Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Bealakang Masalah

Endometriosis sudah diketahui sejak berabad yang lampau berdasarkan


catatan pada papyrus 1600 SM. Publikasi lengkap yang pertama dibuat oleh
Sampson tahun 1921. Namun demikian hingga kini etiologi endometriosis masih
belum diketahui secara pasti, sehingga pengobatan maupun penanganan yang
selama ini telah banyak digunakan, tidak ada satupun yang benar-benar ampuh
untuk semua keadaan endometriosis. (1)

Endometriosis adalah suatu keadaan ditemukannya jaringan ektopik ( tidak


dalam permukaan uterus ) yang memiliki susunan histologi kelenjar dan stroma
endometrium atau kedua–duanya dengan atau tanpa makrofag yang termuati
hemosiderin dan fungsinya mirip endometrium, karena berhubungan dengan haid
dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya.(1)

Endometriosis paling sering terjadi pada usia reproduksi. Insidennya yang


pasti belum diketahui, namun prevalensinya cukup tinggi. Pada wanita yang
dilakukan laparoskopik diagnostik, ditemukan endometriosis sebanyak 0-53 % ;
pada kelompok wanita dengan infertilitas yang belum diketahui penyebabnya,
ditemukan endometriosis sebanyak 70-80 % ; sedangkan pada kelompok wanita
dengan infertilitas primer ditemukan endometriosis sebanyak 25 %.(2)

Kista endometriosis adalah suatu tumor dengan permukaan licin yang pada
dinding dalamnya terdapat suatu lapisan sel–sel endometrium dan cairan coklat
yang terdiri dari sel–sel endometriosis, eritrosit, hemosiderin, serta sel–sel
makrofag yang berisi hemosiderin. Angka kejadian kista endometriosis adalah
30 – 40 % dari jumlah populasi penderita endometriosis. (1)

Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat.


Setelah diagnosis ditegakkan, barulah pilihan pengobatan yang sesuai dapat
dipilih. Pilihan terapi sangat tergantung kepada beratnya keluhan, lokasi dan
klasifikasi endometriosis serta fungsi reproduksi. (2)

Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama, dimana


beberapa peneliti menyatakan gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan
pembedahan akan memberikan hasil yang lebih baik. Khususnya untuk kista
endometriosis, bila tindakan pembedahan dilakukan terlebih dahulu kemudian
diikuti oleh pengobatan hormonal sering menyebabkan perlekatan dan
mengganggu fertilitas. Untuk menghindari perlekatan paska operasi, maka pada
semua kista endometriosis dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu perlaparoskopi
dan kemudian dilanjutkan dengan pengobatan. (1)

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Meningkatkan pemahaman mengenai Endometriosis

1.2.2 Tujuan Khusus


- Memberikan pengetahuan mengenai pelayanan kesehatan
Endometriosis
- Memberikan pengetahuan mengenai penanganan dalam kasus
Endometriosis

1.3 Manfaat
Meningkatkan kemampuan dan pemahaman mengenai penanganan dalam
kasus Endometriosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Endometriosis adalah suatu keadaan ditemukannya jaringan ektopik (tidak
pada permukaan dalam uterus) yang memiliki susunan histologi kelenjar dan
stroma endometrium atau kedua–duanya dengan atau tanpa makrofag yang
termuati hemosiderin dan fungsinya mirip endometrium di luar kavum uteri dan
myometrium. (1,3)
2.2 Prevalensi

Endometriosis hampir selalu ditemukan secara eksklusif pada wanita usia


reproduktif. Umur rata-rata diagnosa dilaporkan 25-29 tahun, walaupun gambaran
ini tergantung dari metode diagnosis. Karena diagnosis yang akurat membutuhkan
laparoskopi, kelainan yang bersifat subklinis mungkin telah terjadi pada usia yang
lebih muda.(4)

2.3 Etiologi
Pembahasan tentang patogenesa endometriosis membutuhkan pemeriksaan
histogenesis, penyebab dan faktor-faktor yang penting untuk pertumbuhan dan
yang mempertahankannya. Penelitian awal ditujukan untuk mempelajari
histogenesis, sedangkan dewasa ini peneliti memfokuskan pada faktor-faktor
pertumbuhan dan mekanisme etiologi lainnya yang mungkin berkontribusi
terhadap timbulnya penyakit ini. (4)

Tiga teori telah diajukan untuk menjelaskan histogenesis endometriosis :


1. Transplantasi ektopik jaringan endometrium
2. Metaplasia Coelomik.
3. Teori Induksi.

Teori tranplantasi - Teori ini pertamakali diusulkan oleh Sampson pada


pertengahan tahun 1920, berdasarkan asumsi bahwa endometriosis disebabkan
oleh bibit (seeding) atau implantasi sel endometrium dengan cara regurgitasi
transtuba selama mensstruasi. (3)

Banyak mekanisme telah diajukan, temasuk didalamnya: penyebaran


secara limfatik, vaskuler dan iatrogenik dan menstruasi retrograd. Aspek kritis
teori ini adalah kapasitas sel-sel endometrium yang terlepas (cast-off) untuk tetap
viabel dan kapabel berimplantasi. Kapasitas ini secara sebagian telah ditunjukkan
dengan pewarnaan supravital sel-sel endometrium dalam cairan menstruasi dan
pertumbuhan in vitro. sel-sel endometrium yang viabel telah ditemukan pada
lumen tuba fallopii dan dalam cairan peritoneum. (4)
Design studi awal untuk menentukan apakah implantasi sel-sel tersebut
dapat dilakukan secara in vivo menghasilkan kekecewaan, walaupun pada
percobaan selanjutnya pada hewan dan manusia memperlihatkan bahwa
penempatan jaringan endometrium pada lokasi ektopik menghasilkan gambaran
perubahan histologi yang mirip seperti yang terlihat pada endometriosis. Bukti
langsung yang memperlihatkan bahwa endometriosis terjadi dengan cara
implantasi sel-sel endometrium masih kurang. (4)

Metaplasia Coelomik – Transformasi epitel coelomik ke dalam jaringan


endometrium telah diajukan sebagai mekanisme penyebab endometriosis. Teori
ini kurang didukung oleh data-data klinis dan eksperimental. (3)

Teori ini menyatakan bahwa endometriosis berkembang melalui


transformasi metaplastik sel-sel yang melapisi peritoneum pelvis (coelomic
metaplasia). Fakta mengungkapkan bahwa baik sel-sel endometrium maupun
peritoneum berasal dari permukaan yang sama (epitel dinding coelomic). Tetapi
belum pernah terbukti bahwa diferensiasi sel-sel peritoneum dapat berkembang
lebih jauh. (3)
Selanjutnya terdapat beberapa kelemahan dengan teori ini. Pertama, jika
sel-sel peritoneum dapat dengan mudah mengalami transformasi metaplastik,
fenomena endometriosis seharusnya juga ditemukan pada pria. Kenyataannya
hanya ditemukan beberapa kasus pada pria yang dilaporkan dan semua kasus itu
merupakan pasien karsinoma prostat yang diobati dengan estrogen dosis tinggi.
Kedua, walaupun membran coelomic menutupi rongga abdomen dan thorak,
endometriosis terjadi terutama di pelvis. (3)
Terakhir, insiden proses metaplastik meningkat dengan semakin
meningkatnya usia, sedangkan endometriosis ternyata terbatas pada wanita usia
reproduksi. Teori estrogen induced metaplasia menjelaskan distribusi umur pada
endometriosis, tetapi mekanisme ini tidak konsisten dengan rendahnya jumlah
insiden endometriosis pada wanita yang anovulatoir dengan peningkatan sekresi
estrogen yang persisten (2,3,4)
Teori induksi – Secara prinsip merupakan kelanjutan teori metaplasia
coelomik. Menyatakan bahwa suatu bahan biokimia endogen (yang tidak
diketahui) dapat menginduksi undifferentiated peritoneal cells berkembang
menjadi jaringan endometrium. Teori didukung oleh percobaan pada kelinci,
tetapi tidak terbukti pada primata dan wanita (2,3,4)

Ditemukannya kelenjar yang memiliki struktur yang mirip dengan


endometrium disekitar area deposis subkutan jaringan endometrium dan
implantasi endometrium pada rongga peritoneum kelinci percobaan mendukung
teori ini, tetapi tidak ditemukan endometrial. Apakah efek histologis tersebut
merefleksikan hanya induksi stroma epitel sekitarnya atau induksi endometriosis
secara komplit masih belum jelas (4).

Tanpa memandang teori histogenesis mana yang benar, faktor tambahan


pasti bertanggungjawab terhadap timbulnya penyakit ini. Menstruasi retrograd
merupakan fenomena yang cukup konsisten untuk sebagai contoh model
endometriosis transplantasi atau induksi. Bukti-bukti epidemiologis mendukung
peranan menstruasi retrograd dalam menimbulkan endometriosis: pemanjangan
siklus dari suatu menstruasi spontan teratur cendrung meningkatkan insiden
endometriosis, angka yang rendah ditemukan wanita pengguna kontrasepsi oral
yang panjang dan kelainan ini ditemukan hampir secara eksklusif pada wanita
menstruasi pada usia reproduktif. Pola anatomis penyakit ini konsisten dengan
menstruasi retrogad, dimana lesi ditemukan pada daerah dependen pelvis (4)

Penelitian pada wanita-wanita yang menjalani dialisa peritoneal dan


laparoskopi didapatkan 70-90 % mengalami retrograd menstruasi. Fenomena yang
hampir universal ini mendukung bahwa jumlah aliran retrograd mempengaruhi
insiden endometriosis, lebih tinggi pada wanita dengan retrograd yang berlebihan
karena kelainan perkembangan duktus mullerian dengan obstruksi out-flow.
Hipotonia utero-tubal junction juga dilaporkan pada wanita dengan endometriosis.
(4)

Terakhir, jaringan endometrium mengalami refluks kedalam rongga


peritoneum lebih sering terjadi dan luas pada wanita dengan endometriosis
dibanding wanita dengan paten tuba yang tidak ada endometriosis. Sebagai
tambahan terhadap derajat pengaliran retrograd (retrograde flow), faktor lain
mungkin berperan dalam inisisai proses penyakit ini. Suatu gangguan respon imun
atau respon terhadap cedera jaringan bisa berakibat tidak mampunya membuang
debris refluks menstruasi, sehingga meningkatkan kemungkinan endometriosis.
Abnormalitas sitotoksisitas T-cell, aktifitas natural killer cell, fungsi sel B dan
deposisi komplemen telah ditemukan pada wanita endometriosis. Sebagai
tambahan mungkin terdapat perbedaan antigenik antara endometrium wanita
dengan endometriosis dibanding wanita normal.(4)

Faktor penyebab yang mungkin terakhir dengan asumsi teori transplantasi benar,
adalah kapasitas endometrium berimplantasi dan adanya satu atau lebih faktor-
faktor yang penting untuk implantasi, seperti matriks protein ekstraseluler seperti
fibronektin, laminin dan kolagen type I dan IV, reseptor seluler untuk integrin dan
glikoprotein endometrial (4)

2.4 Faktor-Faktor Yang Berperanan Dalam Etiologi

Genetik
Risiko terkena endometriosis 7 kali lebih besar jika ada hubungan kerabat
tingkat satu yang terkena endometriosis. Karena tidak terdapat pola hukum
Mendel yang spesifik, diduga faktor keturunan yang multi-faktor berperan
didalamnya. (3)

Imunologis
Tidak semua wanita dengan menstruasi retrogard akan mengalami
endometriosis. Sistem imun mungkin berubah pada wanita dengan endometriosis,
dan kelainan ini timbul akibat ketidakmampuan sistem imun untuk membersihkan
sel-sel endometrium dari rongga pelvis.(3)

2.5 Gambaran Klinis Dan Diagnosis

Endometriosis berhubungan dengan berbagai macam gejala klinik,


walaupun sebetulnya pada kebanyakan pasien bersifat asimptomatik. Beberapa
simptom membuat dugaan yang kuat akan suatu endometriosis, tetapi tidak ada
satupun yang bersifat patognomonik (5,6).

Endometriosis harus dicurigai pada wanita dengan subfertil, dysmenorea,


dyspareunia, atau nyeri pelvis kronis. Walaupun demikian endometriosis dapat
juga bersifat asimptomatik (3)

Diagnosis endometriosis ditegakkan dengan :

1. Gejala klinis

Biasanya pasien datang dengan keluhan infertilitas, nyeri haid, nyeri saat
senggama atau dengan keluhan nyeri kronik pada daerah pelvis. Pada pemeriksaan
dalam kadang didapatkan benjolan–benjolan di kavum douglas, daerah
ligamentum sakrouterina yang sangat nyeri pada penekanan. Uterus biasanya retro
fleksi, sulit digerakan. Di parametrium teraba adanya masa kistik yang terasa bila
disentuh.(5)

2. Laparoskopi

Oleh karena gejala endometriosis ini sangat bervariasi maka anamnesa dan
pemeriksaan fisik masih dianggap sebagai suatu diagnosa awal. Untuk
menegakkan diagnosa diperlukan visualisasi langsung melalui rongga abdomen
perlaparoskopi, walaupun idealnya diagnosa pasti ditegakkan dari pemeriksaan
patologi anatomi pada lesi. Ketepatan diagnosa perlaparoskopi ini sangat
tergantung kepada kemampuan operator, adanya inflamasi pelvis serta adanya
perlekatan. Warna merah, coklat, kehitaman, berbentuk polipos, vesikel, atau
hemoragik, umumnya merupakan lesi aktif / banyak komponen kelenjar,
sedangkan warna putih, kuning, abu-abu, atau lesi seperti parut, umumnya lesi
nonaktif / banyak komponen stroma. (1,2,3,5)

3. Ultrasonografi
Ultrasonografi pelvis tidak dapat membuat diagnosa endometriosis . Bila
ditemukan masa kistik didaerah parametrium maka pada USG hanya didapatkan
gambaran sonulusen dengan echo dasar kuat tanpa gambaran yang spesifik untuk
suatu endometriosis. (1,2)

4. Serum Immuno assays


CA – 125 adalah antigen permukaan sel yang ditemukan pada struktur
epitel coelomic termasuk endometrium. Walaupun CA–125 ini merupakan
marker pada monitoring pengobatan ca ovarium epitel, tapi biasanya level CA–
125 ini juga meningkat pada penderita endometriosis yang berhubungan dengan
derajat penyakit dan respon terhadap terapi. Pemeriksaan CA–125 ini tidak
spesifik sebagai metode diagnosa non invasif, tapi sangat baik digunakan untuk
monitor pengobatan, disamping itu CA–125 serum bisa membedakan kista
endometriosis dengan kista adneksa jinak non endometrium, tapi perlu diingat
level CA–125 ini juga bisa meningkat pada kehamilan , penyakit inflamasi pelvis,
dan menstruasi.(2,5)

2.6 Patofisiologi

Nyeri
Banyak mekanisme untuk menjelaskan nyeri pada endometriosis telah
diajukan, tetapi semuanya bersifat spekulatif. Penelitian terakhir memperlihatkan
bahwa semakin dalam implantasi, semakin menimbulkan nyeri. Implantasi yang
lebih dalam lebih responsif terhadap hormon dibanding yang superfisial dan yang
dalam lebih sering berlokasi pada cul-de-sac sepanjang ligamentum sakro-uterina

Infertilitas

Jika endometriosis menimbulkan distorsi anatomis dari pelvis atau


sumbatan tuba maka akan sering menyebabkan infertiliti. Sedangkan implantasi
endometriosis tidak akan menimbulkan infertiliti tanpa adanya distorsi anatomi
dan sumbatan tuba.
Dinyatakan bahwa adanya kista endometriosis ovarium mungkin
menrunkan kualitas oocyte pada ovarium ipsilateral dan terdapat penurunan
respon terhadap hiperstimulasi ovarium yang terkontrol, demikian pula dengan
angka fertilisasi dan implantasi.

2.7 PENGOBATAN

Tujuan pengobatan endometriosis adalah menyingkirkan gejala dengan


menghambat progresifitas penyakit dan memulihkan fertilitas jika perlu, untuk itu
pilihan terapi sangat tergantung kepada gejala yang muncul, status reproduksi,
umur, stadium serta respon terhadap pengobatan sebelumnya ( 3,4 )

Manifestasi utama endometriosis adalah nyeri pelvis dan infertilitas.


Intensitas nyeri dipengaruhi terutama oleh lokasi dan kedalaman penanaman
endometriosis, dengan penanaman yang dalam pada daerah yang banyak
dipersyarafi akan menimbulkan nyeri yang kuat dan konsisten (3,5).

Infertilitas dapat diakibatkan oleh distorsi struktur anatomi yang


disebabkan oleh fibrosis dan pembentukan adhesi. Sebagai tambahan, pada
stadium awal (ditandai hanya oleh implantasi) dapat mengganggu infertilitas
dengan cara pembentukan berbagai bahan oleh jaringan sekitar implantasi seperti
prostaglandin, cytokin dan faktor pertumbuhan atau faktor-faktor embryotoksik
lainnya (3,5)

Pada kebanyakan pasien, pemeriksaan laparoskopi dibutuhkan sebelum


pengobatan dilakukan. Pada wanita dengan gejala yang ringan, dapat dicoba
pemberian pil kontrasepsi atau progestin untuk menilai berkurangnya rasa nyeri.
Akhir-akhir ini penggunaan GnRH analog secara empirik selama 3 bulan
merupakan strategi yang paling populer. Pasien dengan infertiliti harus dilakukan
penilaian dasar untuk menyingkirkan penyebab infertilitas lainnya sebelum
dilakukan pemeriksaan laparoskopi (5,7,8)

Pengobatan bisa bersifat ekspektan, medikamentosa maupun pembedahan.


Manajemen Ekspektatif dapat dipertimbangkan pada wanita dengan endometriosis
yang ringan atau tidak bergejala yang dideteksi pada saat pemeriksaan fisik atau
pada saat kebetulan dilakukan tindakan bedah dan pada wanita perimenopause
karena setelah menopause keluhan endometriosis akan menghilang (3).

A. MEDIKAMENTOSA

Dewasa ini banyak sekali konsep pengobatan pada endometriosis yang


telah diterapkan, seperti penekanan aktivitas endometriosis melalui penekanan
fungsi estrogen, ataupun dengan cara pembedahan. Namun sayangnya, meskipun
pengobatan yang begitu kurang menyenangkan bagi penderita dan mahal telah
dilakukan, tetap saja penyakitnya tidak pernah sembuh, dan angka rekurensinya
juga sangat tinggi. Menurut Evers, pengobatan hormonal memang dapat
mengurangi lesi endometriosis secara signifikan, tetapi begitu pengobatan
dihentikan dan pasien mendapat haid teratur kembali, lesi-lesi endometriosis
tersebut tumbuh lagi seperti keadaan semula. (2)

Sebelum diberikan terapi hormonal, perlu diketahui terlebih dahulu apakah


endometriosis tersebut aktif atau non aktif. Hanya endometriosis yang aktif saja
yang memiliki respon yang baik terhadap terapi hormonal . Warna merah, coklat,
bentuk polipus, vesikal, hemoragik umumnya merupakan lesi aktif, sedangkan
warna putih, kuning, abu-abu atau lesi seperti parut umumnya merupakan lesi
nonaktif (2)

Seperti telah dijelaskan bahwa endometriosis suatu penyakit yang tidak


pernah sembuh maka kepada pasien perlu dijelaskan tentang pengobatan yang
memerlukan waktu yang cukup lama. Kalau hanya sekedar untuk menghilangkan
nyeri saja, cukup diberikan pengobatan yang sederhana dan tidak begitu
membebani pasien.(3)

Pengobatan Nyeri

Walaupun kebanyakan pengobatan endometriosis ditujukan langsung pada


jaringan implantasi, simptom yang timbul dapat diobati secara langsung. Non-
Steroid Antiinflamation Drug (NSAID) merupakan obat-obatan yang diberikan
untuk menghilangkan nyeri karena endometriosis. Obat-obat ini mengurangi
produksi prostaglandin pada implantasi endometriosis. NSAID merupakan
pengobatan lini pertama pada wanita dengan nyeri pelvik dengan penyebab yang
belum terbukti endometriosis (7)

Tindakan pembedahan terhadap nyeri karena endometriosis melibatkan


pemutusan jalur saraf penghantar nyeri. Ablasi atau reseksi dengan laparoskopi
nervus uterosakral dapat menyebabkan destruksi serabut sensoris uterus dan
ganglia sekundernya pada saat serabut ini keluar dari uterus. Tindakan ini dapat
dilakukan secara laparoskopi dan laparotomi dan membutuhkan keahlian bedah
yang tinggi. Bagian superior retroperitoneal pleksus hipogastrikus, yang
merupakan nervus presakral yang sesungguhnya, berlokasi tepat dibawah
bifurcatio aorta, 3-4 cm kearah sakrum. Prosedur bedah dapat mengakibatkan
terangkatnya jaringan saraf antara peritoneum dan periosteum dengan panjang
sekitar 2 cm (7).
Pengobatan medisinal endometriosis difokuskan pada perubahan hormon
siklus menstruasi dalam upaya membuat keadaan yang kehamilan semu,
menopasue semu dan anovulasi kronis. Setiap situasi ini dipercayai menyebabkan
milieu yang sub-optimal bagi pertumbuhan dan maintenance endometrium dan
bagi perluasan endometriosis (5)

Danazol

Merupakan derivat isoksazol dari 17 alfa etinil testoteron, yang memiliki


efek androgenik, anabolik, dan anti gonadotropin. Danazol bekerja dengan cara
menekan produksi Follicel Stimulating Hormon (FSH) dan Leuteineizing Hormon
(LH) hypofisis, yang selanjutnya akan menghambat proses stereogenesis di
ovarium. Efek ini mengakibatkan terjadinya atropi sementara pada endometrium
sehat dan di pihak lain diharapkan akan terjadi absorpsi dan atrofi menetap pada
lesi endometrium ektopik dengan diikuti proses penyembuhan ( 2 )

Danazol merupakan androgen sintetik yang menghambat LH dan FSH


sehingga menimbulkan keadaan yang relatif hipoestrogen. Atrofi endometrium
merupakan mekanisme yang terjadi dalam menghilangkan nyeri endometriosis.
Efek samping meliputi keadaan-keadaan estrogen defisiensi seperti sakit kepala,
flushing, berkerungat dan vaginitis atropik. Efek samping androgenik berupa
jerawat, edema, hirsutism, perubahan suara (7,8,9)
Pengobatan dengan danazol harus dimulai pada saat pasien menstruasi.
Dosis awal 800 mg/hari, dibagi dalam 2 dosis oral, tetapi dosis ini dapat
diturunkan selagi amemorea bertahan dan gejala nyeri terkontrol. Pasien dengan
gejala yang kurang berat bisa diberikan 200-400 mg/hari dalam 2 dosis oral.
Lamanya pengobatan 6 bulan tetapi dapat diperpanjang sampai 9 bulan pada
pasien yang responsif dengan kelainan yang berat. Angka respon pengobatan
keseluruhan adalah 84-92%, dengan efek yang masih bertahan lebih dari 6 bulan
paska pengobatan (7)
Golongan Progestasional

Obat-obatan golongan progestasional sering dipergunakan dalam


pengobatan endometriosis. Obat golongan ini menyebabkan desidualisasi jaringan
endometrium, selanjutnya menjadi atropi. Efek samping termasuk perdarahan
abnormal, nausea, nyeri mamae, retensi air dan depresi. Untungnya efek-efek ini
akan menghilang jika obat dihentikan.(2)

Untuk pengobatan endometriosis dapat digunakan gestagen turunan 19-


norestisteron atau turunan progesteron. Pemberian gestagen dimulai pada awal
siklus dan diberikan 3 bulan dulu dan bila tidak ada efek samping yang berat,
dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Gestagen menekan sekresi gonadotropin, serta
memiliki khasiat langsung terhadap lesi endometrioisis. Pemberian 100 mg
medroksiprogesteronasetat ( MPA ) perhari sama baik hasilnya dengan pemberian
600 mg danazol/hari . Namun sayangnya, pemberian gestagen dosis tinggi hampir
selalu disertai efek samping yang kadang-kadang sangat berat seperti perdarahan
bercak, penambahan berat badan , edema dan depresi. Angka kejadian relatif
cukup tinggi, berkisar antara 30 % - 50 % (2)

Yang umum digunakan adalah Medroksi Progesteron Asetat, baik oral


maupun parenteral. Dosis yang dianjurkan adalah 30 – 50 mg per hari, sedangkan
untuk parenteral 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan. Terapi ini
dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan endometriosis
karena efektif dalam menurunkan skore AFS dan nyeri, seperti danazol dengan
biaya lebih murah dan efek samping lebih rendah. Penghentian terapi parenteral
dapat diikuti dengan anovulasi selama 6 – 12 bulan, sehingga cara pengobatan ini
tidak diindikasikan bagi mereka yang segera ingin mempunyai anak (2 )

Gestrinone

Gestrinon juga merupakn progesteron turunan testosteron yang mirip


dengan danazol. Pemberiannya cukup 2 kali/minggu, dengan dosis 2,5 mg, dan
lama pemberian 6 bulan saja. Efek samping yang ditimbulkan tidak jauh berbeda
dengan yang ditimbulkan oleh danazol. Angka kehamilan yang diperoleh juga
tidak berbeda dengan danazol.(2)
Mifepriston (RU 486)

Mifepriston merupakan jenis steroid yang memiliki sifat antiprogesteron,


antiglukokortikoid dan antiestrogen. Daya ikatnya terhadap reseptor progesteron 4
kali lebih kuat dibandingkan progesteron lainnya. Mifepriston tidak menekan LH
dan estrogen, sehingga kadar LH dan estrogen tetap saja tinggi. Kemungkinan
terjadi kehamilan selama pemberian mifepriston akan lebih besar. Hingga kini
masih sangat sedikit laporan tentang pemakaian mifepriston pada endometriosis.
Dosis yang dianurkan adalah 100 mg/hari dengan lama pemberian 3 bulan. Efek
samping yang timbul dapat berupa anoreksia, mual dan rasa lelah.(2)
Kombinasi Estrogen Dan Progesteron

Penggunaan estrogen progesteron ini menciptakan suasana pseudo


pregnancy, pil kontrasepsi yang dipilih sebaiknya yang mengandung estrogen
rendah dan mengandung progesteron kuat atau mempunyai efek androgen
kuat (9).
Penggunaan kombinasi estrogen dan progesteron untuk menginduksi suatu
keadaan pseudo-pregnancy telah dicoba orang selama 40 tahun. Versi modern cara
pengobatan ini adalah pil kontrasepsi oral. Pengobatan terdiri dari 1 pil/hari, dapat
diberikan kontinu (tanpa plasebo) atau secara siklis ( 21 pil aktif diikuti dengan 7
plasebo). Tidak terdapat bukti salah satunya mengungguli lainnya, hanya
amenorea yang dicapai dengan pemberian kontinu menguntungkan bagi wanita
dengan dismenorea ( 6)

Estrogen dan progesteron yang terdapat dalam pil kontrasepsi sangat


efektif untuk menghilangkan nyeri haid. Untuk menghilangkan nyeri haid tidak
didapat perbedaan bermakna antara pemberian pil kontra sepsi dengan Gn – RH
analog, tapi perlu diketahui pil kontrasepsi tidak mencegah progresifitas
endometriosis, hanya menghilangkan nyeri saja sehingga pil kontrasepsi
sebaiknya digunakan hanya untuk pasien – pasien yang tidak menginginkan anak
dan untuk mencegah residif. (7 ).

Efek samping berupa kombinasi kedua komponen : yang menonjol berupa


penambahan berat badan, perdarahan abnormal dan hipertensi. Efek samping
biasanya ringan dan dapat ditoleransi. Tidak terdapat bukti yang mengatakan pil
kontrasepsi oral lebih efektif untuk pengobatan endometriosis dibandingkan
pengobatan lainnya (7)

Analog GnRH ( Agonis/Antagonis)

Dari banyak penelitian terbukti bahwa agonis maupun antagonis GnRH


termasuk terapi medikamentosa yang paling efektif terhadap endometriosis.
Analog GnRH menekan produksi estrogen dengan sangat kuat, sehingga kadarnya
dalam darah menyerupai kadar estrogen wanita usia menopause. Kombinasi
pengobatan operatif dengan analog GnRH merupakan pengobatan yang paling
banyak dianut dan yang paling rendah angka residifnya.(2)
Beberapa hari setelah pemberian agonis GnRH akan terjadi perdarahan.
Hal ini terjadi akibat pengeluaran FSH dan Lh serta pengeluaran estrogen. Jadi di
sini terlihat, bahwa pada permulaan pemberian agonis GNRH tidak terjadi
penekanan fungsi hipofisis, justru memicu pengeluaran FSH dan LH dari hipofisis
(flare up).(2)
Setelah keadaan seperti ini terjadi beberapa hari, maka sensitivitas
hipofisis terhadap rangsangan GnRH terus berkurang. Pengeluaran LH dan FSH
serta estrogen dan progesteron berkurang (down regulation). Ikatan reseptor
agonis GnRH sangat kuat, sehingga meskipun pemberiannya telah selesai
dilakukan, namun efeknya terhadap tubuh manusia masih tetap ada sampai
berbulan-bulan. Kembalinya haid normal memerlukan waktu berbulan-bulan.
Agonis GnRH umumnya diberikan secara subkutan, intramuskuler, ataupun
intranasal. Dan diberikan setiap satu bulan sekali.(2)
Dewasa ini telah banyak digunakan antagonis GnRH generasi ke-3 untuk
pengobatan endometriosis. Generasi ke-3 ini tidak memiliki efek terhadap
pengeluaran histamin pada tempat penyuntikan, dibandingkan dengan antagonis
GnRH generasi I dan II. Cara kerja antagonis GnRH adalah dengan menduduki
reseptor di hipofisis anterior tanpa perjadi stimulasi reseptor, artinya tanpa terjadi
pengeluaran FSH dan LH pada saat awal pemberian (tanpa flare up).(2)
Ikatan reseptornya tidak begitu kuat, cepat sekali melepaskan ikatannya,
sehingga begitu selesai diberikan, maka hipofisis anterior segera dapat bekerja
kembali, dan haid normal dapat kembali muncul dengan cepat. Namun karena
dapat dengan cepat melepaskan ikatannya dari reseptor, maka antagonis GnRH
harus diberikan setiap hari, atau setiap minggu dan cara pemberiannya adalah
secara subkutan.(2)
Efek samping pemberian analog GnRH terutama disebabkn oleh terlalu
rendahnya kadar estrogen dalam darah, sehinga keluhan yang muncul mirip
keluhan akibat kekurangan estrogen pada wanita pascamenopause, seperti
semburan panas, keringat dingin, sakit kepala, gangguan tidur, nyeri tulang,
jantung berdebar-debar, serta kekeringan vagina.(2)
Pada pemberian diatas 6 bulan dapat menurunkan densitas mineral tulang.
Bila keluhan seperti ini muncul selam pemberian analog GnRH, maka perlu
diberikan estrogen dan progesteron tablet sampai keluhan hilang (addback
therapy). Pemberian tablet estrogen dan progesteron tersebut tidak mempengaruhi
kerja analog GnRH terhadap endometriosis.(2)

Penghambat Enzim Aromatase

Pada kasus-kasus endometriosis yang resisten terhadap pengobatan


standar, maka dapat dicoba pemberian obat penghambat enzim aromatase seperti
anastrozole, aminoglutemid, vorozole dan letrozole, karena obat-obat ini tidak
hanya menghambat produksi estrogen di dalam jaringan endometrium, namun
juga menghambat produksi estrogen di jaringan lemak dan kulit. (2)

B. PEMBEDAHAN

Terapi pembedahan juga dipergunakan secara luas untuk pengobatan


endometriosis. Tujuan bedah konservatif adalah mengangkat seluruh
endometriosis yang terlihat dari abdomen dan pelvis serta memulihkan struktur
anatomi menjadi normal kembali. Sebaliknya pembedahan defenitif yang biasanya
bersifat ektirfatif, tidak hanya jaringan endometriosisnya saja yang diangkat tetapi
juga ovarium bahkan kadang-kadang uterus. (7)
Indikasi tindakan bedah pada endometriosis, bila tidak ada perbaikan
dengan terapi medik, adanya kista endometriosis yang besar, atau terdapatnya
distorsi anatomis dari organ pelvis. Tindakan bedah yang dilakukan bisa melalui
laparoskopi atau laparatomi untuk menghancurkan sarang – sarang endometriosis,
mengangkat kista, membebaskan perlekatan dengan pelvis atau untuk
menperbaiki perlekatan pada tuba (tuboplasty). Dengan laporaskopi operatif,
kerusakan jaringan sangat sedikit, sedikit menimbulkan perlekatan, dan tidak
diperlukan perawatan yang lama, meskipun demikian laparatomi masih memiliki
tempat untuk kasus – kasus tertentu ( 3 )

Pembedahan definitif bila uterus diangkat, dan mungkin juga ovarium


hanya bila pasien benar – benar tidak ingin anak lagi, dan semua usaha
pengobatan telah dilakukan tapi tetap belum memberikan hasil yang baik.. Bila
uterus dan kedua ovarium diangkat perlu diberikan terapi sulih hormon (HRT)
dengan kombinasi estrogen dan progesteron alamiah. Penambahan progesteron
bertujuan untuk mencegah rangsangan estrogen terhadap lesi endometriosis .

BAB III
ANALISIS KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Tanah Garam
No. RM : 110931
Nama Suami : Tn. AI
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Tanah Garam
3.2 Anamnesa
a. Keluhan Utama
Seorang pasien perempuan umur 30 tahun datang ke NIFAS RSUD
Solok pada tanggal 31 Oktober 2015 pukul 16.00 WIB kiriman poli
kebidanan RSUD Solok dengan diagnosa Kista Coklat.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

- Bengkak dibagian perut kanan bawah sejak 6 bulan yang lalu,


sebesar telur ayam, konsistensi kenyal, mobile
- Nyeri pada perut bagian bawah kanan, nyeri seperti ditusuk-tusuk
dan diremas. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin tidak
tertahankan, dirasakan berkurang bila berbaring dan bertambah bila
di tekan. Nyeri mengeluh saat haid, nyeri dirasakan pada waktu haid
yang semakin lama semakin hebat.
- Keputihan tidak ada
- Nafsu makan menurun tidak ada
- Penurunan berat badan tidak ada
- Demam (-), mual (-), muntah (-)
- Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada
- Riwayat Menstruasi : Menarche usia 13 tahun, siklus haid teratur
1x28 hari, lama 6-7 hari, banyaknya 2-3 kali ganti pembalut tiap
hari, kadang-kadang disertai nyeri haid.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal,


DM dan hipertensi sebelumnya. Riwayat alergi disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit hipertensi,


jantung, dan penyakit menular lainnya.

e. Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali pada tahun 2006

f. Riwayat Kehamilan/Abortus/Persalinan

1/0/1
g. Riwayat Kontrasepsi

Tidak ada

h. Riwayat Imunisasi

Imunisasi TT (-)

i. Riwayat Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

j. Riwayat Kebiasaan

Konsumsi alkohol selama hamil (-), merokok selama hamil (-),


penggunaan obat terlarang selama hamil (-).

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Umum
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis Cooperatif
Tinggi Badan :157 cm
Berat Badan sekarang : 60 kg
Vital Sign :- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 80 x/ menit
- Nafas : 20 x/menit
- Suhu : 36,50C
Kulit dan Selaput Lendir : Tidak ada kelainan
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba pembesaran KGB
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
Leher : Inspeksi : JVP 5-2 cmH2O
Palpasi : Kelenjar tiroid tidak teraba membesar
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba 1 jari LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Paru : Inspeksi : Gerak nafas simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen :
- Inspeksi : Sikatrik (-), Tumor (-)
- Palpasi : Terbaba massa di bagian perut kanan bawah
sebesar telur ayam, nyeri tekan (+), nyeri lepas (-)
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia : V/U tenang, PPV(-)


Ekstermitas : RF +/+, RP -/-, akral hangat
Inspekulo
Vagina : Rugae (+), tumor(-), laserasi (-), fluksus (-)

Portio : MP, tumor (-), laserasi (-), fluksus (-),


ukuran sebesar jempol tangan dewasa, OUE
tertutup

VT Bimanual :
- Vagina : Tumor (-)
- Portio : Multipara sebesar jempol kaki dewasa, arah
posterior, perabaan kenyal padat, permukaan
licin, nyeri tekan (-), nyeri goyang (-), mobile,
tumor (-). OUE tertutup. Tidak ikut bergerak jika
masa digerakkan
- CUT : Retroflexi, ukuran telur ayam kampung,
permukaan rata, konsistensi kenyal padat,
pergerakan terbatas, tidak nyeri.
- Andexa & : Dextra : Teraba masa, sebesar bola golf,
konsistensi kenyal, permukaan licin, nyeri (-)
parametrium Sinistra : Tidak ada
- C. Douglas : Tidak menonjol

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
- Hemoglobin : 13,1 g/dL
- Hematokrit : 38,4 %
- Leukosit : 87600 µL
- Trombosit : 290000 µL
- CA-125 : 85,30 U/ml

b. USG

Tampak massa Hiperecoic, dengan ukuran 10x6x6 cm

3.5 Diagnosa
Kista Coklat (Endometriosis)
3.7 Laporan Operasi
Tanggal 31 Oktober 2015 pukul 10.30 WIB, operasi Kystektomi
Marsupilisasi Kista Endometriosis Dextra + Ovarian DrillingKista Ovarium
Sinistra dimulai, dengan prosedur operasi sebagai berikut:
- Pasien tidur terlentang dalam spinal anestesi
- Dilakukan tindakan aseptik dan antispetik di lapangan operasi
- Dilakukan pemasangan duk steril pada lapangan operasi
- Dilakukan insisi di linea mediana sampai menembus peritoneum
- Tampak kistaendometriosis beraal dari ovarium dextra dan kista
ovarium berasal dari ovarium kiri.
- Dilakukan kystektomi marsupialisasi kista endometriosis dextra dan
ovarian drilling kista ovarium sinistra.
- Dipastikan tidak ada pendarahan, dinding abdomen ditutup lapis
demi lapis.
- Kondisi post op baik.

3.8 Follow Up
01 November 2015
S/ Demam (-), BAK (+), BAB (-),PPV (-), nyeri pada luka operasi (+)
O/ KU : sedang, Kes : CMC
TD : 110/70 Nadi : 82x/m Nfs : 18x/m Suhu : 36,70C
Abd : I : Luka operasi tertutup perban
Pal : NT (-), NL (-), DM (-)
Per : Timpani
Aus : BU (+), normal
Genitalia :I : V/U tenang, PPV (-)
A/ Post kystektomi marsupialisasi kista endometriosis dextra + Post ovarian
drilling kista ovarium sinistra
P/ Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Gentamisin 2x1 amp
Asam Mefenamat 3x1
SF 1x1
Vit C 3x1
02 November 2015
S/ Demam (-), BAK (+), BAB (-),PPV (-), nyeri pada luka operasi (+),
O/ KU : sedang Kes : CMC
TD : 120/80 Nadi : 83x/m Nfs : 20x/m Suhu : 360C
Abd : Ins : Luka operasi tertutup perban
Pal : NT (-), NL (-), DM (-)
Per : Timpani
Aus : BU (+), normal
Genitalia : Ins : V/U tenang, PPV (-)
A/ Post kystektomi marsupialisasi kista endometriosis dextra + Post ovarian
drilling kista ovarium sinistra
P/ Asam Mefenamat 3x1
SF 1x1
Vit C 3x1
Cefixime 2x1 (Acc Pulang )
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang wanita, 30 tahun, Kista coklat (endometriosis) datang dengan


keluhan teraba benjolan di perut sebelah kanan bawah saat kontrol ke dokter
.faktor resiko diakibatkan oleh menstruasi retrogard, Dari anamnesa, pasien juga
mengeluh Nyeri pada perut bagian bawah kanan, Nyeri dirasakan terus menerus
dan semakin tidak tertahankan, dirasakan berkurang bila berbaring dan bertambah
bila di tekan. nyeri dirasakan pada waktu haid yang semakin lama semakin hebat.
Pasien mengaku tidak mengalami keputihan, penurunan nafsu makan, penurunan
beratbadan, demam, mual, muntah dan keluar darah pervaginan di luar siklus haid.
Pasien menikah satu kali pada tahun 2006 dan memiliki seorang anak yang lahir
pada tahun 2007 dengan BB 3100 gram, jenis kelamin perempuan, lahir spontan
dengan bidan.
Dari pemeriksaan fisik, tekanan darah pasien 110/800 mmHg, pada VT
bimanual teraba massa di andeka sinistra sebesar bola golf, permukaan licin
dengan konsistensi kenyal dan tidak nyeri. pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan hemoglobin : 13,1 g/dL, hematokrit : 38,4 %, leukosit :87600 µL,
trombosit: 290.000 µL, CA-125 : 85,30 U/ml. pemeriksaan penunjang yang
dilakukan berupa USG dimana ditemukan gambaran Hiperecoic dengan ukuran
10x6x6 cm.

Pasien ini kemudian dirawat di bangsal nifas RSUD SOLOK, dikontrol


keadaan umum, vital sign, dan dipersiapkan untuk operasi pd tgl 31 oktober
2015.Dari laporan operasi, dilakukan Kistektomi Marsupialisasi pada oavrium
dextra dan ovarian drilling pada varium sinistra. jargan dikirim untuk pemeriksaan
patologi anatomi dari hasil PA jaringan yg dikirim tidak ditemukan sel-sel ganas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baziad. A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Ichramsyah AR : Endometriosis. Dalam


Endokrinologi Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi
Indonesia, Edisi Pertama, Jakarta 1993 ; 107- 23.

2. Baziad, A . Endometriosis. Dalam Endokrinologi Ginekologi. Media


Aesculapius FKUI, Edisi Kedua, Jakarta 2003 : 1-22

3. D. Hooghe M.T, Hill. J. A : Endometriosis. Novak’ s Gynecology 13 rd


edition , Lippincott Williams & Willkins, Philadelphia 2002 : 931-72

4. Farquhar MC : Endometriosis . Clinical Review. In British Medical Journal,


May 27 2000 ; 320 : 1449-52.

5. Canavan TP, Radosh L: Managing Endometriosis. In Strategies to minimize


pain and damage. Postgraduate Medicine , Vol 107 No.3 2000 : 213-24.

6. Olive.DL, Schwart.LB : Endometriosis. NEJM, June 17, 1993 No 24 Vol 328 :


1759-69.

7. Olive DL, Pritts EA : Treatment of Endometriosis. NEJM, July 26, 2001 No 4


Vol 345 : 266-75.

8. Wellbery C : Diagnosis anf Treatment of Endometriosis. American Family


Physician, October 15, 1999 ; 60 : 1753-68.

9. Prabowo. P. R : Endometrisis. Dalam Ilmu Kandungan, edisi kedua cetakan


ke 3. Yayasan Bina Pustaka Sarworno Prawirohardjo, Jakarta 1999 : 314 –
327.

10. Speroff. L, Glass . R, Endometriosis. In Clinical Ginecologic Endocrinology


and Infertility, 6 th Edition. William & Willkins, Baltimore, 1999 : 1057 – 73
11. Garcia-Velasco JA, Mahutte NG, Corona J, Zuniga V, et al. Removal of
endometriomas before in vitro fertilization does not improve fertility
outcomes : a matched, case-control study. In Fertility and Sterility , Vol 81,
No.5, May 2004 : 1194-97.

Anda mungkin juga menyukai