Retardasi Mental-3a (Ulfa Pratiwi)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

RETARDASI MENTAL

A. Definisi
Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi
mental mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-
rata, didefinisikan sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ) <70-75, terdapat
bersamaan dengan keterbatasan yang berkaitan dengan dua atau lebih area
keterampilan adaptif yang dapat diterapkan: komunikasi, merawat diri, keterampilan
sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan,
akademik fungsional, istirahat, dan bekerja. 1

B. Epidemiologi
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari
populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental
ringan. Di Amerika serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak
usia sekolah mendapat pelayanan retardasi mental. 2

Perkiraan prevalensi berdasarkan pada tes psikometrik standar menunjukkan


bahwa hanya di bawah 3% populasi umum memiliki “ fungsi intelektual yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata “ (memiliki nilai tes yang berada lebih dari dua
standar deviasi di bawah rata-rata). Prevalensi retardasi mental ringan paling tinggi
diantara anak-anak dari keluarga miskin, sementara individu yang mengalami
kecacatan yang lebih berat diwakilkan secara sama pada semua kelompok
masyarakat. Kira-kira 5% populasi mengalami retardasi mental berat atau sangat
berat. 2

Anak-anak dengan retardasi mental dapat didiagnosis juga dengan gangguan


lain seperti autisme dan cerebral palsy. Secara keseluruhan, prevalensi retardasi
mental dapat terjadi lebih tinggi pada laki-laki di banding perempuan yaitu 2:1 pada
retardasi mental ringan dan 1,5 : 1 pada retardasi mental berat. 2

C. Etiologi
Terdapat 2 populasi gangguan retardasi:
1. Retardasi mental ringan (IQ > 50), lebih dihubungkan dengan pengaruh
lingkungan. Retardasi mental ringan ini 4 kali lebih banyak terjadi pada anak yang
ibunya tidak tamat SMA. Hal ini kemungkinan akibat dari gabungan faktor
genetik (anak yang mewarisi gangguan intelektual) dan faktor sosio-ekonomi
(kemiskinan dan Undernutrition). Penyebab spesifik gangguan retardasi mental
ringan hanya teridentifikasi pada <50% penderita. Penyebab biologis paling sering
adalah sindrom genetik dengan kelainan kongenital, prematuritas, penyalahgunaan
obat yang menyebabkan gangguan intrauterin, dan abnomalitas kromosom seks.
Sering ditemukan adanya riwayat keluarga. 2,3
2. Retardasi mental berat (IQ>50), lebih dihubungkan dengan penyebab biologis.
Penyebab biologis dapat diidentifikasi pada 75% kasus. Penyebab penyakit
tersebut antara lain : sindrom genetic (sindrom Fragile X, Prader willi Syndrome)
dan kromosom (Down sindrom, klinefelter syndrome), Abnormalitas
perkembangan otak (ensefalopati, Lissencephaly), gangguan metabolisme sejak
lahir [Fenilketonuria(PKU), Tay-sach], gangguan neurodegenerative
(mukopolisakaridosis), malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi [Human
Imunodefisiensi Virus (HIV), toksoplasma, rubella, Sitomegalovirus (CMV),
Syphilis, Herpes Simpleks], kelainan pada masa perinatal, meningitis, intoksikasi
alkohol pada masa fetal, kelainan pada masa postnatal (trauma, meningitis,
Hipotiroid). 2,3

D. Patofisiologi
E. Patogenesis
Perlu dipahami bahwa otak bayi dan anak bukanlah miniatur otak dewasa.
Otak bayi dan anak merupakan organ tubuh yang masih tumbuh dan berkembang.
Otak bayi dan anak akan tumbuh menjadi besar, lebih besar, dan masih berkembang
dari otak yang semula imatur menjadi otak matur. Masa selama 2 minggu setelah
pembuahan atau disebut masa praembrio terjadi pembelahan sel telur yang telah
dibuahi. Sedangkan pada usia kehamilan 2-8 minggu disebut sebagai masa embrio. 4
Awal pembentukan susunan saraf pusat atau otak dimulai setelah kehamilan 8
minggu. Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan pembentukan lempeng
saraf (neural plate) pada masa embrio, yakni sekitar hari ke-16. Kemudian
menggulung membentuk tabung saraf (neural tube) pada hari le-22. Pada minggu ke-
5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung tabung saraf. Selajutnya
terbentuklah batang otak, serebelum (otak kecil), dan bagian-bagian lainnya.
Perkembangan otak sangat kompleks dan memerlukan beberapa seri proses
perkembangan, yang terjadi atas penambahan (poliferasi) sel, perpindahan (migrasi
sel), perubahan (diferensiasi) sel, pembentukan jalinan saraf satu dengan yang lainnya
(sinaps), dan pembentukan selubung saraf (mielinasi). 5
Sel saraf (neuron) pada permulaan bentuknya masih sederhana, mengalami
pembelahan menjadi banyak, dan proses ini disebut proliferasi. Proses proliferasi ini
berlangsung selama kehamilan 4-24 minggu, dan selesai pada waktu bayi
lahir.Setelah proses proliferasi, sel saraf akan migrasi ke tempat yang semestinya.
Proses migrasi berlangsung sejak kehamilan kira-kira 16 minggu sampai akhir bulan
ke-6 masa gestasi. Proses migrasi ini terjadi secara bergelombang, yaitu sel saraf yang
bermigrasi awal akan menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi kemudian
menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi kemudian menempati lapisan luar
korteks serebri. 5
Pada akhir bulan ke-6, lempeng korteks ini sudah memiliki komponen sel
neuron yang lengkap dan sudah tampak adanya diferensiasi menjadi 6 lapis seperti
orang dewasa. Di tempat yang semestinya, sel saraf mengalami proses diferensiasi
(perubahan bentuk, komposisi, dan fungsi). Sel saraf berubah menjadi sel neuron
dengan cabang-cabangnya dan terbentuk pula sel penunjang (sel Glia). Fungsi sel
inilah yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. 5
Ada yang mengatakan penambahan jumlah sel saraf telah selesai pada saat
kelahiran. Setelah lahir hanya terjadi pematangan fungsi sel saraf, tetapi selubung
saraf atau myelin yang disebut mielinisasi masih berkembang. Tetapi, setelah lahir
terjadi penambahan volume dan berat otak, bayi tampak lebih pintar. Hal ini karena
adanya pertumbuhan serabut saraf, adanya peningkatan jumlah sel glia yang luar biasa
dan proses mieliniasi akibat proses stimulasi yang didapat saat lahir. 5
Proses perkembangan otak ini memegang peranan penting dalam
perkembangan mental anak, hanya saja keterbatasan pengetahuan tentang
neuropatologi terhadap hal yang menyebabkan kemunduran intelektual, sebagaimana
telah dibuktikan dengan adanya 10-20% otak manusia dengan retardasi mental berat,
tetapi terlihat normal secara kesuluruhan. Sebagian besar otak manusia menunjukkan
perubahan yang ringan dan non-spesifik yang tidak mempunyai hubungan yang kuat
dengan derajat kemunduran intelektual. Perubahan-perubahan tersebut meliputi
mikrosefal, heterotopi substansia grisea pada substansial alba bagian subkortikal,
korteks dengan susunan regular yang tidak biasa dan neuron yang terikat lebih kuat
dari biasanya. Hanya sebagian kecil dari otak yang menunjukkan perubahan spesifik
pada susunan dendrit dan sinap, dengan adanya disgenesis dari dendrit di spinal atau
di neuron kortikal atau adanya gangguan pertumbuhan dendrit. Pengaturan sistem
saraf pusat yang mencakup proses induksi; maturasi sistim saraf pusat dipengaruhi
oleh genetik, molekuler, autokrin, parakrin, dan endokrin. Reseptor-reseptor yang
merangsang molekul dan gen sangatlah penting dalam perkembangan otak,
Pemeliharaan fenotip neuron pada orang dewasa mencakup transkrip genetik yang
sama, yang berperan penting selama perkembangan fetus melalui aktivasi mekanisme
transduksi intrasel. 4

F. Tanda Gejala
Menurut klasifikasi retardasi mental berdasarkan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke III (PPDGJ-III) yang diterbitkan oleh Direktorat
Kesehatan Jiwa Depkes RI tahun 1993 tercantum pada F70 sampai dengan F79,
dengan penjabaran, retardasi mental ringan bila menggunakan tes IQ dengan baku
yang tepat, angka IQ berkisaran antara 50 sampai 69. Ciri anak retardasi mental
ringan ini dalam pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada
berbagai tingkat dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi
perkembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa, akan tetapi mayoritas
penderita retardasi mental ringan dapat mencapai kemampuan berbicara dalam
kehidupan sehari-hari. Kebanyakan juga mandiri penuh dalam merawat diri sendiri
dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah tangga, walau
perkembangannya agak lambat dari anak normal. Secara umum anak retardasi mental
ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Karakteristik fisik anak tunagrahita ringan nampak seperti anak normal, hanya
sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik
2. Karakteristik psikis anak tunagrahita ringan meliputi: kemampuan berpikir
rendah, perhatian dan ingatannya lemah, sehingga mengalami kesulitan untuk
mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya,
kurang memiliki perbendaharaan kata, serta kurang mampu berpikir abstrak
3. Karakteristik sosial anak tunagrahita ringan yaitu mampu bergaul, menyesuaikan
diri dilingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu
mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan
melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. 6

G. Interpretasi Pemeriksaan

H. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi
mentalnya, baik organik atau non organik, apakah kelainannya dapat diobati/tidak,
dan apakah ada faktor genetik/tidak. Dengan melakukan skrining secara rutin
misalnya dengan menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test), maka
diagnosis dini dapat segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orang tua,
pengasuh atau gurunya, akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Setelah
anak berumur 6 tahun dapat dilakukan tes IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak
khas dan tidak dapat diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada
kelainan pada sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk
mengetahui apakah ada keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor
non organik lainnya yang diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak. 3,7
Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa
kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang gambaran
stigmata mengarah kesuatu sindroma penyakit tertentu. 6
Diagnosis banding:
Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain yang
mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus menjadi
pertimbangan, diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental dan kondisi
lain yang melibatkan keterbelakangan intelektual sebagai salah satu manifestasinya.
Defisit sensoris (kemampuan pendengaran yang buruk dan kehilangan penglihatan),
gangguan komunikasi, dan kejang tak terkontrol dapat menyerupai retardasi mental;
gangguan neurologis progresif tertentu munculannnya dapat menyerupai retardasi
mental sebelum terjadinya regresi. Lebih dari setengah anak-anak yang menderita
serebral palsi atau autisme juga menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan
retardasi mental tampak pada kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi
kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan
disertai adanya refleks patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan
adaptif sosial lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada
retardasi mental biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial,
motorik, adaptif dan kognitif. 2

I. Tatalaksana
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat
individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan multidisiplin
merupakan jalan yang terbaik. 2, 6 Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi
pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak
tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog untuk menilai
perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak untuk memeriksa fisik
anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin
ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi
keluarganya.8 Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan
lebih banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi
serebral, dll. Psikiater, bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila
orang tuanya membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila
diperlukan untuk merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi
wicara, untuk memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan
bicara. Serta diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi
mental ini.3, 9
Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya,
dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang diperlukan
waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaaan anaknya. Bila
orang tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula
dengan psikolog atau psikiater.3, 9 Disamping itu diperlukan kerja sama yang baik
antara guru dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam strategi
penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi
pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu
diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak
tersebut dengan wajar.3

J. Pencegahan
Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit, yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan perlindungan
yang spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan memberikan
imunisasi; (2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik,
perumahan yang sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan maksud
meninggikan daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan
memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada susunan
saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat berbagai kondisi
yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat mencegah terjadinya retardasi
mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat dan tepat terhadap berbagai penyakit
anak, seperti keracunan timah atau hematoma subdural pascatrauma, mengurangi
kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak. Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris
pada anak, dapat meningkatkan secara maksimal kemungkinan anak tersebut untuk
mendapatkan rangsangan sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental
akibat defisiensi sensoris. 9
K. Prognosis
Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya
lebih baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak
dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit
kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang
normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah kesehatan
dan gizi, sering meninggal pada usia muda.6
Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak
dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur
hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat
usianya masih dini, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat
saja hanya menderita gangguan perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow
learner-intelejensia ambang normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental
ringan di saat masa sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan
berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi
dikategorikan menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari
peningkatan maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke
kategori lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental
ringan). Beberapa anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau
gangguan komunikasi dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan
berjalannya waktu. Ketika masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah
menetap.
Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab
dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan
medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan
training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita
retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi dan sosialnya secara
mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara periodik, terutama di
saat mengalami masalah sosial maupun ekonomi. Kebanyakan penderita dapat hidup
dengan baik dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun dalam supervisi. Angka
harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya retardasi mental ini.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal
Hingga Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA,
Hartanto H, Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20th ed.
Jakarta: EGC; 2006
2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In:
Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007
3. Prugh Dane G. Mental Retardation. The Psychosocial Aspects of Pediatrics.
Philadelphia: Lea & Febiger; 1983
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pertumbuhan, perkembangan otak pada bayi dan
anak [Online]. 2009. URL:
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521 pada 1
Februari 2017
5. O’Callaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor.
Practical Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006
6. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995
7. Goldson Edward, Reynolds Ann. Child Development & Behavior. In : Hay WW,
Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Current Diagnosis &
Treatment Pediatrics. 20th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2011
8. Hull David, Johnston Derek I. Gangguan Mental. In: Yusna Daulika, editor.
Dasar-Dasar Pediatri. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2008
9. Budhiman Melly. Perkembangan Mental. In: Markum AH, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2002

Anda mungkin juga menyukai