.
8. Sebutkan 5 unsur dalam pengertian perkawinan?
Jawaban : pengertian perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu :
a. Ikatan lahir batin
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
c. Sebagai suami isteri
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9. Jelaskan hukum perkawinan menurut wirjono prodjodikoro?
Jawaban : Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang
digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian
perkawinan
10. Jelaskan isi perjanjian dalam hukum perkawinan?
Jawaban : Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang
meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam
perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan;
pemisahan harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
11. Bagaimanakah perkawinan dapat di cegah dalah hukum pasal 1 tahun 1974?
Jawaban : perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat
sahnya perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah
satunya adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974.
12. Jelaskan dan sebutkan nikah siri dalam hukum perkawinan?
Jawaban : Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat
para fuqoha atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka
perkawinan tersebut harus dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan
berbagai alasan, di antaranya adalah:
Kedua pasangan takut berbuat zina
Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya
Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya
Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan
Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang
yang berlaku
13. Coba anda simpulkan 3 asas dalam pasal 299 BW?
Jawaban :
1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila
perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus
16
3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas
alasan-alasan
14. Jelaskan hukum perkawinan menurut Subekti ?
Jawaban : Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
17