Anda di halaman 1dari 12

Filsafat Pendidikan di Indonesia: Teori dan Pikiran Dilembagakan Negara (PANCASILA)

Abstrak

Penelitian ini mengusulkan untuk urgensi Gambar Ideal Rakyat Indonesia (Citra Ideal Manusia
Indonesia) diFilosofis Konstruk Pancasila Pendidikan Nasional dalam Membangun filosofis
Indonesia dari Pendidikan Nasional. Membangun Filosofis Pendidikan Nasional Indonesia
diharapkan menjadi dinamis dan bingkai kontekstual dalam pengembangan teori, sistem
pendidikan praksis dan kebangsaan, serta sebagai acuan dalam pemecahan masalah pendidikan
nasional dari sudut pandang filosofis. Jenis penelitian adalah filsafat belajar, studi yaitu
hermeneutis. Tujuan dari penelitian ini adalah karya dari "pendiri" (terutama Bung Karno) dari
Pancasila, dan karya-karya Ki Hajar Dewantara, Notonagoro dan Driyarkara tentang filsafat
Pancasila, tentang pendidikan dan kebangsaan, dan dialog dengan karya-karya tokoh lain yang
relevan, dan refleksi pada berbagai isu filosofis pendidikan nasional. Metodologi yang digunakan
adalah hermeneutika dialektika. Hasil penelitian menunjukkan Urgensi Pancasila sebagai
falsafah dasar bagi bangsa Indonesia. Itu citra ideal manusia Indonesia adalah fokus utama dari
pengembangan dan implementasi nasional Indonesia sistem Pendidikan. Konsep citra ideal dapat
dibangun oleh Membangun filosofis Pancasila Pendidikan Nasional. Pancasila itu disebarkan
oleh Bung Karno dan mengandung nilai-nilai yang ideal dan cukup keunggulan yang luar biasa
sebagai filosofi dasar negara yang sampai saat praktek sungguh-sungguh yang belum cocok di
berbagai bidang kehidupan. Pancasila perlu didukung dengan upaya oleh konstruk nasional
filsafat pendidikan Pancasila, dan citra ideal dari masyarakat Indonesia.

1. Perkenalan

Dalam dekade terakhir, teramati di berbagai bidang termasuk pendidikan yang berpikir teknis
telah menggantikan dasar dan pemikiran yang komprehensif. Selain itu, berbagai upaya
reformasi pendidikan tampaknya lebih cenderung tambal sulam dan parsial, disintegratif, tidak
tegas dibangun sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam rangka
mengimplementasikan pendidikan nasional, terutama dalam membimbing upaya reformasi
pendidikan nasional, ada kebutuhan untuk referensi filosofis, yaitu, membangun filosofis
Pancasila Pendidikan Nasional, untuk memberikan jalan mencari tahu gambar ideal orang
Indonesia yang mungkin menjadi acuan untuk pencapaian pendidikan kebangsaan.Notonagoro
(Dwi Siswoyo, 2013) menegaskan bahwa fitur memiliki ciri khas Pendidikan Nasional adalah
pengembangan kemampuan / ketrampilan dan kepribadian yang bersatu, terorganisir, harmonis
dan dinamis (Sifat dwi tunggal Pendidikan kebangsaan ialah development keperibadian Dan
kemampuan / Keahlian, hearts Kesatuan organis harmonis Dan Dinamis). Oleh karena itu, harus
selalu dikonsolidasikan sehingga Indonesia akan menjadi bangsa maju, bermartabat, dan
memiliki identitas yang kuat dan dinamis, dan mampu menghadapi tantangan nasional dan
global. Pendidikan merupakan fenomena manusia (Driyarkara, 1980), pendidikan yang
merupakan fenomena manusia kebangsaan Indonesia. Tujuan pendidikan adalah untuk
memperbaiki manusia sebagai manusia (Dwi Siswoyo, 2013), untuk memanusiakan Orang
Indonesia yang dapat menerapkan dan mengembangkan hidupnya dalam pertemuan dan interaksi
dengan orang lain dan dunia, serta dalam hubungannya dengan Tuhan.

Perkembangan Filsafat Pendidikan Nasional Indonesia, yaitu Filsafat Nasional Pancasila


Pendidikan, diharapkan untuk berperan sebagai sumber kontekstual dan dinamis untuk teori dan
ptactice nasional pendidikan di Indonesia. Tujuan formal Filsafat Pendidikan Nasional adalah
untuk secara radikal menganalisis semua fenomena dalam pendidikan dan orang-orang yang
terkait dengan mereka dari perspektif yang komprehensif dan terintegrasi. Bentuk ideal
Pendidikan Nasional mengacu pada pengembangan kemampuan / ketrampilan dan kepribadian
yang bersatu, terorganisir, harmonis dan dinamis (Dalam Kesatuan organis harmonis Dan
Dinamis) dalam memastikan menyelesaikan pembangunan manusia di Indonesia. Perkembangan
Filsafat Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila harus menjadi rejuvenative. Peremajaan
berarti regenerasi ( "pemudaan Kembali") (Sukarno, 1990: 187-188). Peremajaan dalam makalah
ini mengacu pada Pendidikan nasional yang memiliki untuk mengkonsolidasikan baru semangat,
visi, penemuan dan inovasi sebagai yang bersumber dari nilai diremajakan dari Pancasila
berdasarkan keyakinan dan pelaksanaan Filsafat Nasional Pancasila Pendidikan. Perkembangan
Filsafat Pancasila Pendidikan Nasional dapat dilakukan melalui pendekatan eklektik-
inkorporatif-harmoni-dinamis ( "eklektik-inkorporatif-harmonis-Dinamis") (Notonagoro, 1973
yang dikutip eklektik-inkorporatif ( "eklektis-inkorporasi") pendekatan). Eklektik mengacu pada
tindakan memilih pendekatan yang terbaik dari berbagai sumber (KBBI, 2012); Eugene Ehrlich,
et.al, 1986: 272). Dimasukkan berarti termasuk sebagai bagian (Eugene Ehrlich, et al, 1986: 446)
atau untuk bergabung menjadi satu kesatuan utuh (Webster Dictionary, 1993: 238). Pendekatan
eklektik-inkorporatif adalah pengembangan dan pengayaan Filsafat Pancasila Pendidikan
nasional dari berbagai elemen filsafat pendidikan asing yang sesuai tepat dan tidak bertentangan
dengan kepribadian nasional kita berkembang, yang dilepaskan dari dasar aliran sistem atau
filsafat yang bersangkutan, dan selanjutnya dimasukkan dalam struktur Filsafat Nasional
Pancasila Pendidikan, atau dengan kata lain dasar-dasar diganti dengan yang ditemukan di
Pancasila, dan dijadikan sebagai hal-hal terkait di Struktur Filsafat Pancasila Pendidikan
Nasional. Harmony berarti membentuk keseluruhan menyenangkan atau konsisten (Eugene
Ehrlich, et al, 1986: 399) dan sarana dinamis kekuatan untuk menghasilkan cepat dan penuh
antusias gerakan. Proses eklektik-inkorporatif-harmoni dilakukan dengan dialektika-antisipatif-
reflektif-rejuvenative sehingga pelaksanaan Filsafat Nasional Pancasila Pendidikan selalu sarat
dengan kreativitas baru yang akan menjawab tantangan dari waktu ke waktu.

Dialektika berasal dari kata Yunani "dia" dan "legein", yang berarti wacana (Dagobert D. Runes,
1974: 78) atau seni percakapan (Rolan Hall, 1967: 385). di masa Yunani kuno, dialektika
mengacu pada bentuk pemikiran Proses yang dilakukan melalui pertanyaan dan jawaban (Ted
Honderich, 1995: 198). Dialektika berarti mencoba untuk menemukan kebenaran tentang sesuatu
menggunakan nalar kritis ... (David Stewart & H. Gene Blocher, 1992: 850. Pendekatan ini
adalah fundamental dalam mendasari penemuan kebenaran atau kenyataan. Antisipatif berarti
menjadi responsif terhadap apa yang akan datang untuk mengambil tindakan progresif; reflektif,
kontemplasi diri berarti untuk menegakkan kejelasan intelektual dan tanggung jawab moral;
rejuvenative, berarti peremajaan iman, konsep dan implementasi filosofi pendidikan nasional
Pancasila. keahlian pendidikan berbasis pada penggunaan sistem asing, sungai, filsafat, teori,
ajaran, pendidikan praktis, terutama yang di yang hubungan kesatuan tidak ada atau tidak
memberikan pengetahuan yang dapat digeneralisasi, kebulatan suara, kesatuan, tetapi
pengetahuan tentang bagian-bagian atau masalah pendidikan yang hanya berdiri sendiri yang
tidak memiliki hubunganke bagian lain, dapat menyebabkan perpecahan di antara para ahli
pendidikan, yang akibatnya akan risiko siswa serta bangsa. Di sisi lain, tujuan pendidikan,
menurut Ki Hadjar Dewantara (2004: 472) adalah fisik dan kelengkapan spiritual atau
kesempurnaan sebagai satu-satunya tujuan yang ingin dicapai untuk memastikan manusia yang
aman dan bahagia hidup, dan keberadaannya harus dikejar serius. Tujuan pendidikan adalah
untuk membuat gambar ideal Orang Indonesia.

2. Permasalahan

lihat Pancasila fakta realitas, manusia, pengetahuan dan nilai-nilai menyiratkan bahwa
pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa untuk menjadi manusia yang
beriman, berbudi luhur, sehat, berilmu, kretif dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Jadi sistem filsafat, teori, ajaran, praktek pendidikan nasional Pancasila
harus diatur sedemikian rupa sehingga kebijakan tunggal untuk memecahkan masalah nasional
pendidikan, dan mengembangkan citra ideal manusia Indonesia. filsafat pendidikan nasional
Pancasila memiliki kedudukan dan fungsi sebagai memberikan bimbingan dan tujuan,
memberikan pendalaman, esensi, dasar, rancangan menjadi primer, sedangkan penggunaan
sistem dan ajaran berasal dari luar setelah terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional hanya
sebagai pembantu, perbandingan, pengayaan, dan di peran tidak langsung lain adalah sekunder.
kemungkinan sehingga harus diselesaikan seperti ahli pendidikan membelah, yang dalam waktu
bisa memberikan kesan kepada siswa (orang Indonesia) dengan risiko yang besar untuk
pembentukan nasional identitas.

3. Tujuan Studi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyimpulkan Manusia Ideal Gambar Indonesia dalam
Philosophical Konstruk dari Pancasila Pendidikan Nasional, yaitu membangun Pendidikan
Filsafat Nasional Indonesia, yang diharapkan menjadi muara acuan dalam pembentukan Man
Indonesia. Konstruk filosofis Nasional Pancasila Pendidikan akan upaya dinamis kontekstual
teori kerangka pengembangan, sistem pendidikan nasional dan praksis, dan juga sebagai
referensi pemecahan masalah pendidikan nasional dari sudut pandang filosofis.

4. Metodologi

Jenis penelitian adalah studi filosofis, studi filsafat yaitu hermeneutis. Subyek ini studi adalah
karya "founding fathers" (terutama Bung Karno) dari Pancasila, dan karya-karya Ki Hajar
Dewantara, Notonagoro dan Driyarkara tentang filsafat Pancasila, dan pendidikan nasional, serta
dialog dengan karya-karya tokoh lain yang relevan, dan merefleksikan berbagai isu pendidikan
nasional yang filosofis. Metode penelitian yang digunakan adalah hermeneutika dialektis.
Analisis data penelitian ini digunakan Pendekatan dialektika hermeneutik (. Gambar Madison,
1988: 29-30) yang elemennya adalah sebagai berikut: (1). Koherensi, (2) pemahaman, (3)
penetrasi, (4) akurasi, (5) kelayakan, (6) kontekstualisasi, (7) Sintesis, dan (6) Bernada. Dalam
dialektika (dialog) antara peneliti (interpreter) dengan falsafah Pancasila Bahan bekerja "pendiri"
(terutama Bung Karno), 1945, karya tokoh utama ( "pikiran besar Pendekatan ") pendidikan (Ki
Hajar Dewantara, Notonagoro, dan Driyarkara) yang ada hubungannya dengan filosofi filsafat
pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan terbuka, transformatif, partisipatif dan produktif, di
mewujudkan "fusi cakrawala makna" dalam mencapai kebenaran.

5. Hasil dan Diskusi

5.1 Urgensi Pancasila sebagai Filsafat Dasar Bangsa Indonesia

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Bhinneka
Tunggal Ika) adalah diusulkan oleh Bung Karno setelah Indonesia merdeka. Keindahan
pluralisme tercermin dalam Bung Karno Motto: Mari melati dan kenanga dan mawar dan
cempaka, dan semua bunga mekar bersama di taman Indonesia (Pidato Bung Karno, 17 Agustus,
1964). Pluralisme harus dipahami sebagai "keterlibatan asli keanekaragaman dalam ikatan
keadaban "(Nurcholish Madjid, 1999). Oleh karena itu tidak layak untuk kecantikan akan
tercemar. Dari pengalaman kita sendiri dan dari sejarah kita sendiri tumbuh sesuatu yang lain
dari mengajar Manifesto Komunis atau Deklarasi Kemerdekaan., Sesuatu yang jauh lebih tepat,
sesuatu yang jauh lebih cocok disebut Pancasila. Ya Pancasila atau Rukun negara kita (Sukarno,
2000: 54-57). Bung Karno dalam pidato di 1 Juni 1945 BPUPKI mengusulkan Pancasila sebagai
filosofi dasar, "philosofische grondslag", "Weltanschaung", yang didirikan pada Negara
Indonesia (Soekarno, 1964: 19-34) dikenal sebagai penggali Pancasila. Meskipun Pancasila
adalah milik Indonesia, yang diekstrak dari "turun ke kepribadian bumi Indonesia bangsa "tidak
berarti cita-cita yang terkandung dalam prinsip-prinsip Pancasila sepenuhnya dipraktekkan
dalam kehidupan. Untuk praktek sebagai seluruh nilai-nilai Pancasila adalah ideal sehingga citra
manusia ideal terbangun Indonesia memiliki nasional peran strategis pendidikan. Ia juga
menegaskan bahwa tiga perempat dari permukaan bumi, telah dieksplorasi, bahkan mengunjungi
berbagai negara, termasuk negara-negara yang rakyatnya adalah Muslim. Bung Karno semakin
merasa bangga bahwa dasar Pancasila negarayang merupakan dasar negara yang dikagumi oleh
hampir semua bangsa yang telah dikunjungi, terutama oleh Muslim(Soekarno, 1990: 57). Ini
hanya logis bahwa Bung Karno dengan semangat yang berapi-api tokoh yang sangat gigih dalam
bersosialisasikecakapan Pancasila.

Peristiwa akhir yang jelas membuktikan sebaliknya atas dasar Pancasila kita membagi,
membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasila masih bisa mengutuk negara kita, masih
menyimpan negara kita. negara kita memerlukan persatuan dan bahwa Pancasila hanyalah satu
Weltanschauung merupakan sarana pemersatu rakyat Indonesia yang berwarna-warni (Sukarno,
1964: 65). Tanpa negara Pancasila Indonesia akan hancur tanpa rasa tali kebangsaan Indonesia
dalam upaya mencapai tujuan dan cita-cita kebangsaan Indonesia dalam kehidupan yang tertib
bingkai dinamis damai antara bangsa-bangsa.

5.2 Kemanusiaan Indonesia Ideal

Sebagai manusia yang unik, yang memiliki potensi kejiwaan untuk mengetahui segala sesuatu,
yaitu eksistensi nya, nya potensial, hidupnya, tugasnya, tujuan yang akan dicapai meliputi tujuan
akhir dari eksistensi, tidak mengherankan, telah lahir dan berkembang ilmu yang banyak (Imam
Barnadib, 2002: 3). Pendidikan berarti bahwa seorang pria dipandang sebagai upaya untuk
meningkatkan posisi dan eksistensi untuk pencerahan umat manusia. Gambar dari orang yang
ideal adalah Pria yang Pancasila Indonesia. Sifat gambar manusia Pancasila Indonesia dapat
ditemukan dan tercermin dari pandangan angka di atas; itu dapat dirumuskan sebagai berikut,
yaitu:

5.2.1 Pertama, Unity of Organized Harmony Tubuh Dinamis (Fisik) Pusat jiwa (Spiritual)

Kesatuan Terorganisir Harmony Dinamis Tubuh (Fisik) Pusat jiwa (Spiritual) terdiri dari: (1).
Tubuh (fisik) dan dapat mendukung aktivitas jiwa yang sehat kreatif, inovatif dan produktif
berdasarkan luhur nilai-nilai spiritual moral yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai
Pancasila menjadi keinginan manusia Indonesia pendidikan. Dalam konteks pendidikan dan
pendidikan agama di Pancasila dapat memperkuat satu sama lain dan membentuk manusia
berpancasila agama. Dan Pancasila telah disepakati harus membuka pintu bagi masuknya sinar
wahyu terluas (agama), sehingga tuduhan bahwa Indonesia berdasarkan Pancasila tidak berbeda
dari negara sekuler dapat menolak (Syafii Ahmad, 2009: 196) apalagi prinsip pertama dari
Pancasila adalah keyakinan dalam Tuhan Yang Maha Esa, makna agama; (2). Jiwa (spiritual):
memiliki "diferensiasi" pasukan oleh Ki Hajar Dewantara disebut "tri-sakti", yaitu pikiran,
perasaan dan kemauan atau "Anda-rasa-niat", yang oleh Notonagoro disebut rasa-rasa-kehendak.
Rasa tertarik pada fakta / kebenaran, merasa tertarik pada keindahan jiwa dan kemauan ditarik
untuk kebaikan. Integrasi tiga bentuk kekuasaan, dan dalam cahaya agama akan menghapus jiwa
dan manifestasinya.

5.2.2 Memiliki Sifat Moral (Susila) Kemanusiaan

The maning dari 'Susila' menurut Notonagoro adalah sesuai moral sifat manusia untuk
melakukan perbuatan di hasutan kehendak, berdasarkan penilaian yang wajar, selaras dengan
selera dan kebutuhan manusia dan sifat manusia sebagai individu dan makhluk sosial sehingga
sepenuhnya dimiliki alam saleh, yang tidak berwujud: (1) Kebijaksanaan atau perawatan
penghati, (2) Keberanian (3) kesederhanaan dan (4) Keadilan adalah semua untuk mencapai
tujuan hidup manusia adalah mutlak, kebahagiaan yang sempurna adalah (Notonagoro). Susila
oleh Ki Hajar Dewantara (2004: 483) diertikan sebagai penyempurnaan manusia. Keahlian,
kecerdasan, dan ilmu pengetahuan, semua mungkin tidak diabaikan, tetapi lebih cenderung tidak
boleh diabaikan adalah "manusia kesopanan dan sempurna ". Tanpa moral, seorang pria tidak
dapat mencapai demokrasi, ada negara biasa, ada yang sehat ekonomi, bisa ada teknik tidak lebih
tinggi digunakan untuk kemakmuran bersama (Driyarkara, 2006: 350-351), sehingga akan
membawa kalah individu, masyarakat, bangsa dan negara. kesusilaan manusia adalah cara
berpikir manusia, jalan rasanya dan cara bertindak yang selalu didasarkan pada nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

5.2.3 Memiliki Kemampuan atau Keahlian

Memiliki kemampuan atau keahlian sesuai dengan bidang yang ditekuni di masyarakat, dalam
konteks di lokal, nasional dan global. Kemampuan adalah "kualitas yang membuat suatu
tindakan atau proses yang mungkin, kapasitas atau kekuatan untuk melakukan sesuatu "(Eugene
Ehrlich, et.al, 1980: 4). Sementara keterampilan dan keahlian dapat diterjemahkan keterampilan
tinggi dalam bidang tertentu. masa depan manusia Indonesia yang memiliki kemampuan /
keahlian, memiliki karakteristik sebagai berikut: (1). "Yah informasi" (Mahatahu), (2). "Hidup
panjang pembelajaran" (belajar seumur hidup), (3). integratif dan konseptual berpikir, (4).
bereaksi dengan cepat, dengan "respon-time" singkat, (5). penalaran rasional, dan (6). Menjadi
kreatif-inovatif-antisipatif (Soedjatmoko, 1991: 97-98), (g). berpikir jernih dan positif, (h). dan
terbuka untuk kritik.

5.2.4 Memiliki Kepribadian Indonesia

Pervin & John menyatakan bahwa karakteristik pribadi kepribadian menunjukkan pola yang
konsisten yang menjelaskan perasaan, pikiran dan perilaku (Estonia Hayu Purnamaningsih,
2011: 94) khususnya penyandang dana mengatakan perbedaan temperamen, disposisi atau
karakter (Estonia Hayu Purnamaningsih, 2011: 94). Atribut perlombaan untuk sebagian besar
diciptakan oleh pengalamannya, yaitu sejarah. Tetapi juga ditentukan oleh cita-cita bangsa.
Kehidupan manusia adalah memilih sarinya. Dalam pilihanlah seorang pria dan bangsa
mewujudkan seluruh kepribadian. Sementara itu setiap pilihan menambahkan pengalaman, dan
cara kepribadiannya begitu berubah. Dalam pilihan ekstrim dan Futurity dikombinasikan, dan
dalam seleksi, diwujudkan dan kepribadian berkembang (Soedjatmoko, 1986: 31) dalam
menghadapi tantangan saat waktu atau tantangan perubahan sosial budaya yang lebih cepat.
Berdasarkan dari diskusi, kita sampai pada kesimpulan ini: pertama, sifat dinamis dari
pemahaman nasional identitas, dan kedua, pentingnya elemen dalam keinginan bangsa untuk
memahami dirinya sendiri, dan kenaikan gaji ketiga sebanyak mungkin dan mengembangkan
kreativitas kita sebagai bangsa (Soedjatmoko, 1986: 31). Oleh karena itu pribadi, memiliki sifat-
sifat: (1). bertanggung jawab berani, (2). peka terhadap keadilan sosial dan solidaritas sosial,
nasional dan manusia, (3). sensitif terhadap batas toleransi masyarakat, (4). sendiri harga diri dan
kepercayaan diri, iman yang kuat, (5). mengatur dan bekerja sama dengan orang lain atau pihak,
baik nasional atau scalable internasional, maka perbedaan budaya, agama atau ras, (6). menalar
(penalaran moral atau ijtihad) moral dan memiliki kemampuan untuk menafsirkan ketentuan
agama sampai terungkapkan relevansi untuk masalah dan perkembangan baru (Soedjatmoko,
1991: 98-99)
Menurut Notonagoro adalah kepribadian bangsa, yaitu kepribadian Indonesia adalah jumlah unit
tetap fitur yang melekat pada bangsa dan rakyat Indonesia, fitur dari sifat manusia dan sifat sifat
khusus, yang menyebabkan bangsa Indonesia dan masyarakat Indonesia seperti dirimu sendiri,
sebagai orang terpisah dari yang lain bangsa dan negara-negara lain serta berbeda dari negara-
negara lain (Notonagoro, 1980: 84) sehingga identitas Orang Indonesia. Oleh karena itu, jika kita
sebut kepribadian Indonesia adalah kepribadian Pancasila, sebenarnya memiliki arti bahwa kita
tetap dalam kepribadian kita tentang alam, tetapi dalam realisasi konkret dari dinamis yang kita
miliki, kita benar-benar harus membentuk perwujudan baru dari kepribadian kita yang sesuai
dengan situasi permintaan, kemungkinan dan usia, dengan sisa-sisa sadar dan setia pada sifat
pribadi dari kami (Notonagoro, 1980: 95) yang memiliki cita-cita tertentu. Kepribadian bangsa
secara keseluruhan ditentukan oleh kewarganegaraan dari warga keperibadian, tapi kepribadian
kewarganegaraan dari warga juga ditentukan oleh kepribadian Bangsa (Driyarkara, 2006).
Singkatnya, disebut kepribadian bangsa itu bukanlah sesuatu yang statis atau tidak disadari oleh
pengalaman yang sudah-sudah sebelumnya, tapi dalam sejarah terus menerus dinamis, yaitu juga
ditentukan oleh cita-cita zamannya, dan kemampuannya untuk memberikan jawaban baru, yang
tidak terdapat dalam deposisi panjang tentang isu-isu baru. Jadi ini adalah berkat budaya dari
kemampuan bangsa untuk tumbuh dan memperbaiki diri (Soedjatmoko, 2001: 63-64).
kepribadian bangsa adalah nasional identitas yang dinamis dalam perkembangannya, yang terdiri
dari warga negara individu jujur, sabar, rendah hati, disiplin, tanggung jawab, sikap diri, kreatif,
koperasi, visioner, orang cinta dan cinta tanah air, memiliki integritas, dan tulus dalam berbuat
baik, itu harus selalu diinformasikan oleh nilai-nilai ajaran Pancasila. Hal ini membutuhkan
warga bangsa memiliki wawasan, sikap dan perilaku yang konsisten dalam praktek dan
mengamankan nilai-nilai Pancasila yang meliputi prinsip pertama pada Tuhan (agama), yang
kedua pilar kemanusiaan yang adil dan beradab (humanis), sila persatuan ketiga Indonesia
(kebangsaan), keempat demokrasi prinsip dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan (demokrasi), dan lima sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (adil) dalam suatu kesatuan organik, harmoni, dinamis.

5.3 Posisi Filsafat Pancasila Pendidikan Nasional

Posisi filsafat nasional pendidikan, pendidikan teori kebangsaan, pengajaran pendidikan nasional
dan praktek pendidikan masing-masing kebangsaan dalam pandangan hirarki yang berbeda dari
tingkat kedalaman, bergerak dari yang paling dalam filsafat pendidikan nasional yaitu, agak
kurang dari itu teori pendidikan yaitu nasional, dan yang paling yaitu kurang dalam pendidikan
nasional dan mengajar praktek pendidikan nasional yang baru. Notonagoro menggambarkan
posisi filsafat pendidikan nasional sebagai penulis diterima dari kuliah di National program Teori
pendidikan Pancasila. Tentu saja, penulis merasa seolah saham sangat berharga dalam mencari
untuk masa depan pendidikan di Indonesia. Hierarki pengetahuan tentang penulis pendidikan
nasional akan diperoleh selama Teori Pendidikan Nasional kuliah Pancasila, Notonagoro
langsung dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Yogyakarta. Diagram pengetahuan tentang pendidikan dengan berikuti Notonagoro
diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah.

Filsafat Pancasila Pendidikan Nasional dapat dikatakan mampu menentukan akar kekokohan
sistem pendidikan nasional Indonesia. Dari akar ini akan mengalir esensi dari pendidikan
nasional yang dapat memelihara dan langkah-langkah akan memandu perkembangan teori
pendidikan dan praksis kebangsaan, sehingga pendidikan yang diselenggarakan ada bias dan
makhluk melahirkan di Indonesia Pancasila. Ironisnya, namun, sampai saat ini belum ada upaya
oleh pemerintah untuk merumuskan falsafah pendidikan nasional membangun (membangun
filsafat pendidikan nasional Pancasila). Hiruk pikuk reformasi pendidikan dilakukan hingga saat
ini masih parsial, teknis, "meminjam" dan reaktif, kurang pertama meneliti akar masalah
sehingga fondasi pendidikan nasional penting dalam komprehensif masalah pendidikan nasional
terpisahkan tersentuh. Filsafat pendidikan adalah penerapan analisis filosofis bidang pendidikan
(Imam Barnadib, 1994: 14) untuk menjawab permasalahan pendidikan filsafat. Filsafat Pancasila
Pendidikan Nasional adalah analisis filosofis penerapan pendidikan nasional untuk menanggapi
masalah pendidikan nasional bersifat filosofis. Sementara teori ini mengatakan bahwa ia
memiliki status yang sebutan kehormatan, itu adalah kata yang sering digunakan tapi jarang
didefinisikan dalam literatur pendidikan, mirip dengan praktek kata. Teori, pada kenyataannya
terdiri dari konsep disusun dalam logis (Barnadib & Sutari Imam Imam Barnadib, 1996). Dalam
etimologis, menurut Teori berarti sesuatu yang "ditemukan" dalam pikiran, rencana, yang berarti
bahwa baik, saran atau pandangan sistematis dari studi lapangan (survey).

Filsafat Pancasila Pendidikan Nasional adalah pengalaman yang sistematis atau koheren tentang
pendidikan nasional. Sementara Pendidikan Nasional mengajar Pancasila dapat didefinisikan
sebagai seperangkat peraturan pendidikan nasional mengenai disusun atau dibuat oleh orang
yang berwenang atau badan, dan memiliki kekuatan mengikat untuk pemeliharaan nasional
pendidikan. Notonagoro, memberikan contoh ajaran Pendidikan dengan adanya undang-undang
di tingkat nasional pendidikan yang penting, berarti harus dilaksanakan. Oleh karena itu harus
dilaksanakan, maka undang-undang pengorganisasian harus dilakukan dalam pendidikan yang
adil dengan menggunakan dua pendekatan secara bersamaan, pendekatan deduktif dan
pendekatan induktif kritis dialektis dilakukan sebagai serikat harmonis dinamis. Klarifikasi
istilah yang digunakan dalamundang-undang yang diperlukan dalam pendidikan akademis
mungkin, sehingga undang-undang yang bisa dikatakan terstruktur di yuridis ilmiah.

Praktek ini mirip dengan teori yang mengatakan banyak tapi sangat jarang didefinisikan. Ini
adalah kemungkinan orang siapa sudah tahu pandangan mereka sendiri tentang apa yang
dimaksud dengan dua istilah. Mengatakan praktek dapat didefinisikan sebagai cara menerapkan
apa yang dalam teori. Oxford American Dictionary mengucapkan itu sebagai praktis "untuk
melaksanakan dalam tindakan, untuk melakukan sesuatu biasa "(Eugene Ehrlich et al, 1986:
700). Praktek sering jatuh di belakang teori umum. menunjukkan kinerja yang praktis, tindakan
atau tindakan berdasarkan keakraban, seni, atau strategi. Praktek Pendidikan Nasional Pancasila
adalah kinerja sistem, tindakan atau kegiatan dalam pelaksanaan pemeliharaan sistem pendidikan
nasional Indonesia yang selalu tegas berdasarkan dan dicontohkan oleh nasional filsafat
pendidikan Pancasila, teori pendidikan nasional dan mengajar Pancasila dalam menciptakan
nasional tujuan pendidikan. filsafat pendidikan nasional harus berdasarkan falsafah Pancasila
Pancasila. Noeng Muhadjir juga menyajikan pendekatan reflektif untuk mempelajari pentingnya
deduktif-induktif, yaitu pikiran cerdas dan sensitivitas empiris, sehingga hasil yang dicapai bisa
selalu aktual dan antisipatif (Noeng Muhadjir, 2011: 5) di negara berkembang moral atau harga
diri. Pendidikan sebagai bagian dari budaya moral yang selalu di frame, untuk pendidikan
(termasuk mengajar) adalah "perusahaan moral". Sementara John Dewey (2007)
memperingatkan bahwa "Instruksi sebagai sarana pendidikan", dan pendidikan, kata Frederick
Mayer (Dwi Siswoyo, 2013) "sebagai sebuah proses mengarah ke Pencerahan Manusia ".

RM. Hutchins (Dwi Siswoyo, 2013), sebagaimana telah dibahas sebelumnya, menyatakan bahwa
sistem pendidikan dimaksudkan "Untuk secara dramatis meningkatkan manusia sebagai
manusia", agar benar-benar manusia. Humanisasi penting karena sebagian dari kita masih pada
tingkat rendah peradaban, yang tercermin dalam sikap kemanusiaan. Teknologi, dapat
menghadiri Dehumanisasi dampak, sehingga upaya rehumanization tidak dapat diabaikan. Tanpa
kepemilikan nasional pendidikan filsafat Pancasila membangun platform dan cetakan "blue-
print" dari implementasi, ekspansi dan reformasi sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan
akan mis-orientasi dan mantan direksi. Di dalam konteks, upaya untuk mengembangkan filsafat
pendidikan nasional membangun Pancasila adalah hal yang sangat penting.

6. Implikasi dan Rekomendasi

Temuan dari penelitian ini membuktikan bahwa filosofi pendidikan nasional Pancasila sebagai
platform untuk implementasi, perluasan dan peningkatan sistem pendidikan nasional. warga
negara Indonesia yang diharapkan untuk mengadopsi nilai-nilai Pancasila skala, khususnya di
bidang pendidikan. Pendidik memiliki peran untuk menjadi contoh yang baik bagi siswa dan
peserta didik mampu berkembang menjadi individu yang memiliki kebebasan dan kesempatan
untuk belajar independen. Selain itu, adopsi nilai-nilai Pancasila juga dapat digunakan dalam
metode pengajaran. Pendidikan metode yang digunakan oleh guru untuk mempertimbangkan
tujuan pendidikan yang akan dicapai dan berpusat pada siswa aktif belajar.

7. Kesimpulan

Kesimpulannya, masyarakat Indonesia harus selalu berjuang terus di revitalisasi, reinnovate,


merekonstruksi, dan re-mengaktualisasikan Pancasila dalam masyarakat, bangsa dan negara.
citra ideal masyarakat Indonesia benar untuk Pancasila, seorang priayang berperilaku agama,
humanis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi keadilan di dinamis harmonis terorganisir,
kesatuan fisik-spiritual yang sehat, sebagai orang yang bermoral, dan kemampuan / keterampilan
dan kepribadian Indonesia yang bisa menerapkan dan mengembangkan dalam kehidupan tertib
dan damai dalam pertemuan dan interaksi dengan satu sama lain dan dunia. Konstruk filosofis
Pancasila Pendidikan Nasional, Filsafat Pancasila Pendidikan Nasional, sebagai Platform dan
basis sumber daya untuk pendidikan nasional Indonesia, dalam menciptakan citra ideal Indonesia
orang-orang.

Anda mungkin juga menyukai