Anda di halaman 1dari 104

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1

BAB 2 ARUS KEUANGAN DAN AKUNTANSI....................................................11


2.1 ARUS KEUANGAN –PENDAPATAN DAN PENGHASILAN...................................................11
2.1.1 Pendapatan dari Sumbangan.................................................14
2.1.2 Pendapatan dari Grant/Hibah...............................................17
2.1.3 Pendapatan dari Iuran Anggota..............................................19
2.1.4 Penghasilan dari Pelayanan Program.......................................20
2.1.5 Pendapatan dari Usaha Komersial..........................................23
2.1.6 Penghasilan dari Bunga, Royalty, Dividen, dan sebagainya.............27
2.2 ARUS KEUANGAN-BIAYA........................................................................................29
2.2.1 Biaya Terkait Sumbangan…………………………………………………………………….33
2.2.2 Biaya Terkait Grant/Hibah…………………………………………………………………..34
2.2.3 Biaya Terkait Penjaringan Anggota...........................................35
2.2.4 Biaya Terkait Pelayanan Program……………………………………………………..…35
2.2.5 Biaya Terkait Bunga, Royalty, Dividen, dan sebagainya……………………..37
2.2.6 Biaya Terkait Usaha Komersil…………………………………………..................37
2.3 AKUNTANSI DAN INFORMASI KEUANGAN………………………………………………..38
2.3.1 Proses Pembuatan Laporan Keuangan…………………………………………………..38
2.3.2 Sistem Akuntansi Termasuk Bagan Perkiraan/akun, jurnal
Buku Besar dan Neraca Lajur…………………………………………………………………42
2.3.2.1Bagan Perkiraan/Akun (Chart of Accounts)…………………………………………..44
2.3.2.2Perkiraan atau Ledger atau Buku Besar…………………………………………………47
2.3.2.3Manual Prosedur Keuangan…………………………………………………………………….48
2.3.2.4Basis Akrual, Kas dan Modified Accrual Basis………………………………………..49
2.3.2.5Modified Accrual Basis…………………………………………………………………………...54
BAB 3 PELAPORAN DAN ANALISA LAPORAN..................................................56
3.1 LAPORAN EKSTERNAL........................................................................................................56
3.1.1 Laporan Posisi Keuangan........................................................58
3.1.2 Laporan aktivitas.................................................................60
3.1.3 Laporan Arus Kas.................................................................61
3.1.4 Catatan atas laporan keuangan................................................63
3.2 LAPORAN UNTUK PIHAK INTERN........................................................................................64
3.3 ANALISA ATAS LAPORAN KEUANGAN................................................................................68
3.3.1 Analisa Pembandingan...........................................................70
3.3.2 Penggunaan Rasio-Rasio Keuangan……………………………………..71
3.3.2.1 Rasio Likuiditas………………………………………………………….71
3.3.2.2 Rasio Efisiensi…………………………………………………………. 72
3.3.2.3 Rasio Kinerja Operasi……………………………………………………74
3.3.2.4 Rasio Biaya Operasional Program ke Biaya Program…………………...75
3.3.2.5 Rasio Biaya Program ke Pendapatan Donasi…………………………….75
3.3.3 Analisa Pulang Pokok (Break Even)............................................77
BAB 4 MANAJEMEN KAS (CASH MANAGEMENT)..............................................80

1
4.1 PERENCANAAN ARUS UANG KAS MASUK DAN KELUAR.......................................................80
4.2 PEMBUATAN PROYEKSI CASHFLOW....................................................................................82
4.3 SALDO KAS MINIMUM (MINIMUM CASH REQUIREMENT)......................................................84
4.4. REVIEW PROYEKSI KAS......................................................................................................85
BAB 5 ANGGARAN (BUDGET)....................................................................86
5.1 KONSEP ANGGARAN……………………………………………………………………………….86
5.2 PENYUSUNAN ANGGARAN (BUDGET).................................................................................88
5.3 KALENDER ANGGARAN.......................................................................................................92
5.4 BENTUK DAN CONTOH ANGGARAN....................................................................................92
5.5 FORMALISASI PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN................................................................93
5.6 REVISI DAN MONITORING BUDGET.....................................................................................93
5.7 PERAN, PARTISIPASI DAN TANGGUNGJAWAB....................................................................94

BAB 6 PENGENDALIAN INTERN (INTERNAL CONTROL)...............................................97


6.1 PENGANTAR.................................................................................................97
6.2 TUJUAN PENGENDALIAN INTERN........................................................................98
6.2.1 Harta Kekayaan Lembaga Terjaga…………………………………………………….... 98
6.2.2 Mencek dan Meneliti keandalan Data Akuntansi…………………………………..98
6.2.3 Mendorong Efisiensi………………………………………………………………………………..99
6.2.4 Mendorong Kepatuhan Terhadap Kebijakan Manajemen……………………….99
6.3 UNSUR-UNSUR PENGENDALIAN INTERN................................................................99
6.4 CIRI-CIRI PENGENDALIAN INTERN....................................................................100
6.5 Area pengawasan......................................................................................102

2
BAB 1 PENDAHULUAN

Lembaga nirlaba atau organisasi non-profit merupakan salah satu bentuk organisasi
dalam masyarakat yang unik. Keberadaan serta aktivitasnya sudah ada sejak lama,
bahkan sebelum kemerdekaan. Dalam berbagai bentuk lembaga nirlaba sudah
beraktivitas melayani masyarakat. Terlepas dari berbagai bentuk serta penamaannya,
namun lembaga nirlaba secara tidak sadar sudah sejak lama menjadi bagian dari
masyarakat.
Pada perkembangannya, terjadi penyimpangan arah serta ragam kegiatannya. Jika
lembaga nirlaba pada periode awal banyak bergiat dibidang sosial, mengisi ruang yang
tidak mampu diisi oleh pemerintah dan tidak menarik bagi sektor komersial, pada
perkembangannya justru digunakan sebagai kendaraan bisnis. Sering terdengar
bagaimana suatu yayasan mengoperasikan suatu unit bisnis yang ukurannya relatif
besar, dengan tetap menyandang nama yayasan yang notabene diartikan sebagai
lembaga nirlaba.
Definisi secara pasti dari lembaga nirlaba sendiri sangat beragam karena cakupan serta
lingkup kegiatannya relatif luas. Secara sederhana pendefinisian dapat dilakuan lewat
kata-kata yang membentuknya. Kata nirlaba memberikan suatu pengertian yang
berkebalikan dengan perolehan laba. Artinya lembaga nirlaba merupakan suatu
lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan tertentu dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam pelaksanaannya kegiatan yang
mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan laba atau kekayaan semata.
Definisi ini masih bisa diperdebatkan karena beberapa lembaga nirlaba justru memiliki
unit usaha komersial untuk menunjang pendapatan lembaga, yang pada gilirannya
pendapatan tadi digunakan untuk merealisasikan tujuan lembaga. Sehingga perlu
ditegaskan bahwa pemupukan laba bukanlah tujuan akhir yang hendak dicapai.
Pencarian laba merupakan salah satu bagian dari usaha untuk menggalang dana bagi
kelangsungan hidup lembaga.
Karakter atau ciri khas dari lembaga nirlaba dapat memberikan gambaran lebih jelas
mengenai apa yang tergolong lembaga nirlaba dan yang bukan. Berdasarkan sumber
dana, lembaga-lembaga yang ada dalam praktek sehari-hari dapat dikategorikan
menjadi 3 (tiga) bagian besar yaitu:

3
 Lembaga komersial yang dibiayai oleh laba atau keuntungan dari
kegiatannya. Misalnya perusahaan-perusahaan dan bentuk lain yang semata-
mata mencari keuntungan.
 Lembaga pemerintahan, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat lewat
pajak dan retribusi
 Lembaga nirlaba, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat lewat donasi
atau sumbangan.
Khusus untuk lembaga nirlaba itu sendiri dapat dibagi dalam berbagai jenis yaitu :
 Lembaga nirlaba donasi. Lembaga yang termasuk dalam kategori donasi
adalah lembaga yang mengandalkan pendapatannya dari sumbangan.
 Lembaga nirlaba komersial. Lembaga nirlaba yang masuk dalam kategori
komersial adalah lembaga yang pendapatannya berasal dari anggotanya
berupa charge dari pemakaian hartanya.
 Lembaga nirlaba mutual yaitu lembaga yang dikelola oleh para anggotanya
yang notabene adalah pemakai jasa dari lembaga.
 Lembaga nirlba entreprenurial yaitu Lembaga ini dikelola oleh para
profesional yang memang khusus diberi gaji untuk mengelolanya.
Berangkat dari penggolongan ini, maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berbentuk
yayasan yang mendapatkan donasi dari lembaga donor termasuk kategori lembaga
nirlaba donasi. Yayasan yang mendirikan sekolah atau rumah sakit termasuk golongan
lembaga yang komersial karena pendapatannya dari pemakai jasanya. Demikian
lembaga nirlaba yang memiliki rumah sakit akan tergolong komersial dan profesional.
Sebaliknya kelompok masyarakat yang mendirikan yayasan untuk memajukan taraf
ekonomi lewat usaha simpan pinjam akan tergolong komersial dan mutual karena
mereka mengelola sendiri usaha atau program yang mereka lakukan.
Kategori atau penggolongan lembaga nirlaba yang lain adalah berdasarkan operasinya.
Lembaga nirlaba dapat dikategorikan sebagai lembaga penyalur dana (grant making).
Dengan kata lain lembaga ini akan memberikan donasi atau grant kepada lembaga
nirlaba lain (grantee) sepanjang memenuhi persyaratan atau misi yang ditetapkan.
Lembaga nirlaba yang lain adalah lembaga menerima dana dari donor, yang memiliki
program dan melakukan sendiri program-programnya tadi.

4
Di Indonesia sendiri lembaga nirlaba terdiri dari lembaga yang melakukan advokasi dan
program. Advokasi berarti lembaga bertindak sebagai pendamping atau fasilitator bagi
masyarakat dalam menyelesaikan issus-issue atau masalah yang berkembang. Lembaga
dapat juga bertindak sebagai penyelesai masalah (problem solver) dengan cara
mendisain program dan mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam pelaksanaannya
termasuk dalam pembiayaan kegiatan tadi.
Pengkategorian lain tentang lembaga nirlaba di Indonesia adalah sebagai berikut :
 Lembaga keagamaan : termasuk disini lembaga yang bergerak dibidang
keagamaan seperi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan lain
sebagainya.
 Organisasi Kesejahteraan Sosial : termasuk disini yang berskala nasional
seperti BKKKS (Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Nasional) hingga
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS).
 Organisasi Kemasyarakatan : termasuk dalam golongan ini adalah organisasi
sosial berdasarkan profesi seperti LP3ES, organisasi kemasyarakatan biasa
seperti Organisasi Keluarga Berencana Indonesia dan lain sebagainya.
 Lembaga Swadaya Masyarakat : bentuk ini mencakup yayasan-yayasan amal
dan filantropis, asosiasi kepentingan khusus, dan sebagainya.
Pengertian lembaga nirlaba yang akan digunakan dalam modul ini dengan demikian
mengacu kepada kombinasi dari definisi-definisi diatas. Lembaga nirlaba diasumsikan
memperoleh dana baik dari donasi maupun usaha komersial, termasuk juga dari
anggotanya. Lembaga ini bergerak dibidang kemasyarakatan untuk menyelesaikan
salah satu masalah sosial baik dengan melakukan advokasi atau mengerjakan program
tertentu.
Pemerintah melihat ketidakteraturan dalam perkembangan lembaga nirlaba. Kemudian
diupayakan pengaturan lewat UU nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan. Meskipun
mendapat banyak kritik tajam, akhirnya dilakukan perubahan atas UU tersebut dan
disahkan oleh DPR lewat rapat pleno tanggal 7 September 2004. Dengan demikian UU
inilah yang akan menjadi panduan bagi lembaga nirlaba dalam aspek pengaturan
hukumnya.
Pengaturan oleh profesi keuangan tentang lembaga nirlaba juga sudah dilakukan lewat
penerbitan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 45 tahun 1997
tentang Pelaporan Keuangan Organisasi Nirlaba. PSAK yang efektif berlaku mulai tahun

5
2000 ini memberikan panduan tentang pelaporan keuangan lembaga nirlaba kepada
publik dan pemerintah sebagai stakeholdernya.
Untuk mengatasi maraknya praktek yayasan berkedok sosial namun berbisnis
komersial, Direktur Jenderal Pajak mengatur lewat Surat Edaran no. SE-34/PJ.4/1995
tanggal 7 April 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan atau Organisasi
yang sejenis. Surat ini kemudian diikuti dengan Surat Edaran no. SE-39/PJ.4/1995
Tanggal 19 Juli 1995 tentang: Penyuluhan Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi
Yayasan atau Organisasi Sejenis.
Lewat kedua instrumen ini, aparat pajak berusaha memberikan perlakuan yang adil
bagi badan hukum komersial atas praktek-praktek bisnis yang dilakuan oleh yayasan
dan lembaga nirlaba lain. Dimana untuk unit usaha komersial atau praktek komersial
yayasan dan lembaga nirlaba lain, perlakuan pajaknya adalah sama dengan badan
usaha komersial.
Pengaturan-pengaturan diatas dilakukan untuk membuat lembaga nirlaba berjalan
pada misi sosialnya semula, beroperasi dengan basis nirlaba dan bertanggungjawab
terhadap stakeholdernya yang antara lain adalah masyarakat sendiri.
Pertanggungjawaban lembaga ini menuntut lembaga untuk lebih transparan dan
akuntabel, menganut kaidah-kaidah bisnis yang sehat serta memiliki kapasitas
organisasi yang mumpuni.
Transparansi dan akuntabilitas lembaga nirlaba selain lewat misi yang kokoh juga
dapat dicapai lewat infrastruktur keuangan yang kuat. Dengan segala keunikannya
lembaga nirlaba justru memiliki hal-hal khusus terutama dalam bidang keuangan. Hal-
hal ini berbeda secara signifikan dari sektor komersial. Untuk itu dibutuhkan
pemahaman mengenai perbedaan apa saja yang terjadi antara sektor nirlaba dengan
sektor komersial terutama dalam segi keuangan.
Manajemen keuangan lembaga nirlaba berbeda dengan manajemen keuangan lembaga
disektor komersial akibat dari berbedanya motif pendirian. Lembaga nirlaba tidak
bertujuan mencari keuntungan. Sedangkan perusahaan komersial didirikan oleh
pemiliknya, dan dioperasikan oleh direksi atau manajemen yang secara khusus dibayar
untuk mencapai satu tujuan, yaitu memaksimalkan nilai perusahaan (maximizing
value of the firm). Nilai perusahaan yang meningkat akan membawa dampak bagi
pemilik perusahaan dalam hal ini pemegang sahamnya berupa kenaikan modal atau
kekayaan pemilik pada suatu periode yang berarti menambah kekayaannya.

6
Dengan demikian fokus dari kegiatan lembaga nirlaba bukan untuk meningkatkan
kekayaan atau yang direpresentasikan dengan modal melainkan mencapai misi
lembaga yang ditetapkan sejak awal.
Beberapa perbedaan lainnya sebagai turunan dari perbedaan motif pendirian adalah :
1. Modal atau kekayaan.
Perusahaan komersial didirikan oleh satu orang atau lebih dengan menyisihkan
kekayaaannya. Besarnya modal dinilai dengan satuan lembar saham. Sejalan
dengan operasi perusahaan diharapkan diperoleh keuntungan. Bagian dari
keuntungan akan dibagikan sebanding dengan lembar saham yang dipunyai. Bila ia
ingin berhenti berusaha, saham tadi dijual dan hasilnya merupakan pengembalian
modal. Bila tidak dijual, maka kekayaan perusahaan dijual dan hasilnya menjadi
miliknya sebanding dengan banyaknya lembar saham yang dimilikinya.
Modal atau kekayaan bagi lembaga nirlaba yang berbentuk yayasan adalah bagian
kekayaan dari seseorang yang dipisahkan menjadi milik yayasan ketika
pendiriannya. Sejalan dengan kegiatan yayasan, pendiri tidak diperkenankan
memperoleh bagian surplus operasi atau meminta kembali modal yang sudah
disetornya semula.
2. Pendapatan.
Perusahaan memfokuskan diri pada usaha penciptaan pendapatan (generating
income) dengan menggunakan sumber daya yang ada (hartanya). Pendapatan yang
diperoleh bisa berasal dari kegiatan yang memang sudah direncanakan untuk
diterjuni atau bahkan datang dari sumber lain yang tidak direncanakan
sebelumnya. Pendapatan usaha dan pendapatan lain merupakan komponen dari
pendapatan perusahaan.
Pendapatan pada lembaga nirlaba bervariasi jauh lebih luas. Pada dasarnya
lembaga nirlaba memiliki pendapatan yang harus dikategorikan berdasarkan ada
tidaknya pembatasan atau restriksi dari sumber pendapatan itu sendiri. Sumber
pendapatan bagi lembaga nirlaba dapat dibagi atas :
 Pendapatan tanpa pembatasan atau tidak terikat misalnya pendapatan
dari unit usaha komersial yang dimiliki, pendapatan dari sumbangan
yang tidak mengikat, penjualan aset dan sejenisnya, pendapatan dari
hasil investasi.
 Pendapatan dengan pembatasan permanen. Misalnya pendapatan
berupa hibah atau grant yang diperoleh dengan mengirimkan proposal

7
kegiatan yang direncanakan. Bila grant diperoleh, maka harus digunakan
sesuai dengan program yang tercantum dalam proposal tadi.
 Pendapatan dengan pembatasan sementara atau temporer. Misalnya
diperoleh dari sumbangan untuk program tertentu, ketika sudah lewat
waktu masih tersedia dananya, maka dapat dialihkan ke kegiatan lain.
Modul ini mencoba menyumbangkan referensi bagi pengelolaan lembaga nirlaba dalam
aspek penguatan (strengthening) kapasitas lembaga. Salah satu komponennya adalah
manajemen keuangan (financial management) lembaga. Manajemen sumber daya
keuangan lembaga memampukan lembaga mempraktekkan aspek transparansi dan
akuntabilitas. Demikian juga aspek pengelolaan yang baik (good governance) sebagai
wujud pertanggungjawaban lembaga kepada stakeholdersnya, dimana masyarakat
termasuk didalamnya.
Manajemen keuangan yang efektif sendiri bagi lembaga dapat berkontribusi dalam
hal:
 Efektifitas pencapaian misi lembaga
 Efisiensi penggunaan sumber daya.
 Pengamanan aset lembaga yang merupakan aset publik.
 Pengembangan dan pertumbuhan lembaga lewat peningkatan sumber dana
mandiri.
Modul ini ditujukan bagi praktisi-praktisi keuangan lembaga nirlaba, termasuk jajaran
manajemen, trainer yang aktif dalam usaha penguatan kelembagaan. Tidak tertutup
juga bagi masyarakat luas yang berminat untuk mengembangkan kapasitas
lembaganya. Dengan cakupan pemakai yang demikian luas, diharapkan beberapa
bahasan yang tidak terlalu relevan dengan pengguna dapat diabaikan. Demikian juga
pembahasan yang terlalu detail, tidak perlu diikuti sampai ke perinciannya. Sebaliknya
bila terlalu umum dan membutuhkan penjelasan lebih rinci, dapat melanjutkannya
dengan referensi lain yang fokus pada bahasan tersebut. Dengan demikian modul ini
memang bertujuan sebagai bahan referensi untuk diadopsi sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
Untuk itu, materi yang disajikan disusun berdasarkan pendekatan proses. Artinya
urutan materi penyajian akan dimulai dari proses yang terjadi berdasarkan urutan
waktu dalam manajemen keuangan lembaga. Pada bab awal akan disajikan identifikasi
mengenai arus keuangan yang terjadi baik dalam periode satu tahun atau bahkan
setiap hari. Identifikasi mencakup pendapatan dan biaya. Dengan identifikasi atas arus

8
keuangan, maka pengguna dapat memahami lebih dahulu jenis-jenis pendapatan yang
mungkin diperoleh suatu lembaga nirlaba. Dengan pengenalan sumber pendapatan ini,
diharapkan pembaca dapat memahami jenis-jenis pendapatan yang dapat diraih oleh
lembaga nirlaba. Setelah itu, terkait dengan jenis-jenis pendapatan adalah biaya-biaya
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan. Seluruhnya berdasarkan jenis-
jenis pendapatan tadi. Dalam bagian ini pula akan dibahas problem atau masalah yang
mungkin terjadi dalam mengevaluasi arus pendapatan dan biaya.
Seluruh evaluasi dan analisa yang dibutuhkan dalam mengelola arus keuangan dan
pendapatan dapat dilakukan bila tersedia data atau informasi keuangan. Oleh
karenanya proses pengolahan data menjadi informasi keuangan yang berguna dibahas
berikutnya. Termasuk disini bahasan mengenai perangkat-perangkat yang diperlukan,
perbedaan antara pengolahan data keuangan untuk lembaga nirlaba dengan lembaga
komersial. Bahasan yang paling penting yang mencakup bahasan akuntansi adalah
pemahaman mengenai konsep akrual dan kas. Seperti diketahui konsep akrual
merupakan konsep yang dianjurkan digunakan dalam pelaporan dan transaksi namun
untuk memahami informasi yang dihasilkan dari konsep ini dibutuhkan pemahaman
mengenai bagaimana sebenarnya konsep ini berjalan.
Informasi dituangkan dalam bentuk laporan-laporan. Penerima, pemakai atau
pengguna laporan merupakan fokus utama dari penyajian laporan ini. Untuk itu
laporan dibedakan menjadi laporan yang disajikan untuk pihak eksternal lembaga
termasuk disini untuk memenuhi persyaratan atau kepatuhan hukum. Laporan yang
disajikan untuk pihak eksternal bisa berupa laporan pajak, laporan keuangan yang
mengacu pada PSAK nomor 45 dan laporan lain ke instansi pemerintah. Pengguna
laporan yang lain adalah internal lembaga. Untuk jenis ini format serta isi laporan
dapat bervariasi tergantung pada pemakainya. Oleh karena itu diberikan contoh
beberapa jenis laporan yang ditujukan untuk penggunaan internal.
Setelah laporan-laporan dihasilkan tentu diperlukan usaha untuk menterjemahkan
angka-angka yang ada agar dapat ditarik suatu kesimpulan. Upaya ini dilakukan lewat
analisa-analisa. Serangkaian metode analisa disajikan disini dimulai dari analisa
dengan menggunakan perbandingan-perbandingan untuk mendapatkan trend atau
kecenderungan. Lebih lanjut adalah analisa untuk menentukan berapa besar minimum
cost yang harus dipenuhi dalam operasional lembaga sehari-hari. Dengan adanya
gambaran ini diharapkan kegiatan penggalangan dana dapat memperoleh suatu acuan
besaran dana yang harus dipenuhi untuk menjaga kesinambungan gerak lembaga.

9
Pengelolaan keuangan lembaga akan bermuara pada uang kas. Bahasan tentang
manajemen uang kas akan dimulai dengan pembuatan proyeksi arus kas keluar dan
masuk. Proyeksi ini dibuat dari anggaran lembaga. Selain arus kas, diperlukan juga
penetapan jumlah uang kas yang minimum harus ada di rekening lembaga untuk
menjaga sekiranya proyeksi yang dibuat meleset. Keseluruhan proyeksi tentu harus
direview pada periode-periode tertentu untuk kemudian perubahan-perubahan yang
diperlukan dapat dibuat.
Untuk periode yang akan berjalan, maka perencanaan yang kuat adalah kunci menuju
ke arah pencapaian target. Perencanaan diwujudkan dalam bentuk proses atau sistem
penyusunan anggaran yang partisipatif dan anggaran yang fleksibel. Proses penyusunan
anggaran akan dibahas berdasarkan urut-urutan kerjanya, sehingga akan dicantumkan
pula kalender anggaran. Beberapa contoh atau format anggaran dibahas untuk
memberikan gambaran produk dari proses anggaran itu sendiri. Pada bagian akhir,
tentu saja proses revisi atau penyesuaian berkala harus dilakukan untuk menjaga agar
anggaran tetap mutakhir dan dapat dipakai sebagai panduan dalam menjalankan
operasi lembaga.
Terakhir, untuk menjamin bahwa seluruh mekanisme sistem dan prosedur yang
ditetapkan dijalankan serta mencapai tujuannya, maka pada bagian selanjutnya akan
dibahas mengenai pengendalian intern (internal control). Bahasan akan mencakup
tujuan, unsur unsur, ciri-ciri dari pengendalian intern lengkap dengan contoh internal
control pada area-area kegiatan tertentu.

10
BAB 2 ARUS KEUANGAN DAN AKUNTANSI

Bab ini akan dimulai dengan arus keuangan yang ada dalam suatu lembaga. Arus
keuangan yang akan dibahas mencakup pendapatan yang mungkin dapat diraih oleh
lembaga, pengeluaran yang terkait dengan upaya memperoleh pendapatan dan
pengelolaan biaya. Setelah arus pendapatan dan biaya, maka bahasan berikutnya
adalah tata cara atau metode-metode yang digunakan untuk melakukan pencatatan
atas seluruh transaksi tadi dan mengolahnya menjadi informasi. Pengolahan transaksi
merupakan proses yang berlangsung setiap hari. Sehingga tergolong pada kegiatan
pelaksanaan rencana lembaga. Untuk itu, akuntansi diperkenalkan untuk menghasilkan
laporan yang sesuai dengan standar pelaporan keuangan eksternal sebagaimana diatur
oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam akuntansi akan termasuk juga pembahasan
mengenai perangkat-perangkat kerja yang dibutuhkan seperti penjurnalan, buku besar
dan laporan yang dihasilkan.

2.1 ARUS KEUANGAN – PENDAPATAN DAN PENGHASILAN

Lembaga nirlaba memiliki potensi sumber dana yang lebih luas dibandingkan dengan
lembaga komersial. Dengan visi dan misinya, lembaga nirlaba dapat meraih
sumbangan/donasi atau hibah/grant dari individu atau lembaga lain yang sejalan dan
sepaham dengan visi lembaga. Disamping itu, lembaga juga tetap dapat meraih
pendapatan dari usaha komersial yang mencari keuntungan.
Perbedaan utama dari usaha komersial yang dilakukan adalah tujuan akhirnya.
Kegiatan komersial lembaga lebih ditujukan pada pemupukan sumber dana tambahan
agar lembaga dapat menjalankan program–program yang diinginkannya sendiri sesuai
dengan visinya. Untuk menjalankannya dibutuhkan dana. Tidak setiap lembaga dapat
memperoleh bantuan dari individu atau donor tadi untuk menjalankan misinya.
Disamping itu, jika ia memperoleh bantuan, belum tentu bantuan tadi akan diberikan
selamanya. Umumnya bantuan berupa sumbangan, hibah atau donasi diberikan secara
berkala. Artinya setelah bantuan selesai dalam periode yang ditentukan maka lembaga
harus kembali mencari dana untuk pembiayaan kegiatannya.
Seluruh sumber pendapatan merupakan penggerak program atau kegiatan lembaga.
Dengan adanya potensi pendapatan yang dapat direalisir,maka program dapat
dirancang untuk mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Atau sebaliknya,

11
rencana kegiatan ditetapkan terlebih dahulu, kemudian diperkirakan sumber dana
yang dibutuhkan. Dilanjutkan dengan realisasi pencarian dana (fund raising).
Urutan perencanaan arus keuangan lembaga tidaklah baku. Untuk lembaga yang baru
berdiri, maka sumber pendapatan akan memberikan pengaruh lebih banyak. Artinya
kegiatan yang akan dilakukan sudah ditetapkan namun cakupan besarannya tergantung
pada sumber pendapatan yang diperkirakan dapat diperoleh. Sehingga bila ternyata
pendapatan tidak memadai, maka lembaga hanya melakukan program yang minimum
dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan pencarian sumber dana.
Pada tahapan ini, lembaga berjuang untuk dapat membiayai program yang
direncanakan pada periode yang berjalan. Pada perjalanannya bukan tidak mungkin
program akan mengalami perubahan. Baik itu penambahan program maupun
pengurangan. Penambahan program disebabkan oleh perolehan dana hibah/grant yang
direalisir komitmennya pada periode berjalan. Jadi proposal pendanaan yang
dikirimkan memperoleh response positif dan lembaga memperoleh jaminan untuk
pendanaan program yang diusulkan. Pengurangan bisa terjadi ketika realisasi dari
sumber pendanaan tidak tercapai. Sehingga harus dilakuan pengurangan tingkat
kegiatan dengan risiko lembaga justru tidak memiliki kegiatan sebagai upaya
pencapaian tujuannya.
Dari hal diatas terlihat bahwa untuk lembaga yang baru berdiri maka fokus utama
dihabiskan pada upaya memperoleh sumber pendanaan. Disamping itu, program lebih
condong pada sumber pendanaan.
Kasus yang berbeda dihadapi oleh lembaga yang baru berdiri namun sudah memiliki
sumber pendanaan jangka panjang. Misalnya dengan perolehan dana abadi
(endowment fund) sehingga hasil dari dana tadi dapat menjamin pelaksanaan
program.
Dalam perjalanannya, lembaga yang sudah dapat memperoleh dana untuk programnya
harus berupaya menyisihkan sebagian dari dana tadi. Tujuannya untuk kelangsungan
(sustainable) keuangan lembaga. Dengan penyisihan baik berupa dan tunai, maupun
penyisihan dalam bentuk infrastruktur, maka keuangan lembaga dapat lebih terjamin
diperiode yang akan datang.
Penyisihan dari sebagian pendapatan lembaga untuk dana periode yang akan datang
dapat dilakukan dengan pembebanan margin keuntungan dari setiap pendapatan yang
diperoleh. Misalnya suatu lembaga yang memperoleh pendapatan berupa hibah/grant
dari lembaga donor. Penyisihan pendapatan dapat dilakukan dengan membebankan

12
persentase tertentu sebagai fee dalam usulan biayanya. Kebanyakan lembaga
mencantumkan maksimal 15% dari nilai kegiatan sebagai fee bagi lembaga tadi. Fee ini
berguna untuk menutupi biaya overhead lembaga periode berjalan dan untuk periode
yang akan datang.
Pada kenyataannya justru banyak lembaga donor yang tidak memperbolehkan lembaga
mencantumkan overhead fee atau institutional fee dalam usulan biaya program yang
dimintakan bantuannya. Mereka hanya akan membiayai kegiatan program yang terkait.
Dengan demikian, biaya penyelenggaraan kegiatan rutin lembaga harus disediakan
sendiri oleh lembaga. Misalnya lembaga donor tidak menyetujui biaya gaji direktur,
bagian keuangan dan administrasi untuk dicantumkan dalam biaya program, tetapi
mereka menyetujui biaya gaji staf program saja.
Untuk menyiasati hal ini, maka lembaga dapat menyisihkan pendapatannya dalam
bentuk investasi infrastruktur. Misalnya ketika usulan biaya program termasuk sewa
komputer untuk jangka waktu setahun. Biasanya harga sewa tadi sama besarnya
dengan harga pembelian komputer. Hal yang sama juga terjadi untuk sewa kendaraan,
sewa alat-alat kantor dan sebagainya. Lembaga dapat mengupayakan pembelian aset
tadi daripada menyewa. Tujuannya agar ketika program berakhir, lembaga sudah
memiliki aset tadi. Untuk usulan program periode yang akan datang tentu tidak lagi
dibutuhkan biaya sewa sehingga dengan dana yang sama dapat dilakukan program yang
lebih besar, karena hilangnya komponen sewa alat.
Kelestarian sumber dana lembaga dapat dicapai dengan pendirian unit usaha komersial
atau investasi. Lembaga yang memperoleh pendapatan dari usaha komersial harus
berupaya memperoleh keuntungan. Artinya setiap pendapatan yang diperoleh harus
lebih besar dari biaya perolehannya. Dengan demikian terdapat sisa usaha yang dapat
digunakan untuk menutupi biaya lembaga pada periode berjalan. Sepanjang usaha ini
merupakan usaha yang tetap memberikan keuntungan maka lembaga dapat
merencanakan kegiatannya dengan lebih baik karena sumber dana yang relatif stabil.
Dengan adanya unit usaha komersial, maka lembaga dapat mengharapkan keuntungan
dari kegiatan unit tadi. Selain lembaga ikut turut serta secara langsung mengelola,
maka cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan bagian kepemilikan saja. Dengan
cara ini lembaga tidak perlu secara langsung mengelola kegiatan komersial tadi sehari-
hari. Pada saat yang sudah ditetapkan lembaga dapat memperoleh bagian keuntungan
sesuai dengan porsi kepemilikan yang ada.

13
Lembaga yang sudah relatif stabil dapat menggeser porsi jenis-jenis pendapatannya
dari pendapatan yang relatif tidak pasti kearah pendapatan pasti. Pendapatan tidak
pasti adalah pendapatan yang berasal dari dana pihak lain seperti sumbangan,
hibah/grant. Pendapatan yang relatif tinggi tingkat kepastiannya adalah bagian
keuntungan dari usaha komersial yang dijalankan sendiri atau pembagian keuntungan
berdasarkan porsi kepemilikan. Selain itu pendapatan dari dana abadi (endowment
fund) dan dari hasil investasi lain merupakan sumber pendapatan pasti.
Tahapan berikut dari peroleh pendapatan lembaga adalah ekspansi atau perluasan.
Lembaga yang sudah memiliki sumber pendapatan yang relatif pasti dapat mulai
mengelola pendapatannya untuk tujuan perluasan kegiatan/usaha. Dengan sumber
dana yang tersedia dan kontinyu, maka biaya kegiatan dapat dikelola dengan efisien
sehingga terlihat surplus/defisit yang akan diperoleh. Bila surplus maka lembaga dapat
merancang program yang didanai dengan sumber dana mandiri seperti ini. Lembaga
dapat mempercepat pencapaian tujuan pendiriannya dengan tambahan dana ini.
Misalnya lembaga yang bergerak dibidang konservasi alam. Selain grant yang selaras
dengan program lembaga, maka hasil keuntungan dari unit usaha lembaga dapat
digunakan untuk lembaga merancang program tambahan yang didanainya sendiri. Akan
lebih baik jika kegiatan tadi komplementer dengan program lainnya.
Berikut ini jenis-jenis pendapatan yang merupakan sumber dana bagi lembaga dan
pengelolaannya. Bahasan akan mencakup aspek :
 perencanaan dan proyeksi cashflow dari sumber pendapatan ini,
 pelaporan, monitoring dan analisa pada periode-periode yang ditetapkan,
 teknologi yang terkait,
 problem-problem yang mungkin muncul serta solusi yang mungkin dapat
diterapkan.

2.1.1 Pendapatan dari Sumbangan

Sumbangan merupakan jenis pendapatan yang relatif masih sedikit dieksploitasi.


Sumbangan merupakan pendapatan yang didapat tanpa harus menyajikan suatu
balas jasa atau produk kepada pemberinya. Dengan demikian sumbangan adalah
murni merupakan niat baik dari pemberinya.
Sumbangan dapat diberikan oleh suatu badan maupun oleh individu. Demikian juga
komitmen pemberian sumbangan dapat berupa sumbangan yang insidental untuk
suatu kegiatan atau sumbangan reguler. Sumbangan insidental lebih banyak

14
ditemui saat ini pada banyak lembaga nirlaba. Padahal sumbangan dari yang
insidental sifatnya sulit untuk diproyeksikan kelanggengannya.
Perencanaan dan proyek pendapatan dari sumbangan relatif lebih sulit. Sumbangan
akan direalisir setelah melalui serangkaian usaha pendekatan dan sebagainya.
Disamping itu karena tidak adanya balas jasa yang mengikat maka komitmen
sumbangan itu sendiri belumlah jaminan bahwa sumbangan dapat direalisir
penerimaan uang kasnya.
Perencanaan dimulai dari daftar penyumbang potensial yang dapat dikontak.
Setelah kontak dimulai maka prospek atau kemungkinan perolehan sumbangan
dapat diestimasi baik waktu maupun besarannya. Setelah komitmen diperoleh
serta dana diterima, maka harus diupayakan komunikasi yang tetap terjalin
efektif. Pemberian informasi mengenai penggunaan sumbangan tadi dapat
memberikan sinyal kepada pemberinya bahwa dana yang diberikan telah dikelola
dengan bertanggungjawab. Transparansi pengelolaan dana serta akuntabilitas
penggunaan dana merupakan kata kunci yang dapat disampaikan kepada
penyumbang.
Pendekatan kepada calon potensial penyumbang merupakan bagian dari upaya
penggalangan dana. Tentu saja upaya ini memerlukan biaya. Untuk itu penting
untuk dilihat efektifitas upaya ini dengan cara melakukan pelaporan berapa besar
sumbangan dapat direalisir serta berapa banyak biaya untuk penggalangannya.
Efektifitas akan dapat dilihat dari realisasi penerimaan pendapatan sumbangan.
Sedangkan efisiensi perolehan pendapatan dapat dilihat dari perbandingan antara
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sumbangan dengan jumlah sumbangan
yang direalisir.
Sumbangan yang diterima, bila memang disebutkan dengan jelas tujuan
penggunaannya nanti oleh pemberinya, maka harus digolongkan sebagai
pendapatan dengan restriksi. Dengan demikian lembaga berkewajiban mengelola
serta menggunakan dana tadi hanya untuk kegiatan yang ditetapkan semula oleh
pemberinya atau oleh lembaga ketika mengajukan permintaan sumbangan.
Dalam kasus lain ketika pemberi tidak menyatakan secara spesifik dan jelas untuk
penggunaannya, maka lembaga dapat memutuskan tujuan serta cara pengelolaan
dana yang diterima tadi.

15
Kebijakan untuk pengelolaan pendapatan ini juga perlu ditetapkan. Dalam banyak
kasus sumbangan yang diterima harus dicermati sumbernya serta kesesuaiannya
dengan visi dan misi lembaga. Sumbangan dari perusahaan rokok untuk suatu
lembaga yang aktif dibidang pemberantasan penyakit pernafasan adalah suatu
kontradiksi yang perlu diatur dalam kebijakan lembaga. Demikian juga penerimaan
sumbangan dari seorang pengusaha penebangan liar kayu (illegal logging) kepada
lembaga yang aktif dibidang konservasi hutan perlu dicermati. Dengan demikian
manajemen lembaga perlu menetapkan suatu kebijakan mengenai sumbangan apa
saja yang boleh diterima dan sumbangan apa saja yang tidak boleh diterima.
Teknologi juga berperan penting dalam pengumpulan sumbangan. Salah satunya
adalah penggunaan teknologi berupa e-mail, SMS dan web-site. Lewat teknologi
dapat dijalin hubungan yang intensif dengan penyumbang sekaligus
menginformasikan kemajuan atau realisasi pencapaian program yang dibiayai.
Pemuatan laporan keuangan di web-site, ucapan terima kasih lewat SMS, e-mail
dan sebagainya merupakan upaya penggunaan teknologi untuk menjaga kontak
dengan para penyumbang.
Salah satu aspek teknologi yang berperan adalah pemberian akses yang
memudahkan calon penyumbang untuk menyampaikan sumbangannya. Untuk itu,
perlu dipikirkan upaya untuk memberikan kemudahan berupa transfer antara
rekening lewat ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Dengan demikian niat menyumbang
dapat direalisir tanpa harus mengeluarkan usaha yang banyak. Tentu berbeda jika
lembaga mencantumkan bahwa sumbangan dapat dikirim ke alamat tertentu.
Teknis penyampaiannya menjadi lebih sulit karena harus mengantarkan ke alamat
yang belum tentu berjarak dekat. Demikian juga untuk sumbangan yang kerap
disebutkan harus ditujukan ke rekening bank tertentu. Tentu diperlukan upaya
khusus untuk pergi ke bank dan melakukan transfer. Dikhawatirkan upaya
tambahan ini membuat penyumbang menyurutkan niatnya. Dengan demikian harus
diusahakan suatu metode penyampaian sumbangan yang mudah bagi calon
penyumbang.
Setelah komitmen diperoleh untuk periode ini, maka sumbangan umumnya tidak
selalu kontinyu. Bisa terjadi perubahan baik jumlah maupun frekuensi pemberian
sumbangan dari periode yang satu ke periode lainnya. Dengan demikian problem
dalam mengelola pendapatan yang berasal dari sumbangan adalah kontinuitas dan
kepastian. Karena sifatnya yang rentan terhadap fluktuasi serta perubahan,maka

16
sebaiknya suatu lembaga tidak menjadikan sumber pendapatan ini sebagai sumber
utama penggerak program atau kegiatannya. Dengan tingkat realisasi yang sulit
diprediksi, maka program yang direncanakan memiliki kemungkinan terealisir atau
tidak terrealisir yang tinggi.
Khusus untuk kasus Indonesia, nampaknya sumbangan kepada lembaga nirlaba
masih merupakan sumber dana yang sulit untuk diharapkan. Banyak faktor yang
menyebabkannya. Dari sisi lembaga sendiri transaparansi dan akuntabilitas menjadi
masalah. Ditambah dengan masyarakat yang hidup dengan tingkat ketidakpastian
pendapatan yang relatif tinggi. Sehingga bila ada pendapatan lebih perilaku yang
wajar adalah mengumpulkan tabungan sebanyak-banyaknya, terkait dengan
ketidakpastian tadi. Implikasinya, perencanaan sumber pendapatan lembaga
nirlaba harus lebih realistis dengan memperhitungkan faktor lingkungan seperti ini.

2.1.2 Pendapatan dari Grant/Hibah

Mengingat grant/hibah diberikan berdasarkan proposal, maka pendapatan ini


tergolong pendapatan dengan pembatasan (restricted) karena dana hanya boleh
digunakan untuk program yang diusulkan dalam proposal permohonan grant/hibah.
Selain lembaga dana asing, tersedia juga grant/hibah dari lembaga–lembaga dana
lokal dan pemerintah. Namun besaran serta cakupannya masih terbatas. Selain
LSM, maka bentuk lembaga nirlaba lainnya masih relatif jarang mendapatkan
sumber pendanaan grant/hibah. Kalaupun ada, hal itu didapat dari hubungan antar
institusi daripada kompetisi.
Policy atau kebijakan untuk pencarian sumber pendapatan dari grant dapat
ditetapkan sejak awal. Misalnya dengan menyatakan bahwa lembaga akan
membebankan 10% dari total biaya pelaksanaan program yang dibiayai grant/hibah
sebagai institutional fee. Tujuannya agar lembaga dapat memupuk pendapatan
bagi kelangsungannya. Selain besaran fee, maka mekanisme pendanaan kas juga
perlu ditetapkan. Artinya, grant/hibah yang diperoleh tentu memerlukan dana kas
untuk dimulai. Oleh karena itu, lembaga dapat menetapkan bahwa untuk setiap
grant/hibah yang diperoleh, maka pemberi dana akan memberikan pembayaran
dimuka sebesar persentase tertentu. Hal ini penting untuk ditetapkan karena bila
lembaga tidak memiliki cadangan dana tunai, sedangkan grant/hibah yang
diperoleh juga tidak memberikan uang muka, maka ada kemungkinan kegiatan

17
tidak dapat berjalan. Sehingga dipandang perlu untuk ditetapkan bahwa lembaga
mensyaratkan penerimaan uang muka sebelum suatu grant/hibah dijalankan.
Kebijakan lain yang dapat diputuskan adalah fokus. Artinya kebijakan lembaga
dalam pengiriman proposal harus jelas. Apakah lembaga akan mengirimkan
proposal untuk seluruh kegiatan sepanjang kesempatan untuk memenangkan
grant/hibah terbuka, atau justru fokus. Proposal hanya akan dikirimkan untuk
grant/hibah yang programnya sesuai dengan kompetensi serta visi dan misi
lembaga. Dengan demikian, lembaga tidak akan melakukan program dari A sampai
Z yang bahkan tidak sejalan dengan keahlian yang dimiliki oleh lembaga.
Perencanaan arus kas dari sumber grant/hibah tergantung pada dua hal. Pertama,
jadwal penetapan apakah grant diterima atau tidak. Kedua jadwal pelaksanaan
program. Lembaga-lembaga pemberi dana hibah atau grant umumnya memiliki
jadwal pemasukan proposal, penelitian hingga penetapan diterima tidaknya
proposal dari para pengaju. Untuk itu perencanaan arus kas harus
memperhitungkan jadwal penetapan ini plus tenggang waktu untuk penyelesaian
dokumen administrasi seperti penandatanganan grant letter, penyampaian
dokumen pendukung lain dan sebagainya. Jadwal ini diproyeksikan cenderung lebih
lambat dibanding lebih cepat. Artinya jika suatu lembaga menetapkan
pengumuman grant/hibah dilakukan bulan Juni dan dibutuhkan satu bulan untuk
finalisasi dokumen, maka proyeksi arus kas masuk lembaga sebaiknya dilakukan
justru pada bulan Agustus. Lebih cepat dari Juni jelas tidak realistis.
Arus kas keluar berupa biaya program juga demikian. Penyesuaian akan dilakukan
berupa pengeluaran yang akan dilakukan bulan sesudah penandatanganan grant
letter.
Teknologi dapat berperan dalam perolehan sumbangan dari grant berupa
pencantuman profil lembaga serta track record yang memadai di web-site
lembaga. Demikian juga data base yang dibangun dapat diajukan sebagai bahan
pembuatan proposal sedemikian hingga proposal merupakan kegiatan yang
berkelanjutan dimulai dari data base yang sudah dibangun. Demikian juga program
yang merupakan replikasi dari program yang sudah pernah dilakukan dapat
didokumentasikan dengan teknologi yang memadai sehingga nampak impresif.
Grant/hibah juga mengandung problem tersendiri yaitu kontinuitas. Hampir
seluruh grant/hibah diberikan untuk kegiatan yang sudah ditetapkan dan
kontinuitas pada periode berikutnya tidak terjamin. Akibatnya lembaga jadi sulit

18
untuk mendisain program yang berkesinambungan karena ketidakpastian
pendanaan dimasa depan. Hal ini dapat terlihat dari lembaga-lembaga yang aktif
dibanyak sektor meskipun bukan kompetensinya. Motivasinya jelas yaitu tidak
menyia-nyiakan grant/hibah yang tersedia meskipun diluar cakupan wilayah kerja
atau kompetensi lembaga itu sendiri.
Disamping kontinuitas, grant/hibah juga umumnya tidak diberikan untuk dukungan
operasional rutin. Artinya lembaga hanya boleh memasukkan biaya-biaya yang
terkait dengan program. Biaya-biaya administrasi lembaga tidak akan didukung
dalam grant/hibah. Akibatnya lembaga harus memiliki sumber dana lain untuk
menutupi biaya operasional kantor.
Untuk masalah yang pertama, lembaga akan dapat mempertahankan pendapatan
jika upaya pengiriman proposal dan pengumpulan informasi mengenai sumber dana
dilakukan dengan kontinyu. Untuk itu tepat kiranya jika lembaga menugaskan staf
khusus untuk upaya pencarian dana grant/hibah.
Grant/hibah yang tidak diberikan untuk dukungan operasional rutin dapat disiasati
dengan pemupukan cadangan berupa pengenaan institutional fee. Cara lain adalah
pembelian aktiva tetap untuk budget yang tersedia untuk sewa. Tujuannya agar
pada proposal yang akan datang, biaya sewa dapat ditekan seminimal mungkin
karena lembaga sudah memiliki infrasruktur berupa aktiva tetap.

2.1.3 Pendapatan dari Iuran Anggota

Pendapatan dari iuran anggota lembaga merupakan sumber pendapatan yang masih
relatif jarang di Indonesia, terlebih anggota individual. Umumnya lembaga yang
mengandalkan iuran anggota masih terbatas pada organisasi profesi, alumni, klub
olah raga, seni dan sejenisnya. Lembaga nirlaba berbentuk LSM masih sangat
jarang yang memiliki pendapatan dari iuran anggotanya.
Iuran anggota diperoleh dari pembangunan basis anggota. Untuk membangunnya
diperlukan suatu usaha menjalin kesamaan antara calon anggota yang berminat
dengan visi lembaga itu sendiri. Iuran kemudian dapat dikenakan sebagai sumber
pendapatan untuk membiayai kegiatan lembaga.
Kesulitan utama dalam memperoleh iuran anggota lebih kepada penggalangan
keanggotaannya. Masih banyak lembaga yang tidak memiliki basis anggota.
Lembaga yang merupakan persatuan profesi serta diberi otoritas oleh pemerintah
tentu tidak sulit mengenakan iuran kepada anggotanya. Karena anggotanya yang

19
datang ingin menjadi anggota dengan harapan memenuhi ketentuan-ketentuan
profesinya. Misalnya untuk akuntan, maka ia akan berusaha bergabung ke
organisasi profesinya yaitu Ikatan Akuntan Indonesia. IAI memberikan fasilitas
kepada anggotanya berupa penyelenggaraaan ujian profesional. Sehingga mereka
harus terdaftar lebih dahulu untuk mendapatkan informasi, akses ke data base soal
dan sebagainya. Ketika bergabung lembaga dapat mengenakan iuran keanggotaaan.
Kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan pendapatan dari iuran anggota
relatif sedikit. Kemungkinan besar jenis-jenis keanggotaan serta besaran iuran
yang perlu ditetapkan. Disamping itu juga diperlukan penetapan mengenai
mekanisme untuk mengikat anggota lewat komunikasi antara lembaga dengan
anggota. Tujuannya agar loyalitas anggota terbentuk dan kontinuitas pendapatan
dapat lebih tinggi.
Teknologi sangat diperlukan dalam mekanisme pengumpulannya. Lembaga harus
pro-aktif dan agresif dalam pengumpulan iuran ini. Karena anggota umumnya
menginginkan cara pembayaran yang mudah dan murah. Beberapa opsi teknologi
dapat digunakan seperti pembayaran lewat web-site, ATM, transfer serta banyak
lagi cara lainnya. Teknologi juga harus digunakan dalam penggalangan anggota.
Pesan otomatis untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke anggota dapat
dihasilkan dengan teknologi yang ada. Sedemikian hingga terjalin komunikasi dua
arah antara lembaga dengan anggotanya. Demikian juga update web-site lembaga
sesering mungkin dengan tetap menjaga kemutakhiran isinya. Sehingga anggota
akan sering berkunjung ke web lembaga dan memperoleh informasi terkini
mengenai aktifitasnya. Aktifnya pergerakan informasi akan dibaca oleh anggota
lewat web-site dan memberikan pesan bahwa lembaga aktif melakukan kegiatan,
sehingga iuran yang dibayarkan tidaklah sia-sia.

2.1.4 Penghasilan dari Pelayanan Program

Lembaga dapat memperoleh penghasilan dari program yang dijalankannya. Untuk


lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, pelatihan kejuruan, maka sumber
penghasilan dari programnya merupakan sumber penghasilan utama. Dengan
menerapkan tarif tertentu, maka setiap peserta harus membayar dan secara
langsung merupakan penghasilan lembaga.

20
Dengan melihat bagaimana lembaga memperoleh penghasilan dari pelayanan
programnya, maka penghasilan ini tergolong dalam jenis penghasilan tanpa
restriksi atau tidak terikat. Penghasilan ini bebas digunakan oleh lembaga untuk
tujuan yang ditetapkan oleh manajemen lembaga. Jadi bukan oleh pemberi
penghasilan.
Sebelum sumber penghasilan ini ditetapkan, maka lembaga selayaknya
menentukan suatu kebijakan atau arahan umum. Arahan ini diperlukan ketika
pengembangan program terjadi. Kebijakan yang ditetapkan dapat berupa
kebijakan yang bersifat finansial. Misalnya, untuk meningkatkan penghasilan maka
harus diusahakan pelaksanaan program sesering mungkin. Lembaga pendidikan
akan berusaha membuka kelas sebanyak-banyaknya. Kebijakan diperlukan untuk
mengontrol agar tidak semua macam kelas dibuka. Harus memperhatikan visi serta
misi awal pendirian lembaga. Sehingga meskipun pasar tersedia, namun tetap
harus diingat pencapaian tujuan organisasi. Kasus yang lain terjadi untuk lembaga
yang bergerak di bidang kesehatan. Dengan memungut tarif untuk pasien yang
berkunjung maka lembaga mendapatkan penghasilan. Kebijakan diperlukan untuk
mengatasi masalah ketika orang miskin datang untuk berobat namun tidak memiliki
uang. Secara singkat kebijakan bisa berupa arahan finansial dan juga etika. Semua
ini diperlukan agar lembaga tidak mencurahkan energinya hanya semata-mata
memupuk penghasilan sebanyak-banyaknya.
Perencanaan serta proyeksi cashflow untuk sumber penghasilan ini tidak berbeda
dengan yang terjadi di lembaga komersial. Arus kas ditentukan oleh kecepatan
serta efisiensi penagihan atau pengumpulannya. Oleh karena itu untuk
memperkuat arus kas diperlukan prosedur yang baku mengenai bagaimana proses
menghasilkan uang kas harus dilakukan. Misalnya, pada lembaga pendidikan. Dalam
proses registrasi sudah ditetapkan bahwa peserta pelatihan harus membayar
sebelum kelas dimulai. Dengan demikian penghasilan dapat direalisir secepatnya.
Demikian juga pada lembaga konservasi yang kerap diundang untuk suatu pelatihan
atau rapat kerja. Perlu ditetapkan bagaiman mekanisme penagihan yang harus
dilakukan. Bisa berupa pemberian uang muka atau bisa juga kebijakan bahwa
sebelum dibayar lunas maka lembaga tidak akan mengirimkan trainernya.
Selain perencanaan penerimaan, jangan juga dilupakan biaya. Karena sumber
penghasilan ini juga memerlukan biaya untuk menghasilkan jasanya, maka
perkiraan biaya yang akan timbul juga harus dilakukan terpadu. Termasuk biaya-

21
biaya berupa alokasi waktu staf, ruang, biaya korespondensi, biaya iklan hingga
biaya penyediaan jasa itu sendiri.
Pada lembaga yang memiliki banyak sumber penghasilan jenis ini, maka
pelaporannya menjadi penting. Bagian keuangan harus segera mengumpulkan serta
mengolah data-data mengenai penerimaan penghasilan ini, tagihan-tagihan yang
masih ada serta analisa pencapaian penghasilan dibandingkan dengan yang
direncanakan.
Analisa pencapaian penghasilan ini senantiasa harus diperbaharui dengan berdiskusi
secara intensif dengan program masing-masing. Tentu akan lebih bermanfaat jika
program dibantu dengan data pencapaian penghasilan dari pelayanan program yang
dilakukan secara historis.
Misalnya dari banyak jenis pelatihan yang sudah dilakukan lembaga, bagian
keuangan dapat memberikan informasi mengenai jenis pelatihan yang memberi
keuntungan paling besar bagi lembaga.

Teknologi yang dapat digunakan untuk mempermudah realisasi penerimaan antara


lain dengan kemudahan bagi calon pelanggan atau calon pengguna jasa dalam
berkomunikasi. Kemudahan ini dapat didukung dengan teknologi internet
(pendaftaran lewat web-site, iklan jasa di web-site, mailing list dsb),
telekomunikasi (telefon, fax). Pada pokoknya teknologi dapat berperan dalam
perolehan penghasilan dari program yang dilakukan lembaga.

Masalah klasik dalam perolehan penghasilan ini adalah pengumpulan dana kas. Dari
banyak jasa yang sudah disajikan kepada pelanggan atau klien, maka pengumpulan
pembayaran tidak selalu mulus. Banyak kasus yang menggambarkan betapa
pengumpulan hasil jasa tadi menjadi masalah yang penting untuk dihindarkan.
Pengumpulan hasil dari penyajian jasa dengan demikian harus diusahakan secepat
mungkin. Bila mungkin tunai, artinya ketika jasa program disajikan, maka pada
saat yang sama dana kas diperoleh. Bila tidak dimungkinkan tunai maka usahakan
untuk mengalokasikan energi lembaga untuk proses penagihan serta pengumpulan
pembayaran. Penagihan serta pengumpulan pembayaran hanya dapat dilakukan
berdasarkan data hasil analisa status tagihan. Dengan demikian bagian keuangan
harus memproduksi data ini secara reguler dan ditindaklanjuti dengan penagihan.

22
Masalah lainnya adalah kesesuaian antara penghasilan dengan biaya program.
Meskipun sudah diperoleh penghasilan, namun besaran biaya yang dikeluarkan juga
harus dipertimbangkan. Banyak lembaga yang dapat melakukan programnya
dengan baik, penghasilan diperoleh dari programnya namun justru mengalami
defisit besar. Hal ini disebabkan tidak adanya kontrol atas biaya yang aktual
dikeluarkan dan yang lebih penting adanya analisa mengenai perbandingan
penghasilan yang diperoleh dengan biaya yang riil dikeluarkan.

Untuk mengatasinya sebelum suatu jasa disajikan, maka perhitungan mengenai


potensi penghasilan serta biaya yang harus dikeluarkan haruslah dilakukan.
Tentunya program akan dilakukan bila hasil proyeksi penghasilan lebih besar dari
biaya. Dalam kaitan dengan proyeksi biaya, jangan dilupakan biaya-biaya tidak
langsung yang dikeluarkan oleh lembaga. Dengan demikian penghasilan akan
ditandingkan dengan biaya yang komprehensif. Misalnya untuk suatu jasa
konsultansi yang diberikan kepada pemakainya, harus juga diperhitungkan selain
waktu yang dihabiskan oleh konsultan lembaga, juga biaya lain seperti biaya
transportasi, komunikasi, surat-menyurat dan tenaga bantuan untuk menyiapkan
bahan-bahan.

2.1.5 Pendapatan dari Usaha Komersial

Lembaga nirlaba mempunyai peluang untuk memperoleh penghasilan lewat usaha


komersial. Pengertiannya mungkin sedikit berbeda. Dengan usaha komersial,
lembaga memperoleh penghasilan dalam bentuk pembagian laba. Dengan kata lain,
penghasilan usaha dan biaya usaha harus diperhitungkan lebih dulu. Bila ternyata
dihasilkan laba, maka laba tadi yang menjadi penghasilan bagi lembaga nirlaba.
Penghasilan dari bagian laba ini dimungkinkan kalau lembaga menginvestasikan
dananya dalam bentuk kepemilikan di usaha komersial. Misalnya suatu lembaga
nirlaba memiliki dana lebih yang diinvestasikan dalam bentuk unit usaha komersial.
Maka penghasilan bagi lembaga hanya diperoleh ketika unit usahanya menghasilkan
laba komersial. Jadi lembaga nirlaba tetap bergiat tidak untuk mencari laba,
namun sebagai salah satu sumber penghasilan bisa diperoleh dari bagian laba pada
unit usaha komersialnya.

23
Kebijakan yang perlu ditetapkan dalam menggali sumber penghasilan jenis ini
antara lain :
 Jenis usaha komersial dimana investasi lembaga akan ditempatkan.
 Risiko.
 Besaran penghasilan yang ditargetkan.
 Pembagian tugas atau pengelolaan yang terpisah.

Jenis usaha komersial yang akan dikelola tentu menyangkut kesesuaian dengan visi,
misi serta tujuan lembaga. Paling tidak bukanlah merupakan usaha komersial yang
kontradiktif apalagi yang kontroversial. Dengan demikian, jenis usaha dapat
ditetapkan berdasarkan ukuran-ukuran etika, kepantasan dan tujuan lembaga.
Jenis usaha yang melanggar hukum positif, melanggar kepantasan tentu patut
dihindari meskipun memberikan penghasilan yang besar.

Terkait dengan jenis usaha adalah risiko. Sebagai instrumen investasi, usaha
komersial merupakan upaya pelebaran penghasilan agar lembaga lebih kokoh
secara keuangan. Dengan demikian risiko dari usaha harus diperhitungkan dengan
matang dengan mempertimbangkan tujuan diatas. Risiko yang tinggi selayaknya
tidak diambil karena sumber daya lembaga terbatas untuk mengelolanya.
Disamping itu, unit komersial diharapkan memberi tambahan penghasilan bagi
lembaga, oleh karenanya kepastian adanya kontribusi keuntungan lebih
diutamakan daripada besarnya kontribusi itu sendiri.

Bagian keuntungan dari unit usaha ini menjadi penghasilan lembaga. Penghasilan
itu sendiri merupakan sumber pembiayaan bagi kegiatan yang direncanakan. Untuk
itu, setiap penganggaran kegiatan, maka besaran kontribusi dari unit komersial ini
seharusnya ditetapkan. Dengan adanya target maka proses perencanaan kegiatan-
kegiatan dapat dilakukan dengan lebih baik. Termasuk pertimbangan risiko tidak
tercapainya jumlah penghasilan yang diharapkan. Rencana kegiatan dapat disusun
berdasarkan scenario-skenario yang kemungkinan terjadi. Skenario juga
memperhitungkan kemungkinan bagian keuntungan dari unit komersial ini.

Kebijakan yang terpenting adalah pemisahan pengelolaan unit komersial dengan


program lembaga. Pemisahan secara tegas dapat dilakukan lewat pembagian tugas

24
dan tanggung-jawab. Sehingga kegiatan komersial dapat berjalan tanpa
keterlibatan dari lembaga dalam operasionalnya sehari-hari. Pemisahan ini penting
dilakukan karena bila tidak dipisahkan dapat muncul kerancuan tentang
penggunaan sumber daya lembaga. Staf keuangan yang juga mengurusi usaha
komersial lembaga selain keuangan program akan sulit mengalokasikan waktu ke
program atau unit komersial. Dengan demikian pembebanan biaya yang tidak
akurat dapat memberikan gambaran yang salah mengenai kinerjanya. Bila ia
membebankan ke program lembaga, maka usaha komersial terlihat memberikan
keuntungan besar, karena tidak dikenakan biaya tenaga kerja yaitu bagian
keuangan. Sebaliknya, bila dibebankan ke program, maka manfaat yang diperoleh
program dari staf ini tidak maksimal, karena ia mengerjakan pekerjaan unit
komersial juga sehari-hari. Akibatnya, program akan berjalan dengan biaya
adminsitrasi yang tinggi namun manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumber
daya lembaga tadi tidak maksimal.

Pengelolaan usaha komersial yang terpisah dengan tegas juga terkait dengan
akuntabilitas lembaga. Dalam kaitannya dengan sumber dana lain seperti
sumbangan dan grant/hibah, maka usaha komersial seringkali dengan cepat
ditafsirkan sebagai usaha utama. Dengan kata lain pemberi sumbangan atau
grant/hibah akan berpikir bahwa dana yang diberikan digunakan sebagai ‘modal’
usaha komersial. Dengan pengelolaan yang terpisah, maka anggapan tadi dapat
dijawab dengan baik.

Perencanaan arus uang masuk dari sumber penghasilan ini tergantung pada
kebijakan yang ditetapkan. Lembaga dapat memperoleh penghasilan dari bagian
keuntungan pada periode-periode yang ditetapkan manajemen lembaga, misalnya
setiap kuartal, semester atau bahkan setahun sekali. Dengan dasar kebijakan tadi,
dapat direncanakan arus uang keluar dari program.

Teknologi dapat berperan dalam pemisahan fungsi atau dokumentasi kegiatan


usaha komersial dan kegiatan program lembaga sendiri. Dengan teknologi berupa
penggunaan software, maka pemisahan dokumen tadi dapat dilakukan tanpa harus
menggunakan komputer yang berbeda. Software akuntansi yang beredar umumnya
menggunakan fasilitas multi company. Artinya dengan software yang sama dapat

25
dijalankan program akuntansi untuk beberapa lembaga, bahkan dengan konfigurasi
perkiraan (account) yang berbeda. Sehingga terlihat seperti produksi berbagai jenis
laporan untuk berbagai lembaga dari data masing-masing lembaga. Penggunaan
teknologi tentu dapat mengefisienkan penggunaan sumber daya manusia.

Problem yang kerap dialami dari pengelolaan sumber dana dari usaha komersial
adalah permodalan serta pengelolaan usaha. Permodalan terkait dengan besaran
dana yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha komersial. Kerapkali penyisihan
sebagian dari surplus program tidak dapat dilakukan karena surplus tidak
senantiasa terjadi dan bila ada kemungkinan jumlahnya tidak signifikan.

Pengelolaan usaha mengalami masalah yang berbeda. Kompetensi pengelolaan


menjadi kendala, karena lembaga memiliki sumber daya yang tidak kompeten.
Kompetensi ini dapat berakibat fatal. Dimulai dari penentuan jenis kegiatan
komersial, kompentensi yang dangkal mengakibatkan pemilihan yang salah.
Ketidakpahaman mengenai bisnis tertentu akan berakibat fatal ketika bisnis tadi
dipilih sebagai alternatif usaha dan berlanjut dengan pengelolaan dalam
operasional sehari-hari. Bisa jadi bisnis yang dipilih sudah benar dan memang
feasible. Namun pengelolaan sehari-hari yang tidak sesuai dengan kaidah bisnis
dapat membuat bisnis tidak berkembang, merugi dan bahkan bangkrut. Sekali lagi
pentingnya pemisahan fungsi dan pengelolaan usaha komersial dari kegiatan
program lembaga agar pengelolaan fokus dan tujuan tercapai yaitu usaha komersial
memberikan kontribusi penghasilan kepada penghasilan lembaga.

Berbagai cara untuk mengatasi problem diatas. Permodalan dapat diatasi dengan
mengadopsi prinsip bisnis yang umum. Misalnya dengan menggadaikan rumah atau
hak milik atas properti lembaga ke bank untuk mendapatkan pinjaman. Dengan
pinjaman dapat dimulai suatu unit komersial. Tentu saja sepanjang kelayakannya
secara bisnis dapat diuji.

Dengan adanya pemisahan maka pengelolaan harus diserahkan kepada orang yang
kompeten. Dengan kata lain, pengelolaan usaha komersial dapat saja mengangkat
orang lain yang memang ahlinya. Konsekuensinya, manajemen lembaga tidak ikut
campur dalam proses kegiatan sehari-hari. Tetapi pengangkatan demikian juga

26
harus disertai dengan tanggungjawab serta target yang jelas. Diantaranya tujuan
dari didirikannya unit komersial tadi, yaitu untuk menyumbangkan penghasilannya

Bila unit komersial dapat berjalan dengan arus kas yang terpisah dengan arus kas
lembaga, maka hal ini memudahkan pemisahan kegiatan. Dengan demikian terjadi
pemisahan entitas, kegiatan serta sumber dana. Namun bila ternyata masih
menggunakan arus kas lembaga, maka proyeksi arus kas baik masuk maupun arus
kas keluar harus memperhitungkan kegiatan komersial tadi. Tentu saja
kompleksitas proyek arus kas meningkat drastis menjadi lebih rumit.

Unit komersial tidak selalu berskala besar. Skala usaha bisa dimulai dari
pemanfaatan sumber daya lembaga yang tersisa. Misalnya ketika lembaga memiliki
unit kerja percetakan, maka hal ini dapat diperluas dengan juga menerima order
cetakan dari luar lembaga. Tujuannya agar mesin cetak tetap dapat berjalan dan
menghasilkan penghasilan, terutama ketika sedang tidak ada kegiatan mencetak
dari lembaga. Begitu juga pemanfaatan mesin fotocopy, area atau halaman dari
kantor lembaga yang bisa disewakan untuk toko bagi umum. Banyak peluang-
peluang untuk mendapatkan penghasilan dari usaha komersial. Fokus lembaga
memang bukan kesana, namun pemanfaatan peluang bila memang ada harus
dipertimbangkan. Unit usaha komersial bila dikelola dengan baik bisa menghasilkan
penghasilan tambahan bagi lembaga. Pada sisi yang lain bisa meningkatkan utilitas
atau tingkat penggunaan sumber daya lembaga.

2.1.6 Penghasilan dari Bunga, Royalty, Dividen dan sebagainya

Penghasilan yang bersumber dari bunga, royalty, dividen dan sejenis pada dasarnya
merupakan capital income. Artinya penghasilan ini merupakan hasil dari suatu
modal atau kapital yang dimiliki. Dengan demikian, untuk memaksimalkan
penghasilan jenis ini, maka fokus dari usaha manajemen adalah mengumpulkan
kapital atau modal yagn sebesar-besarnya. Dengan kapital yang besar akan
diperoleh penghasilan yang lebih besar. Misalnya untuk tetap dapat memperoleh
penghasilan dari bunga deposito, maka lembaga harus tetap memelihara sejumlah
dana dalam bentuk deposito.

27
Tidak semua lembaga memiliki kapital atau dana yang besar yang dapat dikelola
untuk menghasilkan penghasilan. Pada beberapa lembaga, mereka dikaruniai
endowment fund atau dana abadi sehingga hasil dari investasi dana abadi
tersebutlah yang digunakan untuk membiaya operasional dan program lembaga.
Kondisi yang demikian tentu sangat ideal karena kontinuitas program akan terjaga
dan lembaga dapat dengan leluasa menjalankan program bahkan program jangka
panjangnya. Akan tetapi sekali lagi tidak banyak lembaga yang memiliki hal ini.

Terlepas dari berapa besar modal atau kapital yang dimiliki, pengelolaan arus kas
masuk yang berasal dari penghasilan bunga, royalty, dividen dan sejenisnya lebih
ditujukan pada pemupukannya. Artinya bila lembaga memiliki potensi untuk
mendapatkan bunga atau royalty, maka sudah seharusnya potensi tadi direalisir.
Investasi atas uang kas berlebih dalam jangka pendek merupakan salah satu contoh
upaya penggalanangan sumber penghasilan bunga.

Issue-issue penting yang harus dibahas sebelum lembaga merencanakan


penghasilan jenis ini adalah review atas status keuangan lembaga. Bila
dimungkinkan untuk melakukan investasi, maka kemungkinan itu didukung dengan
informasi yang akurat. Demikian juga bila diperoleh kesempatan untuk
memperoleh dividen dari penyertaan lembaga pada perusahaan komersial, maka
lembaga harus menganalisa data keuangan yang tersedia. Setelah potensi dapat
diidentifikasi, maka risiko yang terkait dengan upaya mengembangkan dana tadi
juga harus diperhitungkan. Lembaga tidak memiliki kompetensi dan energi untuk
mengelola atau mengembangkan modal atau kapital yang ada guna menghasilkan
penghasilan. Untuk itu harus dipilih alternatif risiko yang rendah. Pada pilihan
instrumen investasi, risiko menjadi kata kunci yang penting dalam proses
pemilihannya.

Pelaporan tentang penghasilan dari sumber ini disampaikan reguler dan berisi
tentang realisasi penghasilan dibandingkan dengan rencana semula. Laporan ini
bila dikeluarkan secara periodik dapat memberikan informasi berguna bagi
kelangsungan program yang dianggarkan berasal dari penghasilan bunga, royalty,
dividen dan sejenisnya.

28
Penggunaan teknologi pada sumber penghasilan jenis ini lebih banyak ditujukan
pada pencarian informasi mengenai alternatif investasi yang ada. Khususnya untuk
pilihan investasi. Saat ini tersedia selain deposito alternatif investasi berupa
obligasi pemerintah (meskipun masih dalam harga per satuan yang tinggi) dan
reksa dana (mutual fund). Reksa dana dapat diakses lewat internet mengenai harga
per unit, prospek serta hasil investasi disana.

2.2 ARUS KEUANGAN – BIAYA

Pada sisi sebaliknya biaya lembaga juga harus dikelola dengan baik. Berbeda dengan
pendapatan, biaya lembaga merupakan area dimana lembaga memiliki tingkat kontrol
yang lebih tinggi. Biaya lembaga merupakan komponen keuangan yang tergantung
pada kebijakan dan perlakuan yang ditetapkan oleh manajemen lembaga. Dengan
demikian lembaga akan dapat memperoleh manfaat dari pengelolaan biaya ini.

Biaya-biaya lembaga dapat digolongkan menurut berbagai kriteria. Berdasarkan


keterkaitan dengan kegiatan yang didanai, maka biaya dibagi atas biaya langsung dan
biaya tidak langsung. Pada lembaga nirlaba, biaya langsung adalah biaya yang
keluarkan untuk pelaksanaan program lembaga. Dengan demikian gaji para staf
program, biaya perjalanan, biaya operasional program dan sejenisnya termasuk dalam
kategori biaya langsung ini.

Kebalikan dari biaya langsung, biaya ini tidak secara langsung mempengaruhi program.
Namun pengeluaran terjadi dan digunakan untuk keseluruhan lembaga. Jadi
pengeluaran biaya tidak langsung tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas untuk per
program, karena dinikmati oleh seluruh program. Jenis biaya ini disebut sebagai biaya
tidak langsung. Misalnya biaya gaji bagian keuangan dan gaji direktur lembaga. Tentu
saja kegiatan bagian keuangan dan direktur lembaga dinikmati oleh seluruh program.
Dengan demikian biaya seperti ini dikatakan sebagai biaya tidak langsung.

Implikasi dari dua jenis biaya tadi ditinjau dari manajemen keuangan berbeda. Biaya
langsung yang terkait dengan program memiliki kaitan erat dengan pendapatan
lembaga. Dengan demikian harus dikelola agar biaya program tidak melebihi
pendapatan yang dihasilkan dari program. Pengelolaan ini dapat dilakukan karena
biaya program dirancang oleh lembaga sendiri terutama dalam proses penganggaran.

29
Sehingga besarannya sudah dapat diperkirakan. Demikian juga pendapatan yang harus
diperoleh untuk menutupinya sudah relatif tergambar.

Pada tahap mengkaji total biaya yang diperlukan untuk melakukan suatu program,
maka biaya langsung dan biaya tidak langsung harus diperhitungkan. Kebanyakan
hanya memperhatikan biaya langsung saja. Padahal biaya tidak langsung yang tinggi
dapat membuat keseluruhan biaya program menjadi tinggi pula. Bagaimana
memperhitungkan biaya tidak langsung yang dibebankan ke masing-masing program ?

Pembebanan biaya tidak langsung ke masing-masing program dilakukan dengan


membuat kebijakan distribusi biaya tidak langsung. Untuk kepentingan analisa internal
lembaga, maka biaya tidak langsung seharusnya didistribusikan juga ke masing-masing
program. Tujuannya untuk melihat dengan realistis berapa besaran riil biaya program
secara keseluruhan. Misalnya program A waktu direktur lembaga untuk terlibat
sebanyak 50% dari jam kerja. Sedangkan program B, karena dijalankan dengan
berkolaborasi dengan lembaga lain hanya membutuhkan 10% dari waktu direktur
lembaga. Idealnya, ketika akan dianalisa besarnya biaya program A dan B, gaji direktur
lembaga harus didistribusian sebanyak 50% ke program A dan 10% B. Sehingga terlihat
total biaya nyata per program.
Berikut adalah beberapa metode pengalokasian yang kerap digunakan untuk
kepentingan evaluasi internal lembaga :

- Metode alokasi spesifik program


Metode ini mengalokasikan biaya tidak langsung yang timbul ke masing-masing
program berdasarkan pemakaian aktualnya. Misalnya dengan membuat time sheet
guna membebankan gaji staf yang bekerja untuk program tertentu. Time sheet
juga dibuat oleh staf lembaga yang tidak terkait langsung seperti bagian keuangan,
bagian umum, bahkan pengemudi pun dapat mengisi penggunaan kendaraan
lembaga aktual. Cara lain yang umum digunakan adalah memasang alat penghitung
mesin fotocopy, setiap program yang akan menggunakan mesin fotocopy
diharuskan mengisi kode programnya untuk kemudian setiap bulan didapatkan
penggunaan aktual mesin fotocopy untuk masing masing program.

- Metode pengalokasian dengan tarif.

30
Untuk memudahkan penghitungan, metode ini menetapkan tarif untuk biaya tidak
langsungnya berdasarkan suatu besaran yang ditetapkan dimuka. Terlebih dahulu
ditetapkan suatu dasar penerapan tarif yang mudah dibuat misalnya berdasarkan
jam kerja staf yang dihabiskan. Kemudian ditetapkan tarif per jam untuk
pengalokasian biaya tidak langsung. Misalnya lembaga memiliki dua program yaitu
Program A dan program B. Biaya langsung yang dihitung untuk kedua program ini
masing-masing berjumlah Rp10 juta. Biaya tidak langsung lembaga sebesar Rp5
juta dan akan dibebankan ke program berdasarkan tarif tertentu yang sudah
ditetapkan berdasarkan data historis. Pengalokasian akan dilakukan berdasarkan
jam kerja yang dihabiskan oleh program masing-masing yaitu program A
menghabiskan 10.000 jam kerja, sedangkan program B 15.000 jam kerja. Tarif yang
ditetapkan untuk pembebanan biaya tidak langsung adalah 2.000 per jam kerja.
Dengan demikian program A akan menerima pembebanan sebesr 2.000 X 10.000
yaitu Rp2 juta, Program B akan menerima 2.000 X 15.000 yaitu Rp3 juta. Dengan
demikian total biaya program A adalah Rp12 juta dan program B Rp13 juta.

- Metode pengalokasian dengan persentase.


Metode ini merupakan metode termudah dengan akurasi yang kurang lebih cukup.
Dengan metode ini manajemen menetapkan sejak awal berapa persentase dari
biaya tidak langsung lembaga yang dapat didistribusikan ke program masing-
masing. Persentase ini ditetapkan berdasarkan analisa atas data historis biaya tidak
langsung lembaga. Dari data tahun yang lalu diperkirakan berapa bagian biaya
tidak langsung lembaga dibandingkan dengan biaya langsung program secara total.
Bila berdasarkan laporan aktivitas 5 tahun didapatkan bahwa dari biaya lembaga
sebesar Rp100 juta ternyata Rp30 juta darinya adalah biaya tidak langsung maka
dapat ditetapkan besaran 30% sebagai persentase biaya tidak langsung. Untuk itu
ketika membuat proposal kegiatan atau permintaan penggantian biaya
(reimbursement) persentase ini ditambahkan ke dalam biaya kegiatan. Misalnya
biaya langsung yang terkait dengan program adalah Rp50 juta, maka total biaya
program menjadi Rp50 juta plus 30% dari Rp50 juta atau Rp65 juta. Penambahan
30% ini untuk menampung alokasi biaya tidak langsung lembaga.

Dalam kaitannya dengan biaya, manajemen keuangan lembaga juga menaruh


perhatian pada karakteristik biaya. Selain penggolongan menjadi biaya langsung dan

31
tidak langsung, penggolongan biaya dapat dilakukan berdasarkan perubahan besaran
biaya dikaitkan dengan perubahan besaran kegiatan. Berdasarkan kriteria ini ,maka
biaya lembaga digolongkan atas biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable
cost). Biaya tetap menurut definisi sederhana adalah biaya yang terjadi dalam jumlah
yang konstan dan tidak terpengaruh dengan tingkat aktivitas lembaga. Artinya ada
atau tidak ada kegiatan, maka lembaga tetap akan memiliki biaya tetap. Contoh yang
paling sering digunakan misalnya biaya sewa rumah, biaya listrik, biaya telefon, gaji
staf bagian keuangan, administrasi, direktur lembaga dan sebagainya. Biaya-biaya ini
secara teoritis akan selalu muncul meskipun lembaga tidak memiliki program.
Disamping itu besar jumlahnya selalu sama meskipun program lembaga
meningkat/menurun.

Biaya variabel adalah biaya yang terjadi sejalan dengan ada atau tidaknya kegiatan
program. Biaya ini besarnya juga tergantung besaran program yang dilakukan.
Misalnnya suatu lembaga memiliki program kampanye media lewat penyebarluasan
brosur, maka besarnya biaya cetak brosur tergantung pada seberapa besar kegiatan
kampanye akan dilakukan. Bila kampanye dilakukan di 3 (tiga) propinsi maka biaya
cetak brosur adalah sejumlah tertentu. Perluasan daerah kampanye menjadi 5 (lima)
propinsi tentu membuat biaya cetak ini meningkat secara proporsional.

Pada kenyataanya tidak ada biaya yang murni berperilaku seperti biaya tetap dan
biaya variabel seperti teori diatas. Bukankah kalau lembaga memiliki kegiatan lebih
banyak maka biaya telepon dan listrik meningkat? Demikian juga bila program lebih
banyak maka kemungkinan besar diperlukan ruang kerja yang lebih luas yang berarti
lembaga harus menyewa ruang tambahan? Berarti biaya sewa ruang juga berperilaku
sebagian seperti biaya variabel.

Implikasi dari kedua jenis biaya ini adalah perlunya manajemen mengelola biaya tetap
agar minimal. Biaya tetap merupakan biaya yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Sehingga bila lembaga memiliki porsi biaya tetap yang tinggi, maka setiap tahun hanya
tersedia ruang yang kecil untuk pelaksanaan program baru. Pendapatan dan
penghasilan lembaga pasti akan dialokasikan untuk menutupi biaya tetap terlebih
dahulu. Lembaga dengan biaya tetap yang tinggi akan sulit untuk mendapatkan
pendapatan dan penghasilan karena dengan pendapatan dan penghasilan yang sama

32
alokasi ke program akan lebih kecil dibandingkan dengan lembaga dengan biaya tetap
yang rendah.

Biaya-biaya yang terkait dengan sumber-sumber pendapatan dan penghasilan lembaga


harus dimonitor serta dikelola. Biaya yang akan terjadi dalam kaitan dengan arus kas
masuk (dari pendapatan dan penghasilan) dan arus kas keluar (biaya) harus
memperhitungkan jumlah dan waktu. Jumlah yang dimaksud adalah lembaga
memastikan bahwa total pendapatan dan penghasilan harus lebih besar dari total
biaya, minimal sama besar. Selanjutnya waktu (timing) dari penerimaan dan
pengeluaran kas yang harus cocok (matching), artinya pendapatan dan penghasilan
harus diterima mendahului pengeluaran. Bila terjadi sebaliknya, maka harus disiapkan
saldo kas cadangan. Untuk itu proyeksi arus kas masuk dan keluar penting peranannya.

2.2.1 Biaya Terkait Sumbangan

Biaya yang diperhitungkan untuk memperoleh pendapatan yang berasal dari


sumbangan relatif tidak terlalu sulit. Tergantung siapa yang dituju untuk
memberikan sumbangan, tetapi umumnya sumbangan diperoleh dari beberapa
individu plus badan hukum lain seperti perusahaan-perusahaan. Sumbangan yang
berasal dari individu memerlukan upaya pendahuluan berupa pengenalan lembaga.
Untuk itu perlu dibuat brosur, profil lembaga atau bahan presentasi lainnya yang
menarik. Biaya produksinya merupakan biaya yang terkait dengan pendapatan
sumbangan. Setelah pembuatan materi, biaya lain yang muncul adalah
penyampaian materi tadi ke target yang dituju.

Cara-cara penggalangan dari dana dari sumbangan pada beberapa lembaga justru
dijadikan sebagai kegiatan utama. Dengan demikian dibutuhkan upaya pengenalan
lembaga, penyelenggaraan event-event penggalangan dana seperti acara makan
malam bersama. Bila hal ini yang terjadi, maka lembaga dapat dikatakan sedang
melakukan ‘investasi’ berupa penyelenggaraan event penggalangan dana dengan
harapan pendapatan yang diperoleh lebih besar dari biayanya. Biaya yang
dikeluarkan untuk penyelenggaraan kegiatan ini merupakan biaya yang terkait
dengan pendapatan dari sumbangan yang diperoleh.

33
Besaran biaya penyebarluasan informasi baik brosur, kunjungan atau
penyelenggaraan event tertentu akan dibandingkan dengan besaran sumbangan
yang diterima. Bila ternyata menunjukkan efisiensi yang rendah, dimana dana yang
terkumpul tidak berbeda jauh dengan jumlah biaya yang sudah dikeluarkan, maka
kegiatan ini dapat dievaluasi kembali di masa depan. Penyebabnya bisa jadi biaya
yang terlalu besar karena tidak efisien. Bila ini yang terjadi harus dilakukan
pemangkasan atau gerakan efisiensi sehingga biaya bisa ditekan. Bisa juga
penyebabnya adalah penerimaan yang tidak sesuai dengan proyeksi. Hal ini dapat
dibawa ke dalam evaluasi periodik lembaga. Keputusannya bisa melanjutkan
kegiatan dengan biaya yang lebih rendah, atau bahkan menghentikan sama sekali
kegiatan penggalangan dan lewat sumbangan.

2.2.2 Biaya Terkait Grant/Hibah

Biaya yang dikeluarkan terkait dengan peroleh pendapatan dari grant/hibah relatif
sedikit. Grant/hibah umumnya diberikan berdasarkan usulan atau proposal
pendanaan. Biaya yang muncul pada tahap ini adalah biaya penyiapan proposal
termasuk penulisan, pengumpulan data dasar, penyampaian proposal.

Setelah proposal diterima dan hibah diberikan maka biaya yang muncul adalah
biaya sebagaimana yang diajukan dalam usulan proposal. Dengan demikian besaran
biaya dibandingkan dengan besaran pendapatan yang diperoleh umumnya akan
menunjukkan surplus. Bila usulan tidak memungkinkan mencantumkan
‘keuntungan’ bagi lembaga, maka umumnya biaya tidak langsung lembaga sudah
termasuk dalam usulan biaya.

Permasalahan berikutnya adalah pengaturan waktu penerimaan dengan waktu


pengeluaran kas. Dengan rancangan biaya yang ada, digabungkan dengan rencana
kegiatan, maka dapat disusun proyek pengeluaran kas yang terkait dengan kegiatan
yang diusulkan. Perencanaan pengeluaran sebaiknya disusun dalam jangka waktu
yang lebih pendek. Misalnya dari usulan kegiatan setahun dibuat proyek arus kas
keluar per bulan, atau bahkan per 2 (dua) minggu. Arus kas masuk dapat diambil
dari kontrak grant/hibah yang ditandatangani sehingga dari jadwal pencairan dana
yang perlu diawasi adalah syarat-syarat apa yang harus dipenuhi sebelum
pencairan dilakukan serta memonitor kelengkapan syarat-syarat tadi.

34
2.2.3 Biaya Terkait Penjaringan Anggota

Penjaringan anggota dapat dilakukan dengan berbagai cara. Untuk lembaga nirlaba
yang bertujuan untuk menanamkan konsep konservasi lingkungan sejak dini, maka
target yang dituju adalah kaum muda. Untuk itu dirancang program sedemikian
hingga para kaum muda tertarik dan merasa bangga menjadi anggota. Lembaga
dapat mengadakan acara pertemuan dengan para bintang muda, atau berkunjung
ke sekolah-sekolah untuk membawa pesan ini. Hasilnya diharapkan dapat diperoleh
anggota yang resmi dan bersedia untuk berkontribusi.

Biaya yang dikeluarkan dengan aktivitas ini tergantung pada besar aktivitas yang
dirancang sehingga diperlukan pengawasan mengenai efektivitas pengeluaran
biaya. Artinya perlu dilakukan suatu evaluasi mengenai dampak dari pengeluaran
yang dilakukan dengan jumlah anggota yang diperoleh. Memang tidak mungkin
kegiatan yang dilakukan dibandingkan dengan peroleh anggota baru pada waktu
yang singkat, misalnya kurang dari 1(satu) tahun. Namun bila berpanjang-panjang
dan anggota baru tidak bertambah secara signifikan, maka kegiatan ini harus
segera dilihat dan ditinjau kembali. Tujuannya agar efisiensi penggunaan sumber
daya lembaga dapat dicapai.

Dengan demikian, untuk biaya yang dikeluarkan bagi penggalangan pendapatan


dari iuran keanggotaan yang terpenting adalah evaluasi mengenai keefektivan
pengeluarannya dibandingkan dengan penggunaan sumber daya yang dilakukan.
Kemudian waktu pengeluaran dana dapat diatur dengan lebih fleksibel karena
lembaga dapat mengontrol event-event yang akan dilakukan. Bila kondisi kas tidak
memungkinkan, maka event dapat ditunda atau dibuat dalam format yang lain.

2.2.4 Biaya Terkait Pelayanan Program

Biaya yang terkait dengan penghasilan berupa pelayanan program adalah biaya-
biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan tadi. Misalnya, lembaga
nirlaba yang menyediakan jasa medis sebagai program utamanya. Untuk itu,
mereka mengenakan tarif tertentu bagi pelayanan jasa medis. Biaya yang terkait
dengan penghasilan jasa medis tadi adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
menyediakan jasa tadi. Termasuk disini honor bagi dokter, juru rawat, obat-
obatan, peralatan medis dan sebagainya. Biaya tidak langsung yang juga harus

35
dibebankan kedalam biaya pelayanan jasa medis termasuk biaya sewa tempat atau
bila tempat milik sendiri, maka biaya depresiasi tempat tadi, biaya gaji direktur
lembaga, biaya listrik, telepon, pemeliharaan tempat dan sebagainya.

Pada kasus tertentu tidak tertutup kemungkinan bahwa biaya pelayanan program
ternyata lebih besar dari penghasilan pelayanan program. Hal ini bukan merupakan
hal yang harus dikhawatirkan. Bandingkan dengan praktek di lembaga komersial
yang mengharuskan penghasilannya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

Defisit dari kegiatan pelayanan program harus dicarikan alternatif pendanaannya.


Untuk itu lembaga harus memastikan bahwa dapat diperoleh penghasilan dari
sumber lain. Pendapatan dari sumbangan yang tidak mengikat dapat dipergunakan
untuk menutupi defisit ini. Demikian pula pendapatan dari grant/hibah, sepanjang
grant/hibah tadi ditujukan untuk kegiatan pelayanan program. Artinya sewaktu
pengusulan proposal memang sudah dinyatakan bahwa grant/hibah akan digunakan
untuk pelayanan program tertentu. Dengan demikian penggunaan grant/hibah akan
sesuai dengan tujuan pemberiannya. Sumber lain yang relatif bebas
penggunaannya yaitu penghasilan dari investasi (bunga deposito, penghasilan dari
properti seperti sewa) dapat dialokasikan penggunaannya untuk pelayanan
program. Terlebih penghasilan dari bagian keuntungan usaha komersial. Bagian
keuntungan ini memang ditujukan untuk menambah penghasilan lembaga.

Kasus yang sedikit berbeda ketika pelayanan program memang tidak mendapatkan
penghasilan sama sekali. Sehingga seluruh sumber penghasilan yang lain justru
memang ditujukan untuk membiayai kegiatan program. Biaya yang diperhitungkan
juga sama, biaya tidak langsung dan biaya langsung baik yang bersifat variabel
maupun tetap.

Biaya untuk pelayanan program dalam suatu periode haruslah dibuatkan


proyeksinya. Proyeksi menyangkut besaran biaya dibandingkan dengan penghasilan.
Proyeksi berikutnya tentang waktu (timing) dari penerimaan kas yang berasal dari
pelayanan program, serta pengeluaran kas untuk biaya.

36
Besaran biaya dibandingkan penghasilan yang menunjukkan defisit berarti lembaga
harus mencari sumber pendapatan dan penghasilan lain untuk menutupi defisit ini.
Untuk itu proyeksi mengenai pendapatan dan penghasilan dari sumber-sumber lain
harus ikut diperhitungkan dalam proyeksi waktu penerimaannya.

Proyeksi arus kas masuk dan keluar juga dapat menunjukkan kapan lembaga akan
mengalami defisit atau surplus uang kas. Kaitannya dengan investasi lembaga,
maka bila terjadi defisit lembaga harus segera menyediakan kas alternatif atau
penundaan pembayaran. Dengan penerimaan kas alternatif yang berasal dari
pencairan investasi berupa deposito misalnya, atau penerimaan lebih awal
penghasilan sewa dapat dipenuhi kebutuhan kas dari pelayanan program. Bila tidak
memungkinkan juga, maka penundaan kegiatan program dapat dilakukan.

2.2.5 Biaya Terkait Bunga, Royalty, Dividen dan sebagainya

Pendapatan dari sumber diatas hampir tidak memerlukan biaya. Untuk bunga,
royalty, dividen dan sebagainya, biaya yang dikeluarkan hanya pemotongan pajak
oleh pemerintah, biaya materai, biaya pemindahan dana dan biaya transaksi
lainnya. Selebihnya merupakan penghasilan yang sudah dapat diprediksi dengan
baik bahkan dalam tahap perencanaannya.

2.2.6. Biaya Terkait Usaha Komersial

Penghasilan dari bagian laba usaha komersial membutuhkan biaya yang tercakup
dalam kegiatan komersial tersebut. Dengan adanya pemisahan fungsi yang jelas,
maka lembaga menyerahkan pengelolaan usaha tadi ke bagian yang lain. Dengan
demikian biaya-biaya yang muncul terkait dengan penjualan atau penerimaan dari
bagian komersial tadi. Lembaga tidak mengeluarkan dana untuk perolehan
penghasilan ini. Penghasilan dan biaya yang muncul akan dibukuan di unit usaha
komersial tadi. Lembaga hanya mendapatkan bagian dari keuntungan (bila ada).

Tentu saja sesuai dengan tujuan pendiriannya, usaha komersial diharapkan


memberikan kontribusi bagi lembaga. Oleh karenanya evaluasi atas pengelolaannya
menjadi penting. Laba kemungkinan tidak diperoleh karena usaha komersial justru
tidak menghasilkan keuntungan. Penyebabnya karena penghasilan terlalu kecil atau

37
justru biaya terlalu besar. Dengan demikian diperlukan analisa keuangan yang
relatif lebih mendalam untuk bahan evaluasi.

2.3 AKUNTANSI DAN INFORMASI KEUANGAN

Informasi mengenai realisasi biaya, pendapatan dan penghasilan serta aset lembaga
dihasilkan oleh proses yang dilakukan di bagian akuntansi. Akuntansi atau akunting
seperti kebanyakan disebutkan dalam bahasa sehari-hari pada dasarnya adalah suatu
kegiatan atau proses penyajian informasi kuantitatif utamanya informasi keuangan
tentang suatu entitas (bisa berupa perusahaan, yayasan atau organisasi lainnya) yang
diharapkan dapat digunakan untuk proses pengambilan keputusan dari beberapa
alternatif yang tersedia. Oleh karena itu produk dari akuntansi yang utama adalah
informasi keuangan. Demikian juga produk yang diharapkan dari bagian akuntansi di
suatu lembaga nirlaba yaitu informasi keuangan yang dapat digunakan sebagai dasar
yang kokoh untuk suatu proses pengambilan keputusan.

Bahasan pada bagian ini akan terdiri dari beberapa hal yang terkait dengan akuntansi
yaitu :
- Proses pembuatan laporan keuangan.
- Sistem akuntansi termasuk bagan perkiraan/akun, jurnal, buku besar, dan neraca
lajur.
- Basis akuntansi termasuk basis akrual, kas dan basis modifikasi akrual (modified
accrual basis).

2.3.1 Proses Pembuatan Laporan Keuangan

Laporan keuangan sebagai produk dari bagian keuangan suatu lembaga nirlaba
diproduksi dengan melalui beberapa tahapan yang dimulai dari identifikasi awal
tentang apakah suatu kejadian yang mempengaruhi lembaga dapat dikategorikan
sebagai transaksi keuangan atau tidak. Bila dapat dikategorikan sebagai transaksi
keuangan, maka transaksi akan mengikuti tahapan-tahapan yaitu tahap
pencatatan, tahap penggolongan, tahap peringkasan dan terakhir tahap pelaporan
untuk menghasilkan laporan keuangan lembaga.

Proses menghasilkan laporan keuangan itu dapat digambarkan sebagai berikut :

38
39
TAHAP PENCATATAN :

Step 1 Step 2
Dokumentasi transaksi Transaksi keuangan
keuangan diterima dicatat dalam jurnal
atau disiapkan secara harian

Step 3
TAHAP PENGGOLONGAN : Jurnal harian diposting
ke masing-masing
akun dlm Buku Besar

TAHAP PERINGKASAN :
Step 5 Step 4
Memasukkan penye- Akun dalam Buku
suaian yang diperlukan Besar diringkas dalam
dalam Neraca Lajur Neraca Lajur

TAHAP PELAPORAN :
Step 6 Step 7
Menyusun laporan Membuat jurnal
keuangan dari data penutup setiap akhir
dalam Neraca Lajur periode akuntansi

Step 8
Membuat jurnal
pembalik setiap awal
periode akuntansi baru
(optional)

Tahap pencatatan:

40
Dokumen yang berhubungan dengan keuangan lembaga atau organisasi diperoleh
bisa dari pihak luar seperti invoice atau tagihan, bisa juga dari dalam seperti
voucher kas kecil, perhitungan gaji staf dan lain lain.
Dokumen tadi dicatat sebagai transaksi keuangan berdasarkan urutan kronologis
tertentu, biasanya berdasarkan tanggal transaksi lewat mekanisme pembuatan
Jurnal Harian. Dalam tahap ini ketika terjadi pembayaran suatu tagihan misalnya,
maka uang yang keluar dicatat sebagai perkiraan kas dan tagihan biaya tadi dicatat
dalam perkiraan biaya..
Tahap penggolongan:
Semua jenis transaksi keuangan yang ada dan terjadi di lembaga atau perusahaan
harus sudah diidentifkasi dan dibuatkan kode tertentu dalam bentuk Chart of
Account atau bagan perkiraan/akun. Transaksi digolongkan dan dikelompokkan ke
dalam perkiraan/akun yang tepat setiap periode tertentu dalam media Buku Besar.
Tahap meringkas:
Pada tahap ini semua perkiraan/akun akan diringkas dan dibuatkan suatu daftar
panjang yang berisi saldo dari masing-masing perkiraan/akun atau disebut Neraca
Lajur.
Koreksi atau adjustment yang perlu dilakukan untuk menjamin laporan keuangan
yang dihasilkan tidak mengandung suatu kesalahan yang material dan menjamin
semua transaksi yang terjadi sudah dibukukan atau dicatat. Termasuk dalam tahap
ini adalah pembetulan kesalahan dan pencatatan transaksi non-kas seperti
penghapusan aktiva yang tidak dapat dipakai karena rusak atau kecelakaan.
Tahap Pelaporan:
Laporan keuangan yang dihasilkan adalah digunakan untuk keperluan laporan
ekstern lembaga. Bila dibutuhkan informasi lain maka dapat ditambahkan dari
proses ini berupa penambahan analisa oleh akuntan lembaga sesuai dengan
kebutuhan pemakai laporan tadi yaitu manajemen lembaga.
Setelah laporan keuangan diterbitkan maka dilakukan penutupan perkiraan/akun.
Dengan menggunakan software maka proses ini akan terjadi secara otomatis ketika
periode pembukuan yang baru akan dimulai serta seluruh surplus atau defisit yang
terjadi akan dipindahkan ke perkiraan dibawah kelompok aktiva bersih lembaga.

41
2.3.2 Sistem Akuntansi Termasuk Bagan Perkiraan/Akun, Jurnal, Buku Besar dan
Neraca Lajur

Sistem akuntansi merupakan suatu sistem yang diciptakan untuk mengidentifikasi,


merangkaikan, menggolongkan, menganalisa, mencatat dan melaporkan transaksi
lembaga serta menyelenggarakan pertanggungjawaban aset dan hutang lembaga.
Untuk menghasilkan informasi akuntansi maka diperlukan metode dan perangkat
tertentu untuk mengolah data-data yang dikumpulkan.
Sistem akuntansi merupakan suatu kumpulan dari :
- dokumentasi atas transaksi akuntansi (jurnal, buku bank, buku besar dll.)
- sistem dan prosedur yang ditetapkan untuk semua staf lembaga.
Dengan demikian sistem akuntansi mengakomodasi semua kegiatan keuangan
lembaga mulai dari tahapan awal yaitu identifikasi kejadian keuangan yang
mempengaruhi lembaga sampai ke pembuatan laporan keuangan dan analisa atas
informasi keuangan tadi.

Dokumentasi atas transaksi hanya menyangkut transaksi keuangan yang dapat


diverifikasi jumlahnya secara moneter. Transaksi keuangan merupakan transaksi
yang mempengaruhi lembaga baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan
tetapi akuntansi keuangan hanya mencatat transaksi keuangan yang dapat
dikuantifisir efeknya terhadap lembaga.
Contoh berikut menggambarkan kejadian yang mempengaruhi lembaga namun
tidak diklasifikasikan sebaga transaksi keuangan.
Suatu lembaga yang terkenal dengan program pendidikannya dimana semua orang
tahu bahwa direktur lembaga tersebutlah yang merupakan motor serta ide-idenya
yang dijalankan oleh lembaga tadi. Pada suatu waktu beliau wafat. Kejadian ini
mempengaruhi lembaga dengan mempertimbangkan pentingnya peran serta
pemikiran beliau. Namun kejadian ini tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi
keuangan meskipun punya efek penting terhadap lembaga. Kriteria yang gagal
dipenuhi oleh kejadian ini adalah kriteria kuantitas moneter.
Tidak dapat diketahui berapa nilai secara moneter dari kejadian ini. Padahal yang
tergolong sebagai transaksi akuntansi sekali lagi hanya kejadian yang memiliki efek
terhadap lembaga dan dapat dikuantifisir dalam satuan moneter.
Pertanyaan berikutnya yang mungkin mucul adalah : mengapa hanya yang dapat
dikuantifisir dalam satuan moneter saja?

42
Konsep dasar dari akuntansi keuangan salah satunya adalah konsistensi dalam
perlakuan terhadap suatu transaksi. Konsistensi sangat diperlukan untuk
meningkatkan daya banding (comparability) dari informasi keuangan periode yang
berbeda atau lembaga yang berbeda. Konsistensi dapat diartikan sebagai suatu
metode atau kriteria pencatatatan yang secara terus menerus digunakan dalam
setiap periode akuntansi sedemikian hingga pembaca atau pengguna informasi
akuntansi merasa yakin bahwa ukuran yang digunakan antara satu periode dengan
periode yang lain adalah sama.
Untuk itu satuan yang dipakai tidak pernah satuan relatif seperti : cukup, banyak,
kurang, sedikit dan lain sebagainya. Harus satuan absolut. Kenapa? Karena satuan
relatif sangat tergantung pada subyek atau siapa yang melakukan pengukuran.
Uang kas senilai Rp10 juta bisa dikategorikan sebagai banyak untuk orang tertentu
namun bisa juga sedikit untuk orang yang lain. Oleh karenanya dipakai satuan
absolut yaitu Rp10 juta. Sehingga siapapun yang mengukur uang kas akan sampai
pada nilai yang sama yaitu Rp10 juta. Pembaca atau pengguna informasi keuangan
kemudian dapat membandingkan satuan ini dari suatu periode ke periode
berikutnya untuk menginterpretasikan kondisi keuangan lembaga.

Setelah transaksi keuangan didokumentasikan, maka disusunlah cara bagaimana


transaksi tersebut diproses. Dalam hal ini terkait dengan apa dan siapa yang
memproses serta perangkat dan tata cara pemrosesan data-data tadi agar dapat
menghasilkan informasi keuangan. Dengan demikian informasi keuangan
merupakan produk dari bagian keuangan lembaga yang berasal dari kejadian-
kejadian yang memiliki pengaruh terhadap lembaga selama periode tertentu yang
diproses secara sistematis.

Serangkaian tahapan diatas merupakan siklus akuntansi yang terjadi dimana


akuntan kepala atau kepala bagian keuangan akan lebih fokus ke tahap awal dan
akhir yaitu menyeleksi transaksi mana saja yang layak proses serta membuat
analisa atas laporan keuangan. Selebihnya dapat dikerjakan oleh staf pembukuan
dan dibantu dengan software pengolah data keuangan.

Komponen utama dari sistem akuntansi suatu lembaga adalah :

43
- Chart of Account atau bagan perkiraan/akun
- Jurnal, Buku Besar, Buku Pembantu (Buku Kas, Buku Bank, Register Uang Muka,
dll), Neraca Lajur, Laporan Keuangan
- Manual prosedur keuangan.

2.3.2.1 Bagan Perkiraan/Akun (Chart of Account-COA)

Bagan perkiraan/akun atau Chart of Account/CoA adalah suatu daftar yang


memuat perkiraan-perkiraan atau account apa saja yang tersedia untuk
digunakan mencatat transaksi keuangan lembaga. Saldo akhir dari masing-
masing perkiraan ini akan menjadi komponen yang membentuk laporan
keuangan.

Seperti kita ketahui secara garis besar laporan keuangan lembaga terdiri dari :
Laporan Posisi Keuangan Lembaga yaitu : laporan yang menunjukkan harta dan
utang lembaga pada tanggal berakhir suatu periode akuntansi.
Laporan Aktivitas Lembaga yaitu : laporan yang menunjukkan hasil pendapatan
dan biaya lembaga pada suatu periode.
Laporan arus kas lembaga yaitu : laporan yang memuat pertambahan dan
pengurangan kas lembaga selama suatu periode.

Laporan-laporan diatas dibentuk dari perkiraan-perkiraan (accounts) yang


merupakan detail atau perincian dari salah satu komponen laporan.

Perkiraan-perkiraan detail ini secara sistematis diberikan kode untuk


memudahkan proses penggolongan dan pengklasifikasiannya lewat pengolahan
dengan penggunaan software.
Bagan perkiraan dengan demikian akan berupa daftar perkiraan-perkiraan
detail yang dapat digunakan untuk memproduksi informasi keuangan. Bagan
perkiraan ini terdiri dari lima kelompok besar yaitu kelompok dari laporan
keuangan sebagai berikut :
- Asset
- Hutang
- Kekayaan bersih lembaga
- Pendapatan

44
- Biaya

Tingkat detail dari perkiraan di bagan perkiraan dapat didisain menurut


kebutuhan dan kondisi lembaga masing masing dengan memperhatikan
beberapa pertanyaan :
- Laporan Apa yang hendak dibuat oleh lembaga mengenai keuangannya ?
- Keputusan, evaluasi serta penilaian apa yang akan dibuat berdasarkan
laporan keuangan yang akan diproduksi ?
- Berapa tingkat detail yang dibutuhkan ?
- Berapa sumber daya yang dimiliki oleh lembaga untuk memproduksi detail
dari transaksi yang dibutuhkan ?

Bagan perkiraan yang ideal adalah bagan perkiraan yang terdiri dari susunan
perkiraan-perkiraan, dimana dari perkiraan yang ada dapat dipenuhi segala
kebutuhan informasi.
Contoh : Suatu lembaga memiliki 2 divisi yaitu divisi pelatihan dan divisi
penelitian. Staf penunjang lembaga yaitu : Direktur lembaga, staf bagian
keuangan dan administasi, staf operasional kantor seperti supir dan pesuruh
digunakan oleh kedua divisi tadi dalam kegiatan sehari-hari. Dalam hal
diperlukan data mengenai berapa biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing
divisi secara akurat, maka berapa besar waktu yang dikeluarkan oleh staf
penunjang diatas haruslah dialokasikan ke masing-masing divisi. Dengan
demikian mereka harus mengisi time-sheet yang secara jelas menggambarkan
berapa jam waktu mereka dihabiskan untuk suatu divisi selama sebulan. Untuk
itu pada bagan perkiraan dibentuk perkiraan biaya gaji staf divisi pelatihan dan
biaya gaji staf divisi penelitian. Jadi untuk pembayaran gaji staf dibukukan ke
dua perkiraan tadi sesuai dengan alokasi waktu di time-sheet.
Pada waktunya dibutuhkan data mengenai berapa biaya aktual divisi
pelatihan,maka termasuk disini porsi waktu staf penunjang. Dapat dibayangkan
pekerjaan tambahan untuk memisahkan jam aktual masing-masing staf
penunjang agar informasi per divisi menjadi lebih akurat.
Dalam hal tidak dibutuhkan biaya per divisi yang akurat, maka perkiraan gaji
staf penunjang cukup dibuat satu saja dan alokasi ke masing-masing divisi

45
dapat dilakukan berdasarkan perkiraan atau persentase tertentu. Akurasi
memang lebih rendah, namun lebih praktis dan mudah.
Oleh karena itu tingkat detail dari perkiraan-perkiraan yang dirancang dalam
bagan perkiraan harus memperhitungkan kebutuhan informasi dan 'biaya' untuk
memproduksinya. Termasuk dalam pengertian biaya disini adalah kerumitan
dan kompleksitas pembebanan biaya tadi.

Pembuatan bagan perkiraan harus disesuaikan dengan pembuatan budget atau


anggaran lembaga. Klasifikasi yang berbeda akan menyulitkan proses analisan
budget lembaga dikemudian hari. Kesamaan pola dan sistematika budget
dengan bagan perkiraan akan memudahkan memproduksi informasi keuangan.
Bila dalam budget dinyatakan bahwa terdapat biaya operasional kantor, maka
bagan perkiraan akan membentuk beberapa perkiraan yang bila digabungkan
akan menjadi Biaya operasional kantor. Pada periode berjalan, analisa atas
budget biaya operasional kantor dapat dilakukan dengan membandingkan
jumlah yang dibudgetkan dengan jumlah aktual yang dikeluarkan. Jumlah
aktual dapat diproduksi dengan cepat berupa penjumlahan perkiraan-perkiraan
yang membentuknya dalam bagan perkiraan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan untuk melacak biaya atau
pendapatan yang diperoleh dalam suatu periode. Bila lembaga beroperasi
dalam lebih satu lokasi maka perlu untuk mengklasifikasikan biaya yang timbul
berdasarkan lokasi. Misanlya untuk biaya gaji staf lembaga, maka dapat
diberikan kode tertentu yang menggolongkan staf yang bersangkutan bekerja
untuk lokasi tertentu, hingga ketika manajemen akan mengevaluasi serta
menganalisa kegiatan suatu lokasi, total biaya lokasi tersebut dapat diproduksi
dengan menjumlahkan total perkiraan-perkiraan yang terkait dengan lokasi
tersebut.

Kewajiban bersih dalam lembaga nirlaba disyaratkan oleh PSAK 45 untuk


dibedakan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
- Kewajiban bersih tidak terikat
- Kewajiban bersih terikat temporer
- Kewajiban bersih terikat permanen.

46
Arti dari kebutuhan pelaporan ini adalah dalam pembuatan bagan perkiraan harus
dibuat minimal tiga perkiraan untuk mengklasifikasikan setiap sumbangan yang
diterima. Demikian juga perkiraan yang membentuk Laporan Aktiva bersih.
Setiap sumbangan atau donasi yang diterima akan mempengaruhi Laporan Aktiva
Bersih dan Kewajiban bersih. Karena diminta untuk dilaporkan terpisah maka
setiap sumbangan yang diterima dapat dicatat pada perkiraan tersendiri yang
sesuai dengan kategorinya yaitu terikat, terikat temporer dan tidak terikat.
Tujuannya agar dalam pembuatan laporan keuangan tidak dibutuhkan lagi usaha
tambahan untuk memilah sumbangan yang diterima sesuai dengan kategorinya.
Hal yang sebaliknya terjadi bila bagan perkiraan hanya memiliki satu perkiraan
untuk sumbangan dan kewajiban bersih. Semua sumbangan yang diterima baik itu
terikat atau tidak terikat akan ditampung dalam perkiraan yang sama. Kesulitan
muncul ketika pembuatan laporan keuangan diminta untuk mengkategorikan
sumbangan tadi dalam 3 (tiga) golongan. Usaha tambahan terpaksa harus
dilakukan untuk meneliti ulang semua sumbangan yang dicatat diperkiraan tadi
dan memisahkan sesuai dengan kategorinya.

2.3.2.2 Perkiraan atau Ledger atau Buku Besar

Journal adalah jalan atau saluran yang dapat diidentifikasikan dari untuk suatu
transaksi dapat sampai ke perkiraan buku besar (general ledger). Dengan demikian
bagan dibawah ini akan menggambarkan alur proses pembuatan informasi keuangan :

Transaksi Perkiraan

47
Transaksi Perkiraan

Transaksi Jurnal Perkiraan


Penerimaan
Kas
Transaksi Perkiraan Laporan
keuangan
Jurnal
Transaksi PengeluaranKa
s Perkiraan

Transaksi
Perkiraan
Jurnal
Non-Kas
Transaksi
Perkiraan

Perkiraan
Transaksi
Perkiraan

Transaksi

2.3.2.3 Manual Prosedur Keuangan.


Manual prosedur keuangan merupakan pentunjuk detail bagi pelaksana pembukuan
dan staf lembaga mengenai :
- langkah yang harus dilakukan,
- formulir yang digunakan
- arus formulir-formulir tersebut.
Manual dibuat oleh akuntan lembaga dengan memperhatikan kondisi lembaga serta
memperhitungkan aspek kontrol yang ditetapkan. Manual yang terlalu detail akan
menyulitkan dalam hal terjadi keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya, demikian
juga manual yang terlalu lebar atau hanya memuat garis besar saja. Manual demikian
akan menyulitkan operasional sehari-hari dari pembukuan. Oleh karena itu manual
harus dibuat pada tataran yang pas dimana petunjuk yang ada cukup detail dan jelas
namun tidak kehilangan fleksibilitas dalam hal terjadi hal-hal diluar perhitungan.
Pada prakteknya pembuatan manual adalah hal yang sulit. Sekali manual dibuat
dibutuhkan revisi secara periodik untuk membuatnya kembali operasional. Dibutuhkan
personnel yang berpengalaman dan mampu ‘membayangkan’ transaksi apa saja yang

48
akan terjadi dan bagaimana pelaksanaannya agar berjalan lancar dan mampu
menghasilkan informasi.
Beberapa sumber bagi pembuatan manual dapat diperoleh seperti beberapa lembaga
nirlaba internasional yang sebagian besar sudah memiliki manual yang berlaku global.
Dari sumber ini dapat dimodifikasi beberapa hal hingga terbentuk manual untuk
lembaga. Memodifikasi adalah jauh lebih mudah dari pada membuat sendiri dari awal.
Selain memakan waktu lama, pembuatan manual dari awal mengandung kelemahan-
kelemahan yang membutuhkan waktu untuk revisi yang bahkan dapat lebih dari satu
kali. Manual hasil modifikasi hanya membutuhkan revisi satu kali untuk kemudian
dapat diimplementasikan. Sebenarnya kunci dari pembuatan manual adalah akuntan
yang kompeten karena pada pikirannya harus ada dan bertemu informasi apa yang
dibutuhkan serta sumber informasi tersebut. Manual merupakan tata cara agar
transaksi yang terjadi dapat diproduksi menjadi informasi.
Pada lampiran (lihat lampiran) dapat dilihat contoh manual keuangan yang
menyangkut beberapa kegiatan dasar lembaga lengkap dengan keterlibatan formulir
dalam arus dokumennya.

2.3.2.4 Basis Akrual, Kas dan Modified Accrual Basis.

Salah satu konsep akuntansi yang relatif sulit untuk dipahami oleh praktisi non
akuntan adalah konsep kas basis dan akrual basis. Kedua basis ini membedakan waktu
pengakuan pendapatan dan biaya dalam Laporan Aktivitas lembaga.
Secara sederhana perbedaan yang paling mudah adalah :
Pendapatan menurut pencatatan dengan basis kas adalah semua penerimaan kas yang
dicatat di buku bank lembaga. Jumlah pendapatan yang dilaporkan adalah sama
dengan total uang yang diterima oleh lembaga pada suatu periode.
Pengertian biaya menurut basis kas adalah seluruh tagihan yang telah dibayarkan oleh
lembaga, total biaya yang dilaporkan pada suatu periode adalah total pengeluaran
yang tercatat pada buku bank lembaga. Dengan demikian surplus atau defisit yang
merupakan selisih antara pendapatan dengan biaya dengan basis kas dapat diketahui
secara cepat dengan cara menghitung berapa saldo kas yang ada pada akhir periode.

Contoh pengakuan dengan basis kas.

49
Lembaga ABC selama tahun 2007 menerima sumbangan, donasi dan bantuan senilai
200 Juta yang semua nya per tanggal 31 Desember sudah diterima di rekening bank
lembaga. Biaya-biaya lembaga berupa tagihan yang disampaikan dan yang sudah
dibayar per tanggal 31 desember 2007 adalah sejumlah 150 Juta.
Dengan demikian lembaga akan melaporkan dalam laporan aktivitasnya sebagai
berikut:

Pendapatan 200 Juta


Biaya (100) Juta
Surplus 100 Juta

Basis akrual melakukan pencatatan berdasarkan apa yang seharusnya menjadi


pendapatan dan biaya lembaga pada suatu periode. Apa yang seharusnya menjadi
pendapatan lembaga adalah semua pendapatan yang telah menjadi hak lembaga
terlepas apakah hak ini telah diwujudkan dalam bentuk penerimaan kas atau tidak.

Contoh berikut membedakan pengakuan pendapatan versi basis kas dengan


pendapatan versi basis akrual.
Lembaga ABC memiliki unit kegiatan berupa pemberian jasa pelatihan kepada lembaga
pemerintahan sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani. Pelatihan akan
dilakukan selama bulan desember 2007 dengan nilai 10 Juta rupiah. Kegiatan tersebut
telah dilakukan sesuai jadwal dimana lembaga telah melaksanakan kegiatan pelatihan
tadi di gedung lembaga, memberikan modul pelatihan, konsumsi
peserta,penyelenggaraan ujian serta sertifikat untuk peserta. Pemerintah membayar
kontrak tersebut baru pada bulan Januari 2008.
Menurut basis akrual, pendapatan lembaga pada tahun 2007 termasuk 10 Juta dari
kontrak ini. Meskipun tagihan baru dikirimkan dan dibayar oleh pemerintah bulan
Januari 2008. Jadi lembaga harus mencatat pendapatannya termasuk pendapatan ini
sebesar 10 Juta rupiah.
Jurnal yang harus dibuat pada akhir tahun 2007 adalah :

Debit Tagihan pada pemerintah 10 Juta


Kredit Pendapatan Lembaga 10 Juta

50
Menurut basis kas karena tidak ada penerimaan kas pada tahun 2007 dari kontrak ini
maka tidak ada pendapatan dari kontrak ini yang diakui pada tahun 2007.

Tahun 2008 ketika lembaga menerima pembayaran dari jasa pelatihan ini jurnal yang
dibuat adalah :

Debit Bank 10 Juta


Kredit Tagihan pada pemerintah 10 Juta

Penerimaan kas ini tidak berpengaruh pada pendapatan lembaga tahun 2008.
Sedangkan menurut basis kas, pendapatan lembaga justru harus bertambah dengan 10
Juta tahun 2008 karena adanya penerimaan ini.

Contoh lain untuk menggambarkan perbedaan biaya antara basis akrual dengan basis
kas adalah sebagai berikut :
Dari jasa pelatihan tadi, honor instruktur sebesar 5 Juta baru dibayarkan bulan Januari
2008, sedangkan biaya pencetakan modul, sertifikat serta konsumsi peserta sudah
dibayarkan ke supplier bulan desember 2007 sebesar 2 Juta rupiah.
Pada basis akrual semua jenis biaya ini merupakan biaya yang seharusnya menjadi
beban tahun 2007 karena prinsip " macthing cost against revenue" yaitu
menyandingkan usaha yang telah dihabiskan (biaya yang timbul) dengan hasil yang
didapatkan pada periode yang sama. Dengan demikian bila jasa pelatihan diakui
pendapatannya pada tahun buku 2007 maka seluruh biaya sehubungan dengan
pelatihan tadi harus dibukukan pada periode yang sama yaitu 2007. Dengan demikian
jurnal yang dibuat oleh lembaga adalah :
Pada saat pembayaran biaya konsumsi dan pencetakan modul, sertifikat.

Debit biaya Pelatihan 2 juta


Kredit Bank 2 Juta
Pada saat menutup buku 31 Desember, honor instruktur harus dibukukan karena
jasanya sudah diberikan berarti lembaga sudah berhutang ke instruktur tersebut.

Debit Biaya pelatihan 5 Juta

51
Kredit Hutang biaya pelatihan (honor instruktur) 5 Juta

Pada bulan Januari ketika honor instruktur dibayarkan lembaga maka jurnal yang
dibuat adalah :

Debit Hutang biaya pelatihan (honor instruktur) 5 Juta


Kredit Bank 5 Juta

Dengan demikian laporan aktivitas (pendapatan dan biaya) lembaga menurut basis
akrual adalah sebagai berikut :
Lembaga ABC
Laporan aktivitas
Untuk periode yang berakhir 31 Des 2007

Pendapatan 10 Juta
Biaya konsumsi, percetakan (2) Juta
Biaya honor instruktur (5 ) Juta
Surplus 3 Juta

Tahun 2008 tidak ada pendapatan dan biaya sehubungan dengan kegiatan pelatihan
ini.

Menurut basis kas laporan aktivitas lembaga adalah sebagai berikut :

Lembaga ABC
Laporan aktivitas
Untuk periode yang berakhir 31 Des 2007

Pendapatan 0 Juta
Biaya konsumsi, percetakan (2) Juta
Biaya honor instruktur 0 Juta
Surplus (defisit) (2) Juta

52
Sedangkan untuk tahun 2008 kegiatan ini ditampakkan pada laporan aktivitas sebagai
berikut :
Lembaga ABC
Laporan aktivitas
Untuk periode yang berakhir 31 Des 2007
Pendapatan 10 Juta
Biaya konsumsi, percetakan 0 Juta
Biaya honor instruktur 5 Juta
Surplus (defisit) 5 Juta

Secara singkat terlihat bahwa metode pencatatan basis akrual memberi gambaran
yang lebih akurat mengenai kondisi keuangan lembaga. Akan tetapi basis kas lebih
mudah dilakukan serta memberi gambaran yang mudah dimengerti mengenai status
surplus atau defisit lembaga dikaitkan dengan saldo kas yang dimiliki.

Tidak ada yang membatasi metode mana yang harus dipakai dalam pencatatan
transaksi keuangan suatu lembaga, namun untuk laporan keuangan yang ditujukan
untuk pihak eksternal lembaga maka basis akrual yang harus digunakan.

Dengan mempertimbangkan sumber daya lembaga, bila lembaga hanya memiliki


kegiatan yang sederhana serta masih dalam jumlah yang kecil maka penggunaan basis
kas sangat memudahkan. Untuk itu guna keperluan pelaporan eksternal maka dapat
dibuat laporan keuangan dengan basis akrual melalui penyesuaian-penyesuaian yang
diperlukan. Penyesuaian ini dilakukan dengan menambahkan kolom perubahan atau
penyesuaian pada perkiraaan-perkiraan lembaga terutama yang terkait dengan
pengakuan pendapatan dan biaya lembaga pada suatu periode tertentu.

Bila dimungkinkan masih ada alternatif lain berupa penetapan batas jumlah transaksi
yang dapat dicatat dengan metode basis akrual dan dibawah batas ini maka dicatat
dengan basis kas. Alternatif ini hanya untuk kepentingan praktis dimana disadari
bahwa jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan tidak akurat karena masih
terdapat biaya atau pendapatan yang masih harus diakui namun karena alasan
kepraktisan maka diabaikan. Pengabaian ini haruslah pada jenis biaya yang tidak
material. Dengan kata lain materialitas menjadi satu-satunya pertimbangan. Bila

53
disadari bahwa dengan tidak tercantumnya biaya atau pendapatan tadi maka laporan
keuangan yang disajikan akan mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah,
maka pengabaian transaksi tadi tidak bolehdilakukan. Oleh karena itu umumnya
jumlah maksimum yang diabaikan sangat rendah.
Contoh paling umum adalah pencatatan biaya telepon dan listrik. Seperti kita ketahui
biaya ini baru akan ditagihkan pada bulan berikut oleh PLN dan Telkom. Untuk
pemakaian bulan Desember 2007, dengan basis akrual biaya telepon dan listrik ini
merupakan biaya karena jasa telepon dan listrik sudah dinikmati lembaga untuk
menghasilkan pendapatan pada tahun 2007. Untuk itu harus dicatat sebagai biaya
untuk tahun buku 2001. Namun bila dipertimbangkan bahwa tagihan yang akan datang
tidak material jumlahnya maka dapat saja pencatatannya diabaikan dan baru
dibukukan sebagai biaya pada bulan Januari 2008, walaupun menurut basis akrual
seharusnya tahun 2007. Atau bisa juga dibukukan dengan jumlah perkiraan sementara
yang kita tahu pasti bahwa jumlah tadi tidak tepat (inaccuracy) namun untuk
memenuhi ketepatan waktu (timeliness) penyajian laporan maka hal ini dapat
dilakukan.

2.3.2.5 Modified Accrual Basis

Modified accrual adalah basis akrual yang dimodifikasi dimana pendapatan diakui
berdasarkan basis kas sedangkan biaya berdasarkan basis akrual. Alternatif ini
menggambarkan kehati-hatian yang sangat tinggi dari manajemen lembaga yang
digambarkan dengan pencatatan biaya bahkan ketika biaya belum menjadi kenyataan.
Pendapatan bisa dibatalkan misalnya dengan pembatalan pemberian sumbangan atau
donasi oleh pihak lain yang sudah mengikat komitmen. Dengan demikian tidak ada
pendapatan yang dicatat dalam periode tersebut sampai komitmen menjadi kenyataan
dengan penerimaan kas di bank.
Bila dalam periode 2007 sudah didapatkan komitmen tertulis untuk memberikan donasi
sebesar 100 Juta maka per akhir tahun 2007 bila tidak ada dari komitmen itu yang
sudah diwujudkan dalam bentuk pengiriman dana ke rekening lembaga, maka tidak
ada pendapatan yang diakui pada periode 2007.

54
Sebaliknya, untuk biaya justru basis akrual yang dipakai. Hal ini masuk diakal karena
lembaga tidak dapat mengelak atau membatalkan tagihan sepanjang jasa atau produk
sudah dinikmati oleh lembaga. Bila supplier sudah mengirimkan invoice maka lembaga
sudah mencatatnya sebagai biaya meskipun pembayaran baru dilakukan tahun 2008.

55
BAB 3 PELAPORAN DAN ANALISA LAPORAN

Akuntabilitas adalah salah satu prinsip yang dipegang teguh dalam menjalankan roda
lembaga nirlaba. Untuk mencapai hal tersebut maka transparansi atau keterbukaan
adalah suatu keniscayaan. Untuk mencapainya, laporan dapat berfungsi sebagai media
yang menjembatani manajemen lembaga dengan para pihak yang berkepentingan
(stakeholders). Laporan menjadi penting karena didalamnya memuat informasi
mengenai bagaimana lembaga mengelola sumber daya yang ada, berapa besar sumber
daya yang dimiliki serta pencapaian apa saja yang sudah diperoleh dengan sumber
daya tadi.

Bab ini akan membahas aspek pelaporan dari lembaga nirlaba kepada pihak yang
memerlukan serta analisa atas laporan. Laporan yang akan dibahas mengambil
perspektif penggunanya. Untuk itu laporan akan dibedakan menjadi laporan untuk
digunakan oleh pihak eksternal lembaga dan laporan-laporan untuk konsumsi internal
lembaga. Analisa akan dilakukan terhadap kedua jenis laporan ini dan akan dilakukan
dengan teknik-teknik yang umum digunakan. Termasuk disini analisa dengan
menggunakan rasio-rasio keuangan yang populer. Titik berat analisa ditujukan pada
pengukuran kinerja baik unit kerja/program maupun lembaga secara keseluruhan dan
penilaian atas kondisi likuiditas lembaga. Hal ini dipilih karena kinerja dan likuiditas
merupakan poin penting dan sering menimbulkan problem dalam operasional lembaga.

3.1 LAPORAN EKSTERNAL

Yang dimaksud dengan pihak eskternal lembaga dalam bahasan ini adalah semua pihak
yang tidak ikut serta secara langsung dalam pengelolaan kegiatan lembaga sehari-hari
namun memiliki kepentingan dengan lembaga. Dengan demikian, mereka diperkirakan
memerlukan informasi mengenai lembaga secara periodik. Tergolong dalam pihak
eksternal lembaga adalah :
- Donatur atau pemberi bantuan untuk memonitor penggunaan bantuan yang
diberikan,
- Pemerintah sebagai pemegang otoritas regulasi lewat otoritas perpajakan, tenaga
kerja serta perijinan
- Kreditur atau pemberi pinjaman (bila ada)

56
- Lembaga nirlaba lain dalam jaringan atau kepentingan yang sama
- Dewan pendiri/dewan pengawas (untuk badan hukum yayasan),
- Anggota lembaga
- Lain-lain.

Laporan kepada pihak eksternal lembaga memiliki format yang baku yaitu laporan
keuangan sebagaimana disyaratkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) lewat
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 tentang Pelaporan Keuangan
Organisasi Nirlaba. PSAK mengatur format serta isi dari laporan keuangan yang akan
dipublikasikan kepada masyarakat luas sebagai penggunanya. Ketaatan terhadap PSAK
membuat laporan keuangan yang dipublikasikan oleh lembaga menjadi lebih mudah
diinterpretasikan oleh pembacanya. Dengan format dan cara penyajian yang sudah
standard, maka laporan tadi lebih mudah untuk dibandingkan dengan laporanlembaga
lain dan oleh karenanya dikatakan lebih memiliki nilai informasi. Perbandingan dapat
dilakukan antar tahun laporan atau juga antar lembaga satu dengan lembaga lainnya.

Disamping itu, dalam proses pemeriksaan (audit), auditor eksternal akan senantias
menggunakan PSAK sebagai tolok ukur dalam menilai laporan keuangan lembaga.
Artinya pemeriksaan akan dilakukan dengan membandingkan ketaatan dalam praktek
akuntansi lembaga dibandingkan dengan praktek yang dianjurkan dalam PSAK.

Tujuan utama dari pembuatan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang
relevan, akurat serta tepat waktu untuk memenuhi kepentingan para pihak eksternal
lembaga. Sedemikian hingga mereka dapat mengambil keputusan dalam berbagai hal
tentang lembaga. Secara khusus, tujuan laporan keuangan termasuk catatan atas
laporan keuangan adalah untuk menyajikan informasi mengenai :
a. Jumlah dan sifat aktiva, kewajiban dan aktiva bersih suatu lembaga, dicerminkan
dalam Laporan Posisi Keuangan.
b. Pengaruh transaksi keuangan, perisitwa dan situasi lainnya yang mengubah nilai
dan sifat aktiva bersih, dicerminkan dalam laporan aktivitas.
c. Jenis dan jumlah arus masuk dan arus keluar sumber daya dalam satuperiode dan
hubungan antara keduanya, digambarkan dalam laporan aktivitas lembaga.

57
d. Cara suatu lembaga mendapatkan dan membelanjakan kas, memperoleh pinjaman
dan melunasi pinjaman dan fkator lainnya yang berpengaruh pada likuiditasnya.
digambarkan dalam laporan arus kas.
e. Usaha jasa suatu lembaga digambarkan dalam laporan aktivitas.

Dengan demikian sesuai dengan PSAK 45, maka yang dimaksudkan dengan laporan
keuangan untuk dipublikasikan eksternal terdiri dari :
 Laporan Posisi Keuangan
 Laporan Aktivitas
 Laporan Arus Kas
 Catatan atas laporan keuangan.

Berikut adalah bahasan masing-masing jenis laporan diatas.

3.1.1 Laporan Posisi Keuangan

Laporan posisi keuangan merupakan nama lain dari Neraca pada laporan keuangan
lembaga komersial. Laporan ini memberikan informasi mengenai besarnya asset atau
harta lembaga dan sumber dari perolehan asset tadi (bisa dari hutang atau dari aktiva
bersih) pada satu titik waktu tertentu. Umumnya pada akhir suatu periode
pembukuan.

Aktiva yang dilaporkan lembaga disusun berdasarkan urutan likuiditasnya. Artinya pada
urutan pertama adalah aktiva yang paling cepat dikonversi menjadi uang kas atau
tunai. Demikian urutan selanjutnya hingga yang paling akhir adalah aktiva yang paling
lambat dikonversi menjadi kas atau paling tidak likuid.

Dalam aktiva masih digolongkan atas aktiva lancar yaitu aktiva yang kecepatan
konversi ke kas kurang dari satu tahun atau satu periode akuntansi lembaga. Aktiva
tidak lancar yaitu aktiva yang kecepatannya dikonversi menjadi kas lebih lama dari
stau tahun atau satu periode akuntansi lembaga.

Aktiva yang dibatasi penggunaannya oleh penyumbang harus disajikan terpisah dari kas
atau aktiva lain yang tidak terikat penggunaannya. Dengan demikian pada satu kasus
dimana lembaga menerima hibah berupa kendaraan yang oleh donaturnya ditujukan

58
untuk kegiatan perpustakaan keliling, maka dalam laporan keuangan kendaraan ini
harus dilaporankan dalam baris terpisah dengan judul perkiraan: aktiva tetap –terikat
permanen.

Kewajiban merupakan klaim pihak ketiga atas aktiva lembaga. Oleh karena itu semua
kewajiban lembaga disajikan dalam urutan jatuh tempo atau waktu dimana kewajiban
tersebut harus dipenuhi. Seperti juga aktiva, kewajiban dikelompokkan lagi waktu
jatuh temponya. Kewajiban yang jatuh tempo kurang dari satu tahun atau satu siklus
operasi normal lembaga akan diklasifikasikan sebagai kewajiban lancar. Dengan
demikian kewajiban yang jatuh temponya lebih dari satu tahun atau satu siklus operasi
normal lembaga disebut sebagai kewajiban jangka panjang.

Aktiva bersih dapat disamakan dengan modal pada laporan keuangan lembaga
komersial. Lembaga nirlaba melaporkan aktiva bersih berdasarkan kriteria restriksi
atau batasan yang melekat padanya. Aktiva bersih merupakan selisih antara
pendapatan dengan biaya. Dengan demikian, karena pendapatan lembaga terbagi atas
3 (golongan) berdasarkan restriksi yang melekat padanya, maka aktiva bersih pun
demikian. Aktiva bersih terdiri dari 3 (tiga) golongan yaitu :
- Aktiva bersih terikat.
Tergolong dalam aktiva bersih terikat adalah aktiva yang penggunaannya ditentukan
oleh pemberi dana. Misalnya lembaga menerima grant yang menyebutkan secara
khusus bahwa donasi diberikan untuk program kelestarian orang utan. Maka sepanjang
periode, penggunaannya haruslah untuk kegiatan yang berkaitan dengan program tadi.
Ketika didapat surplus, maka dalam aktiva bersih saldo tadi digolongkan dalam aktiva
bersih terikat. Contoh lain, sumbangan yang diberikan untuk korban bencana alam di
Lampung. Sumbangan ini ditetapkan oleh pemberinya untuk tujuan dimaksud dan di
daerah yang sudah dijelaskan. Karena lembaga tidak memiliki keleluasaaan untuk
menentukan penggunaannya, maka ia digolongkan dalam aktiva terikat.
-Aktiva bersih terikat temporer (sementara)
Bila peruntukan tadi ditetapkan untuk suatu jangka waktu tertentu, maka selama
jangka waktu tadi aktiva bersih akan masuk dalam golongan aktiva bersih terikat
temporer. Misalnya: Donasi yang diterima untuk untuk penanggulangan bencana alam
banjir dimana ditetapkan bahwa untuk 6 (enam) bulan pertama harus digunakan untuk
penyelamatan pengungsi. Setelah itu penggunaannya (bila masih ada sisa) tergantung

59
pada keputusan lembaga. Berarti setelah masa tadi bila digunakan untuk kegiatan
pemulihan ekonomi seperti modal bergulir misalnya atau kegiatan lainnya yang masih
berkaitan dengan bencana alam didaerah tadi dapat dibenarkan penggolongannya.
- Aktiva bersih tidak terikat
Aktiva bersih tidak terikat merupakan aktiva bersih dimana lembaga memiliki
kebebasan dalam mengelolanya termasuk penentuan tujuan pemakaiannya. Aktiva
bersih tidak terikat dapat dihasilkan dari keuntungan unit usaha komersial lembaga,
iuran anggota, donasi/grant yang tidak menyebutkan secara spesifik tujuan
penggunaannya serta dari sumber lain seperti hasil investasi atas asset lembaga,
keuntungan dari hasil penjualan aktiva tetap milik lembaga dan sejenisnya.

3.1.2 Laporan Aktivitas

Laporan aktivitas berisi dua bagian besar yaitu besaran pendapatan dan biaya lembaga
selama suatu periode anggaran. Pendapatan digolongkan berdasarkan restriksi atau
ikatan yang ada (lihat juga restriksi pada aktiva bersih). Selain pendapatan yang
berasal dari kegiatan operasional lembaga, laporan aktivitas juga mencantumkan
pendapatan insidental atau pendapatan lain-lain. Misalnya hasil penjualan tanah,
gedung, hadian undian dll. Semua pendapatan dinyatakan dalam jumlah kotor artinya
seluruh pendapatan disajikan dan beban biaya yang terkait disajikan bersama pada
periode yang sama

Beban atau biaya disajikan dalam laporan aktivitas berdasarkan kriteria fungsional,
dengan demikian beban biaya akan terdiri dari biaya kelompok program jasa utama
dan aktivitas pendukung.Beban biaya untuk kegiatan program utama lembaga
dianjurkan untuk ditambahkan dengan informasi tambahan berupa klasifikasi beban
menurut sifatnya Misalnya berdasarkan gaji, sewa listrik bunga dan depresiasi. Biaya
yang dilaporkan selain biaya operasional kegiatan juga biaya tidak terduga. Misalnya
biaya perbaikan kantor karena banjir, biaya jasa penasehat hukum karena lembaga
dituntut ke pengadilan dan lain-lain.

60
3.1.3 Laporan Arus Kas

Laporan arus kas menunjukkan arus uang kas masuk dan keluar untuk suatu periode.
Periode yang dimaksud adalah periode yang sama dengan yang digunakan oleh laporan
aktivitas.

Secara sederhana, laporan arus kas hendak berusaha menggambarkan pendapatan


(revenue) lembaga yang direalisasikan dalam bentuk penerimaan uang kas dan biaya
(expenses) lembaga yang direalisir dalam bentuk uang kas keluar. Sehingga tidak
tertutup kemungkinan bahwa pendapatan lembaga berbeda dengan penerimaan riil
uang kas. Sebaliknya, biaya lembaga bisa berbeda jumlahnya dengan pengeluaran kas
aktual. Hal ini bukan merupakan masalah besar, karena hanya konsekuensi dari
penerapan akrual basis dalam pelaporan.

Penyajian laporan arus kas untuk lembaga nirlaba juga merujuk pada PSAK No. 2
tentang Laporan Arus Kas. Dalam PSAK diatur bahwa arus uang kas masuk dan keluar
harus digolongkan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
A. Aktivitas operasi
Dalam kelompok ini penambahan dan pengurangan arus kas yang terjadi pada
perkiraan yang terkait dengan operasional lembaga. Beberapa contoh item yang
mempengaruhi arus kas operasi adalah :
- Surplus atau defisit lembaga (datanya diambil dari laporan aktivitas)
- Depresiasi atau penyusutan (karena depresiasi dianggap sebagai biaya, namun tidak
terjadi uang kas keluar) setiap tahun.
- Perubahan pada account piutang lembaga. Bila saldo piutang awal lebih besar dari
piutang akhir tahun,maka dianggap telah terjadi pelunasan piutang dan dengan
demikian menambah arus kas masuk. Dengan demikian selisih saldo ini akan
dianggap sebagai arus kas keluar.
- Account (perkiraan buku besar ) lain seperti : persediaan, biaya dibayar dimuka
dan lainnya.

Bila arus kas masuk dari ketegori operasional ini lebih besar dari arus kas keluar, hal
ini menyiratkan bahwa lembaga ini adalah sehat. Karena untuk kegiatan operasional
sehari-hari tidak mengalami kesulitan likuiditas. Sebaliknya bila ternyata arus kas

61
operasional negatif. Dalam kasus ini berarti lembaga tidak dapat membiayai
pengeluaran uang kas dengan penerimaan uang kas dari sumber operasional. Sehingga
diperlukan sumber uang kas lain dari sumber investasi (penjualan aktiva tetap) atau
sumber pendanaan (financing) seperti pembuatan hutang baru. Kondisi negatif ini
mengirimkan sinyal yang patut diperhatikan, karena lama-kelamaan lembaga dapat
terseret kedalam masalah keuangan.
B. Aktivitas investasi
Termasuk dalam kelompok ini adalah semua penerimaan dan pengeluarna uang kas
yang terkait dengan investasi lembaga. Investasi dapat berupa pembelian/penjualan
aktiva tetap, penempatan/pencairan dana deposito atau investasi lain. Contoh, aktiva
tetap berupa gedung, kendaraan saldo pada awal tahun adalah 100 Juta. Bila pada
akhir tahun ternyata saldonya menjadi 125 Juta, berarti terjadi penambahan aktiva
tetap. Penambahan ini diasumsikan menggunakan kas dan mengakibatkan arus kas
keluar. Demikian juga sebaliknya, bila saldonya mengecil maka dianggap terjadi
penjualan aktiva tetap. Untuk itu dana yang diterima merupakan arus kas masuk.

Bila arus masuk lebih besar dari arus keluar, maka lembaga mengisyaratkan sedang
melakukan perampingan (divestasi). Sebaliknya bila arus kas negatif berarti lembaga
sedang ekspansi dengan menambah aktiva baru, menginvestasikan dananya di
instrumen investasi.
C. Aktivitas pendanaan
Termasuk dalam kelompok ini perkiraan yang terkait dengan transaksi berupa
penciptaan/peluanasan kewajiban hutang lembaga dan kenaikan/penurunan aktiva
bersih dari surplus-defisit lembaga. Penambahan hutang pada perkiraan hutang
diartikan sebagai kas masuk. Sebaliknya pembayaran hutang yang dilakukan selama
periode tersebut akan memerlukan kas keluar dan menurunkan saldo hutang di
Laporan Posisi Keuangan.

Transaksi lain yang mengakibatkan perubahan arus kas masuk dan keluar dalam
kelompok ini adalah :
- Penerimaan kas dari penyumbang yang penggunaannya dibatasi untuk jangka
panjang

62
- Penerimaan kas dari sumbangan dan penghasilan investasi yang penggunaannya
dibatasi utnuk perolehan, pembangunan, dan pemeliharaan aktiva tetap atau
peningkatan dana abadi (endowment)
- Bunga, dividen yang dibatasi penggunaannya untuk jangka panjang

3.1.4 Catatan Atas Laporan Keuangan

Merupakan bagian yang tidak terpisah dari laporan-laporan diatas. Tujuan pemberian
catatan ini agar seluruh informasi keuangan yang dianggap perlu untuk diketahui
pembacanya sudah diungkapkan (full disclosure). Catatan atas laporan keuangan
dapat berupa:
 Perincian dari suatu perkiraan yang disajikan seperti misalnya aktiva
tetap. Catatatan atas aktiva tetap umumnya memuat perincian
aktiva per kelompok aktiva.
 Kebijakan akuntasi yang dilakukan seperti misalnya metode
penyusutan serta tarif yang digunakan untuk aktiva tetap lembaga,
metode pencatatan piutang yang tidak dapat ditagih serta
persentase yang digunakan untuk pencadangannya.
 Rencana yang belum dapat dikuantifisir namun akan membawa
dampak signifikan dimasa depan. Misalnya, rencana lembaga untuk
memperluas bangunan yang ada dengan membeli lahan
disebelahnya. Atau akan ditandatanginya persetujuan kerjasama
dengan lembaga lain untuk pengiriman proposal grant ke lembaga
donor.
 Kejadian penting yang diperkirakan akan membawa dampak bagi
lembaga. Misalnya, lembaga menghadapi tuntutan hukum di
pengadilan. Hasil akhir dari keputusan ini belum diketahui. Akan
tetapi fakta mengenai hal ini harus diungkapkan dalam catatan.
Pengungkapan juga harus menyertakan potensi kerugian/beban yang
akan dihadapi lembaga dalam hal kasus diputuskan dengan
kekalahan pada pihak lembaga.

63
3.2 LAPORAN INTERNAL

Perbedaan dengan laporan untuk pihak ekstern adalah fleksibilitas laporan dan analisa.
Laporan untuk intern lembaga memiliki format,isi dan jangka waktu penyampaian yang
ditentukan oleh manajemen dengan mempertimbangkan keperluan masing-masing
pemakai.

Selain itu, laporan intern justru harus memuat analisa atas hasil-hasil yang sudah
dicapai, proyeksi ke depan serta peramalan. Semua hal ini ditambahkan agar
informasi lebih lengkap. Demikian pula isinya, tidak semata-mata keuangan. Dapat
berupa kombinasi keuangan dan non keuangan. Misalnya analisa atas biaya
telekomunikasi dengan jumlah staf. Dari data keuangan berupa tagihan biaya telfon
dan jumlah staf dapat diperoleh penggunaan rata-rata per staf. Jumlah ini kemudian
akan dianalisa kelayakannya, apakah terlalu mahal atau normal saja. Demikian juga
penggunaan analisa rasio keuangan untuk melakukan prediksi tentang kecenderungan
(trend) yang sedang terjadi.

Pihak intern lembaga yang diperkirakan memerlukan laporan ini antara lain :
1. Manajemen lembaga,
2. Para penanggung jawab unit kerja/program dan staf inti

Dalam pembuatan laporan internal ini, beberapa hal harus dipertimbangkan.


Utamanya prinsip cost and benefit. Manajemen harus dapat memperkirakan berapa
besar ‘usaha’ yang akan dikeluarkan oleh lembaga untuk menghasilkan laporan
internal ini dan berapa besar ‘nilai’ informasi yang terkandung didalamnya. Dalam
kondisi ideal nilai informasi dalam laporan internal yang diproduksi harus lebih besar
dari usaha yang dikeluarkan lembaga.

Satu hal lagi, proses produksi laporan intern ini haruslah merupakan proses yang
paralel dan simultan dengan produksi laporan ekstern. Dengan kata lain, laporan
intern memiliki basis data yang sama dengan laporan ekstern, dihasilkan dari proses
produksi laporan ekstern. Alasannya adalah keduanya menggunakan data awal yang

64
sama yaitu transaksi keuangan. Sehingga prosesnya harus satu, hanya kemudian untuk
laporan intern akan ditambahkan beberapa data dan informasi lain.

Hal-hal dibawah ini patut dipertimbangkan sebelum menentukan jenis laporan serta
frekuensi penerbitannya, yaitu:.
1. Ketersediaan sumber daya untuk pembuatannya. Dalam menghasilkan laporan
intern, maka lembaga harus realistis. Perhitungkan kemampuan dana, personel
serta peralatan yang dimiliki sebelum menentukan format serta frekuensi
penerbitan laporan.
2. Tingkat kestabilan lembaga. Semakin stabil suatu lembaga, umumnya lembaga
yang sudah mapan dan lama berdiri, maka kebutuhan akan laporan menjadi
rutin. Sehingga tidak akan banyak variasi atau permintaan jenis laporan baru
maupun frekuensi pembuatan laporan yang diluar hal rutin tadi.
3. Tingkat kesehatan keuangan, lembaga yang sedang mengalami kesulitan atau
berada pada posisi likuiditas yang rendah akan perlu memonitor pengeluaran
dan pendapatannya lebih sering. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang
lebih nyata pada interval waktu yang lebih pendek.
4. Tingkat kegiatan lembaga. Lembaga yang sedang menjalankan banyak program
penting akan memerlukan laporan yang lebih sering dan detail.

Salah satu tugas pokok dari akuntan atau bagian keuangan lembaga adalah
mempersiapkan informasi ini dari data-data yang diproses dari transaksi-transaksi
keuangan. Fungsi dari bagian keuangan adalah menjadikan data-data kuantitatif yang
ada ‘berbicara’. Artinya dapat menyampaikan suatu pesan baik itu peringatan, kinerja
ataupun informasi lain yang asalnya dari data-data kuantitatif. Dengan kata lain bila
data aktual menunjukkan terjadi kelebihan anggaran yang signifikan pada suatu unit
kerja/program, maka analisa dari bagian keuangan harus dapat menerangkan tentang
hal ini. Sedemikian hingga pembaca dapat memikirkan tindakan korektif apa yang akan
diambil dimasa depan.

Berikut adalah contoh-contoh laporan internal yang dapat disampaikan setiap


bulannya, yaitu :
1. Laporan Posisi Keuangan dan Laporan aktivitas
2. Proyeksi cashflow untuk bulan yang akan datang

65
3. Laporan realisasi anggaran per unit kerja/program.

Selain laporan bulanan, maka dapat pula dipertimbangkan mengeluarkan laporan


setiap kuartal. Laporan bulanan dapat menjadi laporan kuartal dengan tambahan
laporan lain. Salah satu laporan tambahan yang dapat disampaikan setiap kuartal
adalah Laporan kegiatan penggalangan dana (fundraising).

Kegiatan pencarian dana sebagaimana kegiatan lainnya tidak dapat dilakukan dalam
waktu singkat. Oleh karena ini dalam rentang satu kuartal maka harus dianalisa status
terakhirnya. Informasi yang diperlukan antara lain penerimaan aktual dari sumber-
sumber dana yang sudah dianggarkan. Dengan demikian terlihat realisasi penerimaan
aktual dibandingkan dengan proyeksi penerimaan dalam anggaran. Bila terjadi
penyimpangan atau varians yang besar maka kembali dibutuhkan analisa dari akuntan
mengenai hal ini serta usulan untuk tindakan korektif yang harus dilakukan. Varians
(simpangan) bisa berupa penerimaan dibawah yang dianggarakan atau sebaliknya,
penerimaan lebih besar dari anggaran. Penerimaan lebih kecil dari yang dianggarkan
harus ditentukan apakan bersifat temporer atau permanen. Temporer artinya terdapat
kelambatan dalam realisasi penerimaan. Hal ini berarti masalah ketidak tepatan
jadwal penerimaan. Biasanya kelambatan pada suatu kuarta akan dikompensasi pada
kuartal berikutnya. Penyimpangan permanen menuntut perhatian lebih serius. Hal ini
berarti bahwa dari pendapatan yang dianggarkan ternyata memang realisasinya tidak
sebesar jumlah tadi. Jadi hal ini bukan karena kesalahan penetapan jadwal, melainkan
perbedaan nilai nominal pendapatan. Tentu harus direkomendasikan untuk diambil
tindakan korektif sesegera mungkin. Perbedaan ini dapat diatasi dengan mencari
sumber pendapatan baru, atau mengurangi biaya yang direncanakan.

Analisa juga dilakukan untuk sumber pendapatan berupa usaha komersial. Sebagai
salah satu sumber pendapatan penting lembaga maka sumber ini harus dimonitor dan
dikaji setiap datanya. Kegagalan memenuhi jumlah yang dianggarkan akan
mempengaruhi program atau kegiatan lain yang sudah dirancang.
Penyajian dengan angka kumulatif sampai dengan kuartal berjalan juga sangat
membantu manajemen, dewan pengawas atau pengguna lain untuk memberikan
gambaran menyeluruh terhadap sumber-pendapatan lembaga untuk periode yang
bersangkutan.

66
Terakhir, pada setiap akhir tahun lembaga akan mengeluarkan laporan keuangan
eksternal sebagaimana disyaratkan oleh PSAK 45. Laporan keuangan ini akan melalui
proses audit untuk mendapatkan opini dari akuntan publik. Laporan keuangan yang
telah diaudit dapat disajikan kepada pihak luar sebagai wujud akutanbilitas
pengelolaan lembaga kepada penyumbang, pemerintah termasuk lembaga
perpajakannya serta pihak lain yang berkepentingan.

Selain laporan keuangan, lembaga dapat mengeluarkan Laporan Tahunan. Laporan ini
berisi informasi mengenai kegiatan serta keuangan lembaga. Umumnya laporan ini
juga dipakai untuk bahan pencarian dana dan bahan untuk profil lembaga.
Laporan tahunan dapat menjadi media informasi mengenai kondisi terakhir lembaga
secara keseluruhan. Laporan tahun setidaknya berisi hal-hal sebagai berikut :
- Informasi singkat mengenai lembaga, visi dan misi serta manajemen lembaga.
- Pencapaian yang didapat selama tahun yang bersangkutan baik dari segi program
maupun finansial
- Ide-ide baru atau pendekatan baru yang sukses diujicobakan oleh lembaga dan
menjadi model yang berguna bagi kegiatan dimasa depan.
- Rencana lembaga tahun yang akan datang
- Kisah-kisah sukses sukses (best practices) dan gagal pada suatu kegiatan tertentu
(lesson learned).

Khusus untuk lembaga nirlaba yang mengambil bentuk yayasan, maka Undang-Undang
yaitu UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah memuat klausul tentang laporan
tahunan yang harus dipenuhi oleh yayasan yaitu :
- dalam jangka paling lambat lima bulan terhitung sejak tanggal tahun buku yayasan
ditutup, pengurus wajib menyusun laporan tahunan secara tertulis yang memuat
sekurang-kurangnya :
- laporan keadaan dan kegiatan yayasan selama tahun buku yang lalu serta hasil
yang telah dicapai
- laporan keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan pada akhir
periode,laporan aktivitas, laporan arus kas dan catatan laporan keuangan .

67
- dalam hal yayasan mengadakan transaksi dengan pihak lain yang menimbulkan hak
dan kewajiban bagi yayasan, transaksi tersebut wajib dicantumkan dalam laporan
tahunan.
- laporan tahunan ditandatangani oleh pengurus dan pengawas dan disahkan oleh
rapat dewan pembina.
- untuk yayasan yang memperoleh bantuan dari negara, bantuan dari luar negeri
atau pihak lain sebesar 500 Juta rupiah atau lebih atau memiliki kekayaan diluar
harta wakaf sebesar 20 Milyar rupiah atau lebih maka laporan keuangannya wajib
diaudit oleh akuntan publik serta mengumumkan hasilnya berupa ringkasan laporan
keuangannya dengan cara menempelkan di kantor yayasan.

3.3 Analisa atas Laporan Keuangan

Laporan yang disajikan oleh bagian keuangan merupakan salah satu sumber informasi
untuk pengambilan keputusan. Informasi akan lebih memiliki daya guna bila isinya
dapat memandu pengambil keputusan, akurat serta disajikan tepat waktu. Untuk itu
dilakukan analisa atas data-data historis keuangan suatu lembaga, dikombinasikan
dengan proyeksi ke depan untuk menghasilkan informasi keuangan.

Analisa atas data-data keuangan memerlukan pengertian mendasar mengenai nilai


yang tercantum didalamnya. Sebelum analisa dilakukan, maka nilai-nilai yang
tercantum harus dipahami mengandung 2 (dua) makna. Pertama nilai relatif dan kedua
nilai absolut.

Nilai relatif dari suatu data terkait erat dengan konteks total nilai yang terkait serta
sifat (nature) dari data itu sendiri. Artinya suatu perbedaan antara nilai aktual sebesar
Rp. 1 Juta rupiah dapat dianalisa penting tidaknya secara relatif dengan
membandingkannya dengan besaran total dan dengan sifat dari perbedaan itu.
Contoh, terjadi perbedaan biaya aktual pembangunan gedung sebesar Rp. 1 juta
dibandingkan dengan total anggaran pembangunan gedung tadi yang bernilai Rp 500
Juta. Secara relatif, perbedaan ini tidak perlu dianalisa karena nilainya tidak
signifikan. Jadi dengan mempertimbangkan konteks total nilai anggaran ,maka
perbedaan 1 juta rupiah tadi dapat diabaikan.

68
Dengan jumlah yang sama, ketika perbedaan terjadi pada perkiraan buku besar
Kas/Bank, maka nilainya relatif signifikan. Perbedaan nilai Rp. 1 juta yang terjadi
pada rekening kas lembaga menyiratkan banyak hal dan memerlukan analisa
mendalam. Karena account rekening kas lembaga secara alamiah seharusnya tidak
boleh berbeda dengan aktualnya. Sedemikian hingga bila terjadi perbedaan, maka hal
ini dapat ditafsirkan sebagai kelemahan internal kontrol atau bahkan telah terjadi
penggelapan.
Disini kita lihat selisih Rp. 1 Juta rupiah bisa dilihat secara relatif signifikan dan
memerlukan analisa lebih lanjut dan tidak signifikan. Tergantung pada konteks dan
sifat alamiahnya.

Nilai berikut adalah nilai absolut. Nilai ini secara jelas berupa nilai yang tercantum
dalam data. Dengan demikian nilai absolut memerlukan analisa atau tidak memang
tergantung pada besarannya. Analisa atas nilai absolut tidak memerlukan upaya yang
menguras energi karena nilainya sendiri sudah berbicara. Besaran nilai kas Rp 1 Juta
dengan Rp 100 Juta tentu sudah dapat mengirimkan pesan kepada pembacanya.

Analisa atas laporan keuangan bertujuan menghasilkan informasi yang lebih bernilai.
Informasi ini khusus bagi manajemen dan internal lembaga berguna untuk :
- Menilai kondisi keuangan lembaga saat ini dan masa depan. Kondisi likuiditas baik
jangka pendek maupun jangka panjang, surplus atau defisit serta kecukupan dana
untuk kegiatan yang akan datang dapat dideteksi dengan menggunakan hasil
analisa.
- Melihat kondisi lembaga dengan pandangan seperti pihak luar lembaga agar lebih
obyektif. Manajemen dapat menggunakan data pembanding yang lain (lembaga lain
atau periode sebelumnya) sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih
obyektif mengenai kondisi lembaganya.
- kinerja dari unit kerja/program organisasi yang dipimpinnya dari segi keuangan.

Bagi dewan pengawas dan dewan pendiri lembaga, analisa ini berguna untuk melihat
kondisi lembaga secara keseluruhan. Artinya, kinerja serta kondisi lembaga dan
proyeksi untuk masa yang akan datang dapat dilihat secara garis besar dari analisa
laporan keuangan. Hal lain lagi yang dapat dilihat adalah kesesuaian realisasi kegiatan
lembaga dengan strategi atau arahan yang diberikan kepada manajemen lembaga.

69
Misalnya, suatu yayasan sumber dananya tergantung pada donor atau grant. Dewan
pendiri menetapkan arahan bahwa diversifikasi sumber pendapatan harus dilakukan
segera dengan target menurunkan porsi grant menjadi 80% di tahun berikutnya, dan
kemudian menurun hingga kurang dari 50% pada tahun ke 5. Tujuannya agar lembaga
dapat lebih mandiri dari sisi keuangan, tidak tergantung pada donor. Analisa atas
laporan keuangan lembaga dapat memberikan informasi kepada dewan apakah
manajemen sudah melakukan diversifikasi pendapatan yang ditetapkan atau belum.
Hal ini terlihat dari sumber pendapatan lembaga yang dilaporkan .

Selain pada tingkatan lembaga secara keseluruhan, analisa juga dapat dan harus
dilakukan pada tingkatan unit kerja/program atau bahkan pada tingkatan kegiatan.
Suatu lembaga pendidikan yang memiliki 5 (lima) divisi dapat melakuan analisa kinerja
masing-masing divisi. Bila tiap divisi memiliki suatu kegiatan atau proyek utama,
analisa juga dapat secara khusus dilakukan untuk kegiatan atau proyek tadi. Termasuk
analisa mengenai effisiensi dan kinerjanya. Analisa terhadap proyek atau kegiatan
khusus ini dapat dilakukan untuk kegiatan yang sangat signifikan dan menjadi masukan
bagi pimpinan pelaksananya.

Analisa atas laporan keuangan umumnya dilakukan dengan cara pembandingan.


Beberapa teknik yang kerap digunakan antara lain antara lain :
3.3.1 Analisa Pembandingan (comparative analysis). Pembandingan dapat
dilakukan dengan berbagai cara antara lain : Pembandingan anggaran
dengan aktual, kecenderungan (trend) antar lembaga dan antar waktu,
vertical dan horizontal (common size) lembaga sejenis
3.3.2 Penggunaan rasio-rasio keuangan (ratio analysis)
3.3.3 Analisa pulang pokok (break even analysis)

3.3.1 Analisa Pembandingan

Adalah salah satu teknik analisa informasi keuangan khususnya laporan keuangan yang
dilakukan dengan cara menyajikan laporan keuangan secara horizontal dan
membandingkan antara satu dengan yang lain. Teknik pembandingan ini juga dapat
menunjukkan kenaikan dan penurunan dalam jumlah uang dan juga persentase.

70
Tujuan analisa pembandingan ini adalah untuk mengetahui perubahan-perubahan
berupa kenaikan atau penurunan pos-pos laporan keuangan atau data lain dalam dua
atau lebih periode yang dibandingkan.

3.3.2 Penggunaan Rasio-Rasio Keuangan.

Rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos
laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan
signifikan. Misalnya antara hutang dan aktiva bersih, atau antara kas dan total assets.
Teknik ini sangat lazim digunakan para analisa keuangan. Rasio keuangan sangat
penting dalam melakukan analisa terhadap kondisi keuangan organisasi.

Rasio keuangan ini hanya menyederhanakan informasi yang menggambarkan hubungan


antara pos tertentu dengan pos lainnya. Dengan penyederhanaan ini kita dapat menilai
cepat hubungan antara pos tersebut dan dapat membandingkannya dengan rasio lain
sehingga kita dapat memperoleh informasi dan memberikan penilaian.

Beberapa rasio yang dapat digunakan dikelompokkan dalam beberapa kategori sebagai
berikut :
3.3.2.1 Rasio likuiditas

Rasio likuiditas adalah rasio yang menunjukkan kemampuan suatu lembaga menutupi
kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan asset atau aktivanya yang paling
likuid atau paling mudah dikonversi menjadi uang kas. Likuiditas diukur dengan
pembandingan aktiva lancar dengan hutang lancar. Artinya dengan posisi aktiva lancar
yang lebih besar dari hutang lancar berarti lembaga berada dalam posisi likuid, Jadi
ketika lembaga berhenti beroperasi sewaktu-waktu,maka hutang jangka pendek yang
dimilikinya dapat dibayar dengan menggunakan aktiva atau asset lancarnya. Kedua
komponen ini digunakan sebagai perbandingan (aktiva lancar dan hutang lancar)
karena kecepatannya dikonversi menjadi uang kas kurang dari satu tahun atau satu
siklus akuntansi. Dengan demikian suatu lembaga dikatakan memiliki likuiditas yang
baik bila sumber untuk membayar hutang jangka pendek lebih besar dari hutang itu
sendiri.

71
Berikut ini adalah contoh ratio yang termasuk ke dalam rasio likuiditas, diantaranya
adalah:
 Current Ratio menggunakan aktiva lancar yang diharapkan dapat dikonversi
(dengan menjual asset tersebut) menjadi uang kas segera (kurang dari satu
tahun). Akan tetapi masih ada kemungkinan penurunan nilai aktiva bila dijual
segera, disamping itu nilai penjualan tidak dapat dipastikan apakah akan sama,
lebih besar atau lebih kecil dari nilai buku assetnya. Untuk itu beberapa analis
menggunakan cash ratio.
 Cash ratio menunjukkan kemampuan lembaga memenuhi kewajiban lancarnya
dengan uang kas yang tersedia. Semakin tinggi ratio ini berarti semakin tinggi
kemampuan lembaga membayar hutang nya tanpa harus mengkonversi aktiva
lain.
Rasio ini kembali menunjukkan bahwa Lembaga sangat likuid dan tidak perlu kuatir
terhadap kemampuan membayar hutang-hutang jangka pendeknya. Dengan uang kas
yang tersedia dua kali lipat lebih dari jumlah hutang jangka pendeknya tentu lembaga
ini tidak kesulitan memenuhi kewajibannya.
Karena ratio ini menggunakan kas sebagai pembanding, umumnya cash ratio akan lebih
kecil dibandingkan dengan current ratio. Hal ini dapat dimengerti karena kas
merupakan komponen current asset, sehingga ketika komponen lain diabaikan dalam
perhitungan dan hanya mengikutsertakan kas, maka ratio yang didapat tentu lebih
kecil.

3.3.2.2 Rasio Effisiensi

Rasio-rasio pengukur efisiensi merupakan rasio keuangan yang dipakai untuk mengukur
tingkat penggunaan sumber daya (dana) dibandingkan dengan hasil yang diperoleh.
Efisiensi yang tinggi dalam penggunaan sumber daya berarti dengan hasil yang sama
digunakan sumber daya yang sesedikit mungkin.

Rasio-rasio yang digunakan dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok antara lain :
- Rasio pengukur hasil investasi dibandingkan dengan investasi
Pengertian investasi disini adalah berapa banyak harta atau aktiva lembaga yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan. Dapat juga disebutkan bahwa dengan

72
aktiva yang ada (gedung,staf, peralatan dan sebagainya) berapa banyak dana yang
diperoleh lembaga selama satu periode.
Asumsi dasar dari penggunaan rasio ini adalah bahwa lembaga memerlukan aktiva atau
asset untuk melakukan kegiatan penggalangan dana. Rasio ini menggambarkan tingkat
efisiensi penggalangan dana Dimana dengan jumlah pendapatan yang sama lembaga
yang menggunakan aktiva yang lebih banyak mengindikasikan tingkat efisiensi yang
lebih rendah dibandingkan dengan lembaga lain yang menggunakan sumber daya yang
lebih sedikit.
Contoh yang sering digunakan adalah :
Rasio pendapatan dengan aktiva = Total pendapatan : Total aktiva
= 675.000 : 646.486
= 1,04
Rasio ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pendapatan dibutuhkan aktiva
dengan jumlah yang sama. Efisiensi dapat diukur dengan melakukan perbandingan
dengan lembaga yang sejenis atau dengan rasio tahun sebelumnya.
Rasio pendapatan dengan Aktiva bersih = Total pendapatan : Total Aktiva bersih
= 675.000 : 512.062
= 1,32
Rasio ini lebih mempertajam rasio sebelumnya. Dengan rasio ini terlihat ‘bantuan’
berupa pinjaman lembaga kepada pihak lain berapa besar porsinya terhadap
pendapatan lembaga. Bila dibandingkan maka terlihat bahwa porsi pinjaman adalah
sebesar 1,32 – 1,04 atau kurang lebih 0,28 bagian dari pendapatan dihasilkan dari
usaha lembaga yang menggunakan aktiva dengan sumber pendanaan dari pinjaman.

Rasio efisiensi ini dapat diperluas dengan membandingkan pendapatan yang diperoleh
dengan jumlah:
 aktiva tetap gedung dan peralatan kantor yang digunakan
 biaya staf atau biaya personalia
 biaya overhead untuk menjalankan operasi lembaga

Rasio ini juga dapat digunakan pada tingkatan yang lebih rendah, yaitu pengukuran
efisiensi program atau bahkan kegiatan. Misalnya akan diukur efisiensi penggalangan
dana dari berbagai sumber. Maka yang dilakukan adalah membandingkan sumber daya
yang dihabiskan untuk penggalangan dana berdasarkan sumber pendapatan yang

73
diperoleh dan dana yang didapat. Jadi kalau lembaga memiliki 3 (tiga) sumber dana
berupa grant/hibah, iuran keanggotaan dan sumbangan individu, maka keseluruhan
biaya yang dikeluarkan untuk menggalang dan dari sumber ini harus dikumpulkan
terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pembandingan dengan pendapatan yang direalisir
dari sumber grant/hibang, iuran dan sumbangan individu.

3.3.2.3 Rasio Kinerja Operasi

Rasio keuangan yang sering digunakan dalam menilai kinerja operasional suatu
lembaga adalah Rasio Du Pont. Rasio ini pada awalnya digunakan oleh perusahaan
Multinasional Du Pont sejak tahun 1920 untuk menilai kinerja dari bagian atau anak-
anak perusahaannya.
Rasio ini didapat dari asumsi bahwa lembaga memiliki usaha komersial. Dengan
demikian rasio Du Pont diberlakukan bukan untuk mengukur kinerja lembaga
melainkan kinerja dari unit kerja atau unit komersialnya. Karena pendirian unit
tersebut direncanakan akan memberikan kontribusi pendapatan bagi lembaga, maka
unit tadi harus dievaluasi kinerjanya.

Rasio Du Pont berusaha menerangkan atau menganalisa perhitungan Rasio ROA (Return
on Asset). ROA itu sendiri kurang lebih menggambarkan berapa besar keuntungan yang
diperoleh dari penggunaan asset lembaga. Dengan kata lain, ROA berusaha melihat
kemampuan manajemen unit usaha tadi untuk menghasilkan keuntungan dari setiap
asset yang digunakannya.
Namun klaim bahwa suatu unit usaha mendapatkan keuntungan lebih tinggi dari unit
usaha yang lain bila digambarkan dengan tingkat keuntungan yang lebih tinggi (secara
absolut) belum tentu menunjukkan bahwa unit usaha tadi memiliki kinerja yang lebih
baik. Harus dilihat perbandingannya dengan total asset yang digunakan untuk
mendapatkan keuntungan tadi. Keuntungan unit usaha A sebesar 100 Juta tidak lebih
baik dari sisi kinerja dibandingkan dengan unit usaha B yang membukukan keuntungan
hanya 50 Juta. Karena unit usaha A memerlukan asset senilai 1 Milyard rupiah,
sedangkan B memerlukan hanya 400 Juta rupiah. ROA dari unit usaha A adalah 100 juta
/ 1 Milyard = 10%. Sedangkan unit usaha B memiliki ROA 50 Juta / 400 Juta = 12,5%.

74
ROA terdiri dari Profit Margin dikalikan dengan Asset turnover. Perdefinisi dapat
digambarkan dalam formula sebagai berikut .
ROA = Profit Margin x Asset Turnover
= (Net Income + Biaya Bunga) x Sales atau Penjualan
Sales atau Penjualan Total Asset

Misalnya suatu lembaga memiliki unit usaha komersial berupa wartel yang dibangun
dengan nilai investasi termasuk peralatan sebesar Rp. 200 juta. Sedangkan pendapatan
selama setahun adalah Rp. 150 Juta, dimana keuntungan yang diperoleh (net income)
sebesar Rp. 40 Juta. Maka dengan rasio Du Pont tadi diperoleh ROA sebesar :
= 40 Juta x 150 Juta
150 Juta 200 Juta
= 20%
Rasio ini dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Kemampuan manajemen mengelola pendapatan dan mengontrol biaya usahanya
(efisiensi biaya) adalah 40 Juta / 150 Juta = 26%, sedangkan kemampuan mengelola
asset untuk mencapai penjualan setinggi-tingginya (kinerja usaha) adalah 75%.
Keduanya memberikan ROA sebesar 20%.

3.3.2.4 Rasio Biaya Operasional Program ke Biaya Program


Rasio ini menggambarkan berapa besar perbandingan antara biaya yang dikeluarkan
untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan misi lembaga dengan biaya yang
langsung terkait dengan program lembaga. Semakin tinggi biaya tidak langsung ini
menggambarkan lembaga yagn semakin tidak efisien dan kinerja operasionalnya dapat
disimpulkan memakan biaya yang sangat besar
= Biaya operasional : Biaya program
= 50.000 : 300.000
= 17%

3.3.2.5 Rasio Biaya Program ke Pendapatan Donasi.


Rasio ini menggambarkan perbandingan antara kegiatan utama lembaga dengan
pendapatan yang diperoleh lembaga dari usaha penggalangan dana.
= total biaya program : pendapatan dari donasi
= 300.000 : 250.000

75
= 120%
Dari rasio ini terlihat bahwa kegiatan program ternyata menghabiskan dana lebih dari
yang didapat dari donasi atau sumbangan yang terkait dengan program. Dengan
demikian lembaga dapat dikatakan telah melakukan penguatan sumber dananya
dengan tidak tergantung sepenuhnya pada donasi.

Selain menggunakan rasio-rasio keuangan, analisa atas kinerja dan effisiensi juga
dapat dilakukan dengan langsung menganalisa account Surplus atau defisit dalam
laporan aktivitas lembaga.
Bila pada suatu periode lembaga mengalami pendapatan yang lebih besar dari
pengeluaran, maka lembaga dikatakan memiliki surplus. Demikian juga sebaliknya,
bila ternyata pendapatan lebih kecil dari pengeluaran maka lembaga mengalami
defisit. Tidak ada aturan baku yang menyebutkan apakah suatu lembaga harus surplus
atau harus defisit atau harus break even (pulang pokok). Pada perusahaan komersial
hal ini lebih jelas karena sebagai pemiliki yang ingin investasinya menghasilkan lebih
banyak maka setiap perusahaan komersial dituntut untuk selalu surplus.

Hal yang perlu dicermati adalah surplus atau defisit yang mendadak atau jauh dari
rencana. Keganjilan ini harus dicari penyebabnya, beberapa kemungkinan dapat
terjadi antara lain :
4 Lembaga mendapat pendapatan extra yang tidak direncanakan sebelumnya,
dalam hal ini misalnya terjadi kenaikan bunga deposito atau lembaga
memenangkan hadiah uang dari suatu event. Bila ini terjadi maka surplus yang
terjadi dapat dimengerti.
5 Lembaga terpaksa mengeluarkan biaya yang tidak direncanakan sebelumnya,
misalnya kerusakan pada kantor lembaga atau kecelakaan yang terjadi pada
kendaraan lembaga, kebakaran, kebanjiran dan lain-lain yang tidak dapat
diprediksi sebelumnya.
6 Lembaga mengeluarkan biaya kegiatan suatu program dimana pendapatan
yang direncanakan untuk membiayainya ternyata tidak terrealisir atau batal
didapat. Bila hal ini terjadi maka diperlukan langkah antisipatif dari
manajemen untuk menyelamatkan kegiatan program ini dengan cara mencari
sumber dana alternatif, atau yang paling buruk adalah menghentikan kegiatan

76
program bila tidak ada sumber dana lain yang dapat digunakan untuk
membiayainya.
7 Lembaga merealisasikan sumber dana yang lebih besar daripada yang prediksi
sebelumnya, bisa diperoleh dari sumber usaha komersial lembaga yang
menunjukkan perkembangan positif. Bila hal ini terjadi maka untuk periode ke
depan dapat dirancang suatu program kegiatan yang lebih ekspansif karena
sumber pendanaan yang didapat ada potensi stabil dan lebih besar pada
periode ke depan.

3.3.3 Analisa Pulang Pokok (Break Even)

Analisa Break Even adalah suatu analisa yang dilakukan untuk menggambarkan berapa
pendapatan minimum yang harus diperoleh dalam suatu periode untuk menjamin
terpenuhinya sumber dana bagi biaya-biaya lembaga. Sebelum memulai analisa ini
pertama harus dipahami bahwa pengeluaran atau biaya lembaga, terdiri dari dua
komponen pokok berdasarkan perilaku biayanya yaitu berubahnya besaran biaya
dibandingkan dengan perubahan kegiatan :
 Biaya tetap (fixed cost)
 Biaya tidak tetap atau variabel cost

Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan atau pasti terjadi tanpa memiliki
hubungan dengan kegiatan lembaga. Definisi ekstrim ini sebenarnya tidak
mencerminkan realita persis demikian namun dapat digunakan sebagai dasar
pemahaman kita tentang perilaku biaya ini. Termasuk dalam golongan biaya ini adalah
biaya listrik, biaya telepon, gaji direktur lembaga, staf keuangan, personalia,
pembelian alat tulis kantor dan sejenisnya.

Bisa diamati bahwa pada suatu periode dimana lembaga tidak memiliki program
kegiatan lagi, maka biaya-biaya diatas tetap harus dikeluarkan. Meskipun tidak ada
kegiatan program yang dilakukan namun direktur lembaga tetap harus digaji, atau
biaya listrik tidak otomatis menjadi nol.
Perdefinisi seperti disebut diatas, biaya ini selain pasti terjadi juga berjumlah
tetap,oleh karenanya disebut sebagai fixed cost. Tetapi pada kenyataannya, pasti
terjadi memang ya, namun jumlahnya tentu berkorelasi dengan kegiatan lembaga. Bila
banyak program yang sedang dikerjakan tentu biaya telepon kantor akan

77
membengkak demikian juga biaya listrik. Akan tetapi contoh biaya yang lain seperti
gaji direktur dan staf keuangan, administrasi tidak menjadi lebih besar. Besaran untuk
jenis biaya tadi adalah tetap, tidak tergantung pada banyak tidaknya program yang
dilakukan.
Dengan demikian pemahaman fixed cost adalah biaya yang pasti terjadi ada atau tidak
ada kegiatan yang akan dilakukan pada suatu periode, namun besarnya bisa berubah
sesuai dengan besarnya kegiatan, meskipun tidak dapat menjadi nol bila tidak ada
kegiatan.
Jenis biaya yang lain adalah biaya variabel adalah suatu komponen biaya yang
bergerak murni berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga. Dalam hal lembaga
tidak memiliki kegiatan maka jumlahnya adalah nihil, demikian juga bila kegiatan
bertambah, jumlah ini akan meningkat proporsional dengan pertambahan kegiatan
lembaga.
Termasuk dalam kategori biaya ini adalah biaya gaji staf program, biaya perjalanan
program, biaya penyelenggaraan kantor program. Bila lembaga tidak memiliki kegiatan
program , maka tidak perlu dibayar gaji untuk staf program, karena tidak ada
pekerjaaan yang mereka lakukan, demikian juga untuk biaya perjalanan staf program.
Hal ini berlaku juga dalam kasus sebaliknya, bila banyak program yang dilakukan maka
gaji staf program akan semakin banyak juga, proporsional dengan pertambahan
kegiatan.
Analisa Pulang Pokok (APP) dilakukan untuk mengidentifikasi berapa jumlah biaya
tetap atau fixed cost untuk suatu periode dan kemudian menetapkan jumlah tersebut
sebagai minimum pendapatan atau penerimaan yang harus diperoleh. Tujuannya agar
biaya tetap tadi bisa dipenuhi berarti kegiatan normal tanpa kegiatan program akan
dapat dijalankan.
Lembaga memerlukan analisa ini agar kegiatan pengumpulan dana periode yang akan
datang memiliki suatu pegangan mengenai berapa jumlah minimum yang harus
didapatkan. Lebih spesifik lagi dapat dialokasikan kepada masing-masing bagian
pencarian dana untuk ditetapkan target minimum yang harus didapatkan.
Kelestarian suatu lembaga sedikit banyak akan sangat tergantung pada kemampuannya
untuk memenuhi biaya tetap ini. Karena sifatnya sebagai biaya yang minimum
diperlukan untuk menjaga suatu lembaga dapat berjalan meskipun tanpa program atau
kegiatan yang seharusnya merupakan kegiatan utama lembaga.

78
Kelestarian keuangan (financial sustainability) suatu lembaga sebenarnya dapat
diukur dengan analisa ini. Artinya dari total biaya tetapnya, apakah lembaga sudah
memiliki pendapatan ‘tetap’ juga yang besarnya sama dengan atau lebih besar dari
total biaya tetap tadi. Bila ya, maka berarti lembaga dapat tetap menjalankan
operasionalnya tanpa terganggu dengan ada atau tidak adanya pendapatan dari donasi,
sumbangan atau hibah.

Beberapa sumber dana tetap misalnya bunga dari dana abadi (endowment fund).
Suatu lembaga yang didirikan dengan suatu dana abadi dimana hasil investasi dana ini
merupakan sumber dana yang dapat memenuhi biaya tetapnya memiliki kemungkinan
sustanabilitas yang lebih tinggi.

Dana tetap juga dapat diperoleh dari hasil keuntungan usaha komersial lembaga. Suatu
lembaga nirlaba yang bergiat di bidang pendidikan lingkungan hidup di Bali misalnya,
telah menunjukkan bahwa program yang dilakukan akan lebih terjamin kontinuitasnya
dengan pemilikan unit usaha hotel dan warung telekomunikasi. Keuntungan dari unit
usaha ini dapat menjamin terpenuhinya biaya operasional lembaga bahkan kegiatan
program yang dasar. Kegiatan pencarian dana dengan demikian dapat digunakan
sebagai tambahan usaha untuk melakukan kegiatan atau program kegiatan tambahan

79
BAB 4 Manajemen kas (Cash management)

Manajemen kas lembaga merupakan tata cara pengelolaan uang masuk dan uang
keluar dengan membuat perencanaan, proyeksi serta pengawasan arus kas masuk dan
keluar. Berbeda dengan anggaran atau akuntansi, maka manajemen kas terkait secara
langsung dengan dana yang dimiliki oleh lembaga. Oleh karena itu, aspek yang akan
dibahas dalam bab manajemen kas ini adalah:
- Perencanaan arus uang kas masuk dan keluar
- Proses pembuatan proyeksi kas
- Pengelolaan saldo kas minimum.
- Pengelolaan saldo kas yang optimum

4.1 PERENCANAAN ARUS UANG KAS MASUK DAN KELUAR

Arus kas masuk dan keluar dalam suatu lembaga harus dipahami sedikit berbeda
dengan anggaran (budget). Arus kas menggunakan basis kas, sedangkan anggaran
menggunakan basis akrual. Basis kas relatif mudah dipahami. Dengan menggunakan
basis kas, maka jumlah uang masuk dibandingkan dengan jumlah uang keluar akan
sama dengan saldo kas. Fisik uang kas (baik itu di bank maupun tunai) akan sama
persis dengan saldo kas menurut perhitungan diatas.
Anggaran menggunakan basis akrual, artinya total pendapatan dikurangi dengan total
biaya sama dengan surplus atau defisit lembaga. Bila total pendapatan lebih besar dari
biaya, maka lembaga memiliki surplus, sebaliknya, bila biaya lebih besar dari
pendapatan lembaga menderita defisit.

Dalam hal lembaga diproyeksikan akan mendapatkan surplus, maka perlu diperhatikan
waktu atau timing dari penerimaan pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan yang
diproyeksikan tidak selalu diterima seketika dan seluruhnya, demikian juga biaya yang
dianggarkan. Jatuh tempo penerimaan dana serta pengeluaran biaya menjadi fokus
dari manajemen kas. Artinya, penerimaan dan pengeluaran dana kas harus dikelola
sedemikian hingga kegiatan tidak terhambat karena ketiadaan dana kas.
Oleh karena itu meskipun anggaran surplus tetap ada kemungkinan lembaga
mengalami kesulitan uang kas, karena timing penerimaan uang dengan pengeluaran

80
uang tidak seimbang. Artinya pendapatan belum diterima tetapi pengeluaran sudah
harus dibayar. Kesulitan likuiditas seperti ini biasanya terjadi untuk jangka pendek.
Likuiditas segera membaik ketika pendapatan yang dianggarkan diterima uangnya.

Manajemen kas suatu lembaga berfungsi untuk mengatasi hal ini. Perbedaan waktu
penerimaan dan pengeluaran dana harus diantisipasi dan dicarikan solusinya agar
dapat terpenuhi. Pada kasus lain, lembaga justru menerima seluruh pendapatannya
pada awal period sedangkan biaya-biaya baru akan dibayarkan pada bulan-bulan yang
akan datang. Dalam hal ini, manajemen kas berfungsi untuk memanfaatkan kelebihan
saldo dana tadi dengan menempatkannya pada instrumen investasi.(lihat bab tentang
investasi)

Permasalahan yang lebih serius adalah ketika lembaga memang diproyeksikan akan
menderita defisit. Harus dicarikan jalan keluar segera agar tidak defisit yaitu dengan
memperbesar pendapatan dibandingkan pengeluaran. Langkah berikutnya
mengusahakan agar pendapatan yang dianggarkan segera direalisasikan dalam bentuk
uang kas.

Untuk memberi gambaran mengenai bagaiman perbedaan basis akrual yang digunakan
dalam penyusunan anggaran dan basis kas dalam pengelolaan dana,dapat dilihat dalam
contoh berikut :
Lembaga ABC pada tahun anggaran 2008 telah mendapatkan komitmen untuk donasi
sebanyak 100 Juta rupiah. Pendapatan ini akan direalisir berupa sumbangan dari
pemerintah pada bulan Maret 2008. Biaya yang akan dikeluarkan untuk kegiatan ini
diperkirakan berjumlah 60 Juta. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa lembaga
akan mendapatkan surplus sebesar 40 Juta.
Terjadi ketidak cocokan arus kas masuk dan keluar karena pendapatan baru akan
direalisir ketika kegiatan selesai yaitu diperkirakan pada bulan Juni 2008. Untuk
kegiatan ini diberikan uang muka pada bulan Februari sebesar 20% yaitu 20 Juta
rupiah. Biaya akan terjadi sepanjang bulan Januari sampai Mei 2008 dalam jumlah
yang relatif sama yaitu 15 Juta per bulan.
Terjadi kesulitan likuiditas pada lembaga ABC berupa kekurangan kas sebesar 15 Juta
pada akhir Januari. Kelebihan kas 5 Juta pada bulan Februari, dan bulan-bulan
selanjutnya kekurangan kas sebesar 15 juta.

81
Untuk mengantisipasi kesulitan likuiditas dan sekaligus mengoptimalkan saldo kas
berlebih, maka dibuat suatu proyeksi arus kas masuk dan arus kas keluar sepanjang
periode yang disebut sebagai proyeksi cashflow. Proyeksi ini berguna antara lain
untuk:
1. Memudahkan manajemen mengontrol arus kas dan pada akhirnya berguna untuk
mengetahui kapan dibutuhkan uang kas untuk pembayaran, dan kapan dibutuhkan
arus kas masuk dari donor atau unit usaha lembaga. Dengan adanya data ini bila
diperkirakan terjadi arus kas keluar lebih besar dari arus kas masuk atau cash
shortage, maka dapat diputuskan tindakan atau alternatif apa yang dapat diambil
untuk mengatasi hal ini.
2. Bila terjadi total pendapatan lebih besar dari total pengeluaran, serta sudah
disimulasikan ke jadwal pengeluaran kas, ternyata masih ada dana yang sisa, maka
dapat ditentukan alternatif investasi yang akan diambil.

4.2 PEMBUATAN PROYEKSI CASHFLOW

Proses pembuatan proyeksi cashflow tersangkut erat dengan anggaran lembaga. Ketika
lembaga telah selesai membuat anggaran, maka langkah penting lainnya adalah
membuat kalender anggaran. Dalam kalender anggaran (detail mengenai ini dibahas
dalam bab anggaran) dimuat detail kegiatan yang akan dilakukan dan perkiraan waktu
pelaksanaannya. Dengan demikian dari kalender anggaran dapat dibuat suatu proyeksi
pengeluaran selama periode anggaran. Proyeksi ini sebaiknya dibuat bersama –sama
antara unit kerja/program lembaga dengan bagian keuangan. Output dari proyeksi ini
adalah besaran dana kas yang dibutuhkan pada waktu-waktu yang ditetapkan dalam
rencana kerja lembaga.

Oleh bagian keuangan, proyeksi pengeluaran dari masing-masing unit kerja/program


kemudian dikombinasikan dengan rencana pengeluaran untuk operasional kantor atau
kerap disebut sebagai biaya umum dan administrasi. Umumnya proses pembuatan
proyeksi uang keluar ini dimulai dari periode yang panjang untuk kemudian dibuat
menjadi periode yang lebih pendek. Misalnya dari anggaran tahunan dibuat proyeksi
pengeluaran per tahun, kemudian dirinci per kuartal sampai akhirnya per bulan.

82
Setelah mendapatkan proyeksi pengeluaran kas setiap bulan, langkah selanjutnya
adalah memproyeksikan penerimaan kas. Proyeksi ini diperoleh dari rencana
pendapatan yang dianggarkan dan dibantu dengan informasi lain. Misalnya informasi
dari perjanjian hibah yang menyatakan dana akan dikirimkan setiap kuartal. Seluruh
informasi ini akan digunakan untuk memproyeksikan besarnya uang kas yang akan
diterima selama periode anggaran dan kemudian dibuat perinciannya hingga ke
proyeksi penerimaan setiap bulan.

Selesai dengan proyeksi pengeluaran dan penerimaan, langkah selanjutnya adalah


penggabungan kedua proyeksi ini untuk melihat hasil bersih kas setiap bulan. Dengan
penggabungan ini akan terlihat apakah lembaga mengalami kekurangan atau kelebihan
kas setiap bulannya. Sekaligus pada tahap ini diputuskan tindakan yang akan diambil.

Bila terdapat bulan-bulan dimana akan terjadi kekurangan kas, maka kekurangan ini
akan ditutupi dengan saldo awal kas lembaga. Bila tidak juga memungkinkan, maka
harus diambil tindakan berupa :
- Dapatkan fasilitas pinjaman siaga (standby loan) dari bank atau perorangan, atas
nama lembaga yang siap untuk digunakan kapan sajak permintaan penggunaan
pinjaman tadi dikirimkan.
- Ubah jadwal kegiatan yang memerlukan dana besar ke bulan berikut untuk
memberi kesempatan bagi lembaga untuk “bernafas” sejenak. Pengeluaran kas
diusahakan menjadi lebih lambat.
- Ubah jadwal penerimaan dana menjadi lebih cepat agar dapat digunakan untuk
menutupi biaya yang tertahan tadi.
- Jual asset yang likuid atau tunda pembelian asset baru.
- Gunakan metode sewa atau leasing bagi perolehan asset untuk menghemat arus
kas keluar lembaga.
- Tunda pembayaran ke pemasok. Tindakan ini merupakan tindakan yang paling
tidak populer serta potensial merusah citra lembaga didepan suppliernya.
Penundaan ini dapat mengirim signal buruk tentang kemampuan lembaga
memenuhi kewajibannya saat ini dan dimasa depan.

83
Demikian juga ketika berdasarkan proyeksi kas terdapat bulan-bulan dimana saldo kas
lembaga akan sangat besar, maka dapat ditetapkan langkah yang akan dipilih untuk
mengoptimalkan saldo tadi. Berikut beberapa pilihan yang dapat dilakukan :
- Investasi jangka pendek dari kelebihan kas sementara. Alternatif yang tersedia
saat ini adalah:deposito berjangka juga pembelian saham di bursa efek (dengan
risiko yang jauh lebih tinggi).
- Pembelian kebutuhan lembaga dalam jumlah besar agar didapatkan potongan
harga atau discount. Meskipun kebutuhan saat ini tidak sebesar yang dibeli, namun
tujuan utama pembelian adalah untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang serta
mendapatkan potongan harga.

4.3 SALDO KAS MINIMUM (MINIMUM CASH REQUIREMENT)

Salah satu komponen penting dalam penyusunan proyeksi kas adalah menjaga saldo kas
minimum. Saldo kas minimum adalah jumlah uang kas minimum yang harus tersedia
dalam kas lembaga untuk membiayai kegiatan operasional lembaga sedemikian hingga
kegiatan rutin/operasional tidak terhenti. Beberapa jenis biaya termasuk dalam
kategori biaya yang harus disediakan dananya oleh lembaga, meskipun lembaga tidak
beroperasi penuh. Misalnya : biaya gaji pegawai, biaya listrik, biaya telefon,
pembelian alat tulis kantor, biaya pengiriman surat/dokumen dan biaya. Bagian
keuangan harus dapat menghitung besarnya biaya minimum suatu lembaga. Umumnya
dibuat berdasarkan data historis keuangan.

Biaya minimum memerlukan saldo kas minimum di rekening lembaga. Manajemen


lembaga menentukan untuk berapa lama biaya minimum harus tersedia di rekening
lembagan. Misalnya biaya minimum per bulan sebesar 15 Juta rupiah dan manajemen
memutuskan bahwa saldo kas minimum sebesar 1 bulan bulan biaya minimum, maka
saldo kas minimum lembaga adalah 15 Juta rupiah.
Dengan demikian dari hasil proyek kas, bila saldo per bulan berada dibawah 15 juta
rupiah akan dianggap bahwa bulan tersebut lembaga menderita defisit kas, dan harus
dicarikan jalan keluarnya.

84
4.4 REVIEW PROYEKSI KAS

Proyeksi kas harus senantiasa dimonitor dalam perjalanannya. Bila terjadi


penyimpangan yang signifkan harus segera diambil tindakan untuk mengatasinya. Pada
periode tertentu dimungkinkan untuk melakukan revisi. Hal ini dapat dilakukan karena
penyimpangan atau variasi yang terjadi sudah sedemikian besar dan permanen hingga
angka yang dipakai dalam proyeksi awal sudah tidak relevan lagi.

Jadwal atau saat dilakukannya review serta revisi proyeksi kas ditentukan oleh
manajemen. Bisa dilakukan per bulan untuk review serta revisi per 3 (tiga) bulan.
Review dan revisi dilakukan dengan memperhatikan pengeluaran dan penerimaan
aktual yang terjadi selam periode tersebut dan proyeksi masa depan.

85
BAB 5 ANGGARAN (BUDGET)

Anggaran atau budget dalam lembaga nirlaba memainkan peran yang penting. Karena
lembaga nirlaba tidak berorientasi pada pembentukan profit sebesar-besarnya, maka
fokus lebih besar diarahkan pada disain serta implementasi program atau rencana
kegiatan. Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan akan dapat direalisasikan dengan
sumber pendanaan. Tetapi sumber pendanaan lembaga nirlaba memiliki
ketidakpastian yang lebih tinggi, terutama dibandingkan dengan sumber pendapatan
dari lembaga komersial. Kecuali lembaga memiliki sumber dana sendiri, maka aspek
pendapatannya menjadi tidak pasti. Ditengah ketidakpastian penerimaan, pengeluaran
harus dirancang serta direncanakan. Dengan demikian anggaran menjadi sangat
penting. Dengan adanya ketidakpastian penerimaan, maka pengeluaran haruslah
direncanakan dengan fleksibel, menyesuaikan diri dengan penerimaan pada satu sisi.
Sisi yang lain adalah program atau kegiatan utama lembaga justru harus terrealisir.

Pada bagian ini akan dibahas mengenai konsep yang harus dipahami dalam menyusun
dan membaca anggaran. Demikian juga fungsi anggaran, proses penyusunannya
termasuk siapa saja yang terlibat disana. Pada bagian akhir akan dibahas mengenai
implikasi atau tindakan lanjutan yang harus dilakukan setelah anggaran tersusun .
Termasuk disini adalah penyusunan jadwal kerja (workplan), monitoring dan evaluasi
periodik serta revisi anggaran (bila diperlukan).

5.1 KONSEP ANGGARAN

Budget atau anggaran adalah suatu rencana detail yang digambarkan dalam satuan
moneter yang menerangkan bagaimana lembaga akan memperoleh sumber daya,
berapa besar kebutuhan dana dalam satu periode, bagaimana lembaga akan
menggunakan sumber dananya serta berapa besar penggunaan dana tadi.

86
Anggaran harus dipahami dengan konsep akrual. Hal ini kadang rancu dengan konsep
kas yang terlihat sehari-hari. Dengan pemahaman konsep ini, maka suatu lembaga
dapat mengklaim bahwa realisasi pendapatan dan biaya pada suatu periode
menghasilkan surplus bagi lembaga. Namun pada saat yang sama lembaga tidak dapat
membayar gaji staf nya. Klaim diatas tidak salah. Karena klaim berdasar pada konsep
akrual. Pembayaran gaji yang tertunda terjadi ketika seluruh proyeksi pendapatan
yang dibuat dapat direalisir. Misalnya komitmen grant sudah diperoleh lewat
penandatanganan grant agreement. Namun donor belum merealisasikan pengiriman
dananya. Pada sisi yang lain, pengeluaran yang diproyeksikan harus direalisir segera.
Sehingga terjadi kekurangan dana kas.

Anggaran memiliki fungsi penting bagi lembaga, antara lain :


 Perencanaan
Rencana kegiatan suatu lembaga akan memaksa setiap individu yang terlibat untuk
merencanakan semua kegiatan yang akan dilakukannya. Dengan adanya perencanaan
maka dapat diperkirakan kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Sekaligus melihat
kemungkinan pemenuhanannya. Bila tidak mungkin dipenuhi,maka kegiatan harus
direduksi atau disesuaikan.
Budget berfungsi sebagai alat perencanaan berupa kegiatan-kegiatan rinci yang akan
dilakukan pada tahun pertama tadi. Seluruh kegiatan yang akan dilakukan beserta
sumber daya yang diperlukan akan dicerminkan dalam budget lembaga.

 Alat komunikasi dan koordinasi.


Fungsi lain dari budget adalah sebagai alat komunikasi dan koordinasi antar bagian
dalam suatu lembaga. Dengan kegiatan-kegiatan yang rinci, staf lapangan dari program
akan memiliki pemahaman mengenai tugas atau hal-hal yang perlu dipersiapkan
selama periode tadi. Staf support atau pendukung program seperti bagian keuangan,
administrasi, publikasi juga dapat memiliki pemahaman mengenai apa saja yang harus
disajikan untuk mendukung kegiatan program di lapangan. Dengan demikian dari misi
lembaga, diterjemahkan dalam budget tahunan dan masing-masing komponen dalam
lembaga melihat ke budget tersebut dan saling mendukung satu sama lainnya. Dengan
kata lain komunikasi antara elemen dalam lembaga terjalin lewat kegiatan-kegiatan
yang dibudgetkan.

87
 Alokasi sumber daya.
Sumber daya baik dalam bentuk personnel, dana, perlengkapan dan waktu yang
tersedia dalam setiap lembaga adalah terbatas. Budget memungkinkan semua pihak
yang terlibat untuk memperkirakan pengalokasian sumber daya yang ada. Dengan kata
lain menyadari keterbatasan dari sumber daya yang tersedia, maka untuk suatu target
pencapaian yang yang ditetapkan lewat budget dapat diketahui bagaimana sumber
daya tadi dialokasikan. Pada akhirnya lembaga akan mengoptimalkan penggunaan
sumber daya yang terbatas tadi.

 Alat kendali operasi.


Anggaran pada dasarnya adalah rencana. Suatu rencana tentu dapat saja berubah bila
diperlukan. Perubahan dapat dilakukan ketika disadari bahwa realisasi atau kemajuan
yang dicapai tidak sesuai dengan yang direncanakan. Anggaran dapat berfungsi sebagai
alat untuk mendeteksi deviasi ini serta mengendalikannya lewat revisi atau
penyesuaian yang diperlukan.

 Alat ukur kinerja dan dasar pemberian insentif.


Budget yang ditetapkan pada awal periode akan menjadi alat ukur bagi semua bagian
pada akhir periode. Evaluasi atas kinerja suatu bagian lembaga atau bahkan personel
yang terlibat dapat dilakukan dengan melihat pencapaian sesuai yang dianggarkan.
Untuk mengukur kinerja bagian fundraising, maka salah satu tolok ukurnya adalah
penerimaan lembaga yang dapat direalisir pada akhir periode dibandingkan dengan
anggaran semula. Setelah menjadi alat untuk mengukur maka anggaran juga sekaligus
dapat berfungsi sebagai basis bagi pemberian insentif, untuk mereka yang kinerjanya
baik. Sebaliknya sebagai dasar untuk memberikan hukuman bagi yang kinerjanya
dibawah yang sudah direncakan semula.

5.2 PENYUSUNAN ANGGARAN (BUDGET)

Proses penyusunan anggaran dalam suatu lembaga harus mempertimbangkan 3 (tiga)


hal berikut :
1. Anggaran harus berdasar pada rencana strategis lembaga
2. Proses penyusunannya harus partisipatif
3. Anggaran harus dimonitor secara terus menerus

88
Anggaran merupakan penterjemahan dari rencana strategis lembaga. Anggaran
mengoperasionalisasikannya dalam jangka waktu yang lebih pendek yaitu satu tahun.
Dengan demikian, anggaran harus mencerminkan dan merujuk pada rencana strategis
lembaga. Manajemen lembaga harus mampu menterjemahkan hal ini kedalam rencana
tahunan lembaga. Proses pembuatan anggaran oleh karenanya dimulai dengan
penetapan tujuan lembaga untuk tahun yang bersangkutan. Penetapan ini akan
digunakan sebagai pedoman dalam perancangan anggaran program/bagian/unit.
Termasuk dalam penetapan ini besaran anggaran yang direncanakan. Tujuan
penginformasian besaran perkiraan anggaran agar dalam proses penyusuan rencana
kegiatan dapat menjadi lebih realistis. Karena sudah dipandu oleh besarnya anggaran
maksimum yang dapat diperoleh lembaga. Dalam tahap ini, proses penyusunan relatif
top-down.
Untuk lembaga yang sudah besar dan mapan, maka proses top-down dapat dilakukan.
Sebaliknya untuk lembaga yang masih kecil atau lembaga dengan struktur yang relatif
lepas, maka arah ini justru harus dibalik. Pada beberapa LSM, besaran anggaran
ditetapkan bersama-sama. Artinya staf program duduk bersama dengan direktur
eksekutif untuk mengusulkan kegiatan yang dapat dilakukan dan besaran dana yang
diperlukan. Setelah itu, dirundingkan sumber dana apa yang akan digunakan untuk
mendanainya.

Peran dari board/dewan pembina, pimpinan lembaga dan bagian keuangan menjadi
amat penting . Bagian keuangan harus menyediakan data-data historis mengenai
pencapaian anggaran yang lalu, sumber daya yang dimiliki serta hal-hal lain yang
dipandang perlu untuk penetapan besaran maksimum yang dapat diserap lembaga.
Selain itu, senior dari masing-masing program/unit kerja juga dapat diundang duduk
untuk memberikan input mengenai garis besar kegiatan yang dirasa penting untuk
dilakukan. Pimpinan lembaga dapat memberikan pandangannya mengenai peluang-
peluang serta kemungkinan dimasa depan. Dewan pembina lembaga juga dapat
dimintai masukannya mengenai arahan strategis dari kegiatan yang selayaknya
dilakukan pada periode yang akan datang.
Unit kerja/program dari lembaga kemudian akan menindaklanjuti dengan mengajukan
disain program atau kegiatan yang akan dilakukan bersamaan dengan estimasi biaya

89
yang diperlukan. Indikator pencapaian juga dapat disertakan untuk memudahkan
proses monitoring dan evaluasi.
Usulan dari masing-masing unit kerja/program haruslah fleksibel. Artinya dari
serangkaian usulan tadi, harus ada keleluasaaan untuk menambah atau mengurangi
bila keadaan meminta. Untuk tidak kehilangan fokus, maka selayaknya usulan
dikategorikan dalam prioritas. Kegiatan dengan prioritas utama akan menempati
urutan teratas dan seterusnya. Penetapan prioritas ini diperlukan untuk proses
selanjutnya.

Pada tahap ini bagian keuangan dapat membantu dengan menyediakan format baku
dari usulan anggaran (template), data-data biaya (misalnya biaya transport untuk
tujuan-tujuan tertentu, biaya akomodasi per hari dan sebagainya) serta struktur
anggaran. Artinya bagian keuangan harus memastikan bahwa dalam merancang suatu
kegiatan, sudah tercakup seluruh komponen biaya yang diperlukan . Disamping itu,
satuan biaya yang diajukan adalah realistis.

Proses selanjutnya adalah pengumpulan seluruh usulan anggaran dan mendiskusikan


bersama-sama. Pada tahapan ini usulan dari masing-masing unit kerja/program akan
digabungkan menjadi rencana anggaran lembaga. Dengan penggabungan ini sinergi dan
sinkronisasi antar program dapat terlihat. Demikian juga realistis atau tidaknya suatu
usulan dapat dibahas dengan memperhitungkan sumber daya yang dimiliki.
Pengurangan atau penambahan anggaran kegiatan akan terjadi dalam proses ini dan
senantiasa berpikir dalam kerangka lembaga. Artinya, setiap kegiatan lepas dari
penting atau tidaknya senantiasa harus memperhitungkan kepentingan lembaga. Untuk
itu pengkategorian usulan anggaran menjadi penting. Ketika akan dilakukan
pengurangan anggaran kegiatan, tentu akan dilakukan untuk kegiatan dengan prioritas
terrendah.

Tahapan terpenting dalam proses penyusuan lembaga adalah memprediksi sumber


dana untuk membiayai kegiatan yang direncanakan. Data historis sekali lagi dapat
digunakan sebagai dasar untuk prediksi sumber dana yang akan diperoleh. Sumber
dana merupakan bagian dari anggaran yang tidak dapat dikontrol oleh lembaga.
Padahal perkiraan pendapatan akan mempengaruhi secara langsung tingkat kegiatan
yang akan dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan ini dapat dibuat anggaran penerimaan

90
dalam berbagai skenario. Umumnya dibuat dalam tiga tingkatan, konservatif, moderat
serta agresif.

Tingkatan konservatif berarti perkiraan sumber dana yang diprediksikan hanya


berdasarkan pada sumber dana yang tingkat kepastiannya tinggi. Hanya sumber dana
yang sudah pasti didapat saja yang akan dicantumkan dalam perkiraan pendapatan.
Budget dengan tingkatan moderat mempertimbangkan sumber dana yang relatif lebih
rendah tingkat kepastiannya dibandingkan konservatif. Dengan demikian biasanya
dengan tingkat ini sumber dana suatu lembaga akan lebih besar diperhitungkannya
dibandingkan dengan tingkatan konservatif. Budget dengan tingkatan agresif
mempersepsikan sumber dana yang akan diperoleh termasuk dana yang lebih kecil
tingkat kepastian perolehannya. Dengan demikian pada tingkatan ini budget suatu
lembaga kan memiliki sumber dana yang terbesar dibandingkan dengan dua tingkatan
sebelumnya.

Kegunaan dari pembuatan anggaran penerimaan dalam skenario yang berbeda ini
adalah fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan. Pada skenario konservatif maka
kegiatan yang akan dilakukan hanya kegiatan yang memiliki prioritas utama dan hanya
hal-hal yang esensial yang akan dilakukan yang mempengaruhi periode yang
bersangkutan. Untuk skenario berikutnya dapat ditambahkan kegiatan-kegiatan yang
berada pada prioritas yang lebih rendah dimana pelaksanaannya dapat ditunda
tergantung pada sumber dana yang tersedia.

Biaya yang dibudgetkan harus diidentifkasi antara biaya tetap (fixed cost) yaitu biaya
yang harus dikeluarkan tidak tergantung pada tingkat kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga. Dengan kata lain ada atau tidak kegiatan maka jenis pengeluaran ini harus
dibayarkan oleh lembaga. Termasuk didalam golongan biaya tetap dalam suatu
lembaga misalnya : biaya sewa kantor, gaji pegawai keuangan dan administrasi, gaji
pimpinan lembaga, biaya listrik, telepon dan lain sebagainya. Data historis periode
yang lalu dapat dijadikan sebagai dasar perkiraan dikaitkan dengan beban kerja yang
direncanakan. Juga dimasukkan perkiraan kenaikan harga atau tarif untuk jenis jasa
atau produk tertentu. Misalnya anggaran biaya listrik dan telepon yang disesuaikan
dengan rencana kenaikan tarif yang ditetapkan pemerintah.

91
Biaya lain dengan karakteristik yang berbeda adalah biaya variabel. Biaya ini adalah
biaya-biaya yang diperkirakan akan timbul sejalan dengan kegiatan yang direncanakan
oleh lembaga. Disamping itu besarnya biaya variabel juga linier dengan besarnya
kegiatan lembaga. Semakin besar kegiatannya, maka biaya variabel yang harus
dibudgetkan harus semakin besar.

Akhirnya, anggaran dapat disusun dengan komponen penerimaan yang terdiri dari 3
skenario, demikian juga pengeluaran per unit kerja/program dengan skenario yang
sama. Disamping itu juga ditetapkan biaya tetap pengelolaan lembaga sebagai
minimum pendapatan yang harus diperoleh.

5.3 KALENDER ANGGARAN

Anggaran yang sudah ditetapkan harus ditindaklanjuti dengan pembuatan rencana


kegiatan dalam satu waktu yang lebih kecil, misalnya per bulan. Tujuannya agar dapat
diperkirakan dana yang harus disediakan atau diperoleh per periode waktu tersebut
sehingga tidak terjadi hambatan karena ketiadaan dana. Disamping itu juga harus
ditetapkan siapa staf lembaga yang bertanggungjawab untuk melakukan eksekusi
program yang sudah ditetapkan. Agar koordinasi dan monitoring kegiatan dapat
dilakukan lebih mudah.
Kalender anggaran dengan demikian akan berisi:
 Daftar kegiatan masing-masing unit kerja/program per bulan
 Dana yang dibutuhkan per bulan
 Staf yang bertanggungjawab untuk kegiatan tersebut
 Target pencapaian/indikator pencapaian dari kegiatan tersebut pada setiap
satuan waktu

5.4 BENTUK DAN CONTOH ANGGARAN

Bentuk atau format anggaran sebaiknya mengikuti bentuk bagan perkiraan lembaga.
Tujuannya agar tidak diperlukan lagi usaha tambahan untuk melakukan analisa
anggaran. Anggaran yang ditetapkan akan dipakai sebagai tolok ukur kegiatan dan
dana. Sedangkan realisasi setiap bulan juga akan dibukukan pada format yang sama
sehingga terlihat persentase atau kemajuan pencapaian dari kegiatan dibandingkan
dengan anggarannya. Demikian juga format anggaran akan digunakan sebagai bahan

92
perencanaan arus kas. Kesamaan format ini memudahkan proses pembandingan dan
tidak diperlukan usaha tambahan dalam proses pencatatan sehari-hari.

5.5 FORMALISASI PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN

Setelah satu siklus anggaran dilakukan, maka bagian keuangan dapat membuat suatu
sistem baku mengenai proses ini. Dengan adanya sistem penganggaran maka jadwal
waktu yang penting dalam proses penyusunan dapat diketahui, demikian juga siapa
mengerjakan apa. Bila perlu dapat disertai format blanko anggaran terutama dalam
bentuk file elektronik untuk memudahkan penyusunannya. Sistem ini sebaiknya
dicantumkan dalam sistem operasi lembaga dan menjadi baku.
Dalam penyusunan sistem ini, harus diidentifikasi lebih dahulu :
 Langkah-langkah penting dalam penyusunan anggaran
 Personil yang terlibat mulai dari proses penyebar luasan rencana anggaran,
format baku sampai kepada penyebarluasan anggaran final
 Otorisasi anggaran dalam arti siapa yang harus menyiapkan draft anggaran dan
siapa yang berwenang mensahkannya termasuk juga perubahan anggaran bila
ada.
 Jadwal waktu untuk penyusunan, monitoring, revisi serta pelaporan periodik

5.6 REVISI DAN MONITORING BUDGET

Anggaran yang sudah dibuat oleh manajemen lembaga kemudian akan dimintakan
persetujuan dari dewan pembina dan dewan pengawas untuk kemudian
diimplementasikan. Pada periode-periode yang sudah disepakati, bagian keuangan
akan memberikan informasi mengenai pencapaian dari masing-masing pos anggaran.
Deviasi yang terlalu jauh baik itu melebihi atau lebih kecil dari anggaran yang
ditetapkan memerlukan perhatian khusus untuk dicarikan penyebabnya. Segera setelah
penyebabnya diketahui maka harus diukur dampaknya terhadap periode mendatang.
Artinya bila kelebihan pengeluaran terjadi karena terdapat pos-pos yang tidak
dianggarkan sebelumnya, maka hal ini harus ditindaklanjuti dengan seksama. Karena
kemungkinan besar program atau kegiatan tersebut akan mengalami kekurangan dana.
Sehingga tindakan berupa perampingan kegiatan atau penambahan anggaran harus
dilakukan. Pada kasus yang sama, bila penyebabnya hanya pengeluaran yang
dijadwalkan semula ternyata realisasinya lebih cepat, tidak perlu dikuatirkan. Karena
hal ini akan terkompensasi dengan jadwal berikutnya.

93
Kembali bagian keuangan memegang peranan penting dalam melakuan analisa
pencapaian ini dan berkoordinasi dengan unit kerja/program untuk mengidentifikasi
penyebabnya.

Dalam perjalanannya budget harus senantiasa digunakan sebagai tolok ukur untuk
memonitor kegiatan yang dilakukan. Review atas budget yang dilakukan secara
periodik akan sangat membantu lembaga dalam mencapai tujuan yang akan dicapai.
Oleh karena itu secara teratur budget direview setiap 3 (tiga) bulan dan revisi bila
diperlukan dapat ditetapkan setiap 6 (enam) bulan akan ideal bagi suatu lembaga.
Revisi diperlukan bila dipandang realisasi budget sudah sangat jauh dari budget semula
dan dipandang perlu untuk disesuaikan untuk mencerminkan kegiatan yang realistis
yang dilakukan lembaga. Revisi bisa berupa penambahan atau pengurangan biaya
bahkan bisa juga pengalihan budget dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain sesuai
dengan pertimbangan dan kondisi selama periode tadi.

Proses revisi budget sebagaimana proses pembuatannya juga melibatkan banyak pihak.
Staf bagian keuangan akan memberi gambaran berapa budget aktual yang sudah
dicapai baik dari sisi pendapatan maupun biaya. Staf program akan memberikan
penjelasan atau proyeksi kedepan mengenai kegiatan yang menjadi
tanggungjawabnya. Kemudian bersama-sama dirumuskan revisi yang diperlukan
berdasarkan data-data aktual yang diperoleh dan proyeksi kegiatan oleh staf program.

5.7 PERAN, PARTISIPASI DAN TANGGUNGJAWAB

Manajemen lembaga perlu memperhatikan budget lembaganya dan harus memberikan


signal kepada seluruh staf bahwa manajemen peduli dan senantiasa mengontrol
budget lembaga. Agar diperoleh persepsi demikian maka perlu dilakukan
pembandingan antara aktual dengan budget, dimonitor pelaksanaannya dan terpenting
adalah diambilnya tindakan koreksi atau perbaikan bila didapat hal-hal yang
menyimpang atau memerlukan keputusan segera dari manajemen lembaga. Dengan
dilakukannya tindakan tindakan diatas maka staf lembaga akan mempersepsikan
bahwa manajemen sangat concern terhadap budget, oleh karena itu dalam
pelaksanaan kegiatan sehari-hari mereka akan senantiasa merujuk kebudget yang telah
ditetapkan. Sehingga diharapkan tidak ada kegiatan yang sudah dibudgetkan namun

94
tidak dilakukan sama sekali atau dibudgetkan dan dilakukan tetapi dengan pencapaian
jauh diatas atau dibawah nilai yang sudah dibudgetkan tadi.

Dalam kaitannya dengan tanggung jawab atasan dan bawahan dalam proses budgeting,
maka diperlukan pembedaan antara situasi normal dan situasi khusus. Dalam situasi
normal, maka proses budgeting harus partisipatif, terbuka dan budget yang sudah
ditetapkan harus disosialisasikan kesemua pihak yang berkepentingan termasuk
kepada setiap staf dilapangan sebagai pelaksana. Dalam kasus normal ini, maka
supervisor hanya berfungsi memonitor pada waktu-waktu tertentu saja dan seluruh
kegiatan sehari-hari praktis dilakukan oleh bawahan. Bawahan memberi input
kepadanya karena sebagai pelaksana sehari-hari ia memiliki pengetahuan yang paling
baik mengenai kegiatan itu sendiri. Saran dari bawahan harus diperhatikan dalam hal
diperlukan tindakan koreksi atau perbaikan dari pelaksanaan budget.

Dalam kasus khusus maka dapat saja proses budgeting dilakukan tanpa unsur
partisipasi dan keterbukaan berupa supervisor mengabaikan saran atau input dari
bawahannya. Misalnya dalam kondisi sebagai berikut :
 Rencana yang disajikan oleh bawahannya secara jelas tidak tepat dan
berdasarkan data atau asumsi yang diketahui dengan pasti olehnya salah.
Bisa juga rencana ini tidak berdasarkan suatu informasi yang diketahui oleh
supervisor namun tidak diketahui oleh bawahannya. Dalam hal ini maka
supervisor dapat langsung mengambil keputusan atau tindakan koreksi
meskipun bawahannya tidak sependapat.
 Data empiris menunjukkan bahwa dalam dua atau tiga periode sebelumnya,
tindakan koreksi yang diusulkan oleh bawahan senantiasa tidak efektif.
Dalam hal ini supervisor dapat langsung mengambil tindakan koreksi tanpa
memperhitungkan usulan bawahannya karena terbukti sebelumnya tidak
efektif. Untuk hal ini perlu dilakukan dokumentasi atas review yang
dilakukan pada periode sebelumnya.
 Bila terdapat suatu keputusan yang ada didalam otoritas supervisor namun
bawahan harus terlibat, maka supervisor dapat langsung mengambil
tindakan pada tahap-tahap awal dan mengarahkannya untuk selanjutnya
karena tindakan ini berada dalam otoritasnya.

95
BAB 6 PENGENDALIAN INTERN (INTERNAL CONTROL)

6.1 PENGANTAR

Untuk menunjang akuntabilitas lembaga, maka diperlukan media berupa pelaporan


yang tepat waktu dan akurat, tentunya juga harus dapat mencerminkan fakta yang
sebenarnya. Guna tercapainya produk tadi, maka diperlukan tata kerja yang
diterjemahkan dalam bentuk sistem dan prosedur, formulir, proses akuntansi dan
seterusnya. Akuntabilitas dapat terjaga ketika ada mekanisme pengendalian yang
melekat di dalam lembaga itu sendiri. Pengendalian ini dapat berupa penetapan
otoritas pengambilan keputusan, penggunaan prosedur check dan re-chek, laporan dan
sebagainya. Inti dari diaplikasikannya pengendalian ini adalah berusaha agar kualitas
produk dari lembaga ke luar (laporan keuangan, data-data pencapaian dan sebagainya)
dapat dipertanggungjawabkan karena dihasilkan dari proses yang terawasi.

Dengan demikian bahasan pada bab ini akan mencakup definisi, kegunaan serta tujuan
diaplikasikannya mekanisme pengawasan internal, unsur-unsur apa saja yang
termasuk dalam pengawasan internal lembaga serta ciri-ciri dari ada atau tidaknya
pengawasan internal tadi. Pada bagian terakhir akan dibahas aplikasi dari
pengendalian internal ini pada beberapa area pengawasan yang spesifik serta paling
rawan terhadap penyimpangan.

Pengendalian Intern (PI) dapat didefinisikan sebagai serangkaian kebijakan dan


prosedur yang diciptakan untuk memberikan jaminan yang memadai untuk tercapainya
tujuan organisasi.
Dengan demikian PI yang diciptakan mencakup unsur-unsur :
 Penetapan kebijakan-kebijakan dalam semua aspek organisasi
 Penetapan prosedur-prosedur untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada
dicerminkan dalam implementasi kegiatan lembaga.
 Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan mengandung suatu tujuan tertentu.
Manajemen lembaga harus menciptakan kebijakan-kebijakan untuk hal-hal yang
penting dalam kegiatan lembaga. Manajemen membuat kebijakan tentang sumber

96
daya manusia, sumber daya keuangan dan lain sebagainya. Setelah kebijakan
diciptakan, dalam tahap pelaksanaannya sehari-hari harus ada orang-orang yang
melaksanakannya, mekanisme pelaksanaannya serta hal-hal lain yang dibutuhkan
untuk mendukung pelaksanaan prosedur yang ada. Kebijakan untuk dapat efektif
dilaksanakan butuh suatu petunjuk pelaksanaan yang lebih detail yang merupakan
pedoman bagi pelaksana dilapangan. Penetapan tujuan dari setiap kebijakan dan
prosedur yang ditetapkan merupakan usaha lembaga untuk memastikan pencapaian
tujuan lembaga itu sendiri.

6.2 TUJUAN PENGENDALIAN INTERN

Manajemen merancang PI dengan tujuan :


1. Harta kekayaan lembaga terjaga
2. Mencek dan meneliti keandalan data akuntansi.
3. Mendorong efisiensi
4. Mendorong kepatuhan terhadap kebijakan manajemen.

Manajemen keuangan lembaga terkait erat dengan tujuan pertama dan kedua yang
kerap kali disebut sebagai pengendalian akuntansi (accounting control) sedangkan
tujuan ketiga dan keempat disebut sebagai pengendalian administratif (administrative
control).

6.2.1 Harta Kekayaan Lembaga Terjaga


PI bertujuan agar harta kekayaan lembaga terjaga berarti setiap kebijakan dan
prosedur pelaksanaan yang diciptakan akan berusaha semaksimal mungkin menjaga
kuantitas dan kualitas aktiva atau harta yang ada. Hal ini bagi lembaga nirlaba adalah
hal yang penting karena integritas pengelola lembaga harus tertuju pada akuntabilitas
dari dana atau donasi yang diberikan masyarakat ke lembaganya. Dengan senantiasa
menjaga aktivanya agar dapat mendukung kegiatan guna pencapaian tujuan lembaga
maka berarti lembaga telah menjalankan amanat yang diserahkan oleh masyarakat.

6.2.2 Mencek dan Meneliti Keandalan Data Akuntansi.


Tujuan berikutnya dari PI adalah menjamin bahwa data yang diinformasikan ke pihak
manajemen adalah data yang tingkat keandalannya tinggi hingga kemungkinan
manajemen mengambil keputusan yang keliru karena data yang salah dapat dijaga

97
pada tingkat minimal. Pengendalian intern yang baik dapat memberikan jaminan
tingkat keandalan dan ketelitian data yang tinggi.
6.2.3 Mendorong Efisiensi
Tujuan PI yang lain adalah agar kebijakan dan prosedur yang dibuat oleh manajemen
lembaga berujung pada pencapaian efisiensi kegiatan lembaga. Tanggungjawab sosial
lembaga dalam pengelolaan dana publik atau yang dipercayakan kepada lembaga
adalah menggunakannya dengan seefisien mungkin. Artinya dengan dengan dana yang
ada harus dicapai hasil yang sebesar-besarnya dan manajemen harus memastikan
bahwa segala kegiatan yang dilakukan sehari-hari harus senantiasa mencerminkan
prinsip efisiensi.
6.2.4 Mendorong Kepatuhan Terhadap Kebijakan Manajemen.
Kebijakan manajemen dalam operasional lembaga harus dilaksanakan dan menjadi
arahan bagi kegiatan yang dilakukan oleh staf sehari-hari. Prosedur PI juga harus
mendukung agar kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen dipatuhi oleh staf. Hal
ini dilakukan dengan pencantuman sanksi yang melekat atau penghargaan yang akan
diberikan kepada siapa saja yang melanggar atau senantiasa patuh.

6.3 UNSUR-UNSUR PENGENDALIAN INTERN

Efektifitas dari pencapaian tujuan internal control yang ditetapkan tergantung pada
bagaimana unsur-unsur yang membentuknya bekerja. Unsur utama pembentuk internal
control adalah :
 Lingkungan pengendalian
 Sistem akuntasi
 Prosedur Pengendalian.

Lingkungan pengendalian yang baik akan menunjang praktek-praktek keuangan yang


sehat, demikian juga sebaliknya. Bila lingkungkan pengendalian tidak baik maka akan
tercermin di sikap dan tindakan manajemen sehari-hari terhadap pengendalian intern.
Contoh : Budget atau anggaran suatu lembaga sudah ditetapkan setiap awal tahun
untuk mekanisme pengendalian dimana salah satu unsur didalamnya adalah total
pembelian maksimum perlengkapan kantor yang dapat dibeli tahun yang
bersangkutan. Dalam prakteknya ternyata manajemen tidak pernah membandingkan
total pembelian yang sudah dilakukan dengan anggaran atau budget yang tersedia.
Dengan kata lain manajemen tidak melihat perlunya pembandingan ke budget ini

98
dilakukan sebelum melakukan otorisasi atau perseetujuan pembelian perlengkapan
baru. Akibatnya pada akhir tahun pembelian akutal perlengkapan kantor melebihi
budget dan lembaga mengalami kesulitan cashflow untuk membiayai kegiatan
program. Staf lembaga melakukan praktek yang sama karena melihat tidak pernah ada
mekanisme kontrol ke budget dipermasalahkan oleh manajemen. Dari kasus diatas
terlihat bahwa lingkungan pengendalian tidak menunjang pelaksanaan prosedur yang
ditetapkan sehingga juga tidak mendukung pencapaian tujuan pembentukan sistem
internal control.

6.4 CIRI-CIRI PENGENDALIAN INTERN

Sistem akutansi seperti dibahas dimuka merupakan kumpulan dari dokumen dan
prosedur. Sistem akuntansi yang efektif memberikan jaminan yang cukup bahwa semua
transaksi yang terjadi dalam lembaga memiliki ciri :
 Yang dicatat adalah sah
 Yang dicatat telah diotorisasi
 Yang terjadi telah dicatat
 Yang terjadi telah dinilai dengan wajar
 Yang terjadi telah diklasifikasikan dengan wajar
 Yang terjadi telah dicatat dalam periode yang benar
 Yang terjadi telah dicatat dengan perincian yang benar

Sebagai tambahan terhadap lingkungan pengendalian (yang mencerminkan sikap dan


tindakan manajemen terhadap pengendalian intern), sistem akuntansi (yang
memproses transaksi dan menyelenggarakan pertanggungjawaban asset dan hutang
lembaga) maka prosedur diperlukan untuk memperkuat pengendalian intern.

Prosedur yang ditetapkan harus memenuhi salah satu atau lebih dari tujuan sebagai
berikut :
 Pemisahan tugas
 Otorisasi
 Perancangan dan penggunaan dokumen yang memadai
 Pengendalian secara fisik atas asset lembaga
 Pengecekan pihak yang independen

99
Tujuan dari pemisahan tugas adalah untuk mencegah dan untuk memungkinkan adanya
deteksi dini atas kesalahan dan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan tugas yang
dibebankan ke seseorang staf lembaga. Dengan adanya pemisahan tugas diharapkan
terjadi kontrol atas staf yang satu dengan staf yang lain dalam satu alur kerja
sedemikian hingga bila seseorang melakukan kesalahan atau ketidak beresan dapat
dicegah.
Misalnya: fungsi penulisan check pengeluaran kas harus dipisahkan dengan fungsi
pencatatan dan fungsi otorisasi pengeluaran. Hal ini jelas karena bila semua fungsi
tadi ada pada satu orang staf, maka akan menimbulkan risiko tinggi berupa risiko
untuk timbulnya kesalahan pencatatan (tidak ada orang lain yang memeriksa
kebenaran dari pembayaran yang dilakukan dan pencatatan administratifnya) maupun
risiko timbulnya peluang untuk kecurangan berupa peluang untuk melakukan
pengeluaran yang tidak boleh dilakukan. Kecurangan ini akan lebih sulit dideteksi
karena semua fungsi ada di satu tangan.

Otorisasi merupakan fungsi yang harus dijalankan untuk menjamin bahwa transaksi
yang terjadi dimana membawa efek bagi lembaga sudah diketahui oleh yang
berwenang. Otorisasi pada dasarnya berjenjang sesuai dengan tingkatan
tanggungjawab dalam lembaga. Otorisasi pengeluaran pada dasarnya bertujuan agar
staf yang bertanggung jawab untuk budget suatu kegiatan terlibat dalam pengeluaran
dananya. Sehingga bila ada suatu pengeluaran yang tidak seharusnya dikeluarkan atau
melebihi jumlah yang dibudgetkan, maka staf tadiakan tahu dan menolak otorisasi.
Dengan otorisasi dari yang berwenang berarti telah diketahui konsekuensi dari suatu
pengeluaran terhadap keseluruhan budget program atau lembaga.
Contoh: untuk pembayaran diatas suatu jumlah, katakanlah 10 Juta maka
penandatangan check adalah pimpinan lembaga. Dengan demikian prosedur ini hendak
memastikan bahwa pimpinan lembaga sadar apa akibat dari pengeluaran sebesar itu
terhadap lembaganya.

Dokumentasi yang memadai diperlukan untuk mendukung suatu tindakan dalam


kegiatan sehari-hari yang membawa akibat ke lembaga berupa perubahan harta
kekayaannya. Formulir sebagai media untuk pendokumentasian semua fungsi
persetujuan, otorisasi, perintah ataupun permintaan serta pembayaran yang

100
membawa akibat bagi lembaga juga diperlukan sebagai pembuktian terhadap ketaatan
terhadap prosedur dan dukungan terhadap kebijakan lembaga.

Pengendalian secara fisik merupakan salah satu mekanisme kontrol yang dapat
dilakukan untuk menjamin eksistensi atau keberadaan asset lembaga. Pengecekan fisik
umumnya dilakukan untuk membanding apa yang ada dalam dokumen dengan apa yang
ada di lapangan. Bila ternyata terdapat kesesuaian maka dapat dikatakan bahwa data
keuangan yang disampaikan merupakan fakta yang sebenarnya. Mekanisme
pengecekan ini juga berguna untuk mencegah kehilangan karena diketahui akan
dilakukan pembandingan dokumen dengan fisik barang.

Pengecekan independen atas kinerja suatu bagian pada dasarnya merupakan


mekanisme lanjutan dari pemisahan fungsi. Dengan adanya pengecekan oleh pihak
yang independen diharapkan terjadi kinerja yang lebih baik karena diketahui bahwa
hasil kerja staf akan dinilai oleh staf lain yang independen.
Contoh : Kinerja suatu program lapangan akan lebih baik bila dinilai oleh orang luar
agar dapat diperoleh hasil penilaian yang obyektif dan tidak bias. Bila suatu tim atau
perorangan mengerjakan suatu tugas dan penilaian diberikan kepada mereka, maka
dapat dipastikan penilaiannya akan sangat subyektif.

6.5 AREA PENGAWASAN

Dalam penciptaan internal kontrol yang efektif maka harus dilakukan identifikasi area
yang paling sering terjadi kesalahan atau ketidakberesan. Berikut adalah contoh dari
pembuatan PI lembaga dan area yang memerlukan pengawasan.
Area : Penerimaan kas
Tujuan : memastikan bahwa kas yang merupakan milik lembaga diterima, secara cepat
disimpan di bank, dicatat dengan benar, direkonsiliasi dan dijaga secara fisik agar
aman.
Area : Pengeluaran kas
Tujuan : memastikan bahwa kas yang dikeluarkan adalah berdasarkan otorisasi yang
tepat dari manajemen, untuk tujuan yang berhubungan dengan kegiatan lembaga, dan
dicatat dengan benar.
Area : Kas Kecil

101
Tujuan : memastikan agara kas kecil dikeluarkan hanya untuk tujuan pengeluaran yang
tepat, saldo uang kas dijaga dengan baik dan dicatat dengan tepat.
Area : Penggajian
Tujuan : memastikan bahwa pengeluaran untuk pembayaran gaji hanya dilakukan
berdasarkan otorisasi yang tepat dan hanya ditujukan untuk orang yang berhak,
pengeluaran tadi dicatat dengan tepat dan memenuhi peraturan yang berlaku misalnya
pemotongan pajak penghasilan dan sebagainya.
Area: Sumbangan, hibah dan lain sejenisnya
Tujuan : memastikan bahwa sumbangan, hibah dan sejenisnya diterima dan dicatat
dengan benar, restriksi yang melekat padanya dipatuhi serta dimonitor kepatuhannya.
Area : Aktiva tetap
Tujuan : memastikan bahwa aktiva lembaga diperoleh dan dihapuskan berdasarkan
otorisasi yang tepat, fisik dijaga secara baik, dan dicatat dengan tepat.
Area : Pembebanan biaya lembaga
Tujuan : memastikan bahwa pengeluaran yang dilakukan lembaga sudah dialokasikan
ke perkiraan yang tepat baik jumlah maupun periode pembebaannya, memastikan
bahwa pembebanan tadi sudah mendapatkan otorisasi dari yang berwenang.
Area: Anggaran lembaga.
Tujuan : memastikan bahwa pengeluaran yang dilakukan tersedia alokasi dananya
dalam anggaran lembaga, memastikan bahwa pengeluaran tidak melebihi anggaran
yang tersedia, memastikan bahwa pihak yang melakukan kontrol atas saldo anggaran
yang tersedia dan mendorong upaya efisiensi anggaran yang sudah dialokasikan.

102
103
104

Anda mungkin juga menyukai