Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KUNJUNGAN PREOPERASI DAN SEPSIS

Oleh:
Auliya Sauma 1102014050
Nur Rahmadina 1102014200
Rita Pantiana 1102014229
Shalma Destiany Ganar 1102014246

Pembimbing:
dr. Aflah Eddin, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


PERIODE 8 April 2019-7 Mei 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI - RSUD PASAR REBO
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

I. KUNJUNGAN PRAOPERASI

Persiapan pasien sebelum tindakan anestesi dan bedah sangatlah penting untuk
dilakukan. Persiapan dimulai sejak sebelum pasien masuk ke dalam ruang operasi,
baik di ruang rawat inap maupun rawat jalan. Dokter spesialis anestesiologi perlu
melakukan kunjungan untuk memastikan pasien berada dalam kondisi terbaik untuk
operasi.

Tujuan
Tujuan utama kunjungan praanestesi adalah untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas selama operasi serta mengembalikan pasien pasca operasi ke fungsi yang
diharapkan secepat mungkin. Tindakan ini dapat megurangi angka kesakitan saat
operasi, mengurangi biaya pengobatan dan meningkatkan pelayanan kesehatan.
Kunjungan praanestesi juga bertujuan sebagai sarana perkenalan dokter spesialis
anestesi agar dapat memberikan informed consent dan edukasi yang dapat diterima
oleh pasien maupun keluargnya.
Risiko perioperatif seseorang bergantung pada banyak faktor dan secara
umum dipengaruhi oleh kondisi medis pasien sebelum operasi, invasif atau tidaknya
prosedur yang akan dilakukan, dan jenis obat anestesi yang akan digunakan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:


1. Identitas
Ketetapan identitas adalah hal mendasar pertama yang harus dipastikan. Salah
pasien atau salah metode operasi merupakan hal yang mungkin terjadi.
Tanyakan data pribadi pasien, konfirmasi jenis operasi, serta bagian tubuh
yang akan dibedah.
2. Anamnesis
 Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga,
riwayat sosial (penggunaan rokok, alkohol atau obat-obatan ilegal),
riwayat alergi, dan obat-obatan yang sedang digunakan saat ini.
 Riwayat operasi: tanyakan jenis anestesi yang digunakan saat itu,
apakah ada hal yang memerlukan perhatian khusu, seperti alergi
terhadap zat anestesi, mual, muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
napas pascabedah. Bedakan apakah yang dialami pasien berupa alergi
atau efek samping. Beberapa obat disarankan untuk tidak diulang
pemakaiannya, seperti halotan yang tidak boleh dihunakan ulang
dalam jangka waktu tiga bulan atau antikoagulan yang jika diperlukan
harus diberhentikan dalam waktu yang berbeda-beda sesuai dengan
golongan obat tertentu.
 Jika pasien memiliki kebiasaan merokok, sebaiknya dihentikan
sebelum operasi. Penghentian 1-2 hari sebelum operasi dapat
mengeleminasi nikotin yang dapat mempengaruhi sistem
kardiosirkulasi. Penghentian beberapa hari mengaktifkan kembali kerja
silia jalan pernapasan, sementara penghentian beberapa minggu dapat
mengurangi produksi sputum. Pada pasien dengan riwayat meminum
alkohol, dapat dicurigai adanya kelianan hati.
3. Pemeriksaan fisik
Perneriksaan fisik yang dilakukan secara umum adalah pemeriksaan
tinggi dan berat badan, kesadaran, tanda-tanda anemia, ikterus, sianosis,
dehidrasi, oedema, tekanan darah, frekuensi nadi, suhu tubuh, frekuensi nafas
dan nyeri. Secara keseluruhan dilakukan pemeriksaan 5B yaitu : Breath, Blood,
Bowel. Bladder, dan Bone.
o Breath (jalan nafas, pola nafas, suara nafas, anatomi dan fungsi paru)
Perhatikan jalan nafas terutama bagian atas dan rencanakan
penatalaksanaan selama anestesi. Evaluasi apakah jalan nafas tersumbat,
apakah ada penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan
membuka mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot leher, masalah gigi
(ompong, gigi palsu, gigi goyah), atau lidah yang relatif besar. Hal tersebut
dapat menjadi penyulit dalam pelaksanaan laringoskopi intubasi.
Leher yang pendek maupun panjang akan mempersulit intubasi,
untuk mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi
dengan cara mengukur jarak mentohyoid, yaitu jarak antara mento dengan
os. hyoid dibelakang Adam’s apple. Jarak ideal mentohyoid adalah 4 jan
atau 7 cm.
Periksa juga sistem pemafasan, perhatikan frekuensi nafas, irkan
suara nafas, apakah ada suara nafas tambahan seperti ronki
atau wheezing. perhatikan gerakan dada saat bemafas simetris atau dan
apakah pasien sesak atau nyeri saat bernafas.
o Blood (tensi. suara jantung, kelainan anatomis dan fungsi jantung)
Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung dan
pembuluh darah, khususnya penyakit katup jantung, hipertensi dan gagal
jantung baik kiri maupun kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat
adanya peningkatan tekanan vena, oedem pada ekstremitas bawah maupun
pembesaran hepar. Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan
atau tidak.
o Brain (GCS, kelainan saraf pusat atau perifer)
Periksa apakah pasien ada gangguan kesadaran atau tidak, adakah
gangguan pada saraf perifer atau pusat. Hal mi penting untuk ngelo1aan
anestesi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi dan bedah.
o Bowel (makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, kehamilan)
Pada abdomen banyak yang hams diperhatikan, pembesaran hepar
akibat konsumsi alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat
anestesi yang akan digunakan. Makan minum terakhir hams diperhatikan
oleh karena dapat menimbulkan efek muntah, yang dapat mengakibatkan
aspirasi muntahan ke dalam paru.
Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang
akan diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.
o Blader (produksi urine)
Periksa fungsi ginjal apakah ada gangguan atau tidak, misalnya gagal
ginjal akut. Secara umum urine dapat menggambarkan :
 Fungsi ginjal dan salurannya
 Kemodinamik penderita
 Hidrasi
 Hormonal
Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa :
 Produksi urine
Harus dinilai produksi urine apakah normal atau tidak
 Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam
 Anuri : 20m1/24jam
 Oliguri : 25m1/jamatau400ml/24jam
 Poliuri 2500 ml/24 jm
 Serum kreatinin
 BUN
 Sedimen urine
o Bone (kelainan postur tubuh, kelainan neuro muskuler, patah tulang)
Kelainan postur tubuh dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan
menjadi penyulit saat anestesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat
mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral
sehingga mempersulit intubasi.
Patah tulang leher terutama C2 menyebabkan tetraplegi dan
kelumpuhan otot diafragma. Patah tulang terbuka ataupun tertutup dapat
menyebabkan syok hipovolemik karena perdarahan. Patah tulang panjang
dapat menyebabkan emboli lemak.
Untuk pasien yang akan menjalani anestesi umum dan melibatkan
tindakan intubasi, nilai kondisi rongga mulut asien untuk memperkirakan
kemudahan pemasangan pipa endotrakeal. Lihat kondisi gigi, apakah terdapat
gigi yang goyang. Nilai luas rongga mulut saat dibuka dan ukuran lidah. Leher
yang pendek dan kaku dapat mempersulit tindakan intubasi. Untuk
memudahkan, dapat diingat singkatan “LEMON”:
 L: look. Lihat karakter yang dapat menyulitkan intubasi seperti
obesitas, mikrognatia, riwayat pembedahan/iradiasi leher dan kepala,
adanya rambut di wajah, kelainan gigi (susunan yang buruk, gigi
besar), palatum yang tinggi dan melengkung, leher pendek / gemuk,
dan trauma leher-kepala.
 E: evaluasi aturan 3-3-2. Pasien dengan aturan ini memiliki anatomi
yang relatif normal sehingga laringoskop dapat dialkkukan dengan
sukses. Bukaan mulut normal adalah sesuai dengan lebar 3 jari pasien.
Dimensi mandibular yang normal adalah lebar 3 jari antara mentum
dan tulang hyoid. Tonjolan kartilago berada 2 jari dibawah tulang
hyoid.
1. Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral.
2. Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk
memuat lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari
dapat dikaitkan dengan peningkatan kesulitan.
3. Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan
dengan dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih
jauh dari dasar lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal
visualisasi glottis
 M: Mallampati. Aturan Mallampati menyebutkan adanya hubungan
antara apa yang terlihat pada visualisasi faring secara langsung dengan
apa yang terlihat pada laringoskop (Gambar 1). Pemeriksaan
dikerjakan dengan memerintahkan pasien membuka mulut selebar-
lebarnya, mengeluarkan lidah, dan mengatakan “aaa”. Setelah itu
periksa lidah, pallatum, uvula, dan tonsil. Kelas Mallampati dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Mallampati Score


