Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

BELL’S PALSY

Penyusun:
Nasya Safira (030.14.137)

Pembimbing:
dr. Julintari Indriyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 25 MARET-26 APRIL 2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul “Bell’s Palsy”

Yang disusun oleh :


Nasya Safira
030.14.137

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf RS Budhi Asih periode 25 Maret- 26
April 2019

Jakarta, April 2019

dr. Julintari Indriyani, Sp.S


BAB I
PENDAHULUAN

Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer di


luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Gangguan
ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang bersifat unilateral.1
Bell’s Palsy merupakan penyakit pada nervus fascialis yang paling sering
terjadi. Insidensi terjadinya Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris
dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100.000 penduduk per
tahun. Di Indonesia dari data yang di kumpulkan dari empat Rumah Sakit di peroleh
frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19,55 %. Prevalensi antara pria dan wanita kurang
lebih sama, berkisar antara usia 20-40 tahun dan dapat mengenai sisi kiri ataupun
kanan wajah.2
Pada Bell’s Palsy dapat ditemukan mulut mencong dengan sudut bibir
tertarik ke sisi lawannya, ketidakmampuan untuk mengerutkan dahi, menaikkan
alis, mengerucutkan bibir, menunjukkan gigi, atau bersiul. Penutupan mata
mungkin tidak sempurna, dan ketika penderita mencoba menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke atas (Bell Phenomen). Mata tampak kering,
terdapat perubahan rasa di anterior 2/3 lidah, dan ketika minum air sering mengalir
keluar dari sisi mulut yang lumpuh.1,3
Penyebab pasti dari Bell’s Palsy belum diketahui sampai sekarang, tetapi
terdapat beberapa teori yang menjelaskan etiologi dan patofisiologi antara lain
iskemik vascular, virus, bakteri, herediter dan imunologi. Baru beberapa tahun
terakhir ini diduga kuat virus merupakan penyebab dari Bell’s Palsy dikarenakan
telah di identifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum
pada penderita Bell’s Palsy.2
Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan
menggunakan skor House-Brackmann.3 Secara keseluruhan Bell's palsy memiliki
prognosis yang baik. 85% penderita Bell’s Palsy memperlihatkan tanda tanda
perbaikan pada minggu ketiga, 15% pada bulan ke 3 sampai ke 6 setelah onset
penyakit. 90% dari penderita Bell’s Palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa

2
gejala sisa dan 10% sisanya dapat sembuh namun elastisitas otot tidak dapat
berfungsi dengan baik.2

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 34 Tahun (Brebes, 08-06-1984)
Alamat :Jl. Bambu Kuning RT/RW 03/04 Kel. Batu Ampar
Kec. Kramatjati
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nomor RM : 01149527
Tanggal pemeriksaan : 08-04-2019

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara auto-anamnesis dengan pasien pada tanggal 8 April 2019,
pukul 13.30 WIB di ruang poli saraf RSUD Budhi Asih.
 Keluhan Utama
Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Budhi Asih untuk kontrol kedua kalinya
dengan diagnosis Bell’s Palsy yang sudah dirasakan pasien sejak 18 Maret 2019

