MASYARAKAT MINANGKABAU
(Studi Kasus di Kabupaten Agam)
Oleh
FITRI YANNEDI
110620080093
USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Oleh
FITRI YANNEDI
110620080093
USULAN PENELITIAN
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan
Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
A. Latar Belakang
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku yang berlaku bagi bumi
putera dan orang timur asing, yang mempunyai upaya memaksa lagipula tidak
dikodifikasi.1 Jadi sistim hukum adat adalah sistim yang tidak tertulis, yang tumbuh dan
berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Oleh
karena sifatnya yang tidak tertulis, maka Hukum Adat senantiasa dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan
dalam melaksanakan hukum adat ini adalah pemuka adat itu sendiri sebagai pemimpin
menumbuhkan praktek-praktek hukum adat yang berbeda. Salah satunya hukum waris
adat. Hak waris (hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan) diterapkan hanya
kepada mereka yang termasuk golongan kekerabatan, misalnya status perempuan pada
masyarakat patrilineal atau status laki-laki pada masyarakat matrilineal, tidak terlalu
Selain Hukum Waris adat di Indonesia berlaku pula Hukum Waris Islam, dan
1
Abdul Manan, Hukum Islam dalam Berbagai Wacana, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.
2
Ibid, h.224
3
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung, 2002.
diselesaikan di ruang pengadilan agama adalah masalah waris, hal ini disebabkan ketika
sistim hukum waris tersebut memiliki karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang
lain, disatu sisi harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat, sedangkan disisi lain
kesadaran hukum masyarakat itu begitu beragam karena diwarnai oleh agama yang
majemuk serta adat yang berlainan antara golongan masyarakat daerah masing-masing.
Menurut MU. Sembiring unifikasi sekaligus kodifikasi hukum adalah suatu cita-
cita yang diusahakan realisasinya. Namun unifikasi dibeberapa lapangan hukum tidak
dapat direalisir oleh karena kebutuhan hukum anggota masyarakat mengenai lapangan
hukum bersangkutan adalah beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan yang
Lapangan hukum yang dimaksud adalah lapangan yang erat sekali hubungannya dengan,
bahkan didominasi oleh persamaan, kesadaran, kepercayaan, dan agama, pendek kata
bertalian erat dengan pandangan hidup seseorang. Unifikasi dibidang hukum tersebut
sulit diadakan, bahkan mungkin sekali hampir mustahil. Salah satu lapangan tersebut
adalah lapangan Hukum Waris yang banyak dan kuat dipengaruhi oleh agama dan
kepercayaan.4
Persoalan hukum waris menyangkut tiga unsur, yaitu adanya harta peninggalan
atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang
menguasai atau memiliki harta warisan dan yang mengalihkan atau mewariskannya, dan
adanya waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian
4
MU Sembiring, Makalah: Hukum Waris Barat di Indonesia, disampaikan pada symposium Hukum Waris
di Indonesia, pada peringatan seperempat abad Program Pendidikan Spesialis Notariat, Fakultas Hukum
USU, Medan 15 November 1994, dikutip dari M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Tentang
Permasalahan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Masalah waris ini adalah masalah yang sangat penting, karena menyangkut
kepemilikan dan pemanfaatan harta warisan dan juga keharmonisan hubungan keluarga
Pentingnya masalah waris ini dapat dibuktikan melalui Pesan Rasulullah kepada
ummatnya untuk mempelajarinya, seperti sabda Beliau yang diriwayatkan oleh Imam
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang banyak, karena aku adalah
manusia yang suatu ketika mati dan ilmu pun akan hilang, hampir-hampir dua orang
bersengketa dalam faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang
berlakulah sistim keturunan dari pihak ibu (matrilineal), dimana mereka berasal dari satu
ibu asal yang dihitung menurut garis ibu yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan,
Dengan sendirinya, semua anak-anak itu hanya dapat menjadi ahli waris dari
ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi maupun harta pusaka rendah. Dan jika
yang meninggal itu adalah seorang laki-laki, maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah
menjadi ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh
kemenakannya6
Hukum waris minangkabau merupakan bagian hukum adat yang banyak seluk-
belumnya. Pada satu pihak lapangan ini merupakan kelanjutan yang sesuai dengan tertib
6
Ibid
susunan menurut hukum ibu, akan tetapi pada lain pihak mempunyai sangkut paut pula
hukum waris tidak hanya mengalami perubahan-perubahan sosial dan semakin eratnya
pertalian keluarga yang berakibat semakin longgarnya pertalian suku saja, melainkan juga
mengalami pengaruh dari sistim hukum asing, yang mendapat kekuasaan berdasarkan
atas agama karena adanya hubungan tertentu dengan agama tersebut, dan kekuasaan tadi
pengaruh atas hukum waris ini tidak begitu kentara seperti pada hukum perkawinan,
tetapi tergantung bentuk-bentuk hukum waris itu sendiri apakah ia dapat menolak
lama kian mendalam dan aktif, sehingga kalau kita menyelidiki adat-istiadat
Minangkabau, kita akan melihat betapa usaha-usaha orang minangkabau agar agamanya
9
mempengaruhi adatnya. Salah satunya adalah semboyan adat yang terkenal pada
masyarakat Minangkabau yaitu Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang
maksudnya adalah Adat yang berlaku di Minangkabau itu didasarkan kepada Syarak atau
Agama, Dan aturan-aturan dalam agama itu berdasarkan atas Alqu’ran dan As sunnah,
patuik jo alua, yaitu adat yang didasari atas kepatutan dan kebiasaan masyarakat
setempat.
7
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
8
Soebakti Poesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Paradnya Paramita, Jakarta 1994
9
Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Center for minangkabau study
press , Padang, 1968.
Disamping dengan semboyan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
juga diadakannya Seminar-seminar atau Musyarawah Alim Ulama, Niniak Mamak dan
Cadiak Pandai Minangkabaul, salah satunya yaitu pada tanggal 4 s/d 5 Mei 1952 di
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli
waris menerima bagiannya secara sendiri, tanpa terikat dengan ahli waris lainnya.
Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi,
kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut
kadarnya masing-masing.
Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan Al-Qur’an yang
menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Surah Annisaa ayat 7 yang secara garis
besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan dengan apa yang diputuskan dalam
Seminar tersebut diatas. Hal ini disebabkan bahwa Pewarisan harta pusaka rendah ini
10
Amir Syariffuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta 2004
lebih banyak dilaksanakan atas pertimbangan atau alasan pribadi orangtua.11 Pada kasus
lainnya, sering terjadi bahwa harta Pusaka Rendah ini diserahkan oleh laki-laki pewaris
kepada saudara perempuannya, selanjutnya saudara perempuan ini akan mewariskan pula
kepada anak perempuannya, sehingga harta tersebut tidak dibagi berdasarkan Hukum
Islam.12 Bahkan terdapat istilah yang berkembang pada masyarakat minangkabau dewasa
ini bahwa “Laki-laki Minangkabau itu miskin”, sebab mereka tidak akan mendapatkan
apa-apa dari harta warisan yang ditinggalkan orangtua mereka. 13 Sehingga para pemuda-
pemuda minangkabau sudah menganggap diri mereka tidak akan mendapat warisan, dan
walaupun ada beberapa dari mereka yang menyadari bahwa dalam harta waris tersebut
juga terdapat hak mereka secara Islam, tapi mereka malu untuk meminta bagian dari harta
tersebut. Akibat dari anggapan seperti ini, maka banyak terjadi kasus sengketa waris di
Minangkabau, sebab kaum wanita Minangkabau merasa mempunyai hak terhadap harta
pencarian tersebut, sementara kaum laki-laki yang mengetahui Hukum Waris Islam juga
merasa punya hak atas warisan tersebut, tapi disatu sisi mereka malu untuk meminta, dan
Contoh kasus adalah pada sengketa waris sebuah tanah dan kebun antara Mohd
Yusuf St. Pangulu Basa sebagai penggugat dengan saudaranya Nofrida S.sos sebagai
tergugat. Sementara objek yang disengketakan menurut penulis adalah jelas-jelas harta
warisan yang diwariskan dari nenek penggugat dan tergugat yang dahulunya harta
tersebut berasal dari pencarian pasangan nenek dan kakek para penggugat dan tergugat.
Tapi ternyata yang terjadi adalah saudara perempuan Mohd Yusuf St. Pangulu basa ingin
menguasai sendiri tanah tersebut, tapi disayangkan gugatan Mohd Yusuf St. Pangulu Basa
11
Ahmad Syarifuddin, Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah.
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/MetodePewarisanHartaPusakaRendah.pdf
12
Wawancara dengan N Datuak Barbanso, Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari Kamang Magek
13
Wawancara dengan C.A Datuak Rajo Nagari, Pemuka Adat Suku Koto, di kecamatan Kamang.
dikalahkan di Pengadilan Agama Bukittinggi, dengan pertimbangan hakim bahwa harta
hubungan kekeluargaan suami istri dan anak makin lama makin mendapatkan tempat
yang lebih penting sehingga kekuasaan dan pengaruh kerabat dengan sendirinya makin
hari makin menjadi kurang. Pergeseran tersebut diatas membawa akibat dan pengaruh
yang penting sekali dalam kedudukan harta pencarian di Minangkabau, khususnya mata
pencarian suami yang semula menurut hukum adat tidak diwarisi oleh anak-anaknya,
maka dengan pergeseran tersebut menjadi milik somah dan kemudian diwarisi oleh anak-
anaknya sendiri.15 Sehingga kemudian pembagian harta pencarian ini tidaklagi dilakukan
secara Islam.
Hal serupa dibenarkan oleh C.A Datuak Rajo Nagari, salah seorang pemuka adat
suku Koto di dusun Koto Kaciak Kecamatan Kamang Magek, bahwa telah menjadi suatu
kebiasaan bahwa harta pencarian suami tersebut jatuh kepada anak-anaknya, tidak lagi
kepada saudara-saudara suami, yang disebabkan oleh makin eratnya hubungan suami istri
dan anak serta makin menghilangnya pengaruh mamak pada suatu keluarga.
Contoh kasus dari pembagian harta warisan seperti ini adalah pada diri C.A
Datuak Rajo Nagari sendiri ketika istri beliau meninggal dunia, maka beliau membagikan
harta warisan kepada anak-anak beliau, sementara saudara-saudara dan kaum kerabat
yang lain tidak mendapatkan bagian, dan hal itu juga telah dimaklumi oleh kaum kerabat
14
Putusan Pengadilan Agama Bukittinggi Kelas 1 B Nomor 196 Pdt G / 2009 / PA. Bkt tertanggal 23
Desember 2009
15
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Alumni, Bandung 1973
yang lain, sehingga mereka tidak lagi meminta hak mereka terhadap harta pencarian
suami tersebut.16
hukum adat waris didaerah ini. Semula dapat dikatakan, bahwa didaerah Minangkabau
tidak ada hukum waris antara orang-perorangan, individu dengan individu, yang ada ialah
hukum waris antara beberapa keluarga. Tetapi setelah ada pergeseran yang dimaksud
16
Hasil wawancara dengan C.A Datuak Rajo Nagari, Pemuka Adat suku Koto di kecamatan Kamang Hilir
17
Ibid
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas maka
1. Bagaimana pengaruh Hukum waris Islam terhadap Hukum Waris adat pada
masyarakat Minangkabau
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah:
Masyarakat Minangkabau
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoritis
dengan mewujudkan bangsa Indonesia yang bebas, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
yang tidak lain adalah merupakan cita-cita bangsa. Hal ini terlihat pada tujuan
pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 yang ingin mewujudkan bangsa yang
maju, mandiri dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju
masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesaturan Republik Indonesia berdasarkan
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha
Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan berkebangsaan
Dari alinea ke tiga tersebut dapat kita simpulkan bahwa Bangsa Indonesia
mengakui dengan motivasi spiritual yang luhur bahwa kemerdekaan yang kita raih adalah
berkat Ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, dan terlihat juga adanya keinginan yang
didambakan oleh segenap bangsa Indonesia terhadap suatu kehidupan didunia dan di
akhirat.
Kehidupan spiritual itu mengandung banyak segi, salah satunya adalah tentang
permasalahan waris. Bagi bangsa Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam,
maka berdasarkan alinea ke tiga tersebut diatas, tentu saja permasalahan waris ini pun
bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Islam itu sendiri, bukan karena
ia telah diterima oleh Hukum Adat18. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 menetapkan:
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dalam diskursus sejarah
Hukum Indonesia, selalu menyertakan tiga sistim hukum yang mempengaruhi sistim
hukum sekarang. Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang
merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat.19.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari
agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di
Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris didasarkan
pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba 21. Adanya perkawinan
akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan
18
http://arfanhy.blogspot.com/2008/09/kedudukan-hukum-islam-setelah-amandemen.html
19
Mohammad Jamin, Bahan Perkuliahan Hukum Adat Dan Sistem Hukum Nasional, 2004, Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 13
20
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ctk.
Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38
21
Sugiri Permana, Makalah: Pergeseran Hukum Waris di Indonesia
menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris
ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan
yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak perempuan
keturunan diambil berdasarkan dari jalur Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah
pertalian darah dari garis ibu dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin
tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka
masuk dalam keturunan ibunya. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai
ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada
Ttitik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan
adanya keistimewaan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dalam hukum adat dengan
sistim matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan. Sementara hukum waris dalam
Dari perbedaan dua sistim hukum diatas, para ahli hukum seringkali memandangnya
sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan
tertentu.22. Salah satunya adalah Sajuti Thalib, SH, dengan teori Reception a Contrario.
Dalam memahami keyakinan tersebut, menurut Sajuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam
berlaku hukum islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita
moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam
22
Ibid
23
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta Bina
Aksara1980, h. 15
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian.
Minangkabau” ini merupakan suatu penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Deskriptif
sistimatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta tentang Hukum Waris yang berlaku
pada masyarakat Minangkabau. Analisis artinya data yang diperoleh kemudian dilakukan
Minangkabau.
2. Metode Pendekatan
dilakukan dengan melihat kualitas suatu subjek yang diteliti dengan mendeskripsikan
empiris. Yuridis karena penelitian ini berpangkal dari aturan-aturan hukum tertentu yang
berarti prinsip-prinsip dan asas-asas yang terdapat dalam aturan hukum tertentu tersebut
digunakan untuk melihat dan menelaah masalah yang diteliti. Pendekatan yuridis ini
untuk menganalisis aturan hukum yang mempunyai korelasi dengan masalah kewarisan.
Empiris karena penelitian dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial tertentu sebab
pelaksanakan hukum tidak dapat lepas dari keadaan masyarakat dimana hukum tersebut
berlaku. Pendekatan empiris ini lebih mendekatkan kepada fenomologi, artinya penulis
hukum waris Islam terhadap masyarakat Minangkabau, melalui data-data dan fakta yang
diperoleh dari penelitian dilapangan dengan wawancara oleh para responden dan nara
sumber serta data kepustakaan yang berasal dari literatur. Jadi yang dimaksud dengan
mengetahui bagaimana suatu aturan hukum tertentu diterapkan dalam suatu lingkungan
sosial tertentu, yaitu dengan melihat serta menelaah permasalahan dengan mengadakan
pendekatan secara langsung pada responden atau orang-orang yang berhubungan dengan
3. Lokasi Penelitian
Kabupaten Agam, yaitu Kecamatan Baso, Kecamatan Empat Angkat, dan kecamatan
Kamang Magek. Pertimbangan pemilihan tiga kecamatan tersebut didasarkan pada faktor
pembagian harta warisan yang berdomisili di Kabupaten Agam. Sampel yaitu bagian dari
populasi yang dianggap mewakili populasi.25 Adapun penarikan sampel dilakukan dengan
cara porpusive sample26, yaitu dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 30
(tiga puluh) orang masyarakat adat Minangkabau dari keseluruhan populasi yang
24
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta, Jakarta 2004, h.79
25
Ibid
26
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. P.T Remaja Rosdakarya, Bandung 1990, h 165,
menyatakan maksud sampling adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai macam
sumber dan bangunannya. Dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan teori yang
muncul. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive
sample)
diperkirakan dapat mewakili. Oleh karena itu sampel yang menjadi responden dalam
penelitian ini diambil dari tiap kecamatan sebanyak 10 (sepuluh) orang sampel.
sumber lainnya, yaitu orang yang dianggap mengetahui dan kompeten dengan objek
Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan
ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan
2. Studi Lapangan, yaitu pengumpulan data primer yang diperoleh langsung dari
Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
6. Analisis data.
Metode penelitian data yang digunakan adalah analisis induktif27, peneliti menilai
dan menganalisa data yang telah difokuskan tentang permasalahan yang ada secara logis
dengan cara berfikir yang runtut. Sehingga kesimpulan yang diambil dapat
berkaitan antara satu dengan yang lainnya atau merupakan kebulatan yang saling terkait.
G. Sistimatika Penulisan
Penulisan ini dibagi kedalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas
beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistimatik dan saling berkaitan satu
sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
27
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1997, h 10,
menggunakan istilah prosedur Induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil
pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan berupa asas umum.
Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, identifikasi
Bab ini merupakan bab yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum waris Islam,
ADAT
Bab Ini merupakan bab yang berisi gambaran tentang pengaruh yang diberikan oleh
MINANGKABAU.
Bab ini merupakan bab yang berisi mengenai bagaimana implementasi hukum waris
BAB V: PENUTUP
Bab ini merupakan bab yang berisikan kesimpulan dan saran yang mungkin berguna bagi