Anda di halaman 1dari 2

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dari abdominal pain host (system imun), genetik, riwayat penyakit (keadaan mukosa saluran
pencernaan), higienitas, obesitas, alcohol, dan makanan yang berlemak. Juga berawal dari faktor resiko terjadinya
nyeri ulu hati, seperti konsumsi obat-obatan (NSAID) seperti aspirin, asam mefenamat dan lainnya dalam jangka
panjang yang dapat menyebabkan menurunnya pembentukan musin dan bikarbonat melelaui inhibisi sintesis
prostaglandin. Hal tersebut dapat menyebabkan kelemahan dari sawar mukosa sehingga bahan iritan yang bersifat
asama seperti pada NSAID dapat terpapar langsung pada mukosa. Selanjutnya, hal tersebut dapat menyebabkan
iritasi, erosi, dan ulserasi pada mukosa lambung yang berujung pada proses inflamasi (Price dan Wilson, 2005).
Luka bakar dapat menurunkan aliran darah sehingga menyebabkan hipoksia sehingga memicu sel mukosa untuk
tidak memproduksi mucus sebagai pertahanan. Stress kronis dapat menstimulasi simpatis dengan menghambat kerja
kelenjar Brunner, yang mana, kelenjer tersebut berfungsi untuk memicu sel mukosa memproduksi mucus. Begitu juga
dengan infeksi Helicobacter pylori dapak menurunkan produksi mucus. Sehingga dari kesemuanya itu dapat
menyebabkan lesi pada mukosa lambung (Corwin, 2009).
Bahan iritan seperti makanan yang terlalu asam atau pedas dapat menyebabkan defek mukosa barrier lambung
sehingga menimbulkan difusi balik H+ dari lumen ke dalam mukosa. Haltersebut menyebabkan reaksi berantai, yaitu
pelepasan pepsin yang berlebihan sehingga menyebabkan lesi pada mukosa. Reaksi berantai tersebut juga
menyebabkan Na+ dan protein plasma memasuki lumen dan memicu terbentuknya histamin. Histamin dapat
meningkatkan AMP siklik sehingga mengaktifkan protein kinase yang selanjutnya merangsang sekresi asam
lambung. Asam lambung yang diproduksi berlebihan dapat menyebabkan distensi lambung, sehingga pasien
merasakan perut yang terasa penuh (Price dan Wilson, 2005).
Proses inflamasi menyebabkan mediator kimia, seperti histamin, bradikinin yang meningkatkan derajat nyeri,
prostaglandin yang merangsang reseptor nyeri, serta subtansi P yang menyebabkan nyeri berlebihan (hyperalgesia).
Selanjutnya reseptor nyeri (serabut saraf C) bersamaan dengan saraf simpatis ke ganglion menuju pre dan paravertebra
yang selanjutnya ke akar dorsal ganglia dan menghasilkan impuls afferen. Impuls tersebut dikirim ke medulla spinalis
pada traktus spinotalamicus lateral (ordo 1). Kemudian ke thalamus (ordo 2) dan korteks serebri (ordo 3) yang
selanjutnya memicu terjadinya rasa nyeri. (Price dan Wilson, 2005).
Refleks dari saraf simpatis juga dapat meningkatkan produksi keringat berlebihan, inhibisi saliva, kerja otot polos
esophagus (sulit menelan) serta vasokonstriksi pembuluh darah. Hal tersebut dapat menurunkan perfusi perifer
sehingga menyebabkan akral dingin. Kerja saraf simpatis dapat meningkatkan metabolisme, kebutuhan oksigen dan
ATP sehingga menyebabkan pasien kekurangan energi dan lemas. Hernia hiatus dan obstruksi atau gangguan pasase
dapat meningkatkan tekanan abdomen sehingga juga dapat memicu reseptor nyeri. Nyeri perut dibagi menjadi tiga,
yaitu: visceral, parietal, dan referred pain (Price dan Wilson, 2005).
VISCERAL PAIN
Obstruksi, iskemia, atau peradangan dapat menyebabkan peregangan serat-serat tak bermielin yang menginervasi
dinding atau kapsul organ, sehingga mengakibatkan terjadinya nyeri visceral. Nyeri visceral sering digambarkan
sebagai "kram, tumpul (tidak bisa ditunjuk letak pastinya), atau pegal," dan itu bisa stabil atau intermiten (kolik).
Karena saraf aferen mengikuti distribusi segmental, nyeri viseral terlokalisasi oleh korteks sensorik ke tingkat medula
spinalis yang diperkirakan oleh asal embriologis organ yang terlibat (Tintinalli, 2016).
Karena organ intraperitoneal dipersarafi secara bilateral, rangsangan dikirim ke kedua sisi sumsum tulang
belakang, menyebabkan nyeri visceral intraperitoneal dirasakan di garis tengah, terlepas dari anatomi sisi kanan atau
kirinya. Misalnya, rangsangan dari serat visceral di dinding apendiks masuk ke medula spinal sekitar T10. Ketika
obstruksi menyebabkan distensi appendisial pada early appendicitis, nyeri awalnya dirasakan di area periumbilikal
garis tengah, yang berhubungan dengan dermatoma kulit T10 (Tintinalli, 2016).

PARIETAL PAIN
Nyeri parietal (somatik) disebabkan oleh iritasi serat bermielin yang menginervasi peritoneum parietal, biasanya
bagian yang menutupi dinding perut anterior. Karena sinyal aferen parietal dikirim dari area spesifik peritoneum,
nyeri parietal — berbeda dengan nyeri visceral — dapat dilokalisasi ke dermatome superficial ke lokasi stimulus
nyeri. Sebagai proses perkembangan penyakit yang mendasarinya, gejala nyeri visceral memberi jalan pada tanda-
tanda nyeri parietal. Seiring berkembangnya peritonitis lokal, kekakuan dan rebound muncul. Pasien dengan
peritonitis umumnya lebih memilih untuk tidak bergerak (Tintinalli, 2016).

REFERRED PAIN
Nyeri yang menjalar, dirasakan di lokasi yang jauh dari organ yang sakit. Pola nyeri juga didasarkan pada
perkembangan embriologi. Sebagai contoh, ureter dan testis dulunya berdekatan secara anatomis berbagi persarafan
segmental yang sama. Demikianlah obstruksi ureter akut sering dikaitkan dengan nyeri testis ipsilateral. Nyeri yang
biasanya dirasakan pada sisi yang sama dengan organ yang terlibat, karena tidak dimediasi oleh persarafan bilateral
ke tali pusat. Nyeri dirasakan di garis tengah hanya jika proses patologis terletak di garis tengah (Tintinalli, 2016).

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai