Pre Op Visit
Pre Op Visit
Oleh:
Auliya Sauma 1102014050
Nur Rahmadina 1102014200
Rita Pantiana 1102014229
Shalma Destiany Ganar 1102014246
Pembimbing:
dr. Aflah Eddin, Sp. An
I. KUNJUNGAN PRAOPERASI
Persiapan pasien sebelum tindakan anestesi dan bedah sangatlah penting untuk
dilakukan. Persiapan dimulai sejak sebelum pasien masuk ke dalam ruang operasi,
baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan. Dokter spesialis anestesiologi perlu
melakukan kunjungan untuk memastikan pasien berada dalam kondisi terbaik untuk
operasi.
Tujuan
Tujuan utama kunjungan praanestesi adalah untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas selama operasi serta mengembalikan pasien pasca operasi ke fungsi yang
diharapkan secepat mungkin. Tindakan ini dapat megurangi angka kesakitan saat
operasi, mengurangi biaya pengobatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan.
Kunjungan praanestesi juga bertujuan sebagai sarana perkenalan dokter spesialis
anestesi agar dapat memberikan informed consent dan edukasi yang dapat diterima
oleh pasien maupun keluargnya.
Risiko perioperatif seseorang bergantung pada banyak faktor dan secara
umum dipengaruhi oleh kondisi medis pasien sebelum operasi, invasif atau tidaknya
prosedur yang akan dilakukan, dan jenis obat anestesi yang akan digunakan.
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dikerjakan berdasarkan indikasi yang sesuai.
Beberapa rumah sakit mengharuskan pemeriksaan EKG pada pasien berusia
diatas 50 tahun.
Ada pemeriksaan penunjang yang rutin harus dilakukan ada juga yang
kan jika ada indikasi untuk pemeriksaan penunjang. Adapun indikasi
kukan pemeriksaan penunjang antara lain : usia, penyakit yang sedang
diderita, penyakit penyerta, penyakit dahulu, penyakit keluarga yang herediter,
kehamilan, dll
Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan rutin darah (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit)
Pemeriksaan Kimia Klinik
o Fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin)
o Fungsi ginjal (Urine lengkap, BUN, Serum kreatinin)
o Faal hemostasis
o Serum elektrolit (Na. K, Cl)
Pemeriksaan berdasarkan indikasi
Radiologi (foto thoraks, BOF, CT Scan, USG, dll)
Laboratorium (gula darah)
EKG. Echocardiogram, treadmil, dll
Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan dan memperoleh gambaran
tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta rnasalah-masalah yang ada,
1anjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesia yang akan
digunakan.
Tabel 1. Indikasi pemeriksaan penunjang praoperasi
Pemeriksaan Indikasi
Darah tepi lengkap Operasi mayor
Penyakit kardiovaskular, paru, ginjal, atau hati
yang kronis atau keganasan
Kecurigaan anemia, perdarahan diathesis atau
mielosupresi
Usia kurang dari 1 tahun
INR, aPTT Pasien dalam terapi antikoagulan
Adanya perdarahan diatesis
Penyakit hati
Elektrolit dan kreatinin Hipertensi
Penyakit ginjal
Diabetes
Penyakit hipofisis atau adrenal
Sedang dalam terapi digoksin, diuretik atau obat-
obatan yang dapat mempengaruhi elektrolit.
Gula darah puasa Diabetes melitus (diulang lagi pada hari operasi)
EKG Penyakit jantung, hipertensi, diabetes
Memiliki faktor resiko penyakit jantung (termasuk
usia)
Pendarahan subaraknoid atau intrakranial, CVA,
trauma kapitis
Foto thorax Penyakit jantung atau paru
Keganasan
Ekokardiografi Pada pasien dengan kelainan jantung bawaan,
kelainan katup jantung, atau serangan jantung, dan
pada kondisi dimana fungsi jantung pasien
dikhawatirkan terganggu.
Spirometri Pada pasien dengan riwayat gangguan fungsi paru
berat atau akan menjalani operasi yang
diperkirakan akan membuat perubahan besar pada
fungsi paru.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dnegan mencantumkan tanda
darurat (E = emergency), misalnya ASA I E atau III E. Dengan menggunakan
klasifikasi ini maka seseorang dapat berbicara dengan bahasa yang sama baik di
forum nasional maupun internasional.
Asupan Oral
Penggunaan anestesi menurunkan refleks laring sehingga dpaat terjadi regurgitasi isi
lambung ke jalan napas. Untuk itu pasien yang akan menjalani operasi diminta untuk
melakukan puasa selama minimal 6-8 jam. Pada anak kecil puasa berkisar antara 4-6
jam. Sementara pada bayi 3-4 ja,. Makanan tak berlemak minimal 5 jam dan
minuman bening minimal 3 jam sebelum induksi. Penggunaan air putih untuk minum
obat dibolehkan secara terbatas hingga 1 jam sebelum induksi.
