Anda di halaman 1dari 8

RHINITIS ALERGIKA

A. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1

B. Epidemiologi
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk Amerika. Rinitis
ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama anak
laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi
tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11
tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi
rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada
usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 2
Di Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis
alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut Sumarman dan
Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98 %,
di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survei dari ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
13-14 tahun di Semarang tahun 2001- 2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18%. 3

C. Etiologi
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bed)
dengan pembersaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saaat serangan. Diluar keadaan
tersebut, mukosa akan kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya, alergen terbagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan,
serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan. 1,2
D. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai satu jam setelahnya dan Late
Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung sampai 24-48 jam. 4
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilakan berbagai sitokin
seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain itu juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrein D4 (LTD4), Leukotrein C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor
(PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat
(RAFC). 4
Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan
menyebabkan sel mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinorea. Gejala lain dalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eusinofil dan noutrofil di jaringan target. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiper responsive hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti ECP, EDP, MBP, EPO. Pada fase ini, selain
factor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara
yang tinggi.4

E. Tanda Gejala
Gejala klinis pada rinitis alergi adalah bersin berulang pada pagi hari, keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata
atau palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata
dapat menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa
terbakar, dan lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga
bagian tengah. 3

F. Interpretasi Pemeriksaan
Anamnesis
Pada anamnesis didapati keluhan serangan bersin yang berulang. Bersin ini
merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat
dilkepaskannya histamin. Gejala lain adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak keluar air mata (lakrimasi).
Riwayat penyakit alergi dalam keluarga perlu ditanyakan. Pasien juga perlu
ditanya gangguan alergi selain yang menyerang hidung, seperti asma, eczema,
urtikaria, atau sensitivitas obat. Keadaan lingkungan kerja dan tempat tinggal juga
perlu ditanya untuk mengaitkan awitan gejala.

Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertofi.

Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain itu juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergig salute. Menggosok-gosok
hidung mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-
langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). 3
Pemeriksaan penunjang

1. Invitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal.
2. Invivo
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/
SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Untuk allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). 3

G. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis ditegakkan melalui anamnesi dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang.
Diagnosis banding:
1. Rinitis vasomotor
2. Rinitis alergi 2
H. Tatalaksana
1. Terapi yang paling ideal dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1 yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1
(klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik
sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin,
klorfeniramin, prometasin, siproheptadin. Antihistamin generasi-2 bersifat
lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat
respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain.
3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior
turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor
asetat.
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan.
5. Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang
merupakan allergen.3,4

I. Prognosis
Kebanyakan gejala rintis alergi dapat diobati. Pada kasus yang lebih parah dapat
memerlukan imunoterapi. Beberapa orang (terutama anak-anak) semakin dewasa akan
semakin kurang sensitif terhadap. Namun, sebagai aturan umum, jika suatu zat
menjadi penyebab alergi bagi seorang individu, maka zat tersebut dapat terus
mempengaruhi orang itu dalam jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung
Tenggorok: Alergi Hidung. Edisi ke-5. Jakarta 2001
2. Lumbanraja PLH. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi Di
Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.. Adam Malik Medan. Tesis.
Medan : FK USU. 2007
3. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae
N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2007
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke
Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai