Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru,

sehingga disebut dengan TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke

bagian atau organ lain dalam tubuh, dan TB jenis ini lebih berbahaya dari TB

paru. Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan

orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi adalah masalah

diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa

sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis,

dengan angka tertinggi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama

TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang

tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu

penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara

berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999,

jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan

menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun.

Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit

didapatkan spesimen

diagnostik yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak,

sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak,

1
ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut terjadi karena

sumber penyebaran TB umumnya adalah orang dewasa dengan sputum

basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan pada

pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang

diperhatikan.(1)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ

tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi

primer.(1)

B. Epidemiologi

Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih

dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab

terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar di negara

berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan

penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak dan orang

dewasa.(3)

Di negara berkembang, TB pada anak < 15 tahun adalah 15 % dari seluruh

kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5 % - 7 %. Laporan

mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB

anak adalah 5%-6% dari total kasus TB.(3)

C. Faktor Risiko

Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang

yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB

(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Terdapat

beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya

3
penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi

dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).(3)

1. Risiko Infeksi Tuberkulosis

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan

dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,

kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan

tempat penampungan umum, yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang

dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari

seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi ternfeksi TB.(3)

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih

tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif , infiltrat

luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk

produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat

terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan

kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan

kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak.

Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman

pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas

anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan

sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit

TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus,

sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi

4
sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan

jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.(3)

2. Risiko Sakit Tuberkulosis

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya

infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak

berusia < 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi

menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna

(imatur). Risiko sakit TB akan berkurang secara bertahap seiring dengan

pertambahan usia. Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi

menjadi sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6

bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan timbul sakit

TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala akut. Faktor risiko

berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji

tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor

risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes melitus

dan gagal ginjal kronik.(3)

D. Cara Penularan(4)

1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun

anak.

2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya ,

kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type B.

5
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama

pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan

kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA

negatif.

4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65 % pasien

BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB

dengan hasil kultur negatif dan foto thorax positif adalah 17 %.

E. Patogenesis(2)

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil (< 5 mm), kuman TB dalam percik renik (droplet

nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan

segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan

memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar

kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu

menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman

TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan

makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut.

Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

6
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah

kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis), dan

saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini

berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu

yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang

waktu 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon

imunitas seluler.

Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik

kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap

tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya

kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut

ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji

tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler

tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem

imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi

kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam

7
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke

dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer

di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika

terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar

melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, bronkus dapat

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan

hiperinflamasi di segmen distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan

atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat

merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi

komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan

atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan

pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB

menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh

tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi

baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau

lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan

membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.

Fokus ini umunya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks paru disebut sebagai

fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun,

fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ

terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

9
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,

sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh

tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB

secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu

2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan

virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu

dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic

spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui

cara ini akan mempunyai ukuran yang kurang lebih sama. Istilah milier berasal

dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet

seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,

yang secara histologik merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan

menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan

masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe

ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini

dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),

biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB

10
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru

kronik. Sebanyak 0,5-3 %, penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier

atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.

Tuberkulosis endobronkial (lesi segmentel yang timbul akibat pembesaran

kelenjar regional), dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).

Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya

infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam

lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada

anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan gejala

spesifik sesuai organ yang terkena. Gejala umum penyakit TB tidak khas ,

dalam arti gejala tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit

lain. Gejala yang membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai

penyebab adalah masalah makan dan berat badan. Nafsu makan yang kurang,

berat badan yang sulit naik, menetap, atau malah turun merupakan gejala

penyakit TB. Kemungkinan masalah gizi sebagai penyebab harus

disingkirkan dulu dengan tatalaksana yang adekuat selama minimal 1 bulan.

Pasien sakit TB dapat memberi gejala demam subfebris berkepanjangan.

Etiologi demam kronik yang lain perlu disingkirkan dahulu, seperti misalnya

infeksi saluran kemih, tifus atau malaria. Pembesaran kelenjar superfisial di

daerah leher, aksila, inguinal atau tempat lain tidak jarang menjadi keluhan

11
orang tua pasien. Keluhan respiratorik dapat berupa batuk kronik lebih dari 3

minggu, atau nyeri dada. Dapat pula dijumpai gejala gastrointestinal seperti

diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku, perut membesar

karena cairan, atau teraba massa dalam perut.(1)

Keluhan spesifik organ dapat terjadi bila TB mengenai organ

ekstrapulmonal seperti ditemukannya benjolan di punggung (gibbus), sulit

membungkuk, pincang atau pembengkakan sendi. Bila mengenai susunan

saraf pusat, dapat terjadi gejala iritabel, leher kaku, muntah-muntah dan

kesadaran menurun. Gambaran kelainan kulit yang khas yaitu skrofuloderma

dan lesi flikten di mata.(1)

2. Pemeriksaan Fisis

Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.

Biasanya sesuai dengan keluhan masalah makan dan berat badan, pada

pemeriksaan antropometri dijumpai gizi kurang dengan grafik berat badan

dan tinggi badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5. Suhu

subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.(1)

Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ

tertentu. Pada TB vertebra dapat dijumpai gibbus, kifosis, paraparesis, atau

paraplegia. Jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat terjadi

pada TB koksae atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening dicurigai ke

arah TB jika bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (saling

menyatu). Jika terjadi Meningitit TB, dapat ditemukan kaku kuduk dan tanda

rangsang meningeal lain. Ulkus kulit dengan skinbridge yang merupakan ciri

12
khas skorfuloderma biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal.

Skrofuloderma ditandai oleh massa yang padat atau fluktuatif, sinus yang

mengeluarkan cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan

serta tepi bergaung, serta sikatriks yang menyerupai jembatan. Pada mata

dapat dijumpai konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di limbus kornea

yang sangat nyeri.(1)

3. Pemeriksaan Penunjang(1)

a. Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml

tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah

suntikan memanjang lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam

setelah penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm

berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi

sama sekali. Indurasi 10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm

dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu

diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji tuberkulin positif

menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)

pada anak. Reaksi uji tuberkulin positif biasanya bertahan lama hingga

bertahun-tahun walau pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin

tidak digunakan untuk memantau pengobatan TB.

b. Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis

yang sugestif TB di antaranya : pembesaran kelenjar hilus atau

paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura,

atelektasis, atau kalsifikasi.

13
c. Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum,

untuk mencari basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan langsung dan

Mycobacterium tuberculosis dari biakan. Hasil biakan positif merupakan

diagnosis pasti TB. Hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan

diagnosis TB.

d. Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan

lain yang dicurigai TB.

e. Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, Mycodot dan lain-lain, nilai

diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak

dianjurkan. Sampai saat ini semua pemeriksaan diagnostik TB hanya

dapat mendeteksi adanya infeksi TB, tapi tidak dapat membedakan ada

tidaknya penyakit TB.

f. Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan Meningitis TB.

g. Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada

tidaknya meningitis TB.

h. Foto tulang dan pungsi pleura dilakukan atas indikasi.

i. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai

pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB.

Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan

pemeriksaan penunjang, seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan

foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA

positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif

TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB.(2)

14
Tabel 1. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak(5)

Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak Tidak Laporan Kontak

dengan jelas keluarga, dengan

pasien TB kontak dengan pasien

pasien BTA BTA

negatif atau positif

tidak tahu, atau

BTA tidak

jelas

Uji negatif Positif

tuberkulin (≥10 mm,

atau ≥ 5

mm pada

pasien

imunosupr

esi)

Berat Gizi kurang : Gizi buruk :

badan/keada BB/TB<90 % BB/TB <70%

an gizi atau BB/U < atau BB/U <

(dengan 80 % 60%

KMS atau

15
tabel)

Demam ≥ 2 minggu

tanpa sebab

jelas

Batuk ≥ 3 minggu

Pembesaran ≥ 1 cm

kelenjar Jumlah ≥

limfe koli, 1,tidak nyeri

aksila,inguin

al

Pembengkak Ada

an pembengkakan

tulang/sendi

panggul,

lutut, falang

Foto dada Normal/ Sugestif TB

tidak jelas

JUMLAH SKOR

Catatan : (5)

a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

b. Jika dijumpai skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis

tuberkulosis.

16
c. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

d. Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.

e. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem

skoring TB anak.

f. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

g. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk

evaluasi lebih lanjut.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, rujuk ke rumah sakit : (5)

1. Foto rontgen menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura.

2. Gibbus, koksitis.

3. Tanda bahaya :

a. Kejang, kaku kuduk.

b. Penurunan kesadaran.

c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas.

G. Penatalaksanaan(6)

1. Medikamentosa

Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :

a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal

b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan.

Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase

intensif maupun fase lanjutan.(6)

17
1. TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,

dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-

4HR).

2. TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstra paru : 4-5 OAT

selama 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin

hingga genap 9-12 bulan terapi.

3. TB kelenjar superfisial : terapinya sama dengan TB paru.

4. TB milier dan efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari

selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off)

selama 2 minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.

Tabel 2 : Obat yang lazim digunakan dalam terapi TB pada bayi, anak,

dan remaja(6)

Obat Sediaan Dosis Dosis Efek samping

maksima
mg/kgB
l
B

Isoniazid Tablet 100 dan 5-15 300 mg Peningkatan

(INH/H) 300 mg; sirup transaminase,

10 mg/ml hepatitis,

neuritis perifer,

hipersensitivitas

Rifampisin Kapsul/tablet 10-15 600 mg Urin/sekresi

(RIF/R) 150,300,450,60 warna kuning,

18
0 mg, sirup 20 mual-muntah,

mg/ml hepatitis, flu-like

reaction.

Pirazinamid Tablet 500 mg 25-35 2g Hepatotoksisitas

(PZA/P) ,

hipersensitivitas

Etambutol Tablet 500 mg 15-20 2,5 g Neuritis optikal

(EMB/E) (reversibel),

gangguan visus,

gangguan warna,

gangguan

saluran cerna

Streptomisi Vial 1 g 15-30 1g Ototoksisitas,

n (SM/S) nefrotoksisitas

Catatan:

a. Menurut WHO,IUATLD, dan ERS, dosis INH 5 mg/kgBB adekuat

dan aman.

b. Jika INH dipadu dengan rifampisin, dosis INH tidak lebih dari 10

mg/kgBB dan rifampisin 15 mg/kgBB untuk mengurangi insidens

hepatitis.

19
Kombinasi Dosis Tetap OAT (FDC)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan

minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu

paket kombipak dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan.

Kombipak dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R

75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.(2)

Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk

meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif

lama dengan jumlah obat yang banyak, dalam program penanggulangan

TB anak telah dibuat obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed

Dose Combination=FDC). (2)

Tabel 3. Dosis Kombinasi Pada TB Anak(2)

Berat badan 2 bulan 4 bulan

(kg) RHZ (75/50/150) (RH(75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan : (2)

R : Rifampisin, H: Isoniasid, Z: Pirazinamid

20
a. Bayi di bawah 5 kg, pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam

bentuk kombinasi tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS tipe C atau lebih

tinggi.

b. Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.

c. Anak dengan BB ≥ 33 kg dosisnya sama dengan dosis dewasa.

d. Tablet obat harus diberikan secara utuh.

e. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah, atau

dimasukkan air dalam sendok.

Kelompok risiko tinggi memerlukan medikamentosa profilaksis.(6)

1. Profilaksis primer untuk mencegah tertular/infeksi pada kelompok

yang mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa dengan uji

BTA positif.

2. Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada

kelompok yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.

Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat

dan dosis yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis

primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien

TB dewasa dengan BTA sputum positif, namun pada evaluasi dengan

sistem skoring, didapatkan skor ≤ 5. Profilaksis primer diberikan selama

kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan dilakukan

uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada,

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif,

dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi

21
profilaksis primer dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis

sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu risiko

tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.(2,6)

2. Bedah(6)

a. TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau

pneumektomi.

b. TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB.

c. Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama

minimal 2 bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis atau

ada abses paravertebra tindakan bedah perlu lebih awal.

3. Suportif (6)

Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB.

Jika ada penyakit lain juga perlu mendapat tata laksana memadai.

Fisioterapi dilakukan pada kasus pasca bedah.

H. Pemantauan

Terapi

a. Respon klinis

Respon yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal.

Nafsu makan yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat,

hilangnya keluhan demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respon

yang nyata biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). Setelah itu

perbaikan klinis tidak lagi sedramatis fase intensif.(6)

22
b. Evaluasi radiologi

Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan

klinis. Jika gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan

minum obat, dan kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB

dimulai lagi dari awal dengan paduan 4 OAT.(6)

c. Efek samping OAT

Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara

pemberiannya benar. Efek samping yang kadang muncul adalah

hepatotoksisitas, dengan gejala ikterik yang bisa disertai keluhan

gastrointestinal lainnya. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase

intensif. Pada kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar, maka

pemeriksaan transaminase serum dilakukan sebelum pemberian OAT,

dan dipantau minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif.(6)

d. Jika timbul ikterus OAT dihentikan, dan dilakukan uji fungsi hati

(bilirubin dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar

transaminase < 3x batas atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi

dengan dosis terendah. Yang perlu diingat, reaksi hepatotoksisitas

biasanya muncul karena kombinasi dengan berbagai obat lain yang

bersifat hepatotoksik seperti parasetamol, fenobarbital, dan asam

valproat.(6)

e. Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.

Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis

diubah menjadi terapi TB.(6)

23
Tumbuh Kembang

Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat badan

dicatat tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk memantau pola

tumbuh pasien selama menjalani terapi. Walau berat badan belum mencapai

ideal, namun pola grafiknya sudah menaik dan memasuki ‘pita’ di atasnya,

sudah dinilai sebagai respon yang baik.(6)

TB anak umumnya tidak menular, sehingga pasien TB anak tidak perlu

dikucilkan, agar tidak mengganggu aspek kembang dan kejiwaan pasien.

KIE untuk orang tua pasien.(6)

a. Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh terputus,

dan harus kontrol teratur tiap bulan.

b. Obat rifampisin dapat menyebabkan cairan tubuh (air seni, air mata,

keringat, ludah) berwarna merah.

c. Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong yaitu

1 jam sebelum makan/minum susu, atau 2 jam setelah makan. Khusus

untuk rifampisin harus diminum dalam keadaan perut kosong.

d. Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual, dan muntah, segera periksa

ke dokter walau belum waktunya.

I. Pencegahan Tuberkulosis pada Anak

Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala umumnya yang

tidak khas dan sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik. Oleh karena itu,

upaya deteksi dini dan terapi yang adekuat merupakan bagian terpadu dari upaya

promotif-preventif. Imunisasi BCG hingga saat ini masih dilakukan, walau oleh

24
sebagian kalangan efektivitasnya diragukan. Diharapkan dalam waktu dekat

sudah ditemukan vaksin TB yang lebih efektif. Asupan gizi yang baik akan

meningkatkan daya tahan anak terhadap risiko infeksi dan sakit TB. Upaya

pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila tenaga medis menemukan pasien TB

dewasa dengan BTA sputum positif maka lacak sentrifugal harus dilakukan, yaitu

mencari orang terutama anak yang memiliki kontak erat dengan pasien tersebut,

untuk mencari kemungkinan apakah orang tersebut telah terinfeksi atau bahkan

sakit TB. Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji tuberkulin cara

Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga harus dilakukan,

yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber penularannya.(1)

1. Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)

Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan

terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi

mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier), yang sangat

mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-12 minggu untuk

menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG

memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80 % terhdap tuberkulosis.

Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi

orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas.(7)

Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan

pemerintah. Vaksin ini diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya

diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Vaksin BCG juga diberikan pada anak

usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada

25
skar), imigran, komunitas travelling, dan pekerja di bidang kesehatan yang

belum divaksinasi (tidak ada catatan atau skar). Setelah vaksinasi, papul

(bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu 1-3 minggu. Papul ini akan

semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan

waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan tempat vaksinasi sembuh

sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. Jangan menggunakan krim

atau salep, plester yang melekat, kapas atau kain langsung pada tempat

vaksinasi. Vaksinasi BCG tidak terlepas memberikan efek samping, maka

perlu diketahui bahwa vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang yang

mengalami penurunan status kekebalan tubuh dan uji tuberkulin positif.

Vaksin BCG dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain. Misalnya

Dtap/IPV/Hib. Saat memberikan vaksin BCG, imunisasi primer lain juga

diberikan. Lengan yang digunakan untuk imunisasi BCG jangan digunakan

untuk imunisasi lain selama minimal 3 bulan, agar tidak terjadi

limphadenitis.(7)

Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada bayi

usia < 2 bulan sistem imun anak belum matang. Pemberian imunisasi

penyokong (booster) tidak dianjurkan.(8)

Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu : (4)

a. Bayi terlahir dari ibu TB BTA positif

Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada

trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan

amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien

26
TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui

percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan

rujukan.

b. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS

Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak

dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan

untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.

2. Skrining dan Manajemen Kontak(4)

Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang

dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang

mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan orang dewasa yang

menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.

Latar belakang perlunya investigasi kontak :

a. Konsep infeksi dan sakit pada TB.

b. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat

berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2

%.

c. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk

berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi,

bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.

d. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi

kemungkinan berkembangnya sakit TB.

27
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB

dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis.

3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid(4)

Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan

BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah

tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi

menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga

diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut : (4)

Umur HIV Hasil pemeriksaan Tatalaksana

Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis

Balita (+)/(-) Kontak (+), uji INH profilaksis

tuberkulin (-)

>5 tahun (+) Infeksi laten TB INH profilaksis

>5 tahun (+) Sehat INH profilaksis

>5 tahun (-) Infeksi laten TB Observasi

>5 tahun (-) Sehat Observasi

Keterangan : (4)

a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-

15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.

28
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan

terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,

ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan

jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi

TB anak dimulai dari awal.

c. Jika regimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB

selama 6 bulan pemberian), maka regimen isoniazid profilaksis dapat

dihentikan.

d. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu

diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

29
BAB III

KESIMPULAN

1.Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua

organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi

infeksi primer.

2. Laporan mengenai TB anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan

jumlah kasus TB anak adalah 5%-6% dari total kasus TB.

3. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia < 5 tahun mempunyai

risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas

selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Faktor risiko berikutnya

adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari

negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah

malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes melitus dan gagal ginjal

kronik.

4. - Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun

anak.

-Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya ,

kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type B.

- Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama

pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan

30
kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA

negatif.

- Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan

penyakit TB.

5. Anamnesis

Manifestasi klinis penyakit TB ada dua yaitu gejala umum dan gejala spesifik

sesuai organ yang terkena. Gejala umum penyakit TB tidak khas , dalam arti

gejala tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit lain. Gejala

yang membuat dokter perlu mempertimbangkan TB sebagai penyebab adalah

masalah makan dan berat badan. Nafsu makan yang kurang, berat badan yang

sulit naik, menetap, atau malah turun merupakan gejala penyakit.

6. Pemeriksaan Fisik

Pada TB vertebra dapat dijumpai gibbus, kifosis, paraparesis, atau paraplegia.

Jalan pincang, nyeri pada pangkal paha atau lutut dapat terjadi pada TB koksae

atau TB genu. Pembesaran kelenjar getah bening dicurigai ke arah TB jika

bersifat multipel, tidak nyeri tekan, dan konfluens (saling menyatu). Jika terjadi

Meningitit TB, dapat ditemukan kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal

lain. Ulkus kulit dengan skinbridge yang merupakan ciri khas skorfuloderma

biasanya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal. Skrofuloderma.

31
7. Pemeriksaan penunjang:

Uji tuberkulin : dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD

secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan memanjang

lengan (longitudinal). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan.

Foto toraks antero-posterior (AP) dan lateral kanan. Gambaran radiologis yang

sugestif TB di antaranya : pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,

konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis, atau

kalsifikasi.

Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum, untuk

mencari basil tahan asam (BTA).

8. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

9. Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu :

a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal

b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH-rifampisin) hingga 6-12 bulan.

Pada anak, obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif

maupun fase lanjutan.(6)

TB paru : INH, rifampisin, dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,

dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ-4HR).

10. Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan dosis

yang digunakan sama yaitu INH 5-10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer

diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa

dengan BTA sputum positif, namun pada evaluasi dengan sistem skoring,

32
didapatkan skor ≤ 5. Profilaksis primer diberikan selama kontak masih ada,

minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3 bulan dilakukan uji tuberkulin ulang.

Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak ada, profilaksis dihentikan.

11. Upaya deteksi dini dan terapi yang adekuat merupakan bagian terpadu dari

upaya promotif-preventif. Imunisasi BCG hingga saat ini masih dilakukan,

walau oleh sebagian kalangan efektivitasnya diragukan. Diharapkan dalam

waktu dekat sudah ditemukan vaksin TB yang lebih efektif. Asupan gizi yang

baik akan meningkatkan daya tahan anak terhadap risiko infeksi dan sakit TB.

33
Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar Pelayanan

Medis Kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS.

2013. Hal 40-46.

2. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak.

Departemen Kesehatan-IDAI. 2008. Hal 1-15.

3. Cissy B. Kartasasmita. Epidemiologi Tuberkulosis. Jurnal Sari Pediatri

Volume 11. 2009.

4. Rahajoe. N. N. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta :

Kementrian Kesehatan RI. 2013.

5. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Jakarta : WHO Indonesia. 2009.

6. Pudjiaji, Antonius H, dkk (ed). Pedoman Peyanan Medis Ikatan Dokter

Anak Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

2011. Hal 325-328.

7. Cahyono, Lusi, dkk (ed). Vaksinasi. Yogyakarta : Kanisus. 2010. Hal 51-

52.

8. Rusmil. K. Imunisasi

.http://idai.or.id/publicarticles/klinik/imunisasi/melengkapi-mengejar-

imunisasi-bagian-ii.html (Akses pada tanggal 30 Maret 2017).

34

Anda mungkin juga menyukai