Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL

ANALISIS SPIRITUAL PASIEN CANCER YANG MENJALANI


KEMOTERAPI
disusun sebagai tugas mata kuliah Agama
dosen pengampu : Erik Irham, S.Kep.Ns.M.Kep

DISUSUN OLEH :
1. HERIBERTUS KATANGA LURA
2. IBNU CAHYONO
3. INTAN DWI AGUSTINA ASMAUL HUSNA
4. RISKA ANAWAN SARI
5. KLARA SINTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS KADIRI 2017/2018
HUBUNGAN TERAPI SPIRITUAL DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA
PASIEN KANKER YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KEN
SARAS KABUPATEN SEMARANG
Depresi banyak dialami oleh pasien kanker akibat ketidakmampuan pasien untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan penyakitnya. Respon stres atau kecemasan akut
merupakan suatu kontinum, yaitu respon stres akut pada awal penyakit dan selanjutnya terjadi
gangguan depresi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan terapi spiritual
dengan tingkat depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken
Saras Kabupaten Semarang.
Pasien kanker yang menjalani pengobatan kemoterapi, biasanya mengalami efek fisiologis
yang tidak menyenangkan seperti rambut rontok, menurunnya kadar sel darah sehingga
penderita lebih mudah lelah atau mengalami pendarahan, kulit menjadi hitam, kering serta
gatal-gatal, mual, muntah dan nyeri perut serta menurunnya nafsu seksual dan tingkat
fertilitas (Susanti & Tarigan, 2012).Pengobatan kemoterapi dan terapi radiasi dapat
memberikan dampak negatif bagi psikologis penderita kanker yang menjalaninya. Reaksi
psikologis negatif yang dapat muncul yaitu perubahan suasana hati dengan menjadi lebih
emosional, stres, dan depresi (Wagman, 2016).
Depresi merupakan kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada pasien
kanker. Kondisi kanker yang biasanya dibarengi dengan kemoterapi adalah kondisi yang
sangat tidak nyaman. Kenyataan bahwa pasien kanker, terutama kanker yang tidak bisa lepas
dari kemoterapi dalam hidupnya menimbulkan dampak psikologis yang hebat faktor
kehilangan sesuatu yang sebelumnya ada seperti kebebasan, pekerjaan dan kemandirian
adalah hal-hal yang sangat dirasakan oleh para pasien kanker yang menjalani kemoterapi
(Harnowo, 2013).
Depresi banyak dialami oleh pasien kanker akibat ketidakmampuan pasien untuk
menyesuaikan diri dengan keadaan penyakitnya. Respon stres atau kecemasan akut
merupakan suatu kontinum, yaitu respon stres akut pada awal penyakit dan selanjutnya terjadi
gangguan depresi. Depresi seringkali tidak terdiagnosa dan tidak mendapatkan penanganan
karena pasien mungkin tidak menyadari gejala depresi yang dialami, pasien enggan
melaporkan gejala depresi, kurangnya perhatian tenaga kesehatan untuk menganalisis dan
mengkaji apakah pasien mengalami depresi, pasien dan tenaga medis seringkali menganggap
bahwa depresi merupakan reaksi yang normal dan bukan sebagai gangguan serius yang harus
ditangani dan gejala yang muncul seperti perubahan nafsu makan, kelelahan, gangguan tidur,
perubahan berat badan, kurang energi serta gangguan pada ingatan dan konsentrasi seringkali
hanya terdiagnosa sebagai manifestasi gejala dari penyakit kanker saja.
Terapi spiritual merupakan terapi dengan menggunakan upaya-upaya untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan. Terapi ini sama dengan terapi keagamaan, religius atau psikoreligius yang
artinya terapi dengan menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan
sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya, tidak selalu dengan agama
formal (Wicaksana, 2008).
Terapi spiritual ada dua jenis yaitu individual dan kelompok. Terapi spiritual yang
individual berarti suatu psikoterapi religius. Psikoterapi dengan memasukkan unsur-unsur
religius. Terapi spiritual kelompok seperti psikoterapi kelompok tapi memakai unsur
keagamaan. Untuk kedua jenis ini berarti harus ada interaksi antara terapis dengan pasien.
Terapi spiritual dengan bentuk kelompok dapat menggunakan model ceramah keagamaan
(religius) intensif untuk 15-20 pasien (setelah diseleksi, tidak seluruh pasien satu bangsal)
dengan memberikan kesempatan pasien bertanya atau memancing pertanyaan. Model yang
kedua sama dengan yang pertama tapi ditambah dengan kegiatan ritual keagamaan seperti
sembahyang, doa, zikir dan pengkajian ayat-ayat suci (Wicaksana, 2008). Terapi spiritual
dapat berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian
pada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci.
Terapi dalam dimensi spiritual dapat meningkatkan reaksi tubuh terhadap tindakan medis
