Anda di halaman 1dari 21

IMPLEMENTASI HUKUM WARIS ISLAM PADA

MASYARAKAT MINANGKABAU
(Studi Kasus di Kabupaten Agam)

Oleh
FITRI YANNEDI
110620080093

USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
IMPLEMENTASI HUKUM WARIS ISLAM PADA
MASYARAKAT MINANGKABAU
(Studi Kasus di Kabupaten Agam)

Oleh
FITRI YANNEDI
110620080093

USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran

Bandung, Juli 2010

KETUA TIM PEMBIMBING

ANGGOTA TIM PEMBIMBING


Ketua Program Studi Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran

Dr. Supraba Sekarwati W., SH., CN.


NIP. 19601218 198511 2 001
DAFTAR ISI
IMPLEMENTASI HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT
MINANGKABAU

A. Latar Belakang

Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi

putera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagipula tidak

dikodifikasi.1 Jadi sistim hukum adat adalah sistim yang tidak tertulis, yang tumbuh dan

berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Oleh

karena sifatnya yang tidak tertulis, maka Hukum Adat senantiasa dapat menyesuaikan diri

dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan

dalam melaksanakan hukum adat ini adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin

yang disegani dan berpengaruh dalam lingkungan masyarakatnya.2

Pluralitas masyakarat dengan adat, budaya dan tradisinya sendiri-sendiri

menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda. Salah satunya hukum waris

adat. Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) diterapkan hanya

kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatan, misalnya status perempuan pada

masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak terlalu

diperhitungkan pada pembagian waris.3

Selain Hukum Waris adat di Indonesia berlaku pula Hukum Waris Islam, dan

Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jadi Hukum Kewarisan di

Indonesia masih bersifat pluralistis. Karena itulah masalah-masalah yang sulit

1
Abdul Manan, Hukum Islam dalam Berbagai Wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.
2
Ibid, h.224
3
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, 2002.
diselesaikan di ruang pengadilan agama adalah masalah waris, hal ini disebabkan ketika

sistim hukum waris tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang

lain, disatu sisi harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, sedangkan disisi lain

kesadaran hukum masyarakat itu begitu beragam karena diwarnai oleh agama yang

majemuk serta adat yang berlainan antara golongan masyarakat daerah masing-masing.

Menurut MU. Sembiring unifikasi sekaligus kodifikasi hukum adalah suatu cita-

cita yang diusahakan realisasinya. Namun unifikasi dibeberapa lapangan hukum tidak

dapat direalisir oleh karena kebutuhan hukum anggota masyarakat mengenai lapangan

hukum bersangkutan adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan yang

lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan itu tidaklah mungkin dipersamakan.

Lapangan hukum yang dimaksud adalah lapangan yang erat sekali hubungannya dengan,

bahkan didominasi oleh persamaan, kesadaran, kepercayaan, dan agama, pendek kata

bertalian erat dengan pandangan hidup seseorang. Unifikasi dibidang hukum tersebut

sulit diadakan, bahkan mungkin sekali hampir mustahil. Salah satu lapangan tersebut

adalah lapangan Hukum Waris yang banyak dan kuat dipengaruhi oleh agama dan

kepercayaan.4

Persoalan hukum waris menyangkut tiga unsur, yaitu adanya harta peninggalan

atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang

menguasai atau memiliki harta warisan dan yang mengalihkan atau mewariskannya, dan

adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian

harta warisan itu.5

4
MU Sembiring, Makalah: Hukum Waris Barat di Indonesia, disampaikan pada symposium Hukum Waris
di Indonesia, pada peringatan seperempat abad Program Pendidikan Spesialis Notariat, Fakultas Hukum
USU, Medan 15 November 1994, dikutip dari M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang
Permasalahan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Masalah waris ini adalah masalah yang sangat penting, karena menyangkut

kelangsungan hidup atau kebutuhan penerima warisan tersebut, kelangsungan

kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan dan juga keharmonisan hubungan keluarga

antara ahli waris.

Pentingnya masalah waris ini dapat dibuktikan melalui Pesan Rasulullah kepada

ummatnya untuk mempelajarinya, seperti sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Imam

Ibnu Hambal Rahimahullah:

“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang banyak, karena aku adalah

manusia yang suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang, hampir-hampir dua orang

bersengketa dalam faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang

memberitahukan bagaimana penyelesaiannya”

Seperti yang kita ketahui, di Minangkabau sejak dahulu sampai sekarang

berlakulah sistim keturunan dari pihak ibu (matrilineal), dimana mereka berasal dari satu

ibu asal yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan,

ibu dan saudaranya-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, nenek beserta

saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan sendirinya, semua anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli waris dari

ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun harta pusaka rendah. Dan jika

yang meninggal itu adalah seorang laki-laki, maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah

menjadi ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh

kemenakannya6

Hukum waris minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk-

belumnya. Pada satu pihak lapangan ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib
6
Ibid
susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada lain pihak mempunyai sangkut paut pula

dengan hukum waris menurut syarak7

Sejalan dengan pendapat tersebut, Ter Haar mengatakan bahwa aturan-aturan

hukum waris tidak hanya mengalami perubahan-perubahan sosial dan semakin eratnya

pertalian keluarga yang berakibat semakin longgarnya pertalian suku saja, melainkan juga

mengalami pengaruh dari sistim hukum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan

atas agama karena adanya hubungan tertentu dengan agama tersebut, dan kekuasaan tadi

misalnya dipraktekkan atas soal-soal kongkrit oleh hakim-hakim agama, walaupun

pengaruh atas hukum waris ini tidak begitu kentara seperti pada hukum perkawinan,

tetapi tergantung bentuk-bentuk hukum waris itu sendiri apakah ia dapat menolak

pengaruh itu, ataukah menyebabkan perubahan-perubahan yang mendalam atasnya.8

Menurut Hamka, setelah agama Islam masuk ke Minangkabau, pengaruhnya kian

lama kian mendalam dan aktif, sehingga kalau kita menyelidiki adat-istiadat

Minangkabau, kita akan melihat betapa usaha-usaha orang minangkabau agar agamanya
9
mempengaruhi adatnya. Salah satunya adalah semboyan adat yang terkenal pada

masyarakat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang

maksudnya adalah Adat yang berlaku di Minangkabau itu didasarkan kepada Syarak atau

Agama, Dan aturan-aturan dalam agama itu berdasarkan atas Alqu’ran dan As sunnah,

dimana sebelum masuknya Agama Islam ke Minangkabau, berlakulah Adat basandi

patuik jo alua, yaitu adat yang didasari atas kepatutan dan kebiasaan masyarakat

setempat.

7
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
8
Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Paradnya Paramita, Jakarta 1994
9
Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Center for minangkabau study
press , Padang, 1968.
Disamping dengan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,

juga diadakannya Seminar-seminar atau Musyarawah Alim Ulama, Niniak Mamak dan

Cadiak Pandai Minangkabaul, salah satunya yaitu pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di

Bukittinggi, yang menetapkan:

1. Terhadap “Harta Pencarian” berlaku Hukum Islam, sedangkan terhadap “Harta

Pusaka” berlaku Hukum Adat;

2. Berhubung IKAHI Sumatera Barat ikut serta mengambil keputusan dalam

seminar ini, maka seminar menyerukan kepada seluruh hakim-hakim di Sumatera

Barat dan Riau, supaya memperhatikan ketetapan seminar ini.

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa

harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli

waris menerima bagiannya secara sendiri, tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.

Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi,

kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut

kadarnya masing-masing.

Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan Al-Qur’an yang

menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Surah Annisaa ayat 7 yang secara garis

besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari

orangtua dan karib kerabatnya, dengan bagian yang telah ditentukan.10

Namun demikian, pada masa sekarang ini penerapan pembagian waris di

Minangkabau, terutama terhadap Harta Pencarian tidaklah sesuai semboyan Adat

Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan dengan apa yang diputuskan dalam

Seminar tersebut diatas. Hal ini disebabkan bahwa Pewarisan harta pusaka rendah ini
10
Amir Syariffuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta 2004
lebih banyak dilaksanakan atas pertimbangan atau alasan pribadi orangtua.11 Pada kasus

lainnya, sering terjadi bahwa harta Pusaka Rendah ini diserahkan oleh laki-laki pewaris

kepada saudara perempuannya, selanjutnya saudara perempuan ini akan mewariskan pula

kepada anak perempuannya, sehingga harta tersebut tidak dibagi berdasarkan Hukum

Islam.12 Bahkan terdapat istilah yang berkembang pada masyarakat minangkabau dewasa

ini bahwa “Laki-laki Minangkabau itu miskin”, sebab mereka tidak akan mendapatkan

apa-apa dari harta warisan yang ditinggalkan orangtua mereka. 13 Sehingga para pemuda-

pemuda minangkabau sudah menganggap diri mereka tidak akan mendapat warisan, dan

walaupun ada beberapa dari mereka yang menyadari bahwa dalam harta waris tersebut

juga terdapat hak mereka secara Islam, tapi mereka malu untuk meminta bagian dari harta

tersebut. Akibat dari anggapan seperti ini, maka banyak terjadi kasus sengketa waris di

Minangkabau, sebab kaum wanita Minangkabau merasa mempunyai hak terhadap harta

pencarian tersebut, sementara kaum laki-laki yang mengetahui Hukum Waris Islam juga

merasa punya hak atas warisan tersebut, tapi disatu sisi mereka malu untuk meminta, dan

disisi lain mereka menginginkan hak mereka sebagai ahli waris.

Contoh kasus adalah pada sengketa waris sebuah tanah dan kebun antara Mohd

Yusuf St. Pangulu Basa sebagai penggugat dengan saudaranya Nofrida S.sos sebagai

tergugat. Sementara objek yang disengketakan menurut penulis adalah jelas-jelas harta

warisan yang diwariskan dari nenek penggugat dan tergugat yang dahulunya harta

tersebut berasal dari pencarian pasangan nenek dan kakek para penggugat dan tergugat.

Tapi ternyata yang terjadi adalah saudara perempuan Mohd Yusuf St. Pangulu basa ingin

menguasai sendiri tanah tersebut, tapi disayangkan gugatan Mohd Yusuf St. Pangulu Basa
11
Ahmad Syarifuddin, Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MetodePewarisanHartaPusakaRendah.pdf
12
Wawancara dengan N Datuak Barbanso, Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari Kamang Magek
13
Wawancara dengan C.A Datuak Rajo Nagari, Pemuka Adat Suku Koto, di kecamatan Kamang.
dikalahkan di Pengadilan Agama Bukittinggi, dengan pertimbangan hakim bahwa harta

tersebut adalah harta pusaka tinggi, bukan harta pencarian.14

Dengan demikian, di Minangkabau nampak dengan jelas adanya suatu perubahan

dalam perkembangan sosialnya yang menunjukkan gejala umum yang memperlihatkan

hubungan kekeluargaan suami istri dan anak makin lama makin mendapatkan tempat

yang lebih penting sehingga kekuasaan dan pengaruh kerabat dengan sendirinya makin

hari makin menjadi kurang. Pergeseran tersebut diatas membawa akibat dan pengaruh

yang penting sekali dalam kedudukan harta pencarian di Minangkabau, khususnya mata

pencarian suami yang semula menurut hukum adat tidak diwarisi oleh anak-anaknya,

maka dengan pergeseran tersebut menjadi milik somah dan kemudian diwarisi oleh anak-

anaknya sendiri.15 Sehingga kemudian pembagian harta pencarian ini tidaklagi dilakukan

secara Islam.

Hal serupa dibenarkan oleh C.A Datuak Rajo Nagari, salah seorang pemuka adat

suku Koto di dusun Koto Kaciak Kecamatan Kamang Magek, bahwa telah menjadi suatu

kebiasaan bahwa harta pencarian suami tersebut jatuh kepada anak-anaknya, tidak lagi

kepada saudara-saudara suami, yang disebabkan oleh makin eratnya hubungan suami istri

dan anak serta makin menghilangnya pengaruh mamak pada suatu keluarga.

Contoh kasus dari pembagian harta warisan seperti ini adalah pada diri C.A

Datuak Rajo Nagari sendiri ketika istri beliau meninggal dunia, maka beliau membagikan

harta warisan kepada anak-anak beliau, sementara saudara-saudara dan kaum kerabat

yang lain tidak mendapatkan bagian, dan hal itu juga telah dimaklumi oleh kaum kerabat

14
Putusan Pengadilan Agama Bukittinggi Kelas 1 B Nomor 196 Pdt G / 2009 / PA. Bkt tertanggal 23
Desember 2009
15
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Alumni, Bandung 1973
yang lain, sehingga mereka tidak lagi meminta hak mereka terhadap harta pencarian

suami tersebut.16

Pada umumnya pergeseran dimaksud membawa perubahan prinsipiil dalam

hukum adat waris didaerah ini. Semula dapat dikatakan, bahwa didaerah Minangkabau

tidak ada hukum waris antara orang-perorangan, individu dengan individu, yang ada ialah

hukum waris antara beberapa keluarga. Tetapi setelah ada pergeseran yang dimaksud

nampak timbulnya hukum waris perseorangan terhadap harta pencarian17

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk mendapatkan gambaran yang lengkap

tentang bagaimana implementasi hukum waris Islam pada masyarakat Minangkabau,

maka perlu diteliti dan dikaji dari sumber-sumber yang ada.

16
Hasil wawancara dengan C.A Datuak Rajo Nagari, Pemuka Adat suku Koto di kecamatan Kamang Hilir
17
Ibid
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas maka

permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut”

1. Bagaimana pengaruh Hukum waris Islam terhadap Hukum Waris adat pada

masyarakat Minangkabau

2. Bagaimana Implementasi Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Minangkabau.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Hukum waris Islam terhadap Hukum

Waris adat pada masyarakat Minangkabau.

2. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Hukum Waris Islam Pada

Masyarakat Minangkabau

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis

maupun praktis kepada:

1. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam

bidang ilmu pengetahuan Hukum Waris, terutama yang berhubungan dengan

pembagian waris pada masyarakat Minangkabau.

2. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan

sumbangan pikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan

masalah warisan pada masyarakat Minangkabau.


E. Kerangka Pemikiran

Kemerdekaan Indonesia bukanlah merupakan tujuan akhir, tetapi harus diisi

dengan mewujudkan bangsa Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur

yang tidak lain adalah merupakan cita-cita bangsa. Hal ini terlihat pada tujuan

pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 yang ingin mewujudkan bangsa yang

maju, mandiri dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju

masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesaturan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.

Penelitian ini berdasarkan kepada Alinea ke tiga Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha

Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan berkebangsaan

yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Dari alinea ke tiga tersebut dapat kita simpulkan bahwa Bangsa Indonesia

mengakui dengan motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan yang kita raih adalah

berkat Ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, dan terlihat juga adanya keinginan yang

didambakan oleh segenap bangsa Indonesia terhadap suatu kehidupan didunia dan di

akhirat.

Kehidupan spiritual itu mengandung banyak segi, salah satunya adalah tentang

permasalahan waris. Bagi bangsa Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam,

maka berdasarkan alinea ke tiga tersebut diatas, tentu saja permasalahan waris ini pun

harus di upayakan untuk menyelesaikannya secara Hukum Islam pula.


Setelah berlakunya Undang-undang Dasar 1945, Hukum Islam berlaku bagi

bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Islam itu sendiri, bukan karena

ia telah diterima oleh Hukum Adat18. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menetapkan:

(1). Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa

(2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Formalisasi hukum waris di Indonesia, dilatarbelakangi oleh tiga sistim hukum,

yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dalam diskursus sejarah

Hukum Indonesia, selalu menyertakan tiga sistim hukum yang mempengaruhi sistim

hukum sekarang. Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang

secara alamiah di dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia. Hukum tersebut

merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat.19.

Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari

agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan

oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda

dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di

dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan.20

Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan

pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba 21. Adanya perkawinan

akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan

18
http://arfanhy.blogspot.com/2008/09/kedudukan-hukum-islam-setelah-amandemen.html
19
Mohammad Jamin, Bahan Perkuliahan Hukum Adat Dan Sistem Hukum Nasional, 2004, Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 13
20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ctk.
Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38
21
Sugiri Permana, Makalah: Pergeseran Hukum Waris di Indonesia
menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris

ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan

yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak perempuan

mendapatkan setengah dari anak laki-laki.

Sementara pada masyarakat matrilineal khususnya Masyarakat Minangkabau,

keturunan diambil berdasarkan dari jalur Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah

pertalian darah dari garis ibu dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin

tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka

masuk dalam keturunan ibunya. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai

ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada

anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah.

Ttitik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan

adanya keistimewaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam hukum adat dengan

sistim matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan. Sementara hukum waris dalam

Islam cenderung bersifat patirilineal.

Dari perbedaan dua sistim hukum diatas, para ahli hukum seringkali memandangnya

sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan

tertentu.22. Salah satunya adalah Sajuti Thalib, SH, dengan teori Reception a Contrario.

Dalam memahami keyakinan tersebut, menurut Sajuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam

berlaku hukum islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita

moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam

dan Hukum Islam.23

22
Ibid
23
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta Bina
Aksara1980, h. 15
F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian.

Penelitian mengenai “Implementasi Hukum Waris Islam Pada Masyarakat

Minangkabau” ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Deskriptif

artinya hasil penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara menyeluruh,

sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta tentang Hukum Waris yang berlaku

pada masyarakat Minangkabau. Analisis artinya data yang diperoleh kemudian dilakukan

analisis untuk mengetahui Implementasi hukum waris Islam pada masyarakat

Minangkabau.

2. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yaitu penelitian yang

dilakukan dengan melihat kualitas suatu subjek yang diteliti dengan mendeskripsikan

atau melukiskan permasalahan-permasalahan yang ada melalui pendekatan yuridis

empiris. Yuridis karena penelitian ini berpangkal dari aturan-aturan hukum tertentu yang

berarti prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat dalam aturan hukum tertentu tersebut

digunakan untuk melihat dan menelaah masalah yang diteliti. Pendekatan yuridis ini

untuk menganalisis aturan hukum yang mempunyai korelasi dengan masalah kewarisan.

Empiris karena penelitian dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial tertentu sebab

pelaksanakan hukum tidak dapat lepas dari keadaan masyarakat dimana hukum tersebut

berlaku. Pendekatan empiris ini lebih mendekatkan kepada fenomologi, artinya penulis

mendeskripsikan tentang apa yang menjadi pokok pembahasan mengenai Implementasi

hukum waris Islam terhadap masyarakat Minangkabau, melalui data-data dan fakta yang

diperoleh dari penelitian dilapangan dengan wawancara oleh para responden dan nara
sumber serta data kepustakaan yang berasal dari literatur. Jadi yang dimaksud dengan

pendekatan yuridis empiris adalah penelitian yang menggunakan langkah untuk

mengetahui bagaimana suatu aturan hukum tertentu diterapkan dalam suatu lingkungan

sosial tertentu, yaitu dengan melihat serta menelaah permasalahan dengan mengadakan

pendekatan secara langsung pada responden atau orang-orang yang berhubungan dengan

objek yang akan diteliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan meliputi kecamatan tiga kecamatan di daerah

Kabupaten Agam, yaitu Kecamatan Baso, Kecamatan Empat Angkat, dan kecamatan

Kamang Magek. Pertimbangan pemilihan tiga kecamatan tersebut didasarkan pada faktor

homogenitas masyarakatnya yang diperkirakan masih tetap mempertahankan adat istiadat

Minangkabau, selain itu lokasinya mudah dijangkau.

4. Populasi dan Sampel

Populasi yaitu keseluruhan dari objek pengamatan atau penelitian24. Populasi

dalam penelitian adalah masyarakat adat Minangkabau yang pernah melakukan

pembagian harta warisan yang berdomisili di Kabupaten Agam. Sampel yaitu bagian dari

populasi yang dianggap mewakili populasi.25 Adapun penarikan sampel dilakukan dengan

cara porpusive sample26, yaitu dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 30

(tiga puluh) orang masyarakat adat Minangkabau dari keseluruhan populasi yang

24
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta 2004, h.79
25
Ibid
26
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. P.T Remaja Rosdakarya, Bandung 1990, h 165,
menyatakan maksud sampling adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam
sumber dan bangunannya. Dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan teori yang
muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive
sample)
diperkirakan dapat mewakili. Oleh karena itu sampel yang menjadi responden dalam

penelitian ini diambil dari tiap kecamatan sebanyak 10 (sepuluh) orang sampel.

Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara

sumber lainnya, yaitu orang yang dianggap mengetahui dan kompeten dengan objek

penelitian dari informan yang terdiri dari:

1. Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) 1 Orang.

2. Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari 1 Orang

3. Mamak Kepala Waris 3 Orang

4. Kepala Suku 1 Orang

5. Panitera Pengadilan Agama Bukittinggi 1 Orang

6. Panitera Pengadilan Negeri Bukittinggi 1 Orang

6. Ketua Majelis Ulama Indonesia Bukittinggi 1 Orang

4. Metode Pengumpulan data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan

ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan

dengan cara berikut.

1. Studi Pustaka, yaitu pengumpulan data sekunder baik berupa peraturan

perundang-undangan dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti

yang berkaitan dengan pembagian waris pada masyarakat Minangkabau.

2. Studi Lapangan, yaitu pengumpulan data primer yang diperoleh langsung dari

informan dan responden dengan cara menggunakan kusioner. Dan untuk

melengkapi data-data dibutuhkan juga melakukan wawancara yang


menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan terlebih dahulu,

agar wawancara dilakukan lebih terarah dan sistimatis.

5. Alat pengumpulan data

Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Studi dokumen, dilakukan dengan menelaah literatur-literatur yang berhubungan

dengan topik penelitian yang sedang dilakukan.

2. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan responden dan informan.

3. Kusioner dengan menggunakan daftar pertanyaan.

6. Analisis data.

Metode penelitian data yang digunakan adalah analisis induktif27, peneliti menilai

dan menganalisa data yang telah difokuskan tentang permasalahan yang ada secara logis

dengan cara berfikir yang runtut. Sehingga kesimpulan yang diambil dapat

dipertanggungjawabkan secara rasional sistimatis, artinya setiap bagian analisis saling

berkaitan antara satu dengan yang lainnya atau merupakan kebulatan yang saling terkait.

G. Sistimatika Penulisan

Penulisan ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas

beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistimatik dan saling berkaitan satu

sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN
27
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1997, h 10,
menggunakan istilah prosedur Induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil
pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan berupa asas umum.
Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, identifikasi

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian

beserta sistimatika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM WARIS ISLAM DAN

HUKUM WARIS ADAT.

Bab ini merupakan bab yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum waris Islam,

hukum waris adat serta instrument pendukungnya.

BAB III: PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS

ADAT

Bab Ini merupakan bab yang berisi gambaran tentang pengaruh yang diberikan oleh

Islam terhadap hukum adat minangkabau, terutama menyangkut permasalahan waris.

BAB IV: IMPLEMENTASI HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT

MINANGKABAU.

Bab ini merupakan bab yang berisi mengenai bagaimana implementasi hukum waris

islam pada masyarakat minangkabau

BAB V: PENUTUP

Bab ini merupakan bab yang berisikan kesimpulan dan saran yang mungkin berguna bagi

perkembangan hukum waris dan hukum adat di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai