ANALISIS KEBIJAKAN
UNDANG-UNDANG RI NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG KESEHATAN
PASAL 89-101
OLEH :
NANI APRIANI NATSIR DJIDE
K012182018
1
RINGKASAN EKSEKUTIF
2
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara
berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk
seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat
menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Dengan adanya kebijakan
tertulis ini, tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan adalah adanya
pro dan kontra dalam memahami perundang-undangan ini.
Berbicara tentang prediksi keberhasilan, Undang-Undang Kesehatan
No 36 Tahun 2009 ini belum menunjukkan keberhasilan sepenuhnya.
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 telah berupaya untuk melakukan
perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu paradigma sakit
(kental dengan UU No 23 Tahun 1992) bergeser ke paradigma sehat.
Namun, konsep kesehatan masyarakat belum terlihat jelas pada UU
kesehatan ini. Bahkan masyarakat itu sendiri hanya dijadikan objek dan tidak
dicantumkan dalam ketentuan umum dalam UU kesehatan, dimana hanya
diperuntukkan untuk pemerintah pusat dan daerah, termasuk petugas
kesehatan sebagai payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan
kesehatan. Tidak diperuntukkan untuk masyarakat sebagai pemilik
kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi kesehatan, pemilik hak asasi
kesehatan, dan sebagai subjek pembangunan kesehatan. Indonesia sebagai
negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.
Oleh karena itu, diperlukan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang
adekuat.
3
DAFTAR ISI
Halaman
4
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
1. MASALAH DASAR
Secara umum, yang menjadi latar belakang munculnya Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah karena adanya lima dasar
pertimbangan perlunya dibentuk undang-undang kesehatan yaitu :
1. Kesehatan adalah hak asasi dan salah satu unsur
kesejahteraan.
2. Prinsip kegiatan kesehatan yang non diskriminatif, partisipatif,
dan berkelanjutan.
3. Kesehatan adalah investasi.
4. Pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah
dan masyarakat.
5. Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan, tuntuta, dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat.
Terdapat suatu pokok pikiran yaitu niat untuk melakukan
perubahan paradigma upaya pembangunan kesehatan yaitu dari
paradigma sakit yang begitu kental pada Undang-Undang Kesehatan
sebelumnya (UU No. 23 Tahun 1992) bergeser menjadi paradigma
sehat.
Adapun isu publik yang mengemuka di dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 ini adalah :
1. Aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan masih rendah;
2. Mutu sumber daya pelayanan kesehatan masih rendah;
3. Tuntutan malpraktik tenaga kesehatan: dokter, perawat dan
sarana pelayanan kesehatan;
4. Pasien/masyarakat sebagai konsumen;
5. Isu global program MDG’s: kesehatan ibu dan anak,
pemberantasan penyakit HIV AIDS, malaria, TBC dan penyakit
infeksi lainnya.
6. Angka kemiskinan yang masih tinggi.
7. Penyalahgunaan obat berbahaya dan zat adiktif lainnya cukup
tinggi
5
Meskipun UU Kesehatan yang baru Tahun 2009 dalam
pembahasannya di DPR RI melahirkan berbagai polemik dimasyarakat
karena banyak pasal krusial yang sangat sensitif, namun oleh
beberapa kalangan diakui pula telah melahirkan terobosan baru dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembahasannya dilakukan
melalui pendekatan yang multidisipliner, dengan kerangka pemikiran
yang lebih mendalam baik dari sisi substansi maupun dari sisi cakupan
pengaturannya yang lebih merespon tuntutan pelayanan kesehatan
untuk menjawab perkembangan dunia kesehatan di masa depan,
seperti mengutamakan prinsip jaminan pemenuhan hak asasi manusia
di bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelaksanaan
otonomi daerah yang nyata, implementasi hak dan kewajiban berbagai
pihak serta meningkatkan peran organisasi profesi.
Dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan
yang dilaksanakan melalui kegiatan pemeliharaan, peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Pelayanan transfusi darah sebagai salah satu
upaya kesehatan dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan sangat membutuhkan ketersediaan darah atau komponen
darah yang cukup, aman, mudah diakses dan terjangkau oleh
masyarakat.
Pelayanan darah dalam arti luas mencakup kepentingan publik
yang mendasar yang menjangkau kebutuhan jutaan manusia, oleh
karena itu kebijakan pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini harus
dilaksanakan dengan tetap berlandaskan pada asas perikemanusiaan,
perlindungan dan keselamatan pasien dan mendahulukan
kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, UU Kesehatan yang baru ditetapkan tersebut dapat
dikatakan merupakan prestasi yang optimal dari DPR bersama
pemerintah untuk merumuskan UU yang menyerap aspirasi serta
kebutuhan masyarakat. Meski selama ini DPR banyak menuai
kecaman masyarakat, namun proses legislasi dalam penyusunan UU
Kesehatan menunjukkan kinerjanya yang baik. Khususnya dengan
6
pencantuman kesehatan gigi pada UU Kesehatan menunjukkan
eksistensi kesehatan gigi sebagai bagian integral dari pembangunan di
bidang kesehatan dalam rangka turut serta mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Tetapi di lain pihak, dengan pencantuman pada UU Kesehatan
juga merupakan tantangan sekaligus dorongan bagi kalangan profesi
kesehatan gigi untuk pengembangan peran dan tanggung jawab dalam
dedikasinya bagi masyarakat. Semoga dengan pencantuman pada UU
Kesehatan dapat membuka era baru bagi profesi kedokteran gigi di
Indonesia untuk meningkatkan karya nyatanya bagi bangsa dan
negara.
7
3. SUBSTANSI KEBIJAKAN
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kesebelas
Pelayanan Darah
Pasal 89
Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk
pelayanan transfusi darah.
Pasal 90
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah
yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan
pelayanan darah.
(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Pasal 91
(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan
produksi.
(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
8
Bagian Kedua Belas
Kesehatan Gigi dan Mulut
Pasal 93
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi,
pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan
secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan,
pelayanan kesehatan gigi masyarakat, usaha kesehatan gigi sekolah.
Pasal 94
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan
tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut
dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang
aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
Pasal 95
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan
untuk meningkatkan derajat kesehatan indera penglihatan, dan
pendengaran masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
9
Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan
penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 97
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan
diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah maupun di
lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan
kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai
dengan standar dan persyaratan.
(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan
mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan,
promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
10
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan,
dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99
(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta dan
sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan,
pengobatan, dan/atau perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap
harus dijaga kelestariannya.
(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan sediaan farmasi yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
sediaan farmasi.
Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan
aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan,
dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan
baku obat tradisional .
Pasal 101
(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan,
meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
11
1. Pasal 89-92 mengatur tentang pelayanan darah, donor darah dan
transfusi darah, Penyelenggaraan upaya pelayanan darah
khususnya standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk
pelayanan tranfusi darah dengan tujuan kemanusiaan diatur oleh
Menteri dimana masih berpedoman pada Keputusan Menteri
kesehatan No:423/Menkes/SK/IV/2007 tentang Kebijakan
Peningkatan Kualitas dan Akses Pelayanan Darah serta di perkuat
dengan landasan hukum berupa kebijakan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pelayanan
Darah yang disusun sebagai petunjuk agar dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan pelayanan tranfusi darah yang
aman, jumlah cukup, tepat waktu, mudah di akses, dan
penggunaan secara rasional dapat terlaksana. Penyelenggaraan
pelayanan darah melibatkan banyak sektor dan harus dilakukan
sebaik mungkin. Secara keseluruhan hal ini merupakan tanggung
jawab Pemerintah untuk melindungi masyarakat dari segala resiko
penyelenggaraan yang tidak bertanggung jawab. Untuk
mendapatkan darah yang siap ditranfusikan diperlukan upaya-
upaya, mulai dari penggalangan masyarakat agar rela
menyumbangkan sebagian darahnya (recruitment donor),
masyarakat yang mau menyumbangkan darahnya ini masih perlu
disaring lagi (seleksi donor) untuk menghindari resiko bagi
penyumbang darah maupun penerima. Darah yang didapat dari
para donor sukarela (collecting blood), hatus dilakukan
pengamanan dengan melakukan seleksi melalui pemeriksaan
skreening darah terhadap penyakit IMLTD, meski hasil skreening
non aktif, belum berarti darah terjamin bebas, karena pada window
period belum bisa terdeteksi. Pemeriksaan skreening darah
transfusi ini dilakukan di Unit Transfusi Darah (UTD). Darah yang
telah dinyatakan aman untuk transfusi disimpan dan didistribusikan
kepada sarana pelayanan kesehatan (Bank Darah RS) sebagai
stok persiapan penggunaan setiap saat.
2. Pasal 93 dan 94 mengatur tentang kesehatan gigi dan mulut,
Pelayanan terhadap kesehatan gigi dan mulut masyarakat di
12
Puskesmas saat ini masih sangat bervariasi, baik di Puskesmas
Kabupaten/Kota, maupun yang berada ditingkat Kecamatan
seluruh wilayah Indonesia. Hal ini merupakan tugas dan tanggung
jawab Pemerinrah khususnya Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia untuk meningkakan/memaksimalkan sumber dana dan
sumber daya manusia khususnya tenaga perawat gigi dan dokter
gigi di Puskesmas guna memenuhi standar pelayanan kesehatan
gigi dan mulut masyarakat. Disamping itu ketersediaan sarana dan
prasarana yang baik pula menunjang tercapainya suatu standar
pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang memuaskan
masyarakat.
3. pasal 95 dan 96 mengatur tentang Penanggulangan Gangguan
Penglihatan dan Gangguan Pendengaran, WHO memperkirakan
terdapat 45 juta penderita kebutaan di dunia, di mana
sepertigannya berada di Asi Tenggara. Diperkirakan 12 orang
menjadi buta tiap menit di dunia, dan 4 orang diantaranya berasal
dari Asia Tenggara, sedangkan di Indonesia diperkirakan setiap
menit ada satu orang menjadi buta. Sebagian besar orang buta
(tunanetra) di Indonesia berada di daerah miskin dengan kondisi
sosial ekonomi lemah. Survey kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan angka kebutaan di
Indonesia mencapai 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah
katarak (0,78%), glaucoma (0,20%), kelainan refraksi (0,14%), dan
penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan lanjut usia
(0,38%). Kesehatan telinga dan pendengaran merupakan hal
penting, namun seringkali dilupakan atau kurang disadari
masyarakat. Padahal gangguan kesehatan telinga dan
pendengaran dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan
ketulian yang saat ini merupakan masalah global karena mengenai
10% populasi dunia. Gangguan pendengaran berdampak berat
secara sosial, ekonomi, mengganggu proses edukasi, sulit mencari
pekerjaan sehingga meningkatkan angka pengangguran dan
kemiskinan serta gangguan fungsi sosial individu dalam
masyarakat. Yang dimaksud dengan fungsi sosial individu antara
13
lain adalah secara tidak sengaja terjadi pengucilan terhadap
penderita ketulian oleh masyarakat akibat komunikasi yang tidak
nyambung.
4. Pasal 97 mengatur tentang kesehatan matra, Kesehatan lapangan,
mempunyai arah tujuan pelayanan keperawatan dengan fokus
pelayanan dalam konteks peningkatan kesehatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), Penyembuhan (kuratif), serta
pemulihan (rehabilitatif), sesuai dengan wewenang, dan tanggung
jawab serta etika profesi. Disamping itu dalam mewujudkan derajat
kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang serba
berubah secara bermakna, kesehatan matra darat juga mempunyai
peran untuk memberian pertolongan pertama kegawat daruratan,
terutama pada situasi pre hospital trauma/non trauma critical care.
Dalam memberikan bantuan hidup di tempat darurat tetap
mempertahankan standar tindakan seperti yang tertuang dalam
prinsip-prinsip Basic trauma/ non trauma life support, dengan
menggunakan sarana prasarana yang ada di lapangan, bahkan
bila memungkinkan melaksanakan improvisasi kesehatan di
lapangan.
5. Pasal 98-101 mengatur tentang pengamanan dan penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan, Mengingat sediaan farmasi
dan alat kesehatan merupakan hasil yang diperoleh melalui
penelitian dan pengembangan sebagai karya intelektual, maka
hasil tersebut dapat diupayakan perlindungan hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain hal tersebut, untuk menjamin terpenuhinya persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan, diatur persyaratan jaminan pemeliharaan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Sejalan dengan pengaturan
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan, maka sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah diberikan izin edar yang
kemudian ternyata terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan oleh Menteri dicabut izin edarnya dan
ditarik dari peredaran.
14
4. CIRI KEBIJAKAN
Berdasarkan hasil analisis kebijakan Undang-Undang RI Nomor
36 Tahun 2009 Pasal 89 – 101 memiliki ciri yang menonjol dalam
kebijakan tentang kesehatan ini, adalah kebijakan regulatif dan
protektif. Regulatif karena mengatur hak dan kewajiban setiap orang
serta tanggung jawab pemerintah dalam rangka pencapaian derajat
kesehatan yang optimal. Protektif karena kebijakan ini berupaya
melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan sekaligus
tenaga kesehatan selaku penyelenggara pelayanan kesehatan.
Selain menunjukan ciri kebijakan, undang-undang kesehatan
memiliki kriteria kebijakan dan tipe pendekatan.
A. Kriteria Kebijakan
(1) Kebijakan ini mengatur perlindungan dan kepastian hukum
kepada penerima dan pemberi jasa pelayanan kesehatan.
(2) Kebijakan ini mengatur penyelenggaraan upaya pelayanan
kesehatan perorangan (UKP) dan upaya pelayanan kesehatan
masyarakat (UKM)
B. Tipe Pendekatan
Ada 2 tipe pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan
ini, yaitu :
(1) Pendekatan normatif
Pada dasarnya kebijakan ini menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
budaya masyarakat Indonesia yang dilandasi semangat gotong
royong dan kekeluargaan serta bersifat universal. Dimana
kesehatan merupakan hak azasi setiap orang yang dijamin
dalam “human right” dan UUD 1945.
(2) Pendekatan prediktif-prospektif
Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan
akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi
seluruh rakyat Indonesia sehingga derajat kesehatan
masyarakat yang optimal dapat tercapai.
15
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
16
7. Meningkatkan akses layanan kesehatan untuk seluruh lapisan
masyarakat.
B. Perilaku Negatif
1. Perilaku masa bodoh dari masyarakat miskin untuk menjaga
kesehatan karena adanya jaminan pemerintah untuk membiayai
pelayanan kesehatan.
2. Meningkatkan tingkat penggunaan fasilitas upaya kesehatan
perorangan terutama Rumah Sakit Pemerintah.
3. Meningkatnya kasus sengketa hokum antara penerima jasa
pelayanan kesehatan dengan pemberi layanan kesehatan.
4. Meningkatkan perilaku komplain dari masyarakat pengguna jasa
pelayanan kesehatan ketika para tenaga kesehatan melakukan
kesalahan dalam tugasnya walaupun tanpa disengaja.
2.2 Resistensi
Upaya penciptaan tata nilai baru dengan hadirnya Undang-Undang
Kesehatan khususnya pelaksanaan pasal 89-101 tidak akan terlepas
dari adanya resistensi dari actor-aktor yang berkepentingan,
diantaranya :
1. Masyarakat yang mengabaikan masalah kesehatan khususnya
kesehatan gigi dan mulut dikarenakan fasilitas pelayanan
kesehatan serta tenaga kesehatan yang belum memadai ataupun
belum terjangkau di daerah-daerah terpencil.
2. Perawat ataupun Bidan yang harus tetap menyediakan layanan
farmasi didaerah yang sulit terjangkau layanan kefarmasian yang
seharusnya dilakukan oleh seorang tenaga farmasi (apoteker).
3. Masih ditemukan peredaran obat tradisonal, makanan, damn
minuman yang mengandung unsure berbahaya bagi kesehatan.
4. Pemerintah daerah, yang bila tidak memiliki sistem kesehatan
daerah yang baik akan kewalahan dalam pembiayaan kesehatan
perseorangan maupun masyarakat.
17
2.3 Masalah Baru Yang Timbul
Adapun masalah baru yang Timbul dari pelaksanaan Undang-Undang
Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 89 -101 yaitu :
1) Pertentangan antara konsumen maupun lembaga konsumen
dengan fasilitas kesehatan/tenaga kesehatan akibat meningkatnya
posisi tawar menawar masyarakat yang dijamin dalam Undang-
Undang ini.
2) Pertentangan antar profesi kesehatan (perawat-dokter-apoteker-
administrator kesehatan) dalam batasan hak, tugas, kewajiban,
kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing profesi.
3) Tuntutan dari setiap tenaga kesehatan untuk dikeluarkannya
Undang-Undang yang mengatur tentang setiap profesi tenaga
kesehatan.
4) Tuntutan dari masyarakat agar pemerintah memperhatikan
jangkauan layanan kesehatan untuk daerah-daerah yang masih
sulit terjangkau.
18
BAB III
PREDIKSI
19
negara lain seperti Singapore akan mendorong kita untuk
mempercepat ketertinggalan tersebut, termasuk dengan
mengimplementasikan Undang-undang Kesehatan beserta dengan
aturan pelaksanaannya.
20
BAB IV
KESIMPULAN REKOMENDASI
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan, secara khusus untuk pasal 89-101 dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang mengatur hak dan
kewajiban setiap orang serta tanggung jawab Negara dalam
rangka mencapai derajat kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan maupun tenaga
kesehatan untuk layanan kesehatan gigi dan mulut serta
penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran harus
lebih diperhatikan pemerintah khususnya didaerah yang sulit
menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.
3. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab terhadap
pengamanan makanan dan minuman hasil rekayasa genetik untuk
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
4.2 Rekomendasi
1. Perlunya peerhatian lebih pemerintah terhadap tersedianya
fasilitas layanan kesehatan yang mudah untuk diakses didaerah-
daerah terpencil.
2. Perlu adanya sanksi tertulis tentang pelanggaran atas ketentuan
yang ada dalam UU tersebut.
3. Perlu adanya komitmen yang kuat antara pemerintah maupun
masyarakat dalam mensukseskan program pembangunan
kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Isna. 2013. Mekanisme dan Alur Pelayanan Darah di BDRS. http: // www.
scripd. com diakses tanggal 12 November 2016
22