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli Saraf RSUD Budhi Asih untuk kontrol Bell’s Palsy kedua
kalinya. (Kontrol pertama tanggal 26 Maret 2019). Klinis motorik wajah pasien
seperti mulut mencong, sulit menutup mata kiri dengan sudut kelopak terbuka
masih sama dengan kontrol pertama yaitu sekitar 5-6 mm dan tidak dapat
menggembungkan pipi kiri masih dikeluhkan pasien. Namun, untuk keluhan
sensorik seperti gangguan pengecapan lidah dikatakan pasien sudah membaik.
Selain itu, pasien mengeluhkan nyeri di bagian belakang telinga yang masih sering
4
timbul, rasa sakitnya seperti ada tarikan dari belakang telinga ke kepala yang
membuat kepala pasien juga sakit. Namun, untuk skala rasa nyeri nya sudah
berkurang dibanding dari awal pasien merasa nyeri.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Pertama kali pasien mengeluhkan badannya terasa lemas dan pusing saat
setelah aktivitas kerja tepatnya pada tanggal 12 Maret 2019. Keluhan tersebut
disertai nyeri pada bagian belakang telinga yang timbul secara tiba tiba dengan
intensitas hilang timbul. Awalnya pasien merasa keluhan tersebut timbul akibat
pasien kelelahan namun satu minggu kemudian tepatnya 18 Maret 2019 keluhan
nyeri di bagian belakang telinga dirasakan semakin memberat. Keluhan dirasakan
seperti adanya tarikan dan rasa tertekan di daerah belakang telinga. Keluhan nyeri
di belakang telinga juga disertai keluhan tambahan berupa mulut mencong yang
disadari pasien ketika pasien makan dan minum. Pasien merasa sulit untuk
menggerakan bibir terutama di sudut mulut kiri, setiap makanan yang masuk secara
sendirinya terjatuh keluar lagi dari sisi mulut kiri. Begitupun saat minum, air yang
diminum mengalir keluar secara sendirinya dari sisi mulut kiri, pasien juga
kesulitan untuk minum dengan sedotan. Keesokan harinya saat pasien sedang
berwudhu, pasien merasa air terus masuk ke mata kirinya lalu pasien bercermin dan
menyadari mata kirinya tidak dapat menutup secara sempurna. Keluhan lain berupa
wajah sisi kiri terasa baal, tidak dapat menggembungkan pipi sisi kirinya, dan
gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah mulai dirasakan oleh pasien.
Keluhan nyeri di bagian belakang telinga tidak menganggu pendengaran pasien,
namun pasien mengaku ketika mendengar suara terlalu bising, pasien merasa
pusing. Keluhan lain seperti bicara pelo, sulit menelan, gangguan penglihatan,
telinga berdenging, mual dan muntah, dan kelemahan pada sesisi tubuh atau seluruh
tubuh disangkal.

5
Pasien tidak memiliki riwayat mengalami gejala serupa sebelumnya.
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat terinfeksi HSV,
infeksi pada telinga disangkal.

 Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku dari keluarga belum ada yang pernah mengalami gejala serupa.
Ibu pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus.

 Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan mengarahkan kipas angin ke wajahnya selama di
rumah kurang lebih sudah sejak 3-4 tahun. Pasien juga sering berpergian naik motor
tanpa menggunakan helm sehingga wajah pasien sering terpapar angin.

 Riwayat Pengobatan
Saat pasien merasa mulutnya mencong dan mata kiri nya tidak dapat menutup
sempurna pasien memutuskan berobat ke Puskesmas pada tanggal 23 Maret 2019.
Dari pihak Puskesmas mendiagnosa pasien terkena Bell’s Palsy sehingga pasien di
rujuk ke RS Budhi Asih. Pasien berobat pertama kali ke poli saraf RSUD Budhi
Asih pada tanggal 26 Maret 2019.
Sebelum berobat ke RSUD Budhi Asih pasien tidak mengonsumsi obat obatan
apapun. Saat kontrol pertama kali pasien diberikan Metilprednisolon 16 mg yang
sudah di konsumsi pasien selama seminggu dengan dosis perhari di turunkan.

III. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada tanggal 08 April 2019)


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Suhu : 36,8oC
 Nadi : 86x/menit
 SpO2 : 99%
6
 Pernapasan : 20x/menit
Status Generalis
- Kepala : Normocephali, distribusi rambut rata, warna hitam
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Normotia, deformitas (-), serumen (-)
- Hidung : Deformitas (-), secret (-)
- Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid (-)
- Jantung
o Inspeksi : Tidak tampak iktus kordis
o Palpasi : Teraba iktus kordis
o Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Auskultasi : Bunyi jantung I &II reguler, murmur (-) gallop (-)
- Paru
o Inspeksi : Betuk dada simetris
o Palpasi : Gerak napas simetris
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki & wheezing (-/-)
- Abdomen
o Inspeksi : Datar
o Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-)
o Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen
o Auskultasi : Bising usus (+), 3x/menit
- Ekstremitas
o Atas : Akral hangat (+/+) oedem (-/-) deformitas (-/-)
o Bawah : Akral hangat (+/+) oedem (-/-) deformitas (-/-)
- Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Status Neurologi
- Kesadaran : Compos mentis
- Rangsang meningeal :
o Kaku kuduk : - (negatif)

