Anda di halaman 1dari 20

HUKUM PERKAWINAN

NASIONAL

DI
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA : M. NAZRIL USFI


NIM : 1501110145

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH


FAKULTAS HUKUM
BANDA ACEH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nya lah makalah “Hukum Perkawinan Nasional “ ini dapat
diselesaikan. Meskipun masih banyak kekurangan baik dari segi isi, sistematika,
maupun cara penyajiannya. Makalah Hukum Perkawinan Nasional ini merupakan
hasil dari rangkuman berbagai sumber yang menjelaskan tentang masalah Hukum
Perkawinan yang menjelaskan tentang Perkawinan
Saya mengharapkan semoga makalah ini dapat membantu mahasiswa yang
lain dalam mempelajari tentang Hukum Perkawinan baik dari segi pandangan
mahasiswa maupun masyarakat lainnya. Dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya.

Banda Aceh, 16 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ................................................................................................ i
Daftar isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan ................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan dan Persiapan Perkawinan .............................. 2
B. Persetujuan, Batas umur dan Izin Perkawinan ............................... 4
C. Pencegahan dan pembatalan perkawinan dan siapa saja yang dapat
melakukannya ................................................................................ 6
D. Perjanjian sebelum dan setelah perkawinan belangsung dan apa saja
yang dapat diperjanjikan ................................................................ 8
E. Hak/kewajiban suami dan hak kewajiban istri ............................... 10
F. Hak/kewajiban orang tua dan anak ................................................ 10
G. Harta benda dalam perkawinan, harta bawaan dan harta bersama . 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada prinsipnya perkawinan adalah suatu akad, untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara pria
dengan wanita yang antara keduanya bukan muhrim. Apabila di tinjau dari segi
hukum, jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara pria
dengan wanita, yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkan hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,
mawadah serta saling menyantuni antara keduanya.
Suatu akad perkawinan menurut Hukum Islam ada yang sah ada yang
tidak sah. Hal ini dikarenakan, akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan
dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, sesuai dengan ketentuan
agama. Sebaliknya akad yang tidak sah, adalah akad yang dilaksanakan tidak
sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan. Akan tetapi pada
kenyataan ada perkawinan-perkawinan yang dilakukan hanya dengan Hukum
Agamanya saja. Perkawinan ini sering disebut Perkawinan Siri, yaitu perkawinan
yang tidak terdapat bukti otentik, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu
wujud aturan tata tertib pernikahan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai
bangsa yang berdaulat, di samping aturan-aturan tata tertib pernikahan yang lain
yaitu Hukum Adat dan Hukum Agama.
Agar terjaminnya ketertiban pranata pernikahan dalam masyarakat, maka
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa setiap perkawinan
harus dicatat oleh petugas yang berwenang. Namun kenyataan memperlihatkan
fenomena yang berbeda. Hal ini tampak dari maraknya pernikahan siri atau
pernikahan di bawah tangan yang terjadi di tengah masyarakat.

B. Rumusan Permasalahan
Atas dasar latar belakang diatas, maka saya mengambil rumusan
permasalahan: “bagaimana seluk beluk tentang perkawinan dan
permasalahannya?”. Dengan materi ini, saya akan membahasnya satu persatu.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan dan Persiapan Perkawinan


a. Pengertian Perkawinan
Undang-undang R.I No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 1
yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “nikah” sebagai
Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri atau sering
diartikan pula sebagai perkawinan. Mulanya kata “nikah” berasal dari bahasa
Arab. Sedangkan di dalam Al-Quran menggunakan kata“zawwaja” dan kata
“zauwj”, yang berarti pasangan. Hal ini dikarenakan pernikahan menjadikan
seseorang memiliki pasangan.
Indonesia sebagai negara hukum mengatur setiap perbuatan-perbuatan
warga negaranya dalam suatu bentuk regulasi yang bersifat positif. Demikian
halnya dengan masalah perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud regulasi tata tertib perkawinan
yang dimiliki oleh Negara Indonesia, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1 UUP merumuskan perkawinan adalah :
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian
perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu :
a. Ikatan lahir batin
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
c. Sebagai suami isteri
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Para pakar hukum perkawinan Indonesia juga memberikan definisi tentang
perkawinan antara lain menurut :
1. Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang digunakan
untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan
2. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci dan luas
dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni,
kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
3. Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

2
Secara umum AlQuran hanya menggunakan 2 kata ini, untuk
menggambarkan terjadinya hubungan suami isteri secara sah. Kata-kata ini
mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima).
Ijab kabul pernikahan pada hakekatnya adalah ikrar dari calon isteri melalui
walinya dan dari calon suami untuk hidup seia sekata, guna mewujudkan keluarga
sakinah dengan melaksanakan segala tuntunan ajaran agama serta melaksanakan
segala kewajiban sebagai seorang suami.

b. Tujuan dan Persiapan Perkawinan


Pada artikel sebelumnya kita telah membahas tentang pengertian
perkawinan, kali ini kita akan membahas tentang tujuan dari dilaksanakannya
perkawinan. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Membentuk keluarga (rumah tangga)
1) Keluarga
Konsep keluarga menunjuk pada suatu pengertian sebagai suatu
kesatuan kemasyarakatan yang terkecil yang organisasinya didasarkan atas
perkawinan yang sah, idealnya terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya.
Akan tetapi tanpa adanya anakpun keluarga sudah ada atau sudah
terbentuk, adanya anak-anak menjadikan keluarga itu ideal, lengkap, atau
sempurna.
2) Rumah tangga
Konsep rumah tangga dituliskan didalam kurung setelah istilah
keluarga, artinya tujuan perkawinan tidak sekedar membentuk keluarga
begitu saja, akan tetapi secara nyata harus terbentuk suatu rumah tangga,
yaitu suatu keluarga dengan kehidupan mandiri yang mengatur kehidupan
ekonomi dan sosialnya (telah memiliki dapur atau rumah sendiri).
b. Yang bahagia
Kehidupan bersama antara suami-isteri dalam suasana bahagia
merupakan tujuan dari pengertian perkawinan, untuk tercapainya kebahagiaan
ini maka pada pasal 1 disyaratkan harus atas dasar ’’ikatan lahir batin’’ yang
didasarkan atas kesepakatan (konsensus) antara calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita.
c. Dan kekal
Kekal merupakan gambaran bahwa perkawinan tidak dilakukan hanya
untuk waktu sesaat saja akan tetapi diharapkan berlangsung sampai waktu
yang lama. Kekal juga menggambarkan bahwa perkawinan itu bisa
berlangsung seumur hidup, dengan kata lain tidak terjadi perceraian dan
hanya kematian yang memisahkan.
d. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan sebagaimana telah
dijelaskan unsur-unsurnya diatas secara ideal maupun secara yuridis harus
dilakukan dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya harus
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang
dianut oleh calon pengantin pria maupun wanita.

3
Arti dari unsur yang terakhir ini sebetulnya merupakandasar
fundamentaldari suatu perkawinan atas dasar nilai-nilai yang bersumber dan
berdasar atas Pancasila dan UUD1945. Falsafah Pancasila telah memandang
bahwa manusia Indonesia khususnya dalam perkawinan harus dilandasi pada
hukum agama dan kepercayaan yang dianutnya. Persiapan perkawinan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki sebagai calon suami
dan seorang wanita sebagai calon isteri beserta keluarga masing-masing calon
dalam rangka mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempertemukan dua insan
(calon suami dan calon isteri) dalam ikatan cinta yang sah.

B. Persetujuan, Batas umur dan Izin Perkawinan


Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu
perkawinan antara calon pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat untuk
malangsungkan perkawinan.
Tujuan pencegahan hukum perkawinan adalah untuk menghindari suatu
perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila calon suami istri yang
akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-
undangan Pencegahan perkawinan diatur dalam ketentuan berikut ini, yaitu:
1) Pasal 13 sampai dengan Pasal 21 UU Nomor 1 Tahun 1974;
2) Pasal 59 sampai dengan pasal 70 KUH Perdata;
3) Pasal 37 PP Nomor 9 Tahun 1975;
4) Pasal 70 sampai dengan Pasal 76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sedangkan
pembatalan Perkawinan diatur dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 99 BW.

Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah:


a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b. Saudara;
c. Wali nikah;
d. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan;
e. Ayah kandung;
f. Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah seorang
calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;
g. Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.

Tata cara pencegahan perkawinan dikemukakan berikut ini:


1) Orang yang berwenang untuk melakukan pencegahan itu harus mengajukan
permohonan pencegahan perkawinan ke pengadilan di wilayah hukum tempat
akan dilangsungkannya perkawinan (Pasal 17 Nomor 1 Tahub 1974).
2) Orang tersebut harus memberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.
Pegawai pencatat nikah inilah yang akan memberitahukan adanya
permohonan pencegahan perkawinan tersebut.
3) Apabila hakim telah menerima permohonan itu, maka dalam waktu yang tidak
terlalu lama pengadilan memutuskan permohonan percegahan tersebut.
Putusan itu berisi menolak atau menerima permohonan pencegahan tersebut.

4
4) Dengan adanya putusan ini, maka Pegawai Pencatat Nikah dapat
melangsungkan perkawinan tersebut.

Pembatalan perkawinan juga diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal


76 Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Di dalam ketentuan itu disebutkan bahwa
pembatalan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) Perkawinan
batal, dan (2) Perkawinan yang dapat dibatalkan. Perkawinan batal adalah suatu
perkawinan yang dari sejak semula dianggap tidak ada. Perkawinan batal apabila:
1) Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah
karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
istrinya itu dalam iddah talak raj’i;
2) Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bekas istrinya tersebut pernak menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa
iddahnya;
3) Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah
semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawina
menurut Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu;
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara nenek berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri,
menantu, dan ibu/bapak tiri;
c. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan;
d. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya.
Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang telah
berlangsung antara calon pasangan suami-istri, namun salah satu pihak dapat
meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu perkawinan
dapat dibatalkan apabila:
a. Suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang masih dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi
istri orang lain;
c. Perempuan yang dikawini masih dalam iddah dari suami;
d. Perkawinan melanggar batas umur perkawinan sebagaimana yang ditatapkan
dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974;
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa walu atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak;
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke pengadilan yang
meliputi wilayah tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawina
dilangsungkan. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan. Batalnya perkawina tidak akan memutuskan hunungan hukum antara
anak denga orang tuanya.

5
C. Pencegahan dan pembatalan perkawinan dan siapa saja yang dapat
melakukannya

1. Pencegahan perkawinan
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab
III “PENCEGAHAN PERKAWINAN” Pasal 13 dinyatakan bahwa: perkawinan
dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah
segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat sahnya perkawinan serta
persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah satunya adalah harus
memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-Undang No.1 tahun 1974 dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 tahun 1974.
Di dalam Pasal 14 dikemukakan sebagai berikut:
Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal ini juga berhak mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di
bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata
menyebabkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai
hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) Pasal ini.
perkawinan yang harus dicegah, sebagaiman yang telah dijelaskan
sebelumnya, adalah perkawinan yang menyimpang dari undang-undang yang
berlaku. Di antara perkawinan yang marak dilakukan adalah: perkawinan di
bawah tangan, perkawinan agama, perkawinan sirri, perkawinan mut’ah/kawin
kontrak, dan sejenisnya.
Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat para
fuqoha atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka perkawinan
tersebut harus dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan berbagai alasan, di
antaranya adalah:
 Kedua pasangan takut berbuat zina
 Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya
 Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
 Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya
 Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan
 Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang
yang berlaku
Secara sosiologis perkawinan secara sirri tidak berbeda dengan kumpul kebo
karena hidup bersama yang dilakukan oleh kedua pasangan suami istri yang ilegal
tersebut tidak memperdulikan hukum sosial yang berlaku. Padahal dalam ajaran
Islam, setiap perkawinan sebaiknya diumumkan agar masyarakat dan yang
terpenting saudara dekat, para kerabat mengetahui secara pasti dan meyakinkan
sehingga tidak menimbulkan fitnah. Akan tetapi, jika pergaulan antara laki-laki
dan perempuan terlampau melewati batas, dan keduanya takut berbuat zina, nikah
sirri secara teologis merupakan upaya menyelamatkan diri dari azab Allah. Oleh
sebab itu, dapat dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindarkan diri dari

6
kerusakan. Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan “dar-u al-mafasid muqadamun
min jalb al-mashalih” artinya meniadakan kerusakan lebih didahulukan daripada
menarik kemaslahatan.
Menurut Ahmad Rofiq pencatatan perkawinan bagi sebagian masyarakat
tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini terjadi akibat
pemahaman yang fiqh sentris, yang dalam kitab fiqh hampir tidak pernah
dibicarakan, sejalan dengan situasi dan kondisi waktu kitab fiqh itu ditulis.
Namun apabila kita coba perhatikan ayat al Mudayanah (Q.S al Baqarah: 282)
yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah[1]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki (di antaramu), jika tidak ada dua oang lelaki, maka
boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat agar
tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
Maka tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu dan bertakwalah
kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (Q.S al Baqarah: 282).

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pencatatan didahulukan daripada


kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi rukunnya tetapi sangat disayangkan,
tidak ada sumber-sumber fiqh yang menyebutkan mengapa dalam hal pencatatan
perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan dengan
ayat di atas. Pemerintah mengatur pencatatan dalam pernikahan adalah sesuai
dengan epistimologi hukum Islam dengan metode istishlah atau maslahat.
Meskipun secara formal tidak ada ketentuan ayat atau sunnah yang
memerintahkan pencatatan, kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan
syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia.

7
2. Pembatalan Perkawinan
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada “BAB
IV BATALNYA PERKAWINAN” Pasal 22 dikatakan bahwa: Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua
calon mempelai, persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin
orangtua kedua mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah
diuraikan sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya
perkawinan menurut Undang-Undang No.9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum
Islam.
Dalam Pasal 23 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yaitu:
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri
Suami atau istri
Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 27:
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang
melanggar hukum
Pasal 28:
Batalnya suatu perkawina dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut kepada:
a) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
b) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain
yang lebih dahulu
.
D. Perjanjian sebelum dan setelah perkawinan belangsung dan apa saja
yang dapat diperjanjikan
Perjanjian kawin diatur dalam pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal
139 sampai dengan pasal 154 KUH Perdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian
yang dibuat oleh calon pasangan suami-istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat akan dilangsungkan
perkawinan. Perjanjian kawin itu harus dibuatkan dalam bentuk akta notaries.
Tujuannya adalah:
a. Keabsahan perkawinan
b. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari
perkawina itu untuk seumur hidup.
c. Demi kepastian hukum
d. Alat bukti yang sah

8
e. Mencegah adanya penyelundupan hukum
Perjanjian kawin juga diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 51
Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Hal-hal yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah
seperti berikut:
1) Perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan.
2) Bentuk perjanjian kawin adalah dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Biasanya bentuk
perjanjian lain ini adalah tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
3) Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang meliputi
semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam perkawinan
maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan; pemisahan
harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga.
4) Kewenangan masing-masing pihak untuk melakukan pembebasan atas
hipotek atau hak tanggungan atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.

Momentum mulai berlakunya perjanjian perkawinan adalah terhitung


mulai tanggal dilangsungkan perkawinan. Sejak saat itu perjanjian kawin itu
mengikat para pihak dan pihak ketiga
Perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 UU Perkawinan No.1 Tahun
1974 dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perjanjian kawin pada pasal 29.
1. Pada waktu atau sebelum dilasungkan. Kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila mana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Persetujuan tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilasungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah
, kecuali dari kedua pihak ada persetujuan untuk merubah.
Seorang calon suami/istri yang ingin mengajukan perjanjian perkawinan
bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak (taklik talak
yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang di gantungkan kepada
suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang), harta
kekayaan/harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam (pasal 45 KHI).
Pada Umumnya suatu Perjanjian Perkawinan dibuat dengan alasan,
sebagai berikut :
1. Jika terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak
dari pihak yang lainnya.
2. Kedua belah pihak dapat masing-masing membawa masukan yang cukup
besar.

9
3. Masing-masing dari mereka memiliki usaha sendiri-sendiri; sehingga jika
salah satu jatuh, maka yang lainnya tidak tersangkut.
4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum pernikahan, masing-masing
akan bertanggunggugat secara sendiri-sendiri.

E. Hak/kewajiban suami dan hak/kewajiban istri


Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-
sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu “perkumpulan”
(echtvereniging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya. Suami
mengurus kekayaan mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan
si isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua
dan selanjutnya memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal
melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan
dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seseorang perempuan
yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum.
Kekuasaaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan “maritale macht”
(dari bahasa Perancis mari = suami).

Akibat-akibat lain dari perkawinan :


1) Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wettig);
2) Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya, apabial salah satu
meninggal dalam perkawinan;
3) Oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami-isteri;
4) Perjanjian perburuhan antara suami-isteri tak diperbolehkan;
5) Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehakan antara suami-isteri;
6) Suami tak diperbolehkan menjadi saksi atas kejahatan yang diperbuat oleh si
isterinya dan begit pula sebaliknya;
7) Suami tak dapat dituntut tentang beberpa kejahatan terhadap isterinya dan
begitu sebaliknya (misalnya pencurian).

F. Hak/kewajiban orang tua dan anak


Hak orang tua menurut Undang-undang hukum perdata meliputi 3
bahagian yaitu:
1. Hak orang tua terhadap diri anak
2. Hak orang tua terhadap harta benda anak
3. Tentang kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga sedarah dengan
anak.
Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua masih
berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua sampai anak itu
menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak dicabut (ontzet) atau
dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan orang tua itu mulai berlaku
semenjak anaknya lahir atau semenjak pengesahan anak, dan akan berakhir
apabila anak, menjadi dewasa, kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar
atau kekuasaannya dicabut atau dibebaskan.
Apabila kita bertitik tolak dari pasal 299 BW diatas, maka sesungguhnya
dari pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :

10
1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila
perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus
3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas alasan-
alasan tertentu.
ad 1.Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua oranng tua, yaitu ayah dan
ibu, tetapi lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau
dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan
perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang
tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena
sakit keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada
dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak
mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang
wali.
ad 2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan berlangsung
sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan bubar, maka
berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur.
Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan menunjukkan asas bahwa
kekuasaan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu
sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan
masih ada anak yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang
tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak
yang masih belum dewasa.
ad 3.Kekuasaan orang tua hanya ada selama mereka memenuhi kewajibannya
terhadap anak. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang tua
yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan
pembebasan kekuasaan orang tua.
Di Indonesia karena belum ada hakim khusus untuk anakanak, maka baik
pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan kepada hakim
perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja terhadap salah satu dari
mereka, melainkan dapat keduanya baik terhadap salah seorang atau terhadap
semua anak-anak.

G. Harta benda dalam perkawinan, harta bawaan dan harta bersama


Kekuasaan terhadap harta benda anak
Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak ini meliputi :
a. Pengurusan
b. Menikmati hasil
ad a. Pengurusan
Pengurusan ada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, yang pada
umumnya pada bapak dengan maksud agar anak itu diwakili dalam segala
tindakannya yang masih dianggap tidak cakap. Pasal 307 BW mengatakan,
bahwa siapa yang melakukan kekuasaan orang tua atas anak minderjarig
mempunyai hak pengurusan atas harta benda anak itu. Perbuatan diatas
membawa konsekuensi untuk memberikan perhitungan dan pertanggung
jawaban. Hal ini sama dengan hal-hal didalam perwalian, akan tetapi dalam

11
bidang perwalian anak tidak mempunyai hak hipotik terhadap barang-
barang ayahnya, yang berbeda dengan diatur dalam perwalian.
Pasal 309 BW mengatakan, penguasaan oleh orang tua hanya dapat
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-
barang anak yang masih minderjarig kedalam hal perwalian. Pelaksanaan
pengurusan itu terikat kepada ketentuan-ketentuan tentang perwalian dalam
menjalankan penguasaan atas barang-barang anak itu. Baru kalau
pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena suatu sebab, maka pengurusan
itu jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua.
ad b. Menikmati hasil
Pasal 311 ayat 1 BW menngatakan, bahwa bapak atau ibu yang melakukan
kekuasaan orang tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas harta
benda anak-anak itu. Ayat 2 menentukan bahwa jika kedua orang tua
dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua
yang berikutnya yang akan memperoleh kenikmatan hasil atas kekayaan
anak-anak inderjarig itu.
Pasal 311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah seorang orang tua itu
meninggal dunia atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian dan
kemudian orang tua yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua
dihentikan atau dibebaskan maka penghentian atau pembebasan itu tidak
mempengaruhi kenikmatan hasilnya. Penikmatan keuntungan adalah suatu
hak pribadi yang tidak dapat dipindah tangankan kepada orang lain dan
merupakan suatu hak atas harta benda anak yang diperoleh orang tua,
sedang isinya adalah apa yang dihasilkan oleh harta benda anak itu, sesudah
dikurangi dengan bebanbeban yang melekat pada harta benda itu.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1).
Sedangkan menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian
antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain
pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali
calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua
orang saksi.
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina
oleh pasangan suami-istri, yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan.
Di dalam KUH Perdata, putusnya atau bubarnya perkawinan dibedakan
menjadi empat macam, yaitu: Kematian salah satu pihak, tidak hadirnya suami-
istri selama 10 tahun dan diikuti perkawinan baru, adanya putusan hakim,
Perceraian (Pasal 199 KUH Perdata

13
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2004

Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi


Hukum Islam, Citra Umbara, bandung, 2010

Mertokusumo, sudikno. 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta:


Sinar Grafika.

Komariah, 2002. Hukum Perdata. Malang: UPT Penerbitan Universitas


Muhammadiyah Malang.

Saleh, K. Wantjik, 1976. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Syahrani, Riduan. 2006. Seluk-Beluk Asas-asas Hukum Perdata, Banjarmasin:


PT. Alumni.

Muhammad Syah, Ismail, Pencaharian Bersama, Jakarta, Bulan Bintang, 1965

Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1, Yogyakarta, Academica dan


Tazzafa, 2005

14
SOAL-SOAL

1. Apa pengertian dari hukum perkawinan ?


Jawaban : Undang-undang R.I No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam
pasal 1 yang berbunyi:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
2. jelaskan tujuan dari hukum perkawinan ?
Jawaban : Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
- Keluarga
- Rumah tangga
3. Jelaskan pencegahan dalam hukum perkawinan?
Jawaban : Pencegahan perkawinan merupakan upaya untuk menghalangi suatu
perkawinan antara calon pasangan suami-istri yang tidak memenuhi syarat
untuk malangsungkan perkawinan
4. jelaskan hukum perkawinan menurut sajuti thalib?
Jawaban : . Menurut Sajuti Thalib, perkawinan adalah suatu perjanjian yang
suci dan luas dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia
5. Siapa saja yang dapat melakukan pencegahan perkawinan?
Jawaban : Orang yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
b. Saudara;
c. Wali nikah;
d. Wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
bersangkutan;
e. Ayah kandung;
f. Suami atau istri yang masih terkait dalam perkawinan dengan salah
seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawina;
g. Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan.
6. Jelaskan tentang perkawinan yang dapat di batal kan dalam hukum
perkawinan?
Jawaban : Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu perkawinan yang
telah berlangsung antara calon pasangan suami-istri, namun salah satu pihak
dapat meminta kepada pengadilan supaya perkawinan itu dibatalkan. Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b. Perempuan yang masih dikawini ternyata kemudian diketahui masih
menjadi istri orang lain.
7. Sebutkan 3 hak orang tua menurut UU hukum perkawinan?
Jawaban : Hak orang tua menurut Undang-undang hukum perkawinan
meliputi 3 bahagian yaitu:

15
1. Hak orang tua terhadap diri anak
2. Hak orang tua terhadap harta benda anak
3. Tentang kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga sedarah
dengan anak.
8. Sebutkan 5 unsur dalam pengertian perkawinan?
Jawaban : pengertian perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu :
a. Ikatan lahir batin
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
c. Sebagai suami isteri
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
9. Jelaskan hukum perkawinan menurut wirjono prodjodikoro?
Jawaban : Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah Peraturan yang
digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian
perkawinan
10. Jelaskan isi perjanjian dalam hukum perkawinan?
Jawaban : Isi perjanjian kawin meliputi percampuran harta pribadi, yang
meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing pihak dalam
perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan;
pemisahan harta perkawinan. Dengan adanya pemisahan ini tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
11. Bagaimanakah perkawinan dapat di cegah dalah hukum pasal 1 tahun 1974?
Jawaban : perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud adalah segala hal yang berkaitan dengan rukun dan syarat
sahnya perkawinan serta persyaratan yang diatur oleh undang-undang, salah
satunya adalah harus memenuhi semua unsur legal formal dari Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974.
12. Jelaskan dan sebutkan nikah siri dalam hukum perkawinan?
Jawaban : Nikah sirri, meskipun hukumnya boleh dan sah menurut pendapat
para fuqoha atau fiqh, namun bertentangan dengan undang-undang, maka
perkawinan tersebut harus dicegah. Nikah sirri sering dilakukan dengan
berbagai alasan, di antaranya adalah:
 Kedua pasangan takut berbuat zina
 Kedua pasangan tidak mau berterus terang kepada kedua orangtuanya
 Kedua pasangan telah berbuat zina dan mengaku telah nikah sirri
 Kedua pasangan tidak direstui oleh satu atau kedua orangtuanya
 Kedua pasangan sering berganti-ganti pasangan
 Kedua pasangan terlalu menyepelekan syariat Islam dan undang-undang
yang berlaku
13. Coba anda simpulkan 3 asas dalam pasal 299 BW?
Jawaban :
1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua
2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila
perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus

16
3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas
alasan-alasan
14. Jelaskan hukum perkawinan menurut Subekti ?
Jawaban : Menurut Subekti, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

17

Anda mungkin juga menyukai