Anda di halaman 1dari 1

Selain itu, dalam perjalanannya, Persebaya beberapa kali mengalami kejadian kontroversial.

Saat
menjuarai Kompetisi Perserikatan pada tahun 1988, Persebaya pernah memainkan pertandingan
yang terkenal dengan istilah "sepak bola gajah" karena mengalah kepada Persipura Jayapura 0-
12[4], untuk menyingkirkan saingan mereka PSIS Semarang yang pada tahun sebelumnya
memupuskan impian Persebaya di final kompetisi perserikatan. Taktik ini setidaknya membawa hasil
dan Persebaya berhasil menjadi juara perserikatan tahun 1988 dengan mengalahkan Persija 3 - 2 di
final
Pada Liga Indonesia 2002, Persebaya melakukan aksi mogok tanding saat menghadapi PKT
Bontang dan diskors pengurangan nilai. Kejadian tersebut menjadi salah satu penyebab
terdegradasinya Persebaya ke divisi I. Tiga tahun kemudian atau tahun 2005, Persebaya
menggemparkan publik sepak bola nasional saat mengundurkan diri pada babak delapan besar
sehingga memupuskan harapan PSIS dan PSM untuk lolos ke final. Atas kejadian tersebut
Persebaya diskors 16 bulan tidak boleh mengikuti kompetisi Liga Indonesia. Namun, skorsing
diubah direvisi menjadi hukuman degradasi ke Divisi I Liga Indonesia.
Dualisme[sunting | sunting sumber]
Pada musim 2009/2010 merupakan awal mula dualisme Persebaya Surabaya. Persebaya Surabaya
(PT Persebaya Indonesia) mengalami degradasi ke Divisi Utama akibat dipaksa melakukan
pertandingan ulang sebanyak 3 kali melawan Persik Kediri dengan tempat yang berbeda yaitu di
Kediri, Yogyakarta[5], dan Palembang[6]. Pada pertandingan ulang ketiga pihak Persebaya menolak
melakukan pertandingan ulang, pihak manajemen tidak terima dan tidak mau ikut Divisi Utama
kemudian mengikuti liga ilegal "Liga Primer Indonesia" dari sebelumnya bernama Persebaya
Surabaya (PT Surabaya Indonesia) diubah menjadi Persebaya 1927 (PT Persebaya Indonesia).
Memanfaatkan slot Persebaya di Divisi Utama musim selanjutnya, Wisnu Wardhana mengambil alih
Persikubar (Kutai Barat) dan mendaftarkannya sebagai Persebaya untuk mengikuti Kompetisi Divisi
Utama. Walaupun menyandang nama resmi Persebaya, tim bentukan Wisnu Wardhana tersebut
tidak terlalu mendapat tempat di hati Bonek (Suporter Persebaya), mereka lebih setia untuk
mendukung Persebaya "asli" yang terpaksa mengganti nama mereka menjadi Persebaya 1927
akibat dualisme kompetisi, dan LPI tidak diakui sebagai kompetisi resmi PSSI.
Persikubar Kutai Barat yang diambil Wisnu Wardhana dan diubah nama menjadi Persebaya
Surabaya (kini Bhayangkara FC) untuk bisa mengikuti Liga Indonesia, kemudian berhasil promosi
kembali ke Liga Super Indonesia pada musim 2014. Kemudian pada musim 2015 sayangnya liga
diberhentikan setelah tidak diakui oleh Pemerintah dan kemudian Indonesia di Banned oleh FIFA.
Pada musim 2015, Persebaya 1927 (PT Persebaya Indonesia) memenangkan gugatan hak paten
nama dan logo Persebaya,[7] sehingga secara otomatis legalitas Persebaya Surabaya adalah
dibawah PT. Persebaya Indonesia. Hal ini mengakibatkan Persebaya Surabaya versi Wisnu
Wardhana harus merubah nama menjadi Bonek FC. Setahun kemudian, Bonek FC kembali
mengubah nama menjadi Surabaya United atas desakan Bonek yang tidak mau namanya dipakai
untuk klub yang tidak merepresentasikan mereka (Bonek tetap setia mendukung Persebaya 1927).

Anda mungkin juga menyukai