7
o Brudzinki I : - (negatif)
o Brudzinki II : - (negatif)
o Laseque : - (negatif)
o Kernig : - (negatif)
- Nervus Kranialis
a. N. I (N. Olfaktorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tes penghidu Tidak dilakukan pemeriksaan

b. N. II (N. Optikus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tajam penglihatan Pemeriksaan dengan hitung jari.Pasien
masih mampu melihat hitungan jari dan
dapat menyebutkan dengan benar.
Lapang pandang Dalam batas normal Dalam batas normal
Melihat Warna Tidak dilakukan pemeriksaan
Fundus Okuli Tidak dilakukan pemeriksaan

c. N. III, IV, VI (N. Okulomotorius, Trochlearis, Abdusen )


Pemeriksaan Kanan Kiri
Ptosis - -
Pupil Bulat, Isokor
Nistagmus - -
Pergerakan bola mata Baik ke 6 arah Baik ke 6 arah
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Reflek Cahaya Langsung & Tidak + +
Langsung
Diplopia - -

d. N. V (N. Trigeminus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
N. V Cabang 1 (N. Oftalmikus)
Sensibilitas (+) Hipestesi
Refleks kornea (+) (+)
N. V Cabang 2 (N. Maksilaris)
Sensibilitas (+) Hipestesi
N. V Cabang 3 (N. Mandibularis)
Sensibilitas (+) Hipestesi

8
Membuka mulut Tidak ada deviasi
Kekuatan mengunyah Kuat Tidak kuat

e. N. VII (N. Fasialis)


Pemeriksaan Kanan Kiri
Cabang Motorik
Mengerutkan dahi Tampak asimetris kanan dan kiri, (kiri tidak
berkerut)
Mengangkat alis Dapat diangkat Tidak dapat diangkat
Menutup mata Baik Lagoftalmus (+) dengan
FOS : 5-6 mm
Memperlihatkan gigi Tidak tampak lipatan nasolabial kiri, lipatan
nasolabial hanya tampak di kanan
Menggembungkan pipi Kuat Tidak kuat
Cabang Sensorik
Pengecapan (2/3 anterior) Tidak dilakukan pemeriksaan.
Secara subjektif dari anamnesis pasien : awal
pertama kali sakit merasa ada gangguan
pengecapan di 2/3 anterior lidah, namun
keluhan tsb sekarang sudah membaik

f. N. VIII ( N. Vestibulokoklearis)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Tajam pendengaran Pasien mampu mendengarkan percakapan sehari-hari
Tes Rinne Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Schwabach Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Weber Tidak dilakukan pemeriksaan

g. N. IX (N. Glossofaringeus)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Pengecapan (1/3 posterior) Tidak dilakukan pemeriksaan
Sensibilitas faring Tidak dilakukan pemeriksaan

h. N. X (N. Vagus)
Pemeriksaan Kanan & Kiri
Berbicara (fonasi) Disfonia (-)
Menelan Pasien mampu makan dan minum

9
i. N. XI (N. Aksesorius)
Pemeriksaan Kanan Kiri
Mengangkat bahu (+), normotonus, kekuatan motorik: 5
Memalingkan kepala (+), normotonus, kekuatan motorik: 5

j. N. XII (N. Hipoglossus)


Pemeriksaan Kanan Kiri
Pergerakan lidah Simetris kanan dan kiri
Fasikulasi (-) (-)
Disartria (-) (-)

Pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Extremitas atas Extremitas bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Atrofi - - - -
Tonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Gerakan involunter - - - -
Kekuatan motorik 5555 5555 5555 5555
Refleks fisiologis Bicep & tricep Patella & Achilles
+ + + +
Refleks patologis Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Pemeriksaan sensorik : Tidak dilakukan


Tes Keseimbangan dan Koordinasi : Tidak dilakukan
Tes Fungsi Luhur : Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada kontrol kedua direncanakan untuk dilakukan Elektromiografi (EMG).
V. RESUME
Seorang pasien perempuan usia 34 tahun, datang ke poli saraf RSUD Budhi
Asih untuk kontrol kedua kalinya dengan diagnosa Bell’s Palsy. Pasien
mengeluhkan adanya nyeri pada bagian belakang telinga disertai keluhan tambahan
seperti wajah sisi kiri terasa baal, mulut mencong dengan sudut bibir tertarik ke

10
arah kanan, mata kiri tidak dapat menutup dengan sempurna, tidak dapat
menggembungkan pipi kiri, ketika makan dan minum makanan dan air keluar
melalui mulut sisi kiri, dan gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah yang
sudah dirasakan sejak 18 Maret 2019.
Pasien tidak memiliki riwayat mengalami gejala serupa sebelumnya.
Riwayat Hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat terinfeksi HSV juga
disangkal. Pasien memiliki riwayat sering terpapar angin dari kipas angin ± 3-4
tahun dan terpapar angin jalanan setiap naik motor tanpa menggunakan helm.
Pada pemeriksaan fisik status neurologis, didapatkan sensibilitas nervus
trigeminus cabang oftalmikus, cabang maksilaris, cabang mandibularis berkurang
(hipestesia). Pada pemeriksaan nervus fasialis, didapatkan pasien tidak dapat
mengerutkan dahi sebelah kiri, tidak dapat mengangkat alis sebelah kiri, terdapat
lagoftalmus pada mata kiri, tidak tampak lipatan nasolabial kiri, pipi kiri tidak dapat
menggembung dengan kuat.

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Diagnosis Klinis : Nyeri retroaurikular auricula sinistra, Hipestesi N.V
cabang 1,2,3 sinistra, lagoftalmus sinistra, parese N.VII Sinistra
- Diagnosis Topis : Korda timpani
- Diagnosis Etiologi : Bell’s Palsy
- Diagnosis Patologi : Inflamasi

VII. TATALAKSANA
Medikamentosa :
 Mecobalamin 3x500 mg

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Bonam

11
BAB III

ANALISA KASUS

Pasien perempuan, usia 34 tahun, datang ke poli saraf RSUD Budhi Asih
untuk kontrol kedua kalinya dengan diagnosa Bell’s Palsy. Pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosa Bell’s Palsy dikarenakan adanya beberapa kelainan perifer
pada nervus fascialis yang digambarkan dengan paralisis dari otot otot wajah yaitu
mulut mencong karena paralisis dari m. orbicularis oris, ketidakmampuan menutup
mata secara sempurna karena paralisis dari m. orbicularis oculi, dan tidak mampu
menggembungkan pipi secara kuat karena paralisis dari m. buccinator. Selain itu
adanya keluhan sensorik berupa gangguan pengecapan pada 2/3 anterior lidah.
Kelainan perifer pada pasien ini dapat ditegakkan karena pada pasien terdapat
gangguan dalam mengerutkan dahi kiri dan mengangkat alis kiri. Selain dari klinis
motorik dan sensorik wajah, diagnosa Bell’s Palsy diperkuat pada pasien ini
dikarenakan onset nya yang terjadi secara akut (<72 jam) dan keluhan yang bersifat
progresif.1
Pada pasien ini terdapat keluhan sensorik berupa hipestesi pada salah satu
sisi wajah. Nervus cranialis yang berperan pada sensorik wajah ialah nervus V,
sementara definsi dari Bells Palsy sendiri adalah parese nervus VII unilateral. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa kelainan hipestesi wajah pada Bells Palsy bukan karena
adanya lesi di nervus V, melainkan dikarenakan nervus cranialis yang tergolong
campuran (N.V, N.VII, N.IX, N.X) semuanya memiliki komponen somatosensorik
yang sama yaitu sama sama berasal dari N.V sehingga memungkinkan adanya
tumpang tindih atau overlapping pusat sensorik di N.VII. Sama halnya dengan
gejala klinis Bells Palsy berupa gangguan pendengaran, hal ini bukan dikarenakan
adanya lesi pada N.VIII yang berperan pada pusat auditorik melainkan klinis dari
Bells Palsy bergantung dari level lesi di sepanjang perjalanan nervus fascialis.
Apabila sudah timbul gangguan pendengaran berarti lesi sudah mengenai m.
stapedius ataupun ganglion geniculatum sehingga klinis akan sesuai dengan letak

