Anda di halaman 1dari 33

Hubungan Etika kedokteran dengan Malpraktek

Esterlina Ratuanak
102009217
ety.ratu@yahoo.com
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Skenario
Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter Obgyn B sewaktu
melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.
Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk kalus.
Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan
kapan kira – kiar terjadinya. Bila benar patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, maka aan
menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak
dapat mediagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga
sebaiknya ia merawat anaknya kedokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia
katakan.

Pendahuluan
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap

1
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik
dan juga sekaligus pelanggaran hukum.1

Etik Profesi Kedokteran


Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk
Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada
waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah
dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah
Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-
kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap
sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat
dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman
bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman
dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti
autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan
tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang
memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian
profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan

2
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan
lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan. 2
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu,
di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di
dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di
tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat
dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat
seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.2,4

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian
hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran.2

3
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan
praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu
permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan
internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang
(profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam
sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus
tersebut kepada MKEK.
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan
etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan
pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka
pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat
pula diperiksa di pengadilan – tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya.
Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam
melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :3
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan

4
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan
tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan
pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable
doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada
perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.5
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya

5
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kewajiban Umum

Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.

6
Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter
atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat


dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

Pasal 10

Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

7
pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan
atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.2

8
Hubungan dokter-pasien
Hubungan hukum dokter - pasien adalah hubungan anta subjek hukum dengan subjek
hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien sebagai subjek hukum secara sukarela dan
tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak yang disebut
kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu yang dilaukan oleh dokter
terhadap pasiennya dalam upaya peyembuhan penyakit pasien adalah merupakan perbuatan
hukum yang kepadanya dapat dimintai petrtanggug jawaban hukum. Mungkin masih banyak
teman sejawat dokter yang melaksanakan tugas profesionalnya, memberikan pelayanan medik
kepada pasien tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah perbuatan hukum. Dalam
benak para teman sejawat tiada lain hanyalah melakukan tindakan profesional kedokteran sesuai
dengan kode etik profesional dan sumpah jabatan dokter, yaitu melakukan tindakan medis,
pengobatatan penyakit dan perawatan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Hubungan hukum dokter-pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada pada
kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut harus
melibatkan pasien dalam menentukan apakah sesuatu tersebut dapat atau tidak dapat dilakukan
atas dirinya. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubugan hukum dokter-pasien adalah melalui
informed consent atau persetujuan tindakan medik. Pasien berhak memutuskan apakah menerima
atau menolak sebagian atau seluruhnya rencana tindakan da pengobatan yang akan dilakukan
oleh dokter terhadap dirinya.
Hubungan hukum dokter-pasien menempatkan keduanya sebagai subjek hukum yang
masng-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus di hormati.
Dokter sebagai subjek hukum mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang
menjadi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien mempunyai kewajiban yang sama untuk
memenuhi hak-hak dokter. Pengingkaran atas pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak akan
menimbulkan disharmonisasi dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berbuntut pada
gugatan atau tuntutan hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya atau
kepentigan-kepentingannya.
Dokter tidak boleh ertindak arogan dan semena-mena atas superioritas yang
dimilikinya atas pasien karena memiliki keahlan dan kecakapan di bidang IPTEK kedokteran dan
kesehatan. sehingga pasien merasa sangat tergantung pada dokter. . Perbuatan seperti itu adalah

9
sebuah perbuatan melanggar hukum karena tidak menghargai hak-hak pasien dalam perjanjian
terapeutik tersebut.
Hubungan hukum dokter pasien mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjajiajan atau perikatan hukum Syarat-syarat tersebut
yaitu antara lain :4
1. Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hokum
2. Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa paksaan.
3. Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan.
4. Perjanjian tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan hukum.
Dalam penelitian Gibb diungkapkan bahwa semakin sering orang menggunakan
perilaku di sebelah kiri, maka semakin besar kemungkinan komunikasi menjadi defensive.
Sebaliknya, komunikasi defensif berkurang dalam iklim suportif
1. a. Evaluasi
Evaluasi artinya penilaian terhadap orang lain yaitu dengan cara memuji atau mengecam.
Dalam mengevaluasi, kita seringkali mempersoalkan nilai dan motif orang lain. Bila kita
menyebutkan kelemahan dan kekurangan orang lain, maka kita akan melahirkan sikap
defensif. Pada evaluasi, kita sering menggunakan kata sifat (salah, ngawur, bodoh). Kita
sering mengevaluasi pada gagasan dan kinerja orang lain, bukan pada diri sendiri.

b. Deskripsi
Deskripsi artinya penyampaian perasaan dan persepsi anda tanpa menilai. Pada deskripsi,
biasanya kita menggunakan kata kerja. Deskripsi dapat terjadi ketika kita sedang
meng¬evaluasi orang lain, tetapi orang merasa bahwa kita meng¬hargai diri mereka.

2. a. Kontrol
Kontrol artinya berusaha untuk mengendalikan bahkan cen¬derung ingin mengubah
orang lain dari sikap, pendapat dan tindakannya. Melakukan kontrol juga berarti ingin
menentu¬kan sikap, pendapat dan tindakan orang lain sesuai dengan yang kita inginkan.
Itu berarti kita tidak menerima sikap, pendapat dan tindakan orang lain. Sehingga kalau
terjadi kontrol orang lain terhadap kita, maka kita ada perasaan menolaknya.

10
b. Orientasi Masalah
Orientasi masalah berarti mengkomunikasikan keinginan untuk bekerja sama mencari
pemecahan masalah. Kita mengajak orang lain bersama-sama untuk menetapkan tujuan
dan memutuskan bagaimana mencapainya.

3. a. Strategi
Strategi adalah penggunaan cara untuk mempengaruhi orang lain. Kita menggunakan
strategi apabila orang menduga kita mempunyai motif tersembunyi. Kita berkomunikasi
dengan ”udang di balik batu”. Apabila orang lain tahu kita melaku¬kan strategi, maka ia
akan menjadi defensif.

b. Spontanitas
Spontanitas artinya sikap jujur, apa adanya dan dianggap tidak memiliki motif yang
terpendam. Apabila kita melaku¬kan spontanitas, maka kita mempunyai iklim suportif.

4. a. Netralitas
Netralitas berarti sikap impersonal dan memperlakukan orang lain tidak sebagai persona,
melainkan sebagai obyek. Ber¬sikap netral bukanlah bersifat obyektif, melainkan
menunjuk¬kan sikap acuh tak acuh dan tidak menghiraukan kelebihan orang lain.

b. Empati
Empati artinya memahami orang lain yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita,
sebagai keadaan ketika pengamat bereaksi secara emosional karena ia menanggapi orang
lain yang mengalami emosi. Tanpa empati, orang seakan-akan menjadi mesin yang
hampa perasaan dan tanpa perhatian. Dengan empati, kita akan menumbuhkan iklim yang
suportif.

5. a. Superioritas
Superioritas artinya kita menunjukkan sikap lebih tinggi atau lebih baik dibanding orang
lain karena status atau kekuasaan atau kekayaan atau kemampuan intelektual (dalam
istilah Islam disebut Takabur). Superioritas akan melahirkan iklim defensif.

11
b. Persamaan
Persamaan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis.
Dalam sikap persamaan, kita tidak mempertegas perbedaan. Maksudnya status boleh jadi
ber¬beda tetapi komunikasi kita tidak vertikal, kita tidak meng¬gurui tetapi
berkomunikasi pada tingkat yang sama. Dengan persamaan, kita mengkomunikasikan
penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pandangan (Dalam istilah Islam disebut
Tawadlu’). Kalau kita senantiasa dapat menciptakan persamaan maka akan timbul iklim
yang suportif.

6. a. Kepastian
Orang yang memiliki kepastian bersifat dogmatis, ingin menang sendiri, dan melihat
pendapatnya sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Bersikap
kepastian cenderung mengarah ke iklim defensif.

b. Provisionalisme
Provisionalisme adalah kesediaan untuk meninjau kembali pendapat kita, untuk
mengakui bahwa pendapat manusia adalah tempat kesalahan yaitu siap untuk mengakui
dan mengoreksi kesalahan yang kita perbuat, karena itu wajar juga kalau suatu saat
pendapat dan keyakinan kita bisa berubah. ”Provisonal” dalam bahasa Inggris, artinya
bersifat sementara atau menunggu sampai ada bukti yang lengkap.

Hubungan kesejawatan
Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya
membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli untuk
semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan tetap harus diberikan
sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan yang memiliki
keterampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium, pekerja
social dan lainnya.
Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharap¬kan memperlakukan
profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang lain, bahkan

12
sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji: ”Kolega saya akan menjadi
saudara saya”. Interpretasi janji ini bervariasi dari satu negara dan negara lain sepanjang waktu.
Dalam tradisi etika kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang penghargaan
khusus terhadap guru mereka. Deklarasi Geneva menyatakan: ”Saya akan memberikan guru saya
peng¬hormatan dan terima kasih yang merupakan hak mereka”.
Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan yang
diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar perilaku yang tinggi
untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki tuduhan adanya tindakan yang
tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat salah. Kewajiban untuk melaporkan kolega
yang melaku¬kan tindakan yang tidak kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh
ditekankan dalam Kode Etik Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh WMA
menyatakan: ”Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan
kompetensi dokter ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan”. Penerapan prinsip ini
tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi koleganya karena motif
yang tidak benar seperti karena rasa iri atau terhina oleh koleganya. Dokter juga merasa sungkan
atau ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak benar karena simpati atau
persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi yang melapor,
yang tertuduh atau bahkan dari kolega lain.4

Kerjasama Dokter Dengan Sejawat Menurut KKI


1. Merujuk pasien
Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan fasilitas
pelayanan, dokter yang merawat harus me¬rujuk pasien pada sejawat lain untuk mendapatkan
saran, pemerik¬saan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang menerima rujukan, sesuai dengan
etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis tindakan akan terapi dan mengembalikannya
kepada dokter yang merujuk. Dalam keadaan tertentu dokter penerima rujukan dapat melakukan
tindakan atau perawatan lanjutan dengan persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah
selesai perawatan dokter rujukan mengirim kembali kepada dokter yang merujuk.
Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter dapat
menyampaikan kepada pasien kemungkin¬an untuk dirujuk kepada sejawat lain karena alasan
kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau alih rawat. Pada saat

13
meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi penjelasan tentang alasan,
tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh usaha ditujukan untuk kepentingan
pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan dalam rawat bersama harus ditetapkan dokter
penanggung jawab utama.
Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan segala
informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis serta bersifat
rahasia.
Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang pasien yang diketahui
sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang memeriksa harus menginformasikan
kepada dokter pasien tersebut tentang hasil pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan penting
lainnya demi kepentingan pasien.

2. Bekerjasama dengan sejawat


Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membeda¬kan jenis kelamin, ras,
kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status social atau perbedaan kompetensi yang dapat
merugikan hubungan profesional antar sejawat.
Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik teman sejawat melalui pasien yang
mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan seorang dokter
memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa atau merawat secara
langsung.

3. Bekerjasama dalam tim


Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim multidisiplin.
Apabila bekerja dalam sebuah tim, dokter harus :
 Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab
 Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan asuhan yang
diberikan
 Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim
 Memelihara hubungan profesional dengan pasien
 Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim

14
 Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa yang
bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien
 Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim, serta
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja dan
kekurangan tim
 Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara terbuka dan
sportif.

4. Memimpin tim
Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memasti¬kan bahwa :
 Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang ber¬kaitan dengan pelaksanaan dan
pelayanan kedokteran
 Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien
 Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab tim untuk
keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat serta mendiskusikan
permasalahan yang dihadapi
 Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien
 Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus tahu siapa
yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran
 Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia
 Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan kedokteran dan
audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap kekurangan harus diselesaikan
segera
 Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan dalam
kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai
 Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan baik.

5. Mengatur dokter pengganti
Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter
pengganti serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan dokter
pengganti. Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien.

15
Dokter harus memastikan bahwa dokter pengganti mem¬punyai kemampuan,
pengalaman, pengetahuan, dan keahlian untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter pengganti.
Dokter pengganti harus tetap bertanggung jawab kepada dokter yang digantikan atau ketua tim
dalam asuhan medis.

6. Mematuhi tugas
Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran harus
mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter pengganti. Dokter
penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga pasien mengetahui
informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh anggota tim yang akan memberi
perawatan. Jika pasien menolak penyampaian informasi tersebut, dokter penanggung jawab tim
harus menjelaskan kepada pasien keuntungan bertukar informasi dalam pelayanan kedokteran.

7. Pendelegasian wewenang
Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta program
pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan atau perawatan atas
nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi dalam melak¬sanakan
prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dokter yang
mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas penanganan pasien secara keseluruhan.

Hubungan dan kinerja teman sejawat


Seorang dokter harus melindungi pasien dari risiko diciderai oleh teman sejawat lain,
kinerja maupun kesehatan. Keselamatan pasien harus diutamakan setiap saat. Jika seorang dokter
memiliki kekhawatiran bahwa teman sejawatnya tidak dalam keadaan fit untuk praktek, dokter
tersebut harus mengambil langkah yang tepat tanpa penundaan, kemudian kekhawatiran tersebut
ditelaah dan pasien terlindungi bila diperlukan. Hal ini berarti seorang dokter harus memberikan
penjelasan yang jujur mengenai kekhawatiran terhadap seseorang dari tempat ia bekerja dan
mengikuti prosedur yang berlaku.
Jika sistem setempat tidak memadai atau sistem setempat tidak dapat menyelesaikan
masalah dan seorang dokter masih mengkhawatirkan mengenai keselamatan pasien, maka dokter
harus menginformasikan badan pengatur terkait.

16
1. Menghormati teman sejawat
Seorang dokter harus memperlakukan teman sejawatnya dengan adil dan rasa hormat.
Seorang dokter tidak boleh memper¬main¬kan atau mempermalukan teman sejawatnya,
atau mendiskri¬minasikan teman sejawatnya dengan tidak adil.
Seorang dokter harus tidak memberikan kritik yang tidak wajar atau tidak berdasar kepada
teman sejawatnya yang dapat mempengaruhi kepercayaan pasien dalam perawatan atau
terapi yang sedang dijalankan, atau dalam keputusan terapi pasien.

2. Berbagi informasi dengan teman sejawat


Berbagi informasi dengan teman sejawat lain sangatlah pen¬ting untuk keselamatan dan
keefektifan perawatan pasien. Ketika seorang dokter merujuk pasien, dokter tersebut harus
memberikan semua informasi yang relevan mengenai pasiennya, termasuk riwayat medis
dan kondisi saat itu.
Jika seorang dokter spesialis memberikan terapi atau saran untuk seorang pasien kepada
dokter umum, maka ia harus mem¬beritahu hasil pemeriksaan, terapi yang diberikan dan
informasi penting lainnya kepada dokter yang ditunjuk untuk kelangsungan perawatan
pasien, kecuali pasien tersebut menolak.
Jika seorang pasien belum dirujuk dari dokter umum kepada dokter spesialis, dokter
spesialis tersebut harus menanyakan kepastian pasien tersebut untuk memberitahu dokter
umumnya sebelum memulai terapi, kecuali dalam keadaan gawat darurat atau saat keadaan
yang tidak memungkinkan. Jika dokter spesialis tersebut tidak memberitahu dokter umum
yang merawat pasien tersebut, dokter spesialis tersebut harus bertanggung jawab untuk
menyediakan atau merencanakan semua kebutuhan perawatan.

Dampak buruk akibat keputusan dokter


Dalam membahas mengenai dampak hukum yang mungkin timbul akibat keputusan
seorang dokter, ada dua aspek yang penting untuk diketahui, yaitu mengenai kelalaian medis dan
dasar hukum yang mengatur kelalaian medis tersebut termasuk di dalamnya dasar hukum
penuntutan.2

17
Kelalaian Medik
Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya
kelalaian medis ataupun malpraktik medis tercatat meningkat dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Seirama dengan itu, tercatat jumlah kasus pengaduan pelanggaran etik kedokteran
yang diajukan ke MKEK juga meningkat. Bahkan akhir-akhir ini juga terdapat beberapa kasus
pidana kelalaian yang mengakibatkan kematian yang menyangkut dokter atau petugas rumah
sakit lain sebagai terdakwa.5

Alasan peningkatan jumlah penuntutan hukum


Kalangan kedokteran umumnya berpendapat bahwa tingginya jumlah penuntutan
hukun tidak berhubungan dengan kualitas layanan kedokteran pada umumnya dan kompetensi
para dokter yang memberikan layanan. Bahkan mereka berpendapat bahwa motivasi finansial,
pemberlakuan undang-undang perlindungan konsumen dan peranan para penasehat hukumlah
yang lebih bertanggungjawab atas peningkatan keberanian masyarakat untuk mengajukan
penuntutan hukum kepada dokter.
Sementara itu, Tan Soo Yong menyebutkan 4 alasan yang dapat menjelaskan
fenomena di atas, yaitu:
1. Pendidikan yang lebih baik dan meningkatnya sikap asertif masyarakat, terutama
di bidang kesadaran tentang sistem hukum dan kedokteran. Mereka sadar bahwa
dokter juga dapat bertindak lalai dalam menjalankan profesinya dan
bertanggungjawab atas kelalaian itu.3
2. Meningkatnya pengharapan masyarakat atas hasil tindakan medis. Sosialisasi
pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran melalui media
masa ternyata tidak sesuai dengan pencapaian dalam praktek.2
3. Komersialisasi upaya pelayanan kedokteran disertai erosi kualitas hubungan
kepercayaan antara dokter – pasien. Pendidikan kedokteran yang mahal dan
dibayar sendiri, terlupakannya pendidikan etik kedokteran dan sikap empati,
rumah sakit yang boleh berorientasi profit, dan kompetisi tak sehat antar pemberi
layanan kedokteran adalah sedikit dari banyak fakta yang mendukung alasan ini.3
4. Peningkatan biaya layanan kedokteran dan masih sedikitnya pembiayaan
pelayanan kedokteran melalui asuransi. Adalah suatu fakta bahwa semakin tinggi

18
seseorang harus membayar untuk suatu layanan maka semakin tinggi pula
toleransinya terhadap ketidak-sempurnaan layanan tersebut.2

Dampak Penuntutan
Sebenarnya, banyak kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan
kelalaian medik apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan sebagai
upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun di sisi lain, penuntutan
tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif.5
Selain itu, besarnya tuntutan ganti rugi yang semakin hari kian meningkat merupakan
salah satu hal yang harus diperhitungkan. Gugatan yang tidak dibatasi akan meningkatkan legal
cost, akibat adanya biaya proses persidangan, pengacara dan success fee. Oleh karena itu dapat
ditempuh jalur lain untuk menyelesaikan tuntutan ganti rugi, seperti lebih memilih penyelesaian
melalui arbitrase daripada melalui pengadilan.2
Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologis bagi para dokter. Penuntutan
tersebut sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan bersalah, dan kehilangan rasa
percaya diri para dokter, karena nama baik dan reputasi dokter dapat tercemar. Para dokter yang
pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress sindrome dengan derajat yang
bervariasi.2

Malpraktik Medis
Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct
or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise
that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community
by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or
damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”. 2
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik
dapat terjadi karena tindakan yang disengaja seperti pada misconduct tertentu, tindakan
kelalaian, ataupun suatu ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.2
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana
dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penanahan” pasien,

19
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misepresentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji, berpraktek tanpa
SIP, berpraktek diluar kompetensinya, dan sengaja melanggar standar.2
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa malpraktik bukanlah dilihat dari hasil
tindakan medis melainkan harus dilihat dari proses tindakan medis itu sendiri. 2Suatu hasil yang
tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan,
yaitu:
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakit itu sendiri yang tidak mempunyai hubungan dengan
tindakan medis yang diterima pasien.
2. Efek samping dari tindakan medis yang tidak dapat dihindari, baik yang telah diketahui
sebelumnya maupun yang tidak tetapi dianggap masih dapat diterima.
3. Hasil dari kelalaian medik.
4. Hasil dari suatu kesengajaan.

Pengertian dan Syarat Kelalaian Medik


Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seorang melakukan apa yang seharusnya tidak
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada keadaan dan situasi yang
sama.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Asscociation (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure
to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. “an injury occuring in the course of medical treatment which could not be
forseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating
physician is untoward result, for which the physician sould not bear any liability”.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance, dan
nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak
tepat/layak. Misfeasance berarti melaksanakan tindakan medis yang tepat tetapi dilakukan
dengan tidak tepat. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban bagi seorang tenaga medis.

20
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi 4 unsur di
bawah ini, yaitu:
1. Kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban.
3. Damage atau kerugian.
4. Direct casual relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian. 3Gugatan
ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya keempat unsur diatas.

Dasar Hukum Penuntutan Ganti Rugi


 Pasal 55 Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan
setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
 Pasal 1365 KUH Perdata
tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
 Pasal 1366 KUH Perdata
setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya.
 Pasal 1367 KUH Perdata
seorang tidaks aja bertanggungjwab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
 Pasal 7 Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Kewajiban
pelaku usaha adalah :
 Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
 Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

21
 Pasal 1370 KUH Perdata :
Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka
suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat
nafkah dari pekerjaan si korban mempunya hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.

 Pasal 1371 KUH Perdata :


Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-
hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan,
menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga
penggantian kerugian ini dinilai menurut keadaan.
 Pasal 1372 KUH Perdata
Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian
serta pemulihan kehormatan dan nama baik

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu:


 Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
 Pasal 360 KUHP
1. Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
2. barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan
atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling
tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
 Pasal 361 KUHP :
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan
atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut

22
haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Perkara Pidana

Kelalaian Medis juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, yaitu memanfaatkan
pasal 359-361 KUHP, yang mengancam seseorang akibat melakukan kelalaian sehingga
mengakibatkan seseorang lain luka, luka berat, dan mati. Ancaman pidana yang lebih berat
diberikan kepada orang yang melakukannya dalam rangka melakukan pekerjaan/pencahariannya
Bahkan orang tersebut dapat dicabut haknya dalam melakukan aktivitas tersebut.2

Imform consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien.2 Dilihat dari sisi hukum, bukanlah sebagai perjanjian
antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan
pihak lain. Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu:
1. Threshold Elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, oleh karena sifatnya lebih
ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten di sini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk
membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat
kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan. Dewasa diartikan
sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental
yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa
atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat
keputusannya terganggu.

23
2. Information Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding
(pemahaman). Pengertian “berdasarkan pemahaman yang adekuat” membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien
dapat mencapai pemahaman yang adekuat.2Dalam hal ini, seberapa “baik” informasi yang
harus diberikan kepada pasien dapat dilihat dari 3 standar, yaitu:

a. Standar Praktek Profesi


Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan
bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (constumary pratices of a
professional community-Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengarah ke
komunitas kedokteran, sehingga terkadang agak sulit dimengerti oleh pasien tentang
informasi tersebut.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial setempat, misalnya : risiko yang “tidak bermakna” (menurut medis) tidak
diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial/ pasien.

b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai – nilai yang dianut oleh pasien secara
pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam
membuat keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat sulit
dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami
nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.

c. Standar pada Reasonable Person3


Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap
cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang
awam. Sub-elemen pemahaman (understanding) dipengaruhi oleh penyakitnya, irrasionalis
dan imaturitas. Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan
maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang adekuat.

24
3. Consent Elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan)
dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
atau pun paksaan. Pasien juga harus bebas dari tekanan yang dilakukan tenaga medis yang
bersikap seolah – olah akan dibiarkan apabila tidak menyetujui tawarannya.3
Consent dapat diberikan,dinyatakan (expressed),dinyatakan secara lisan,dinyatakan
secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari.
Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan
operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
Tidak dinyatakan (implied),pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun
tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun
consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan
dalam praktek sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan
sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan.
Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan
tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan
consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya. Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah
suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dll.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak
menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat absolut. Hal
ini karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan,
kewajiban dengan mencegah perbuatan bunuh diri, kewajiban melindungi pihak ketiga, dan
intergritas etis profesi dokter.2

25
Pengaruh konteks
Doktrin informed consent tidak berlaku pada 5 keadaan yaitu keadaan darurat medis,
ancaman terhadap kesehatan masyarakat, pelepasan hak memberikan consent (waiver), clinical
privilege, dan pasien yang tidak kompeten memberikan consent.
Contextual circumstances juga seringkali mempengaruhi pola perolehan informed
consent. seorang yang dianggap sudah pikun, orang yang dianggap memiliki mental yang lemah
untuk dapat menerima kenyataan, dan orang dalam keadaan terminal sering kali tidak dianggap
“cakap” menerima informasi yang bener apalagi keputusan medis. Banyak keluarga pasien
melarang para dokter untuk berkata benar kepada pasien tentang keadaan sakitnya.
Pengaruh budaya Indonesia atau budaya Timur pada umumnya sangat terasa dalam
praktek informed consent. Umumnya keputusan medis dipahami sebagai proses dalam keluarga,
pasien sendiri umumnya mendesak untuk berkonsultasi dahulu dengan keluarganya untuk
menjaga keharmonisan keluarga. Budaya sebagian besar suku bangsa di Indonesia tampaknya
sangat sesuai dengan budaya Jepang di atas. Persetujuan tindakan medis umumnya diberikan
oleh keluarga dekat pasien oleh karena pasien cenderung untuk menyerahkan permasalahan
medisnya kepada keluarga terdekatnya. Nilai yang lebih bersifat kolektif seperti ini juga terlihat
pada rahasia kedokteran.Budaya, kebiasaan dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi cara dan
keadekuatan berkomunikasi antara dokter dan pasien.Keluhan pasien tentang proses informed
consent adalah:2,3
 Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
 Perilaku dokter yang terlihat terburu buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk
tanya jawab
 Pasien sedang stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi
 Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk3

Sebaliknya dokter juga mengeluhkan hal-hal di bawah ini:


 Pasien tidak mau diberitahu
 Pasien tidak mampu memahami
 Risiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi
 Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.

26
Solusi dokter
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesi) nya.
Persidangan MKEK bertujuan untuk memperatahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelsi profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK dalam
perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18 tahun 2002
tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. 3
Di kemudian hari, Majelis Kehormatan Disipin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No. 29/2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan / pelanggaran disiplin profesi kedokteran.3
MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam menyelenggarakan
praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah p”disiplin profesi”, yaitu
permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan
internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang
(profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam
sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus
tersebut kepada MKEK. 3
Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan
gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan
etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan
pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dokter tersangka
pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat
pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya.
Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, demikian pula sebaliknya. 3
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota), bersikap aktif melakukan pemeriksaan tanpa adanya badan atau perorangan sebahai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian

27
sebagaimana lazsimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam
melakukan pemeriksaaannya, Majelis berwenang memperoleh :3
 Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu,
teradu, pihak lain yang terkait) dan peer group / para ahli di bidangnya yang dibutuhkan.

 Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijazah/brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktik Tenaga
Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit,
hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan
dengan kasusnya.3

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan
adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara
pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah,
tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak perlu disumpah pada
informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis persidangan yang lebih
tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen umumnya di”sah”kan dengan
tanda tangan dan atau stempel institusi terkait, dan pada bukti keterangan diakhiri dengan
pernyataan kebenaran keterangan dan tanda tangan (affidavit).3
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti
yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable
doubt,tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence
dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa pada tingkat kepastian
perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan
pelanggaran yang dilakukan, semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.3
Perkara yang diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di Australia

28
digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct,
unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect.
Namun demikian, tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun
umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat
dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik. 3
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di
pemeriksaan penyidik, kejaksaan, ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK. 3
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalani putusan.

Kaidah moral
Kaidah dasar (prinsip) Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran
etik. Prinsip-prinsip itu harus spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan dengan
prinsip yang lain. Tetapi pada beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih
penting dan sah untuk digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir
disebut dengan prima facie. Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika
kedokteran barat, menetapkan bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah
dasar moral (sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam
penerapan praktiknya. dalam praktik kedokteran, dengan prima facie sebagai judge; penentu
kaidah dasar mana yang dipilih ketika berada dalam konteks tertentu (‘ilat) yang relevan.
Menghormati martabat manusia (respect for person/autonomy). Menghormati martabat
manusia. Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki
otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya
berkurang atau hilang perlu mendapatkan perlindungan.

29
Pandangan Kant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni : kebebasan bertindak,
memutuskan (memilih) dan menentukan diri sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya
yang ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar (heteronomi),
suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia.
Pandangan J. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi individu, yakni
kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan (merealisasikan keputusan dan kemampuan
melaksanakannya), hak penentuan diri dari sisi pandang pribadi.Menghendaki, menyetujui,
membenarkan, mendukung, membela, membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom
(sebagai mahluk bermartabat).Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya
tinggi. Kaidah ikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi liyan, lindungi informasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien; bila ditanya, bantulah membuat
keputusan penting. Erat terkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk untuk
kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak yang dimaksudkan (intended) atau
dampak tak laik-bayang (foreseen effects), letting die.

Berbuat baik (beneficence). Selain menghormati martabat manusia, dokter juga harus
mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya (patient welfare).
Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi
kewajiban :
1. General beneficence :
 melindungi & mempertahankan hak yang lain
 mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
 menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
2. Specific beneficence :
 menolong orang cacat,
 menyelamatkan orang dari bahaya.
 Mengutamakan kepentingan pasien
 Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah
sakit/pihak lain
 Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-buruk)

30
 Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik
terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).

Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence). Praktik Kedokteran haruslah


memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
first, do no harm, tetap berlaku dan harus diikuti.Sisi komplementer beneficence dari sudut
pandang pasien, seperti :
 Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien
 Minimalisasi akibat buruk
 Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :
 Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting
 Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
 Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
 Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).
 Norma tunggal, isinya larangan.

Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,


agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta
perbedaan jender tidak boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak
ada pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Treat similar cases in a similar way = justice within morality.Memberi perlakuan sama
untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness) yakni :
 Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur dari kebutuhan mereka
(kesamaan sumbangan sesuai kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)
 Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan kemampuan mereka (kesamaan beban
sesuai dengan kemampuan pasien).
 Tujuan : Menjamin nilai tak berhingga setiap pasien sebagai mahluk berakal budi
(bermartabat), khususnya : yang-hak dan yang-baik

31
Jenis keadilan :
a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b. Distributif (membagi sumber) : kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan
beban bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan
jasmani-rohani; secara material kepada :
o Setiap orang andil yang sama
o Setiap orang sesuai dengan kebutuhannya
o Setiap orang sesuai upayanya
o Setiap orang sesuai kontribusinya
o Setiap orang sesuai jasanya
o Setiap orang sesuai bursa pasar bebas

c. Sosial : kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama :


o Utilitarian : memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan
efisiensi social dan memaksimalkan nikmat/keuntungan bagi pasien.
o Libertarian : menekankan hak kemerdekaan social – ekonomi (mementingkan
prosedur adil > hasil substantif/materiil).
o Komunitarian : mementingkan tradisi komunitas tertentu
o Egalitarian : kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai
oleh setiap individu rasional (sering menerapkan criteria material kebutuhan dan
kesamaan).

d. Hukum (umum) :
Tukar menukar : kebajikan memberikan / mengembalikan hak-hak kepada yang
berhak. pembagian sesuai dengan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama)
mencapai kesejahteraan umum.

32
Kesimpulan

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik
dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Dari scenario diatas mengenai dokter A yang diminta pendapatnya mengenai benjolan
yang timbul setelah 10 hari perawatan oleh ibunya. Sebagai dokter kita tidak boleh melanggar
etika kedokteran dengan teman sesame dokter, dimana tidak boleh saling menjatuhkan. Tetapi
kita sebagai dokter, harus memberikan penjelasan secara lengkap dan jelas kepada pasien
tersebut.

Daftar Pustaka

1. Amir,Amri.Ilmu Kedokteran Forensik.Medan:Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal


Fakultas Kedokteran USU;2007.
2. Suryadi,Taufik. Pengantar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Buku Penuntun
Kepaniteraan Klinik Kedokteran Forensik dan Medikolegal.Banda Aceh: FK Unsyiah/RSUDZA;
2009.
3. Mulyo,R Cahyono Adi. Perananan Dokter dalam Proses Penegakan Hukum
Kesehatan.Universitas Negeri Semarang; 2006.
4. Aji,Jati Pulung.Peranan Dokter Forensik dalam Praktek Peradilan Perkara
Pidana.Purworejo;2008.
5. Sampurna,Budi.Kedokteran Forensik Ilmu dan Profesi.Universitas Indonesia; 2009.

33

Anda mungkin juga menyukai