Pramedikasi
Pramedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi dengan tujuan untuk
mengurangi kecemasan pasien, mempelancar induksi, mengurangi sekresi kelenjar
ludah, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangu reflek yang membahayakan.
Premedikasi yang sering digunakan:
o Diazepam per oral 5-10 mg sebagai antiansietas
o Petidin 50 mg intramuskular untuk mengurangi nyeri,
o simetidin 600 mg oral untuk mengurangi cairan lambung atau ondansetron 2-4
mg untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah.
II. SEPSIS
Pendahuluan
Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society
of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom
ini merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS
menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok. Dan pada bulan Oktober tahun 1994
European Society of Intensive Care Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang
dinamakan Sepsis-Related Organ Failure Assessment (SOFA) score untuk
menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi
organ. 2 hal penting dari aplikasi dari skor SOFA ini adalah:
Definisi
Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang
dapat berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat dan syok septik
adalah masalah kesehatan utama dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang
setiap tahunnya. Sepsis Berat adalah sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ,
yang disebabkan karena inflamasi sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi.
Syok
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis
dengan akronim PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious
challenge, and Organ dysfunction). Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM
mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang
meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure
Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru
seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan
penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.
Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak
membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih,
temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap
infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon
disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada
pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.
Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari
respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh
darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen
yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.
Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia,
penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan
patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat
dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari
isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet
activating factor, dan eikosanoid.
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan
interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.
Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat
proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut
memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi
dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran
kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia
jaringan global. (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini)
Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi
dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat
infeksi yang paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris, kulit, jaringan
lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya
berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih
berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulosiopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan
terjadinya syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :
koagulasi intravaskular,
perdarahan usus,
gagal hati,
gagal jantung.
kematian
Penanganan
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM
dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari penanganan
sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur
dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan
pencegahan infeksi.
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al
pada tahun 2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. Pada
tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti ARISE
(Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized
Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic
Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline
dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak
dilakukan lagi.
Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT
telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan
kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan
dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini
menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan
cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol
sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena
sentral secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas
untuk menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan
bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik
dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan.
Namun pemberian carian harus dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan
tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari
strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus terhadap kondisi
pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari
terapi tersebut. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak
velocity, passive leg raising, ekokardiografi.
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan
komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat
dengan adanya penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan
keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum
luassebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman. Dan
hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi
ini berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan dalam
penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko kematian.
Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk
mencapai target MAP. ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan
adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan
fluid challenge selama didapatkan peningkatan status hemodinamik berdasarkan
variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau statik
(tekanan nadi, laju nadi).
5. Terapi suportif
Eli Lilly and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III
menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait
(dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan antikoagulan.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yatg mengunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar steroid
pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yarg menganjurkan
setelah terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah
dengan low doses corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam keadaan
septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada
keadaan sepsis dan septic shock. (sepsis campaign, 2008).
Glukosa Kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami dan
yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai
dengan < 150mg / dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam
dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah terjadinya stress ulcer
dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan inhibitor.
Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana tersedia
di ICU.
Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral (CVP),
tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial
direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor,
namun dengan catatan bahwa obat-obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan
arterial sentral terlihat lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat
diukur secara intermiten dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal
kateter vena sentral standar atau secara kontinyu dengan menggunakan kateter vena
sentral serat optik. Meskipun pada tangan ahli arteri pulmonar tetap merupakan
tempat pengukuran yang efektif, bukti keuntungan kesintasan dari penggunaannya
masih harus dibuktikan.
Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular
pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan
berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan
resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa
saat yang lalu tidak ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti
menunjukkan adanya keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien
kritis. Namun demikian, suatu studi acak terkontrol besar yang membandingkan
antara 4% albumin dengan normal salin pada 6997 pasien sakit kritis heterogen dan
membutuhkan resusitasi volume menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam
mortalitas antar kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan
sepsis berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada
kelompok yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang
sebagai sarana pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan
penelitian acak terkontrol pada pasien sepsis.
Obat-Obat Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap
hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65mmHg
telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40- 300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik
noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini
pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh
vasopresor β- agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti
noradrenalin dan penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau
penyakit koroner mendasar.
Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang tidak
berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini meningkatkan tekanan arterial rerata
dengan meningkatkan keluaran jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang
dikaitkan dengan obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum secara pasti
membuktikan satu obat vasopresor lebih superior dibandingkan lainnya pada keadaan
sepsis berat ataupun syok sepsis. Beberapa bukti definitif mengenai peranan
vasopresin dan efeknya pada hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic
Shock Trial (VASST).
Pencegahan