Anda di halaman 1dari 6

Pengertian Etos Kerja

Ilustrasi Etos Kerja


Etos kerja adalah sikap yang muncul atas kehendak dan kesadaran sendiri yang didasari oleh sistem orientasi
nilai budaya terhadap kerja (Sukardewi, 2013:3). Etos berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya
sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu,
tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta
sistem nilai yang diyakininya (Tasmara, 2002:15).

Etos kerja bangsa Jepang

Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara di dunia yang
memiliki etos kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan suatu
dampak kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi, serta
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Jepang itu sendiri.

Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri khas orang Jepang, hal
ini disimbolkan dengan berbagai semboyan semacam "samurai" yang
menyatakan “Lebih baik mati dari pada berkalang malu”, ada juga istilah
MAKOTO yang artinya "bekerja dengan giat,semangat, jujur serta ketulusan".
Belum lagi semangat dan semboyan serta falsafah yang lain yang dapat
memacu kerja dan membentuk etos kerja para pekerja di luar negara
Jepang.

Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang


dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara
atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang ditulis
oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, “RAHASIA BISNIS
ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia)”,
diceritakan setelah bom atom Amerika menghunjam Hiroshima dan
Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua pakar
ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami
kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang
ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara
yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang
bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang
perteknologian, Jepang menjelma menjadi negara raksasa di atas negara-
negara besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala bentuk kekurangan
secara fisik, tidak fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga
kerja, dan selalu terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi
mereka menjadi bangsa yang dihormati dunia.

Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa


mengharap bayaran atau imbalan. Mereka merasa lebih dihargai jika
diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika
hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar,
secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam
pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan
sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.
Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja di Jepang adalah 2.450
jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun.
Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam
kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911
jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun).
Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan
jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. Keadaan ini tentu sangat
berbeda dengan budaya kerja orang atau bangsa Indonesia yang biasanya
selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih
cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang
tidak penting, malas dan tidak produktif.

Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang
membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga
dengan produk buatan negerinya sendiri. Mereka juga menjadi pengguna
utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba
mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia mulai dari
makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka
berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri
mereka. Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat
mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah
mereka pelajari. Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan "produk Barat" demi memenuhi
kepentingan pasar dan kebutuhan konsumen. Bangsa Jepang memang
pintar meniru tetapi mereka memiliki daya inovasi yang lebih tinggi. Pihak
Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk
menghasilkan sebuah inovasi. Namun bangsa Jepang melibatkan aspek
"emosi dan intuisi" untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera
pasar.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang.


 Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji semata. Tentu saja orang
Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi
kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika ditanya
“Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda berhenti
bekerja ?”, kebanyakan orang Jepang menjawab, “Saya tidak berhenti, terus
bekerja.” Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan yang bermain
bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh
satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan
kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling
mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-
kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut “work holic” oleh
orang asing.
 Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja orang
Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. “Okyaku sama ha
kamisama desu” (Langganan adalah tuhan.) Kata itu dikenal oleh semua
orang Jepang. Kata ini sudah motto bisnis di Jepang. Perusahaan Jepang
berusaha mewujudkan permintaan dari langganan secepat mungkin, dan
berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
 Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis
sebagai perang melawan perusahaan lain. Untuk menang perang, perlu
strategi dan pandangan jangka panjang. Budaya bisnis Jepang lebih
mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang
seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur setenaga kuat.
Semua orang Jepang tahu pribahasa “Hara ga hette ha ikusa ha dekinu”
(Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu orang Jepang tidak akan
pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang Jepang, untuk bekerja harus
makan dan mempersiapkan kondisi lengkap.

Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh


prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor
perindustrian dan perdagangan.
Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti
Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang,
tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis
yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti
pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula ekonomi
yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak
ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada ditangan
kita dan bukan terletak pada negara.

Prinsip kerja orang Jepang

1. Prinsip Bushido

Bushido yang mengandung arti ‘ksatria’ ini merupakan kode etik golongan samurai pada masa
feodal Jepang. Seorang samurai memiliki loyalitas dan totalitas terhadap tuannya. Ia bahkan rela
melakukan harakiri (bunuh diri dengan menusuk perut) untuk mengembalikan kehormatan dirinya.

Nah, semangat bushido ini ternyata mengakar dalam etos kerja masyarakat Jepang. Mereka
memiliki loyalitas dan pengabdian tinggi terhadap perusahaan dan bekerja dengan penuh
kehormatan dan totalitas. Hal ini membuat orang Jepang cenderung loyal dan jarang berpindah-
pindah perusahaan.

2. Makoto dan Ganbatte Kudasai

Makoto bisa diartikan sebagai kejujuran dan ketulusan. Dalam melakukan pekerjaannya, orang
Jepang memegang teguh prinsip ini, yaitu bekerja keras dengan semangat, kejujuran, dan
ketulusan.

Sementara, ganbatte kudasai adalah kata-kata penyemangat yang kerap diucapkan orang Jepang,
yang dalam konteks bekerja berarti semangat pantang menyerah sampai tujuan tercapai.

Konsep Keishan

3. Konsep Keishan

Keishan berarti kreatif, inovatif, dan produktif. Lewat prinsip ini, orang Jepang nggak takut untuk
berkarya secara kreatif dan melakukan inovasi-inovasi yang berbeda.

Inilah mengapa kita kerap menemui hal-hal yang unik di Jepang. Selain itu, konsep ini juga
membuat orang Jepang selalu terbuka mempelajari hal-hal baru saat bekerja.

4. Prinsip Kaizen
Prinsip kaizen menekankan ketepatan waktu dalam menyelesaikan pekerjaan. Artinya, kamu harus
fokus dan tidak boleh menunda-nunda agar pekerjaanmu selesai sesuai jadwal yang ditentukan.

Keterlambatan akan menjadi sebuah kerugian bagi diri sendiri, perusahaan, dan konsumen. Untuk
menghasilkan produk yang berkualitas, waktu dan biaya haruslah optimal.

Makanya, jarang kita lihat ada orang Jepang yang datang terlambat ke tempat kerja. Mereka juga
umumnya malu pulang lebih awal dan disiplin dalam membedakan waktu kerja dan istirahat.

Tidak ada pekerjaan remeh

5. Tidak ada pekerjaan yang remeh

Sekecil apapun, orang Jepang tidak pernah menganggap remeh suatu pekerjaan. Faktanya,
perusahaan Jepang mendidik karyawannya untuk bekerja mulai dari tingkat terbawah.

Tanpa pandang bulu, karyawan baru di sana bisa saja diminta untuk mengelap meja, merapikan dan
memfotokopi berkas, maupun hal-hal lain yang sering kita anggap sebagai pekerjaan sepele.

Lewat prinsip ini, karyawan di sana diajarkan tentang kemandirian dan mengenal semua lini
produksi perusahaan dengan baik.

Bagi perusahaan di Jepang, karyawan adalah sebuah investasi berharga. Makanya, ia harus
mengenal perusahaannya dengan baik dari level terendah.

Nah, buat meningkatkan produktivitas kerja, sudah selayaknya kita meniru etos kerja orang Jepang
di atas.

Anda mungkin juga menyukai