 O: Obstruksi. Evaluasi adanya stridor, benda asing, atau obstruksi
lainnya sebelum laringoskopi dikerjakan.
 N: Neck mobility. Pasien dengan artitis reumatoid/degeneratif dan
kemungkinan cedera vertebra servikal memiliki pergerakan leher yang
terbatas. Hal yang pelru dipastikan adalah kemampuan ekstensi leher
untuk intubasi.

4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dikerjakan berdasarkan indikasi yang sesuai.
Beberapa rumah sakit mengharuskan pemeriksaan EKG pada pasien berusia
diatas 50 tahun.
Ada pemeriksaan penunjang yang rutin harus dilakukan ada juga yang
kan jika ada indikasi untuk pemeriksaan penunjang. Adapun indikasi
kukan pemeriksaan penunjang antara lain : usia, penyakit yang sedang
diderita, penyakit penyerta, penyakit dahulu, penyakit keluarga yang herediter,
kehamilan, dll
 Pemeriksaan Rutin
 Pemeriksaan rutin darah (Hb, leukosit, trombosit, hematokrit)
 Pemeriksaan Kimia Klinik
o Fungsi hepar (SGOT, SGPT, albumin)
o Fungsi ginjal (Urine lengkap, BUN, Serum kreatinin)
o Faal hemostasis
o Serum elektrolit (Na. K, Cl)
 Pemeriksaan berdasarkan indikasi
 Radiologi (foto thoraks, BOF, CT Scan, USG, dll)
 Laboratorium (gula darah)
 EKG. Echocardiogram, treadmil, dll
Setelah pemeriksaan pre operatif dilakukan dan memperoleh gambaran
tentang keadaan fisik dan mental pasien beserta rnasalah-masalah yang ada,
1anjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesia yang akan
digunakan.
Tabel 1. Indikasi pemeriksaan penunjang praoperasi
Pemeriksaan Indikasi
Darah tepi lengkap Operasi mayor
Penyakit kardiovaskular, paru, ginjal, atau hati
yang kronis atau keganasan
Kecurigaan anemia, perdarahan diathesis atau
mielosupresi
Usia kurang dari 1 tahun
INR, aPTT Pasien dalam terapi antikoagulan
Adanya perdarahan diatesis
Penyakit hati
Elektrolit dan kreatinin Hipertensi
Penyakit ginjal
Diabetes
Penyakit hipofisis atau adrenal
Sedang dalam terapi digoksin, diuretik atau obat-
obatan yang dapat mempengaruhi elektrolit.
Gula darah puasa Diabetes melitus (diulang lagi pada hari operasi)
EKG Penyakit jantung, hipertensi, diabetes
Memiliki faktor resiko penyakit jantung (termasuk
usia)
Pendarahan subaraknoid atau intrakranial, CVA,
trauma kapitis
Foto thorax Penyakit jantung atau paru
Keganasan
Ekokardiografi Pada pasien dengan kelainan jantung bawaan,
kelainan katup jantung, atau serangan jantung, dan
pada kondisi dimana fungsi jantung pasien
dikhawatirkan terganggu.
Spirometri Pada pasien dengan riwayat gangguan fungsi paru
berat atau akan menjalani operasi yang
diperkirakan akan membuat perubahan besar pada
fungsi paru.

Klasifikasi status fisik


The American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat suatu sistem klasifikasi
untuk menggambarkan status kebugaran fisik (tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA Definisi Contoh
ASA I Pasien Sehat Sehat, tidak merokok, tidak mengkonsumsi
atau mengkonsumsi alkohol secara minimal.
ASA II Pasien dengan Gangguan sistematik ringan, tanpa batasan
gangguan aktivitas fungsional. Contohnya termasuk
sistemik ringan (namun tidak terbatas pada):
o perokok saat ini,
o peminum alkohol sosial,
o wanita hamil,
o obesitas ( 30<BMI<40),
o DM atau Hipertensi terkontrol.
ASA III Pasien dengan Gangguan sistemik berat, dengan keterbatasan
gangguan fungsional. Satu atau lebih penyakit
sistemik berat moderat/sedang hingga penyakit berat.
Contohnya termasuk (namun tidak terbatas
pada):
o DM atau hipertensi tidak terkontrol
o PPOK
o Obesitas (BMI > 40)
o Hepatitis aktif
o Ketergantungan alkohol
o Implan alat pacu jantung, pengurangan
fraksi ejeksi
o End Stage Renal Disease (ESRD) yang
menjalani hemodialisis secara teratur
o Bayi prematur PCA <60 minggu,
o Riwayat (lebih dari 3 bulan) Infark
Miokard, Stroke, TIA, CAD atau stent
ASA IV Seorang pasien Contohnya (namun tidak terbatas):
dengan penyakit o Kurang dari 3 bulan Infark miokard,
sistemik berat iskemia jantung yang sedang
yang mengancam berlangsung atau disfungsi katup yang
jiwa sedang berlangsung atau disfungsi
katup yang berat, penurunan fraksi
ejeksi,
o Sepsis
o DIC
o ESRD yang tidak menjalani dialisis
teratur.
ASA V Paisen sakit berat Kemungkinan tidak bertahan hidup > 24 jam
yang tanpa tindakan operasi, kemungkinan
kemungkinan meninggal dalam waktu dekat (kegagalan
tidak selamat multi organ, sepsis dengan keadaan
tanpa operasi hemodinamik yang tidak stabilm hipotermia,
koagulopati tidak terkontrol)
ASA VI Pasien dengan
mati batang otak
yang organnya
akan diambil
untuk didonorkan

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dnegan mencantumkan tanda
darurat (E = emergency), misalnya ASA I E atau III E. Dengan menggunakan
klasifikasi ini maka seseorang dapat berbicara dengan bahasa yang sama baik di
forum nasional maupun internasional.

Asupan Oral
Penggunaan anestesi menurunkan refleks laring sehingga dpaat terjadi regurgitasi isi
lambung ke jalan napas. Untuk itu pasien yang akan menjalani operasi diminta untuk
melakukan puasa selama minimal 6-8 jam. Pada anak kecil puasa berkisar antara 4-6
jam. Sementara pada bayi 3-4 ja,. Makanan tak berlemak minimal 5 jam dan
minuman bening minimal 3 jam sebelum induksi. Penggunaan air putih untuk minum
obat dibolehkan secara terbatas hingga 1 jam sebelum induksi.

Pramedikasi
Pramedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi dengan tujuan untuk
mengurangi kecemasan pasien, mempelancar induksi, mengurangi sekresi kelenjar
ludah, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual-muntah pasca bedah,
mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangu reflek yang membahayakan.
Premedikasi yang sering digunakan:
o Diazepam per oral 5-10 mg sebagai antiansietas
o Petidin 50 mg intramuskular untuk mengurangi nyeri,
o simetidin 600 mg oral untuk mengurangi cairan lambung atau ondansetron 2-4
mg untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah.

Penggolongan Obat-Obat Premedikasi


1. Golongan Narkotika
- Analgetika sangat kuat.
- Jenisnya : petidin dan morfin.
- Tujuan: mengurangi rasa nyeri saat pembedahan.
- Efek samping: mendepresi pusat nafas, mual-muntah, Vasodilatasi pembuluh
darah akan menyebabkan hipotensi
- Diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan sifat analgesik
rendah, misalnya: halotan, tiopental, propofol.
- Pethidin diinjeksikan pelan untuk:
 Mengurangi kecemasan dan ketegangan
 Menekan TD dan nafas
 Merangsang otot polos
- Morfin adalah obat pilihan jika rasa nyeri telah ada sebelum pembedahan
 Mengurangi kecemasan dan ketegangan
 Menekan TD dan nafas
 Merangsang otot polos
 Depresan SSP
 Pulih pasca bedah lebih lama
 Penyempitan bronkus
 Mual muntah (+)

2. Golongan Sedativa & Transquilizer


- Golongan ini berfungsi sebagai obat penenang dan membuat pasien menjadi
mengantuk.
- Contoh : luminal dan nembufal untuk golongan sedative; diazepam dan DHBF
(Dihidrobensferidol) untuk golongan transquilizer.
- Efek samping: depresi nafas, depresi sirkulasi.
- Diberikan apabila pasien memiliki rasa sakit/nyeri sebelum dianestesi, pasien
tampak lebih gelisah
Barbiturat
- Menimbulkan sedasi dan menghilangkan kekhawatiran sebelum operasi
- Depresan lemah nafas dan silkulasi
- Mual muntah jarang
Diazepam
- Induksi, premedikasi, sedasi
- Menghilangkan halusinasi karena ketamin
- Mengendalikan kejang
- Menguntungkan untuk usia tua
- Jarang terjadi depresi nafas, batuk, disritmia
- Premedikasi 1m 10 mg, oral 5-10 mg

3. Golongan Obat Pengering


- Bertujuan menurunkan sekresi kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut
serta menurunkan efek parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga
menurunkan risiko timbulnya refleks vagal.
- Contoh: sulfas atropine dan skopolamin.
- Efek samping: proses pembuangan panas akan terganggu, terutama pada anak-
anak sehingga terjadi febris dan dehidrasi
- Diberikan jika anestesi dilakukan dengan anestetika dengan efek hipersekresi,
contoh: dietileter atau ketamin

II. SEPSIS
Pendahuluan

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization)


pada tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif
pada negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi
750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara
berkembang, dimana sebagian besar populasi dunia bermukim. Kondisi seperti
standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi kuman akan meningkatkan
angka kejadian sepsis. Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama
mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis. Pada tahun 2004, WHO menerbitkan
laporan mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan rendah.1
Berdasarkan hasil dari Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit
infeksi utama yang ada di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis,
hepatitis, diare, malaria.

Pada tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society
of Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom
ini merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS
menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok. Dan pada bulan Oktober tahun 1994
European Society of Intensive Care Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang
dinamakan Sepsis-Related Organ Failure Assessment (SOFA) score untuk
menggambarkan secara kuantitatif dan seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi
organ. 2 hal penting dari aplikasi dari skor SOFA ini adalah:

1. Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan


hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

Definisi
Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang
dapat berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat dan syok septik
adalah masalah kesehatan utama dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang
setiap tahunnya. Sepsis Berat adalah sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ,
yang disebabkan karena inflamasi sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi.
Syok

Septik didefinisikan sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan


darah sistolik < 65 mmHg, atau penurunan > 40 mmHg dari ambang dasar tekanan
darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan cairan kristaloid sebesar 20
sampai 40 mL/kg). Kriteria untuk diagnosis sepsis dan sepsis berat pertama kali
dibentuk pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physician and Society of
Critical Care Medicine Consensus (Tabel 3).

Tabel 3. Kriteria diagnosis SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik


Istilah Kriteria
SIRS 2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38OC atau <36 OC

Laju Nadi >90x/menit

Hiperventilasi dengan RR >20x/menit atau CO2 arterial kurang


dari 32mmHg

Leukosit >12.000 sel/uL atau <4000 sel/uL


Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)
Sepsis berat Sepsis dengan disfungsi organ
Syok Septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi
yang adekuat

Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis
dengan akronim PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious
challenge, and Organ dysfunction). Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM
mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang
meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure
Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru
seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan
penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi.
Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak
membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih,
temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap
infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon
disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada
pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.

Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah


sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah
pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok
septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan
quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. Walaupun
penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU,
qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara
cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam
mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi
terapi.

Septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas


sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara
signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat.

Tabel 4. Skor SOFA


Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi

PaO2, FIO2, >400 <400 <300 <200 dengan <100 dengan


mmHg(kPa) bantuan pernafasan bantuan
pernafasan
Koagulasi

Platelet, x103/uL >150 <150 <100 <50 <20


Liver

Bilirubin, mg/dl <1,2 1,2-1,9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0


(umol/L)
Kardiovaskular MAP > 70 MAP <70 Dopamin<5/ Dopamin5.1-15 / Dopamin >15 /
mmHg mmHg dobutamine epinefrin <0,1 / epinefrin >0,1 /
(ug/kg/min) norepinefrin <0,1 norepinefrin >0,1
(ug/kg/min) (ug/kg/min)
SSP

GCS 15 13-14 10-12 9-6 <6


Ginjal

Kreatinin, mg/dl <1,2 1,2-1,9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0


(umol/L)

Tabel 5. Kriteria qSOFA


Laju Nafas >22x/mnt
Perubahan status mental
Tekanan darah sistolik <100mmHg

Patofisiologi

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari
respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,
abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh
darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen
yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok.
Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia,
penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan
patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat
dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini
akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan
antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang
berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari
isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini
meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease,
leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet
activating factor, dan eikosanoid.
Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan
interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.
Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai
koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat
proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut
memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi
dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran
kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia
jaringan global. (Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar di bawah ini)

Gambar 2. Gambar rantai koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis,


Dan fibrinolisis terhadap infeksi.
Gejala Klinik

Gejala klinik sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda-
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi
dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non-infeksius. Tempat
infeksi yang paling sering : paru, traktur digestifus, traktus urinaris, kulit, jaringan
lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan diterminan penting untuk terjadinya
berat dan tidaknya gejala-gejala sepsis. Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih
berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulosiopenia. Yang sering diikuti gejala MODS sampai dengan
terjadinya syok sepsis.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :

sindroma distress pemafasan pada dewasa, 


koagulasi intravaskular, 


gagal ginjal akut, 


perdarahan usus, 


gagal hati, 


disfungsi sistem saraf pusat , 


gagal jantung. 


kematian 


Penanganan

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM
dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Komponen dasar dari penanganan
sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur
dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan
pencegahan infeksi.
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al
pada tahun 2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. Pada
tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti ARISE
(Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized
Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic
Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline
dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak
dilakukan lagi.
Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT
telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan
kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan
dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini
menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan
cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol
sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena
sentral secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas
untuk menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan
bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik
dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan.
Namun pemberian carian harus dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan
tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari
strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus terhadap kondisi
pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari
terapi tersebut. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak
velocity, passive leg raising, ekokardiografi.
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan
komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat
dengan adanya penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan
keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum
luassebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber penularan kuman. Dan
hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi
ini berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan dalam
penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko kematian.
Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk
mencapai target MAP. ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang direkomendasikan
adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan
fluid challenge selama didapatkan peningkatan status hemodinamik berdasarkan
variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau statik
(tekanan nadi, laju nadi).

Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu:


1. Stabilisasi Pasien Langsung
Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah
pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC: aitway, breathing,
circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat
diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik.
Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan
perlindungan langsung terhadap jalan napas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk
memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu
menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernapasan dan peningkatan ketersediaan
oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada
tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan
(ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop/vasopresor (dopamin, dobutamin,
fenilefrin, epinefrin, atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan
peredaran darah. CVP 8-12 mm Hg; Mean arterial pressure> 65mmHg; Urine output>
0.5 ml/kg/jam; Central venous (superior vena cava) oxygen saturation > 70% atau
mixed venous > 65%. (Sepsis Campaign, 2008).
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien
(tekanan darah, denyut jantung, laju napas, dan suhu badan) harus dipantau.
Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi
yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal.
Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensi dengan obat vasoaktif, misal,
dopamin, dobutamin, atau norepinefrin.
2. Pemberian antibiotik yang adekuat
Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini
bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga
menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak
menyebabkan pasien memburuk adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim,
glikopeptida, aminoglikosida, dan quinolon.
Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa
diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensivitas tes terhadap kuman
didapatkan. Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah hasil kultur dan sensivitas
didapatkan maka terapi empirik dirubah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil
kultur dan sensivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah antibiotika yang
diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen antimikrobial dengan
spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial
hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis
diidentifikasi.
Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis:

1. Untuk pneumonia dapatan komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan
aminoglikosida (biasanya gentamisin).

2. Pneumonia nosokomial: Sefipim atau iminem-silastatin dan aminoglikosida

3. Infeksi abdomen: imipenem-silastatin atau pipersilin-tazobaktam dan amino
glikosida
4. Infeksi abdomen nosokomial: imipenem-silastatin dan aminoglikosida atau
pipersilin- tazobaktam dan amfoterisinB.

5. Kulit/jaringan lunak: vankomisin dan imipenem-silastatin atau piperasilin
tazobaktam.

6. Kulit/jaringan lunak nosokomial: vankomisin dan sefipim.

7. Infeksi traktus urinaris: siprofloksasin dan aminoglikosida
8. Infeksi traktus
urinaris nosokomial: vankomisin dan sefipim

9. Infeksi CNS: vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem
10. Infeksi CNS nosokomial: meropenem dan vankomisin
*Obat berubah sejalan dengan waktu. Pilihan obat tersebut hanya untuk menunjukkan
bahwa bahan antimikrobial yang berbeda dipilih tergantung pada penyebab sepsis.
Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab
sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macam
antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.
Rekomendasi Surviving Sepsis Campaign terkini adalah untuk memberikan
antibiotika dalam waktu 1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. Strategi antibiotika
spesifik tidak akan dibahas dalam artikel ini dan ulasan mengenai strategi antibiotika
dapat ditemukan disumber lainnya. Meskipun demikian, direkomendasikan untuk
pemberian antibiotika spektrum luas pada awalnya yang disesuaikan dengan sumber
infeksi potensial dan menurut pola sensitivitas dan resistensi lokal rumah sakit.
Konsultasi bedah untuk pengendalian sumber layak dilakukan apabila pasien
mempunyai abses yang tidak dapat didrainase atau sumber sepsis intraabdominal.
Pertimbangan juga harus diberikan pada kemungkinan organisme resisten pada saat
pasien tinggal di dalam rumah jompo atau para pengguna obat-obatan intravena.

3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi.



Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren.

4. Pemberian Nutrisi yang adequat


Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa makro dan
mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega-3 dan golongan nukluetida yaitu
glutamin sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5. Terapi suportif
Eli Lilly and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis Phase III
menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant)
menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait
(dikenal sebagai sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan antikoagulan.

Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yatg mengunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid seusai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada di dalam darah dengan memeriksa kadar steroid
pada saat itu (pengobatan suplementasi). Penggunaan steroid ada yarg menganjurkan
setelah terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah
dengan low doses corticosteroid > 300 mg hydrocotisone per hari dalam keadaan
septic shock. Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada
keadaan sepsis dan septic shock. (sepsis campaign, 2008).

Glukosa Kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami dan
yang mengalami diabetes mellitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai
dengan < 150mg / dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam
dan dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari. Mencegah terjadinya stress ulcer
dapat diberikan profilaksis dengan menggunakan H, broker protonpan inhibitor.
Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana tersedia
di ICU.

Pemantauan Hemodinamik
Optimalisasi hemodinamik dini memerlukan pemantauan tekanan vena sentral (CVP),
tekanan darah arterial dan SCVO2. Pemantauan tekanan intra-arterial
direkomendasikan, terutama untuk pasien-pasien dengan obat-obatan vasopresor,
namun dengan catatan bahwa obat-obatan vasopresor dapat menyebabkan tekanan
arterial sentral terlihat lebih rendah saat diukur dari arteri radialis. SCVO2 dapat
diukur secara intermiten dengan sampel gas vena yang diambil dari saluran distal
kateter vena sentral standar atau secara kontinyu dengan menggunakan kateter vena
sentral serat optik. Meskipun pada tangan ahli arteri pulmonar tetap merupakan
tempat pengukuran yang efektif, bukti keuntungan kesintasan dari penggunaannya
masih harus dibuktikan.

Terapi Volume
Target pertama EGDT pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular
pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan
berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan
resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg. Sampai beberapa
saat yang lalu tidak ada penelitian terkontrol atau tinjauan sistematik telah secara pasti
menunjukkan adanya keuntungan penggunaan koloid ataupun kristaloid pada pasien
kritis. Namun demikian, suatu studi acak terkontrol besar yang membandingkan
antara 4% albumin dengan normal salin pada 6997 pasien sakit kritis heterogen dan
membutuhkan resusitasi volume menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam
mortalitas antar kelompok. Meskipun analisis subkelompok pada pasien dengan
sepsis berat menunjukkan adanya kecenderungan keuntungan mortalitas pada
kelompok yang menerima albumin, temuan ini untuk sementara harus dipandang
sebagai sarana pembentukan hipotesis: hasil ini memerlukan konfirmasi dengan
penelitian acak terkontrol pada pasien sepsis.

Obat-Obat Vasoaktif
Setelah target CVP dicapai, obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap
hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65mmHg
telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-
obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-
20μg/menit), fenilefrin (40- 300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik
noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini
pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh
vasopresor β- agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti
noradrenalin dan penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau
penyakit koroner mendasar.
Epinefrin (1-10μg/menit) dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang tidak
berespons terhadap vasopresor lainnya. Obat ini meningkatkan tekanan arterial rerata
dengan meningkatkan keluaran jantung dan volume pompa. Efek samping buruk yang
dikaitkan dengan obat-obatan vasopresor termasuk timbulnya hipoperfusi splanknik,
takikardia berlebih dan iskemia koroner. Bukti-bukti yang tersedia belum secara pasti
membuktikan satu obat vasopresor lebih superior dibandingkan lainnya pada keadaan
sepsis berat ataupun syok sepsis. Beberapa bukti definitif mengenai peranan
vasopresin dan efeknya pada hasil akhir diharapkan pada studi Vasopressin and Septic
Shock Trial (VASST).

Pencegahan

o Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri


Gram- negatif 

o Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita
leukemia 

o Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara
profilaktik pada pasien luka bakar. 

o Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah
pneumonia Gram-negatif nosokomial 

o Sterilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada
pasien neutropenia. 

o Lingkungan yang protektifbagi pasien beresiko kurang berhasil karena
sebagian besar infeksi berasal dari dalam (endogen). 

o Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rektum pada kehamilan 35 hingga 37 minggu. Biakkan untuk
Streptococcus agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika positif
untuk strep Grup B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini akan
menurunkan infeksi Grup B sebesar 78%. 


Anda mungkin juga menyukai