12
lesinya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Bells Palsy adalah murni kelainan atau
paresis dari N.VII saja.
Pada kasus ini, usia pasien termasuk dalam prevalensi kejadian Bell’s palsy.
Sesaat sebelum timbul keluhan, pasien sedang dalam aktivitas pekerjaan yang
cukup berat sehingga pasien merasa kelelahan. Faktor kelelahan ini bisa menjadi
faktor risiko pasien terkena Bell’s Palsy karena kelelahan dapat memicu turunnya
sistem imun seseorang, dimana ketika sistem imun tubuh rendah maka tubuh akan
lebih mudah terserang infeksi pathogen. Keadaan ini akan memungkinkan infeksi
virus yang diduga kuat sebagai etiologi Bell’s Palsy dapat terjadi.
Selain faktor kelelahan, pasien juga memiliki kebiasaan mengarahkan kipas
angin ke wajahnya dalam waktu yg lama selama ± 4 tahun. Faktor terpapar angin
kencang ke area wajah ini merupakan salah satu faktor risiko tertinggi kejadian
Bell’s Palsy. Beberapa referensi menyebutkan adanya hubungan antara suhu atau
kelembaban dengan Bells palsy, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan
kebenarannya.4
Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis. Proses
inflamasi di nervus fascialis ini dapat disebabkan karena adanya infeksi virus,
diduga virus yang paling berperan adalah Herpes Simpleks Virus tipe 1. Virus ini
biasanya dormant di daerah ganglion geniculatum dan dapat menyebabkan Bells
Palsy bila virus ini tereaktivasi diikuti adanya proses inflamasi dan terjebaknya
virus kedalam saraf cranialis sehingga virus dapat masuk ke foramen di otak. Virus
ini akan menghancurkan sel sel ganglion pada saraf fascialis dan memicu timbulnya
inflamasi. Inflamasi ini menyebabkan peningkatan diameter nervus fascialis
sehingga terjadi kompresi pada saraf fascialis. Lama kelamaan kompresi ini akan
menyebabkan kematian sel saraf atau terbentuk canal infark sehingga menimbulkan
kelumpuhan saraf fascialis.5
Pemeriksaan penunjang untuk kasus Bell’s palsy adalah Elektromiografi
(EMG). EMG adalah sebuah tes yang dilakukan untuk merekam depolarisasi
spontan pada otot dan respon pada kontraksi volunter pada otot. EMG dapat
membantu menilai tingkat cedera pada saraf dan menilai kemungkinan pemulihan.6

13
Untuk penatalaksanaan nya, pasien baru berobat setelah 7 hari pasca
keluhaan awal Bell’s Palsy pertama kali. Ini menandakan pasien terlambat berobat
yang mana seharusnya Bell’s Palsy harus di terapi sesegera mungkin dengan efek
terbaik pengobatan di 3 hari pertama pasca onset (72 jam). Pada kontrol pertama
kali pasien diberikan metilprednisolon 16 mg 1x3 dengan dosis diturunkan bertahap
per hari (tapering off). Setelah mengonsumsi obat metilprednisolon selama
seminggu, saat kontrol kedua pasien tidak diberikan metilprednisolon kembali.
Pemberian kortikosteroid berguna untuk menekan proses inflamasi yang terjadi.
Pasien juga diberikan mecobalamin 3x500 mg. Mecobalamin atau
methylcobalamin adalah bentuk aktif vitamin B12 yang membantu dalam sintesis
metionin dan S-adenosylmethionine. Methylcobalamin membantu dalam sintesis
selubung myelin, regenerasi saraf axonal dan bersifat neuroprotective dan
merupakan terapi pilihan untuk neuropati perifer.7
Pemberian antiviral untuk kasus Bell’s Palsy dapat diberikan dengan alasan
bahwa kemungkinan terjadinya Bell’s Palsy akibat dari HSV atau Varicella Zooster
Virus (VZV).8 Pengobatan dengan antivirus seperti asiklovir mungkin bermanfaat.
Asiklovir dan prednison digunakan secara kombinasi lebih efektif dibandingkan
pemberian prednisone tunggal. Asiklovir-prednison adalah kombinasi paling
efektif jika sesegera mungkin diberikan setelah timbulnya gejala.9 Antivirus tidak
bermanfaat jika digunakan secara tunggal. Obat antivirus yang dapat diberikan
tergantung dari etiologinya.10 Antivirus tidak diberikan pada pasien ini, karena pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya infeksi.
Selain dari pemberian medikamentosa untuk terapi Bells Palsy dapat
dilakukan juga fisioterapi. Fisioterapi pada Bells Palsy berguna untuk memelihara
fisiologi otot, meningkatkan kekuatan otot wajah yang mengalami kelemahan, dan
mengembalikan gerak fungsional yang melibatkan otot-otot wajah, secara
mengunyah, menutup kelopak mata, mengangkat alis dan berkumur. Jenis
fisioterapi yang dapat dilakukan untuk pasien Bells Palsy berupa TENS
(Transcutaneal Electrical Nerve Stimulation) dan massage otot wajah. TENS
merupakan metode memberikan stimulasi dengan listrik pada otot wajah yang titik
rangsangnya terletak pada kulit, berfungsi untuk meningkatkan kerja otot. Oleh

14
karena metode ini menggunakan listrik, tidak diperbolehkan untuk pasien
melakukan metode fisioterapi ini pada fase akut Bells Palsy karena dapat
memperburuk keadaan inflamasi. Metode TENS dilakukan setelah fase akut dari
Bells Palsy selesai. Sementara metode massage otot wajah dianjurkan untuk pasien
melakukan massage ini di fase awal dari Bells Palsy karena dapat memberikan efek
relaksasi sehingga menurunkan spasme atau kekauan dari wajah.
Komplikasi tersering yang mungkin timbul dari Bells Palsy adalah
sindrom air mata buaya atau crocodile tears syndrome yaitu keluarnya cairan air
mata saat makan atau minum pada pasien yang baru pulih dari Bells Palsy.
Mekanisme ini dapat terjadi karena pada periode pemulihan setelah cedera saraf
wajah, serabut saraf saliva yang mengalami regenerasi mengalami sinkinesis
(associated movement) yang seharusnya ketika ada rangsang lapar dan haus, akan
menginervasi kelenjar saliva berbelok arah jadi menginervasi kelenjar lakrimal
sehingga klinis pada crocodile tears syndrome ini ketika pasien mendapat rangsang
bau atau rasa makanan, secara tanpa disadari air mata pasien akan keluar.

Skor House-Brackmann digunakan untuk menentukan derajat kerusakan


saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah. Sistem House
Brackmann terdiri dari 5 derajat, sebagai berikut:11,12

Tabel 1. Tingkatan derajat Bell’s Palsy berdasarkan skor House-Brackmann11


15
Berdasarkan skor House-Brackmann, derajat kerusakan fungsi motorik otot
otot fascialis pada pasien ini didapatkan skor IV yang sesuai dengan klinis motorik
wajah pasien.

Tabel 2. Hubungan antara tingkat derajat House-Brackmann dengan hasil pemulihan.12

Berdasarkan penelitian yang menghubungkan derajat skor House-


Brackmann dengan hasil pemulihan di dapatkan skor House-Brackmann grade II,
III dan IV dapat pulih sempurna. Sementara pada skor House-Brackmann grade V
dan VI kemungkinan pemulihan tidak dapat pulih sempurna.12
Pada pasien ini didapatkan skor House-Brackmann IV, namun untuk
menentukan prognosa dari pasien Bell’s Palsy tidak hanya berdasarkan skor House-
Brackmann, perlu dilihat juga dari klinis pasien dan efek terapi yang sudah di
berikan. Pada pasien ini untuk prognosa ad functionamnya dapat dikatakan dubia
ad malam dikarenakan klinis motorik terutama klinis lagoftalmus tidak mengalami
perbaikan sedikitpun dari kontrol pertama, dimana sudut kelopak terbuka dari
lagoftalmusnya masih sekitar 5-6 mm, ini dapat disebabkan karena pasien terlambat
dalam memulai pengobatan sehingga kemungkinan sudah terjadi kerusakan saraf
yang ireversibel dan berefek pad klinis pasien yang belum menunjukkan perbaikan
signifikan hingga 2 minggu pasca onset penyakit. Sementara untuk prognosis ad
sanationamnya bonam dikarekanan pada pasien ini tidak ada faktor pencetus
langsung seperti infeksi virus ataupun infeksi pada telinga yang kemungkinan

16
besar virus tersebut dapat tereaktivasi kembali sehingga dapat menimbulkan
kekambuhan pada Bells Palsy. Selain itu didukung juga oleh penelitian yang
menyatakan Bells Palsy jarang sekali menimbulkan kekambuhan, prevalensi
kekambuhan pada Bells Palsy hanya 10-15% itupun diduga kemungkinan karena
adanya kelainan structural pada N.VII nya misalnya tumor. Untuk memastikan
prognosa lebih lanjut pada pasien ini di perlukan pemeriksaan penunjang yaitu
Elektromiografi (EMG).
Pemeriksaan EMG untuk menunjang prognosa pasien dengan cara
memeriksa perubahan amplitudo dan latensi otot wajah kedua sisi yang bergantung
dari jumlah axon dan juga degenerasi serabut saraf yang terjadi. Bila perubahan
amplitudo dan latensi distal lebih dari 90% dibandingkan dengan sisi yang sehat,
maka akan memberikan prognosis yang buruk.13

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz R, Murray C, Deckard NA. Clinical Practice Guideline Summary :


Bell ’ s Palsy. 2013; November.
2. Bahrudin M. Bell’s Palsy. Vol 7. 2011 [accessed on 9 April 2019] Available at:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/viewFile/4073/4451
3. Patel DK, Levin KH. Bell Palsy: Clinical Examination And Management.
Cleveland Clinic Journal Of Medicine Volume 82 Number 7. 2015.
4. Danielides V, Patrikakos G, Nousia CS, et al. Weather conditions and Bell's
palsy: five-year study and review of the literature. BMC Neurol. 2001; 1: 7.
5. Mardjono M, Sidharta P. 2003. Patofisiologi Nervus Fascialis. Neurologi Klinis
Dasar; Jakarta: PT. Dian Rakyat: p.161-16
6. Grosheva M, Guntinas-Lichius O. Significance of electromyography to predict
and evaluate facial function outcome after acute peripheral facial palsy. Eur
Arch Otorhinolaryngol. 2007;264:1491–1495.
7. Gupta JK and Sana QS. Potential Benefits of Methylcobalamin: A
Review.Department of Pharmacology, GLA University Mathura, India. 2015.
p.1-4
8. Murthy JMK, Saxena AB. Bell's palsy: Treatment guidelines. Annals of Indian
Academy of Neurology. 2011
9. Treatment for Bell’s Palsy. 2015 [access on April 9th, 2019]. Available at:
http://www.healthcommunities.com/bells-palsy/treatment.shtml.
10. Lo BM, Bell Palsy Empiric Therapy. 2017. [access on April 10th, 2018].
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/2018337-overview.
11. El-Tallawa HN, Farghaly WMA, Shehata GA, et al. Incidence and clinical
predictors of outcome of Bell’s palsy, Al-Quseir City, Red Sea Governorate,
Egypt. The Egyptian Journal of Neurology, Psychiatry and Neurosurgery. 2016,
53(2):70–73
12. Buck Christensen Medscape Editorial Staff. House-Brackmann Classification
of Facial Function. 2014.

18
13. Dewi PR, Kusumastuti D, Putra W. Perubahan Hasil Elektromiografi pada
Paralisis Nervus Fascialis Perifer. Callosum Neurology Vol 1. 2011
[Accessed on 11 April 2019] Available at:
http://www.researchgate.net/publication/326448929

19

Anda mungkin juga menyukai