BELL’S PALSY
Penyusun:
Nasya Safira (030.14.137)
Pembimbing:
dr. Julintari Indriyani, Sp.S
2
gejala sisa dan 10% sisanya dapat sembuh namun elastisitas otot tidak dapat
berfungsi dengan baik.2
3
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 34 Tahun (Brebes, 08-06-1984)
Alamat :Jl. Bambu Kuning RT/RW 03/04 Kel. Batu Ampar
Kec. Kramatjati
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nomor RM : 01149527
Tanggal pemeriksaan : 08-04-2019
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien pada tanggal 8 April 2019,
pukul 13.30 WIB di ruang poli saraf RSUD Budhi Asih.
Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Budhi Asih untuk kontrol kedua kalinya
dengan diagnosis Bell’s Palsy yang sudah dirasakan pasien sejak 18 Maret 2019
Pertama kali pasien mengeluhkan badannya terasa lemas dan pusing saat
setelah aktivitas kerja tepatnya pada tanggal 12 Maret 2019. Keluhan tersebut
disertai nyeri pada bagian belakang telinga yang timbul secara tiba tiba dengan
intensitas hilang timbul. Awalnya pasien merasa keluhan tersebut timbul akibat
pasien kelelahan namun satu minggu kemudian tepatnya 18 Maret 2019 keluhan
nyeri di bagian belakang telinga dirasakan semakin memberat. Keluhan dirasakan
seperti adanya tarikan dan rasa tertekan di daerah belakang telinga. Keluhan nyeri
di belakang telinga juga disertai keluhan tambahan berupa mulut mencong yang
disadari pasien ketika pasien makan dan minum. Pasien merasa sulit untuk
menggerakan bibir terutama di sudut mulut kiri, setiap makanan yang masuk secara
sendirinya terjatuh keluar lagi dari sisi mulut kiri. Begitupun saat minum, air yang
diminum mengalir keluar secara sendirinya dari sisi mulut kiri, pasien juga
kesulitan untuk minum dengan sedotan. Keesokan harinya saat pasien sedang
berwudhu, pasien merasa air terus masuk ke mata kirinya lalu pasien bercermin dan
menyadari mata kirinya tidak dapat menutup secara sempurna. Keluhan lain berupa
wajah sisi kiri terasa baal, tidak dapat menggembungkan pipi sisi kirinya, dan
gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah mulai dirasakan oleh pasien.
Keluhan nyeri di bagian belakang telinga tidak menganggu pendengaran pasien,
namun pasien mengaku ketika mendengar suara terlalu bising, pasien merasa
pusing. Keluhan lain seperti bicara pelo, sulit menelan, gangguan penglihatan,
telinga berdenging, mual dan muntah, dan kelemahan pada sesisi tubuh atau seluruh
tubuh disangkal.
5
Pasien tidak memiliki riwayat mengalami gejala serupa sebelumnya.
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat terinfeksi HSV,
infeksi pada telinga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan mengarahkan kipas angin ke wajahnya selama di
rumah kurang lebih sudah sejak 3-4 tahun. Pasien juga sering berpergian naik motor
tanpa menggunakan helm sehingga wajah pasien sering terpapar angin.
Riwayat Pengobatan
Saat pasien merasa mulutnya mencong dan mata kiri nya tidak dapat menutup
sempurna pasien memutuskan berobat ke Puskesmas pada tanggal 23 Maret 2019.
Dari pihak Puskesmas mendiagnosa pasien terkena Bell’s Palsy sehingga pasien di
rujuk ke RS Budhi Asih. Pasien berobat pertama kali ke poli saraf RSUD Budhi
Asih pada tanggal 26 Maret 2019.
Sebelum berobat ke RSUD Budhi Asih pasien tidak mengonsumsi obat obatan
apapun. Saat kontrol pertama kali pasien diberikan Metilprednisolon 16 mg yang
sudah di konsumsi pasien selama seminggu dengan dosis perhari di turunkan.
7
o Brudzinki I : - (negatif)
o Brudzinki II : - (negatif)
o Laseque : - (negatif)
o Kernig : - (negatif)
- Nervus Kranialis
a. N. I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tes penghidu Tidak dilakukan pemeriksaan
b. N. II (N. Optikus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Pemeriksaan dengan hitung jari.Pasien
masih mampu melihat hitungan jari dan
dapat menyebutkan dengan benar.
Lapang pandang Dalam batas normal Dalam batas normal
Melihat Warna Tidak dilakukan pemeriksaan
Fundus Okuli Tidak dilakukan pemeriksaan
d. N. V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
N. V Cabang 1 (N. Oftalmikus)
Sensibilitas (+) Hipestesi
Refleks kornea (+) (+)
N. V Cabang 2 (N. Maksilaris)
Sensibilitas (+) Hipestesi
N. V Cabang 3 (N. Mandibularis)
Sensibilitas (+) Hipestesi
8
Membuka mulut Tidak ada deviasi
Kekuatan mengunyah Kuat Tidak kuat
f. N. VIII ( N. Vestibulokoklearis)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tajam pendengaran Pasien mampu mendengarkan percakapan sehari-hari
Tes Rinne Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Schwabach Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Weber Tidak dilakukan pemeriksaan
g. N. IX (N. Glossofaringeus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Pengecapan (1/3 posterior) Tidak dilakukan pemeriksaan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan pemeriksaan
h. N. X (N. Vagus)
Pemeriksaan Kanan & Kiri
Berbicara (fonasi) Disfonia (-)
Menelan Pasien mampu makan dan minum
9
i. N. XI (N. Aksesorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Mengangkat bahu (+), normotonus, kekuatan motorik: 5
Memalingkan kepala (+), normotonus, kekuatan motorik: 5
Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Extremitas atas Extremitas bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Atrofi - - - -
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Gerakan involunter - - - -
Kekuatan motorik 5555 5555 5555 5555
Refleks fisiologis Bicep & tricep Patella & Achilles
+ + + +
Refleks patologis Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
10
arah kanan, mata kiri tidak dapat menutup dengan sempurna, tidak dapat
menggembungkan pipi kiri, ketika makan dan minum makanan dan air keluar
melalui mulut sisi kiri, dan gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah yang
sudah dirasakan sejak 18 Maret 2019.
Pasien tidak memiliki riwayat mengalami gejala serupa sebelumnya.
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat terinfeksi HSV juga
disangkal. Pasien memiliki riwayat sering terpapar angin dari kipas angin ± 3-4
tahun dan terpapar angin jalanan setiap naik motor tanpa menggunakan helm.
Pada pemeriksaan fisik status neurologis, didapatkan sensibilitas nervus
trigeminus cabang oftalmikus, cabang maksilaris, cabang mandibularis berkurang
(hipestesia). Pada pemeriksaan nervus fasialis, didapatkan pasien tidak dapat
mengerutkan dahi sebelah kiri, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, terdapat
lagoftalmus pada mata kiri, tidak tampak lipatan nasolabial kiri, pipi kiri tidak dapat
menggembung dengan kuat.
VII. TATALAKSANA
Medikamentosa :
Mecobalamin 3x500 mg
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Bonam
11
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien perempuan, usia 34 tahun, datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih
untuk kontrol kedua kalinya dengan diagnosa Bell’s Palsy. Pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosa Bell’s Palsy dikarenakan adanya beberapa kelainan perifer
pada nervus fascialis yang digambarkan dengan paralisis dari otot otot wajah yaitu
mulut mencong karena paralisis dari m. orbicularis oris, ketidakmampuan menutup
mata secara sempurna karena paralisis dari m. orbicularis oculi, dan tidak mampu
menggembungkan pipi secara kuat karena paralisis dari m. buccinator. Selain itu
adanya keluhan sensorik berupa gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah.
Kelainan perifer pada pasien ini dapat ditegakkan karena pada pasien terdapat
gangguan dalam mengerutkan dahi kiri dan mengangkat alis kiri. Selain dari klinis
motorik dan sensorik wajah, diagnosa Bell’s Palsy diperkuat pada pasien ini
dikarenakan onset nya yang terjadi secara akut (<72 jam) dan keluhan yang bersifat
progresif.1
Pada pasien ini terdapat keluhan sensorik berupa hipestesi pada salah satu
sisi wajah. Nervus cranialis yang berperan pada sensorik wajah ialah nervus V,
sementara definsi dari Bells Palsy sendiri adalah parese nervus VII unilateral. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa kelainan hipestesi wajah pada Bells Palsy bukan karena
adanya lesi di nervus V, melainkan dikarenakan nervus cranialis yang tergolong
campuran (N.V, N.VII, N.IX, N.X) semuanya memiliki komponen somatosensorik
yang sama yaitu sama sama berasal dari N.V sehingga memungkinkan adanya
tumpang tindih atau overlapping pusat sensorik di N.VII. Sama halnya dengan
gejala klinis Bells Palsy berupa gangguan pendengaran, hal ini bukan dikarenakan
adanya lesi pada N.VIII yang berperan pada pusat auditorik melainkan klinis dari
Bells Palsy bergantung dari level lesi di sepanjang perjalanan nervus fascialis.
Apabila sudah timbul gangguan pendengaran berarti lesi sudah mengenai m.
stapedius ataupun ganglion geniculatum sehingga klinis akan sesuai dengan letak
12
lesinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Bells Palsy adalah murni kelainan atau
paresis dari N.VII saja.
Pada kasus ini, usia pasien termasuk dalam prevalensi kejadian Bell’s palsy.
Sesaat sebelum timbul keluhan, pasien sedang dalam aktivitas pekerjaan yang
cukup berat sehingga pasien merasa kelelahan. Faktor kelelahan ini bisa menjadi
faktor risiko pasien terkena Bell’s Palsy karena kelelahan dapat memicu turunnya
sistem imun seseorang, dimana ketika sistem imun tubuh rendah maka tubuh akan
lebih mudah terserang infeksi pathogen. Keadaan ini akan memungkinkan infeksi
virus yang diduga kuat sebagai etiologi Bell’s Palsy dapat terjadi.
Selain faktor kelelahan, pasien juga memiliki kebiasaan mengarahkan kipas
angin ke wajahnya dalam waktu yg lama selama ± 4 tahun. Faktor terpapar angin
kencang ke area wajah ini merupakan salah satu faktor risiko tertinggi kejadian
Bell’s Palsy. Beberapa referensi menyebutkan adanya hubungan antara suhu atau
kelembaban dengan Bells palsy, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan
kebenarannya.4
Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis. Proses
inflamasi di nervus fascialis ini dapat disebabkan karena adanya infeksi virus,
diduga virus yang paling berperan adalah Herpes Simpleks Virus tipe 1. Virus ini
biasanya dormant di daerah ganglion geniculatum dan dapat menyebabkan Bells
Palsy bila virus ini tereaktivasi diikuti adanya proses inflamasi dan terjebaknya
virus kedalam saraf cranialis sehingga virus dapat masuk ke foramen di otak. Virus
ini akan menghancurkan sel sel ganglion pada saraf fascialis dan memicu timbulnya
inflamasi. Inflamasi ini menyebabkan peningkatan diameter nervus fascialis
sehingga terjadi kompresi pada saraf fascialis. Lama kelamaan kompresi ini akan
menyebabkan kematian sel saraf atau terbentuk canal infark sehingga menimbulkan
kelumpuhan saraf fascialis.5
Pemeriksaan penunjang untuk kasus Bell’s palsy adalah Elektromiografi
(EMG). EMG adalah sebuah tes yang dilakukan untuk merekam depolarisasi
spontan pada otot dan respon pada kontraksi volunter pada otot. EMG dapat
membantu menilai tingkat cedera pada saraf dan menilai kemungkinan pemulihan.6
13
Untuk penatalaksanaan nya, pasien baru berobat setelah 7 hari pasca
keluhaan awal Bell’s Palsy pertama kali. Ini menandakan pasien terlambat berobat
yang mana seharusnya Bell’s Palsy harus di terapi sesegera mungkin dengan efek
terbaik pengobatan di 3 hari pertama pasca onset (72 jam). Pada kontrol pertama
kali pasien diberikan metilprednisolon 16 mg 1x3 dengan dosis diturunkan bertahap
per hari (tapering off). Setelah mengonsumsi obat metilprednisolon selama
seminggu, saat kontrol kedua pasien tidak diberikan metilprednisolon kembali.
Pemberian kortikosteroid berguna untuk menekan proses inflamasi yang terjadi.
Pasien juga diberikan mecobalamin 3x500 mg. Mecobalamin atau
methylcobalamin adalah bentuk aktif vitamin B12 yang membantu dalam sintesis
metionin dan S-adenosylmethionine. Methylcobalamin membantu dalam sintesis
selubung myelin, regenerasi saraf axonal dan bersifat neuroprotective dan
merupakan terapi pilihan untuk neuropati perifer.7
Pemberian antiviral untuk kasus Bell’s Palsy dapat diberikan dengan alasan
bahwa kemungkinan terjadinya Bell’s Palsy akibat dari HSV atau Varicella Zooster
Virus (VZV).8 Pengobatan dengan antivirus seperti asiklovir mungkin bermanfaat.
Asiklovir dan prednison digunakan secara kombinasi lebih efektif dibandingkan
pemberian prednisone tunggal. Asiklovir-prednison adalah kombinasi paling
efektif jika sesegera mungkin diberikan setelah timbulnya gejala.9 Antivirus tidak
bermanfaat jika digunakan secara tunggal. Obat antivirus yang dapat diberikan
tergantung dari etiologinya.10 Antivirus tidak diberikan pada pasien ini, karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya infeksi.
Selain dari pemberian medikamentosa untuk terapi Bells Palsy dapat
dilakukan juga fisioterapi. Fisioterapi pada Bells Palsy berguna untuk memelihara
fisiologi otot, meningkatkan kekuatan otot wajah yang mengalami kelemahan, dan
mengembalikan gerak fungsional yang melibatkan otot-otot wajah, secara
mengunyah, menutup kelopak mata, mengangkat alis dan berkumur. Jenis
fisioterapi yang dapat dilakukan untuk pasien Bells Palsy berupa TENS
(Transcutaneal Electrical Nerve Stimulation) dan massage otot wajah. TENS
merupakan metode memberikan stimulasi dengan listrik pada otot wajah yang titik
rangsangnya terletak pada kulit, berfungsi untuk meningkatkan kerja otot. Oleh
14
karena metode ini menggunakan listrik, tidak diperbolehkan untuk pasien
melakukan metode fisioterapi ini pada fase akut Bells Palsy karena dapat
memperburuk keadaan inflamasi. Metode TENS dilakukan setelah fase akut dari
Bells Palsy selesai. Sementara metode massage otot wajah dianjurkan untuk pasien
melakukan massage ini di fase awal dari Bells Palsy karena dapat memberikan efek
relaksasi sehingga menurunkan spasme atau kekauan dari wajah.
Komplikasi tersering yang mungkin timbul dari Bells Palsy adalah
sindrom air mata buaya atau crocodile tears syndrome yaitu keluarnya cairan air
mata saat makan atau minum pada pasien yang baru pulih dari Bells Palsy.
Mekanisme ini dapat terjadi karena pada periode pemulihan setelah cedera saraf
wajah, serabut saraf saliva yang mengalami regenerasi mengalami sinkinesis
(associated movement) yang seharusnya ketika ada rangsang lapar dan haus, akan
menginervasi kelenjar saliva berbelok arah jadi menginervasi kelenjar lakrimal
sehingga klinis pada crocodile tears syndrome ini ketika pasien mendapat rangsang
bau atau rasa makanan, secara tanpa disadari air mata pasien akan keluar.
16
besar virus tersebut dapat tereaktivasi kembali sehingga dapat menimbulkan
kekambuhan pada Bells Palsy. Selain itu didukung juga oleh penelitian yang
menyatakan Bells Palsy jarang sekali menimbulkan kekambuhan, prevalensi
kekambuhan pada Bells Palsy hanya 10-15% itupun diduga kemungkinan karena
adanya kelainan structural pada N.VII nya misalnya tumor. Untuk memastikan
prognosa lebih lanjut pada pasien ini di perlukan pemeriksaan penunjang yaitu
Elektromiografi (EMG).
Pemeriksaan EMG untuk menunjang prognosa pasien dengan cara
memeriksa perubahan amplitudo dan latensi otot wajah kedua sisi yang bergantung
dari jumlah axon dan juga degenerasi serabut saraf yang terjadi. Bila perubahan
amplitudo dan latensi distal lebih dari 90% dibandingkan dengan sisi yang sehat,
maka akan memberikan prognosis yang buruk.13
17
DAFTAR PUSTAKA
18
13. Dewi PR, Kusumastuti D, Putra W. Perubahan Hasil Elektromiografi pada
Paralisis Nervus Fascialis Perifer. Callosum Neurology Vol 1. 2011
[Accessed on 11 April 2019] Available at:
http://www.researchgate.net/publication/326448929
19