yang diberikan, sehingga tindakan spiritual sungguh-sungguh memiliki dampak positif pada
keadaan fisik seseorang yang sedang sakit (Jacob, Benn dan Senturias, 2008).
Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi tingkat
depresi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten
Semarang sebagian besar kategori ringan yaitu sebanyak 60 orang.
Gambaran Terapi Spiritual Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit
Ken Saras Kabupaten Semarang Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden menyatakan
bahwa terapi spiritual pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras
Kabupaten Semarang kategori sedang yaitu sebanyak 59 orang (66,3%). Responden
menyatakan bahwa terapi spiritual pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit
Ken Saras Kabupaten Semarang kategori tinggi yaitu sebanyak 30 orang (33,7%). Hal
tersebut menunjukkan bahwa terapi spiritual pasien kanker yang menjalani kemoterapi di
Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang kategori sedang yang ditunjukkan dengan
jawaban responden yang menyatakan rohaniawan memberi motivasi untuk meningkatkan
ibadah (91,0%).
Gambaran Tingkat Depresi pada Pasien Kanker yang Menjalani Kemoterapi di Rumah
Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi
pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten
Semarang terdapat 2 kategori yaitu kategori sedang sebanyak 29 0rang (32,6%) dan kategori
ringan sebanyak 60 orang (67,4%). Hal tersebut menunjukkan tingkat depresi pada pasien
kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang kategori
ringan yang ditunjukkan dengan responden yang menyatakan tidak pernah mengalami
hipokondriasis (keluhan somantik/fisik yang berpindah-pindah) yaitu tidak pernah mengeluh
membutuhkan pertolongan orang lain (86,0%). Saat seperti ini dibutuhkan dukungan sosial
dari keluarga. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk bantuan yang bertujuan untuk
merawat seorang anggota keluarga dirumah yang mengalami ketidakmampuan atau
keterbatasan. Secara fisik dukungan sosial (keluarga) berupa bantuan tenaga untuk memenuhi
kebutuhan aktivitas sehari-hari pasien. Secara psikologis dukungan sosial dapat berbentuk
kasih sayang, membantu mengembangkan konsep diri pasien kearah yang positif dan
menerima pasien sesuai dengan perubahan-perubahan yang dialami saat sakit (Pieter,
Janiwarti dan Saragih, 2011).
Hubungan Terapi Spiritual dengan Tingkat Depresi pada Pasien Kanker yang Menjalani
Kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang. Hasil penelitian menunjukkan
hubungan terapi spiritual dengan tingkat depresi pada pasien kanker yang menjalani
kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten Semarang ialah Responden menyatakan
rohaniawan memberi motivasi untuk meningkatkan ibadah dan mereka tidak pernah
mengeluh membutuhkan pertolongan orang lain. Pasien telah menyadari dan dapat menerima
sakit yang mereka alami sebagai hasil dari ibadah yang mereka lakukan sesuai dengan agama
dan kepercayaannya. Penerimaan diri yang baik tersebut memotivasi mereka untuk dapat
menjalani hidup secara mandiri dimana mereka tidak mau mejadi beban bagi orang lain
terutama keluarga sehingga tidak menuntut atau mengeluh terhadap penyakitnya dan tidak
bergantung kepada orang lain dalam menjalani kehidupannya. Responden yang mempunyai
terapi spiritual yang tinggi dan tingkat depresi yang ringan didukung oleh faktor dukungan
social. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk bantuan yang bertujuan untuk merawat
seorang anggota keluarga dirumah yang mengalami ketidakmampuan atau keterbatasan.
Secara fisik dukungan sosial (keluarga) berupa bantuan tenaga untuk memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari pasien. Secara psikologis dukungan sosial dapat berbentuk kasih sayang.
Terapi spiritual bisa memberikan rasa optimis, semangat hidup dan mengurangi perasaan
putus asa ketika seseorang sedang menghadapi masalah. Doa dapat menumbuhkan rasa
optimisme dalam diri, menjaga rasa pesimisme dan keputusasaan, sehingga doa yang berisi
manfaat untuk mengatasi masalah gangguan jiwa Terapi dalam dimensi spiritual dapat
meningkatkan reaksi tubuh terhadap tindakan medis yang diberikan, sehingga tindakan
spiritual sungguh-sungguh memiliki dampak positif pada keadaan fisik seseorang yang
sedang sakit.
Sehingga terdapat hubungan yang bermakna antara terapi spiritual dengan tingkat depresi
pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Ken Saras Kabupaten
Semarang.

MEKANISME KOPING PASIEN KANKER YANG MENJALANI KEMOTERAPI


DI RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Kanker merupakan salah satu penyakit yang paling ditakuti dan dipandang sebagai
penyebab utama kematian di seluruh dunia.Berbagai modalitas sering diterapkan pada
pengobatan kanker, salah satunya adalah kemoterapi.Kondisi tersebut dapat menimbulkan
stres dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan pasien sehingga diperlukan mekanisme
koping yang baik untuk memecahkan masalah. Efek samping dari kemoterapi berkaitan
dengan toksisitas akibat agen kemoterapi itu sendiri.Reaksi fisik yang ditimbulkan berupa
gangguan pada berbagai sistem tubuh yaitu sistem gastrointestinal, sistem hematopoietic,
sistem ginjal, sistem kardiopulmonal, sistem reproduksi dan sistem neurologis.
Hal ini akan menimbulkan stres. Bila seseorang mengalami stres, maka segera akan ada
usaha untuk mengatasinya. Hal ini dikenal sebagai homeostatis yaitu usaha seseorang yang
dengan cara terus-menerus mempertahankan keadaan keseimbangan dalam batas tertentu
supaya dapat mempertahankan kehidupan dengan menggunakan mekanisme koping yang baik
yang sudah atau belum pernah digunakan sebelumnya.
Koping tersebut merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik
fisik maupun psikologis.Koping yang efektif menghasilkan adaptasi yang menetap yang
merupakan kebiasaan dan perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak
efektif berakhir dengan maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif
dan dapat merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Rasmun, 2004, p.29).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa mekanisme koping pada pasien kanker
dengan efek samping kemoterapi berada pada kategori adaptif, dengan frekuensi sebanyak 38
(61,3%) dari 62 responden. Mekanisme koping berhasil jika individu tersebut dapat
beradaptasi terhadap perubahan yang terejadi. Mekanisme koping dapat dipelajari dari sejak
awal terjadinya stressor sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stressor tersebut.
Kemampuan koping individu tergantung dari temperamen, persepsi dan kognisi serta latar
belakang budaya atau norma tempatnya dibesarkan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa mekanisme koping yang berfokus pada
masalah (problem-focused coping) pada pasien kanker dengan efek samping kemoterapi
berada pada kategori adaptif yaitu sebanyak 35 responden (56,5 %). Mekanisme koping yang
berfokus pada masalah (problem-focused coping) adalah suatu usaha untuk mengatasi
permasalahan dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan lingkungan
sekitarnya yang dapat menyebabkan terjadinya tekanan. Koping ini ditujukan dengan
mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk
mengatasinya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh didapatkan bahwa mekanisme
koping yang berfokus pada masalah (problem focused coping) berada pada kategori adaptif,
dimana individu dapat menanggulangi masalah yang dialami dengan beberapa cara,
diantaranya; tetap menjalani kemoterapi meskipun mengalami berbagai efek samping yang
tidak menyenangkan, meminta nasehat pada orang yang berarti seperti pada keluarga, teman
dan orang-orang yang dihormati. Individu juga terus berusaha mencari jalan keluar dengan
melakukan segala upaya demi kesembuhan penyakitnya
Menurut analisa peneliti, kemampuan individu dalam mengatasi perubahan fisik dan
emosional yang menimbulkan stres telah berhasil sehingga individu dapat beradaptasi
terhadap masalah tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi di
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh didapatkan bahwa mekanisme
koping yang berfokus pada emosi (emotion focused coping) berada pada kategori adaptif,
dimana individu dapat menanggulangi masalah yang dialami dengan pendekatan emosional,
diantaranya; berusaha untuk tetap tenang dan sabar, mencoba untuk mengabaikan efek
samping kemoterapi yang sedang dialami, berdoa dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, berfikir positif, melakukan introspeksi diri dan mencoba membuat
perasaan menjadi lebih baik dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan.
Menurut analisa peneliti, pengendalian emosi yang stabil pada pasien kanker yang
menjalani kemoterapi sangat berkaitan dengan adanya nilai spiritualitas yang tinggi. Selain
itu, adanya lingkungan sekitar yang kondusif sehingga emosional pasien yang sangat rentan
tersebut dapat terus terkontrol. Untuk mengontrol emosional, pasien selalu berada dalam
keadaan tenang dalam menjalani kemoterapi, mendekatkan diri kepada Tuhan dan tetap sabar
dalam menghadapi berbagai efek samping kemoterapi yang tidak menyenangkan. Secara
keseluruhan, emosional pasien kanker yang menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh berada pada kondisi stabil salah satunya karena
pendekatanpendekatan spiritual yang dijalani oleh pasien.

SPIRITUAL EMOTIONAL FREEDOM TECHNIQUE (SEFT) MENURUNKAN


STRES PASIEN KANKER SERVIKS
Kanker serviks dikenal sebagai penyakit yang mematikan. Angka kejadian kanker serviks
terbanyak ke dua di seluruh dunia termasuk di Indonesia, begitu pula di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung, kanker serviks menduduki peringkat pertama (62,27%) dibandingkan lima
jenis keganasan obgyn lainnya (suspek tumor ganas ovarium 16,12 %, kanker ovarium
11,76% kanker vulva 8,65 % dan kanker endometrium 1,19%) (Destiana, 2012). Kemoterapi
sebagai salah satu pilihan terapi untuk pasien kanker serviks menimbulkan berbagai efek
samping antara lain rambut rontok, kuku menghitam, mual dan muntah, sehingga hal ini
membuat pasien menjadi stress. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) bermanfaat
untuk mengatasi emosi negatif melalui perpaduan teknik yang menggunakan energi
psikologis, kekuatan spiritual, dan doa.
Penyakit kanker serviks tidak menimbulkan gejala di awal stadium (Hartati, 2010). Gejala
awal kadang hanya berupa keputihan, namun pada stadium lanjut timbul keluhan lain seperti
keluarnya darah atau cairan berbau tidak sedap, perdarahan spontan dari vagina, nyeri saat
bersenggama, keputihan terus menerus, nyeri/kesulitan berkemih serta nyeri perut bagian
bawah atau kram panggul. Apabila mencapai stadium lanjut penyakit ini tidak dapat dioperasi
karena telah bermetastase (Samadi, 2011).
Salah satu terapi kanker serviks adalah kemoterapi. Namun kemoterapi menyebabkan
beberapa efek samping berupa perubahan fisik diantaranya rambut rontok, kuku menghitam,
mual dan muntah yang dapat menimbulkan stres pada pasien. Stres ini ditandai adanya gejala
sedih, gelisah, sulit konsentrasi, sulit tidur, otot-otot tubuh terasa tegang, badan terasa lemas,
letih dan tidak berdaya, serta kesulitan dalam beraktifi tas (Bintang, 2012). Kondisi tubuh
yang tidak menyenangkan akibat stres dapat menyebabkan menurunnya produktifitas kerja
(Diahsari, 2001).
Pasien yang mengalami stres membutuhkan intervensi keperawatan agar pasien dapat
menjalani kehidupannya dengan nyaman. SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique)
merupakan perpaduan teknik yang menggunakan energi psikologis dan kekuatan spiritual
serta doa untuk mengatasi emosi negatif. SEFT langsung berurusan dengan “gangguan sistem
energi tubuh” untuk menghilangkan emosi negatif dengan menyelaraskan kembali sistem
energi tubuh. SEFT efektif mengatasi stres karena didalamnya terdapat beberapa teknik terapi
yang terangkum dan dipraktikkan secara sederhana, terapi tersebut meliputi do’a.
Kelompok perlakuan mendapatkan bimbingan SEFT secara individual yang berisi
penjelasan tentang pengertian, tujuan dan manfaat SEFT untuk pasien kanker serviks. Dalam
SEFT, peneliti menekankan bahwa peneliti dan pasien hanya berusaha, sedangkan perasaan
tenang serta kesembuhan hanya diperoleh dari Tuhan Yang Maha Kuasa; disertai keyakinan
penuh bahwa hanya Allah/Tuhan yang menenangkan dan menyembuhkan. Peneliti juga
menekankan bahwa keberhasilan SEFT sangat tergantung dari “keikhlasan” menerima kondisi
yang dihadapi dan “kepasrahan” pada Yang Maha Kuasa. Langkah berikutnya responden
diminta untuk mengikuti instruksi peneliti diawali dengan meminta responden berdoa,
dilanjutkan dengan latihan inti SEFT yang terdiri dari the set-up, the tune-in, the tapping
(Zainudin, 2008).
Langkah pertama adalah The Set-up. Responden dibimbing untuk mengucapkan kalimat
“Ya Allah/Tuhan meskipun saya …….. (keluhan atau perasaan negatif pasien), saya ikhlas
menerima perasaan saya ini, saya pasrahkan padaMu ketenangan batin saya” dengan penuh
khusuk, ikhlas dan pasrah sebanyak 3 kali, sambil menekan dada kiri (titik yang dirasa nyeri)
atau daerah “sore spot” atau dapat dilakukan dengan mengetuk ringan dengan dua jari pada
bagian “karate chop”. The Set Up bertujuan untuk memastikan aliran energi tubuh terarah
dengan tepat dan untuk menetralisir emosi negatif yang timbul karena menderita kanker
serviks.
Langkah kedua adalah The Tune-in. Responden diarahkan memikirkan sesuatu atau
peristiwa spesifik yang dapat membangkitkan emosi negatif (gejala stres) yang ingin
dihilangkan, bersamaan dengan ini hati dan mulut mengatakan “Yaa Allaah/ ya Tuhan… saya
ikhlas… saya pasrah”. Bersamaan dengan tune-in responden diminta melakukan langkah
ketiga, the tapping, yaitu mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik energi
meridian tubuh sambil terus tune-in yang diakhiri dengan relaksasi pernafasan yaitu “tarik
nafas panjang lewat hidunghembuskan lewat mulut sambil mengucap rasa syukur beberapa
kali. Semua langkah di atas dilakukan sebanyak 3 kali putaran selama 30 menit. Setelah
selesai, responden diminta mengemukakan perasaan yang dirasakan saat melakukan SEFT
serta kendala yang dihadapi. Selain itu, dikaji pula perasaan responden setelah dilakukan
SEFT (dalam skala 1-10), dan diakhiri dengan post test.
Stres merupakan salah satu bentuk emosi negatif yang dialami oleh seseorang dan dapat
mengganggu keamanan serta kenyamanan dalam melaksanakan tugas kehidupan sehari-hari
(Agoes, 2003). Stres pada pasien kanker serviks terjadi akibat ketidakmampuan pasien dalam
mengatasi ancaman psikologis yang ditimbulkan oleh kondisi penyakit kanker serviks yang
dikenal sebagai penyakit mematikan (Nelson, 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi
mengalami stres, dan setelah mendapatkan intervensi SEFT tampak terjadi penurunan stres.
Sebelum mendapatkan intervensi pasien mengalami stres dengan rata skor 50,79 berada pada
tingkat sedang dan cukup membahayakan bagi pasien karena lapangan persepsi pasien mulai
menyempit dan mempengaruhi aktifitas sehari-hari yang tentunya dapat memperburuk status
kesehatan pasien itu sendiri. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya koping yang destruktif,
sebagaimana dikemukakan oleh Fitriana dan Ambarini (2012) bahwa salah satu bentuk
mekanisme koping destruktif pada pasien antara lain menilai negatif penyakit yang diderita
dimana pasien menganggapnya sebagai ancaman kehidupan dan penyakit yang mematikan.
Menurut penelitian Destiana (2012), 69,1% pasien kanker serviks menggunakan mekanisme
koping yang destruktif dan hanya 30,9% pasien menggunakan koping yang konstruktif. Di
samping itu, penggunaan koping yang destruktif dapat disebabkan oleh adanya beberapa
sumber koping yang tidak efektif dan tidak adekuatnya sumber koping yang dimiliki pasien,
antara lain kemampuan personal, dukungan sosial, asset/material dan keyakinan positif yang
dimiliki pasien kanker serviks.
Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan salah satu teknik terapi yang
dapat menurunkan emosi negatif pasien termasuk stres dan gejala yang menyertai. Saat
pelaksanaan SEFT, pasien diminta menceritakan semua perasaan negatif yang dialami selama
menderita kanker serviks, dan bersamaan dengan hal itu terjadi katarsis atau proses
pengeluaran perasaan/beban emosi negatif pada pasien.
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa teknik katarsis dapat dilakukan dengan
menceritakan masalah yang sedang dihadapi sehingga perasaan menjadi lebih rileks dan
tenang. Di samping itu, saat pelaksanaan SEFT, pasien juga diminta berdoa kepada Tuhan,
sehingga hati menjadi tenang, sebagaimana dikemukakan oleh Larry Dossey dalam Zainudin
(2008) bahwa doa efektif menurunkan stres.
Kondisi rileks yang ditimbulkan setelah SEFT juga dapat menurunkan intensitas nyeri
pasien kanker serviks, sehingga mengurangi stres pasien. Hal ini sesuai penelitian Dewi,
Ropi, dan Agustina (2004) yang menunjukkan latihan relaksasi pre operasi efektif
menurunkan intensitas nyeri pasien post operasi.
Dalam praktek SEFT, aspek spiritual pasien lebih diperhatikan melalui penekanan pada
aspek khusuk, ikhlas dan pasrah, serta pasien diyakinkan bahwa hasil yang akan diperoleh
tergantung keikhlasan, kepasrahan, dan keyakinan pasien kepada Tuhan. Semakin ikhlas,
semakin pasrah, dan semakin yakin Tuhan yang menyembuhkan atau menenangkan hati,
maka hasilnya semakin optimal.

STUDI FENOMENOLOGI : PEMENUHAN KEBUTUHAN


PSIKOSOSIAL PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENJALANI
KEMOTERAPI DI RSUD TUGUREJO SEMARANG

Pemenuhan kebutuhan psikososial pada pasien kanker payudara


Pada penderita kanker payudara akan terjadi perubahan tubuh sejak kanker mulai
menyebar pada tubuh, menyebabkan perubahan persepsi sehingga pasien harus beradaptasi
dari sisi fisiologis dan psikososial baik dari konsep diri, peran fungsi dan interdependensi.
Perawat sebagai tenaga kesehatan seharusnya mampu mengidentifikasi kebutuhan psikososial
ini sejak pertama kali pasien didiagnosis kanker. Identifikasi pemenuhan kebutuhan kesehatan
secara menyeluruh akan mengalami kesulitan apabila tidak memahami masalah yang dialami
oleh seseorang. Seorang dokter, perawat maupun tenaga kesehatan lain mempunyai cara
berbeda dalam mengukur kebutuhan kesehatan seorang pasien. Bahwa pasien kanker
memiliki kebutuhan kesehatan yang mencakup kebutuhan psikososial, namun pemenuhan
kebutuhan ini kurang dipahami dengan baik oleh petugas kesehatan.
Pendekatan multi disiplin mempunyai peranan penting dalam menilai dan memenuhi
kebutuhan psikososial. Fokus pendekatan ini pada respon emosional dan psikologis pasien
terhadap penyakit dan pengobatannya, gangguan emosi (kecemasan, depresi) dan pengobatan
psikoterapi serta berfokus pada komunikasi antara pasien dengan tenaga kesehatan. Prinsip
pemenuhan kebutuhan psikososial yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah; bahwa
tenaga kesehatan memahami harapan pasien dan menghargai bahwa kebutuhan psikososial
mereka bervariasi, bahwa kebutuhan informasi harus meliputi tentang rencana perawatan dan
pengobatan.45
Hampir sepertiga dari populasi pasien kanker menunjukkan kebutuhan yang belum
terpenuhi adalah kebutuhan psikososial. Wanita dengan kanker payudara secara emosional
lebih terpengaruh dari pada pria, sehingga perlu lebih banyak dukungan psikososial.
Diharapkan perawat memenuhi kebutuhan psikososial tersebut melalui cara memberikan
support mental dan semangat dalam pelayanan, memberikan dukungan positif terhadap citra
tubuh pasien kanker yang menjalani kemoterapi.46 Pemenuhan kebutuhan psikososial ini
masuk di dalam perawatan paliatif. Beban penderita yang meliputi masalah fisik, psikososial,
spiritual akan diupayakan perbaikan, sehingga kualitas hidupnya menjadi lebih baik.47
Adanya gejala fisik seperti kerontokan rambut. Salah satu perubahan fisik yang terjadi
berupa rambut rontok ini akan membuat klien merasa malu untuk berhubungan dengan orang
lain, karena merasa dirinya berbeda dengan orang lain.11 Bahwa kebotakan merupakan efek
samping kemoterapi yang banyak dirasakan oleh penderita sangat mempengaruhi psikologis
pasien kanker payudara daripada kehilangan payudara. Rambut merupakan identitas diri
sehingga ketika mengalami kebotakan akan mempengaruhi penampilan mereka, sehingga
kondisi ini akan menimbulkan persepsi negatif dan harga diri negatif.51
Gangguan citra tubuh, perubahan citra tubuh akibat perubahan fisik merupakan respon
psikologis yang sangat menekan bagi klien kanker payudara.

Aspek spiritual

1) Penyakit sebagai pengurang dosa

“Wong penyakit itu bukan kutukan dan bukan hukuman, jadi pasien itu sebagi ladang
amal, supaya dosa kita berkurang”. (P4)

2) Penyakit merupakan bahasa untuk komunikasi dengan PenciptaNya

“Kalau menurut saya mbak, sakit itu mungkin bahasa Allah untuk berkomunikasi dengan
kita, mungkin kalau saya tidak sakit seperti ini saya tidak akan rajin beribadah seperti
sekarang" (P4)

3) Menganggap sebagai ujian

“Ujian dari Yang Maha Kuasa, diberi ganjaran sakit…”(P2)


“Ini memang ujian bagi saya..”(tampak sedih) (P3)
4) Menganggap sebagai teguran

“Walaupun saya takut, tapi mungkin semua ini adalah teguran supaya saya bisa lebih
bersabar"(P6)
“Harus sabar mbak, apalagi saya orangnya gak sabaran, suami yang ngerehreh saya
untuk bisa sabar, berdoa mohon ampunan mungkin banyak salah (menirukan ucapan suami)
mungkin ini semua merupakan teguran buat saya”.(P8)
Perubahan kondisi fisik dan psikososial pada pasien kanker payudara, akan memberikan
stressor kepada pasien. Sejauh mana koping yang gunakan partisipan terhadap penyakitnya.
a. Sikap dalam menghadapi masalah

1) Menerima

“……..wong sudah terjadi mau gimana lagi mbak, kalau sedang diberi ujian ya harus
diterima……” (P1)
“……..diberi ganjaran sakit, menerima saja…….”(P2)
“……tapi mungkin ini cobaan dari Allah harus diterima……” (P7)

2) Menyangkal

“Awalnya sempat menolak, gak mungkin saya kena sakit kanker….” (P7) “….awalnya
saya menolak, tidak mungkin saya terkena kanker…” (raut wajah emosional) (P8)
“Kalau Ny. S (P7) itu masih denial sampai sekarang” (T1)
“Mungkin kalau Ny.S (P7) kan masih muda umurnya jadi belum bisa menerima kondisi
sakitnya…” (T2)

3) Menyalahkan diri sendiri

“….semua salah saya mbak…” (P3)


“Mungkin ini semua tidak akan terjadi, kalau saya mengikuti pengobatan dari awal” (P8)
“Biasanya Ny.R (P3) kalau diajak ngobrol masih sering menyalahkan dirinya sendiri….”
(T2)

4) Menarik diri
“Setelah sakit ini saya belum berani keluar rumah, …...”(P3)
“……Saya sampai tidak keluar rumah….” (P8)
“Ny.T (P8) mungkin karena jarang ditunggui suaminya, dia lebih banyak pendiam…”(T1)

b. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah psikologis dan sosial

1) Membaca Bismilah

“Setiap mau melakukan apa paling saya baca Bismilah, biar tenang". (P1)

2) Berdoa/zikir/sholat.

“…..kalau saatnya sholat sholat, berdoa…” (P2)


“……saya sholat, berdoa, kadang dzikir baca istigfar.” (P3)
“ Saya sholat, biar diberi ketenangan..”(P4)
“…..kalau waktunya sholat, ya sholat, trus berdoa….”(P5)
“Ya…bisanya berdoa, semoga cepat diangkat penyakitnya..” (P6)
“…..ya sholat, berdoa….” (P7)
“……sholat kadang-kadang” (tidak bersemangat sambil memalingkan wajah)
(P8)
“Kalau Ny.T (P8) saya lihat jarang sholat…” (T2)

3) Mendengarkan musik

“……kadang-kadang dengerin lagu lewat hp…” (P1)


“Kalau sedang sendiri saya mendengarkan lagu-lagu dari hp saja mbak…”
(sambil menunjukkan hape milik pasien)(P4)
“…….kalau tidak ya dengerin lagu lewat head set hape” (P8)
“Kalau Ny. W sama Ny. SR memang sering saya lihat kalau pas sendiri sering
mendengarkan lagu-lagu lewat hp…” (T1)

4) Membaca buku/majalah

“Baca-baca buku biar tidak bosan….” (P7)


“Kalau mau baca koran apa majalah saja…..” (P8)
5) Berbincang-bincang

“…….paling ngajak ngobrol teman sebelah…..” (P1)


“…..paling ngobrol sama ibuke sebelah…..” (P2)
“…..kalo tidak ya ngobrol sama tetangga …….” (sambil menunjuk pasien sebelahnya)
(P5)
“……kegiatan lain saya ngobrol sama teman sebelah……….kalo ada yang
menunggu ya ngobrol sama suami ato anak saya” (P6)
“Kalau lagi sendiri saya ya ngobrol sama pasien sebelah…..” (P7)
“Hampir semua pasien disini, kalau sudah kenal mereka akan saling bercerita satu sama
lain….” (T2)

. Keyakinan dan spiritual merupakan hal yang sangat sensitif.89 Pasien cenderung
meluangkan waktu sendirian untuk berdoa kepada Tuhan, karena dengan cara ini mereka bisa
mendapatkan kedamaian. Berdoa termasuk mengucapkan doa dan melakukan ritual
keagamaan, membentuk dasar kebutuhan pasien kanker. Spiritualitas dengan ritual
keagamaan, seperti berdoa, memainkan peran penting dalam menerima penyakit. Berdoa
memiliki peran penting dalam mengatasi kanker dan membantu pasien memperbaiki
kesehatan spiritual mereka saat sakit.90 Ungkapan partisipan terkait koping berdoa:
“…..kalau waktunya sholat, ya sholat, trus berdoa….”(P5)
“Ya…bisanya berdoa, semoga cepat diangkat penyakitnya..” (P6)

Berdzikir didefinisikan sebagai komunikasi dengan Tuhan sebagai pengalaman dan


ekspresi semangat manusia. Dzikir adalah mengingat Allah dalam suatu tindakan dan
mengakui kehadiran-Nya untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga akan timbul
ketentraman. Berdzikir mempunyai kekuatan luar biasa. Ada kekuatan psikoreligius sebagai
berikut, kondisi psikologis akan mempengaruhi saraf dan saraf akan mempengaruhi kelenjar,
kelenjar ini akan mengeluarkan cairan endokrin yang akan mempengaruhi kekebalan tubuh
manusia. Sebagai orang yang beriman dan yakin dengan semua apa yang dilakukan di dunia
Akan dipertanggungjawabkan, sehingga partisipan memanfaatkan sisa umurnya untuk
lebih dekat kepada pencipta-Nya. Sebagai manusia partisipan yakin dan percaya bahwa semua
ini adalah ujian dan cobaan yang dihadapi, sehingga harus tetap bersyukur dengan adanya
penyakit ini dan menyerahkan segala ketentuan kepada-Nya.68 Seperti yang disampaikan
partisipan:
“……saya sholat, berdoa, kadang dzikir.” (P3)

Menurut Potter dan Perry (2005) agama memainkan peranan penting dalam hal
pencegahan dan pengobatan penyakit. Agama mengajarkan penganutnya untuk mengikuti
praktek moral, sosial dan diet yang dirancang untuk menjaga seseorang
agar tetap dalam keadaan sehat dan harmonis.65 Menurut penelitian bahwa pasien kanker
payudara yang melakukan sholat dapat menemukan lebih banyak kontribusi positif dari pada
pasien yang tidak sholat. Sholat dan doa telah terbukti menjadi faktor emosional dan
psikologis yang penting pada penderita kanker payudara, membantu pasien dalam menerima
kanker dalam kehidupannya.88 Hal ini seperti yang disampaikan partisipan :
“…..kalau saatnya sholat sholat, berdoa…” (P2)

Selain berdoa/ dzikir dan sholat partisipan juga melakukan kegiatan dengan mendengarkan
musik. Mendengarkan musik dapat membantu pasien mengatasi gejala kemoterapi, sehingga
berkontribusi pada kemudahan dan kesejahteraan fisik mereka. Mendengarkan musik
merupakan bagian dari teknik distraksi untuk mengatasi rasa nyeri pada pasien kanker
payudara. karena dengan mendengarkan musik akan dikeluarkan zat endorphin yang dapat
menghambat impuls nyeri, musik juga bekerja pada sistem limbik yang akan dihantarkan pada
sistem saraf yang mengatur kontraksi otot tubuh, sehingga mengurangi ketegangan. Dengan
musik dapat memperbaiki kesehatan fisik, interaksi sosial, hubungan interpersonal, ekspresi,
emosi dan meningkatkan kesadaran diri untuk menumbuhkan hubungan saling percaya,
mengembangkan fungsi fisik dan mental secara teratur serta terprogram. Musik juga
membantu meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan menghasilkan perubahan positif
dalam perilakunya.65
Hasil penelitian dilakukan pada pasien setelah kemoterapi adalah adanya perbaikan
kenyaman total, kenyamanan fisik, psikospiritual dan sosiokultural. Mendengarkan musik
secara efektif mampu mengurangi keparahan gejala kemoterapi dan meningkatkan
kenyamanan pasien selama perawatan. Musik yang sesuai dengan selera pasien selain dapat
menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan juga dapat mempengaruhi sistem
limbik dan saraf otonom, sehingga merangsang pelepasan zat kimia gamma amino butyric
acid (GABA), enkefalin dan beta endorphin yang akan mengeliminasi neurotransmitter rasa
nyeri maupun kecemasan, sehingga menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati.
Spiritualitas seseorang selain memberikan keterhubungan dengan Tuhan, individu juga
berusaha untuk meningkatkan hubungan dengan orang lain untuk meningkatkan kualitas
hidup yang lebih baik. Spiritualitas bagi penderita penyakit kanker point utama yaitu dengan
mengevaluasi kehidupan di masa lalu yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain.
Sejalan dengan ungkapan Potter dan Perry (2010) bahwa spiritualitas seseorang membuat
seseorang dapat mencintai, memiliki kepercayaan dan harapan, mencari arti dalam hidup dan
memelihara hubungan dengan orang lain. Bentuk spiritualitas yang diungkapkan partisipan
seperti lebih banyak mendekatkan diri kepada Pencipta-Nya dengan berdoa, menerima
penyakit sebagai ujian.104

KUALITAS TIDUR DAN DISTRESS PADA PASIEN KANKER YANG


MENJALANI KEMOTERAPI

Menurut peneliti kualitas tidur yang mayoritas buruk pada responden penelitian ini
dipengaruhi oleh berbagai hal sesuai dengan pernyataan Johanna & Jachens (2004) yaitu
gangguan fisik berupa respon dari penyakit pasien, respon dari kemoterapi serta gangguan
mental dan spiritual berupa perasaan ketidak berdayaan, putus asa dan penolakan terhadap
kenyataan sakit yang dihadapi. Dilihat dari usia rata-rata responden dimana usia rata-rata
45,71 tahun masuk dalam kategori usia dewasa pertengahan sedangkan menurut Dament et al,
(1985); Hayashi & Endo, (1982) dikutip dari Carpenito, (1998) efesiensi tidur mencapai 80 –
90 % pada usia dewasa muda. Hasil penelitian Purwantari dan Amini (2013) yang dianalisis
dengan uji Mc Nemar menunjukkan bahwa ada perbedaan antara kualitas tidur sebelum dan
selama kemoterapi pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi rawat jalan.
Hasil analisis univariat terhadap variabel tanda dan gejala distress diperoleh data bahwa
mayoritas responden berada dalam kondisi borderline 61,8%, normal 33,8% dan distress
4,4%. Distress adalah suatu ketidakseimbangan diri/jiwa dan realitas kehidupan setiap hari
yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang memerlukan penyesuaian sering dianggap
sebagai kejadian atau perubahan negatif yang dapat menimbulkan distress, seperti cedera,
sakit atau kematian orang yag dicintai, putus cinta. Pengalaman stress dapat bersumber dari :
lingkungan, diri dan tubuh dan pikiran.
Berdasarkan kesimpulan penulis menyarankan agar perawat ruang kemoterapi sebagai
tenaga kesehatan yang paling banyak berinteraksi dengan pasien agar memperhatikan risiko
gangguan psikologis pada pasien yang menjalani kemoterapi karena kondisi distress akan
berdampak pada proses penyembuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai