Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

TONSILITIS

Disusun oleh:
Azizah Fitriayu Andyra
(1102014055)

Pembimbing:
dr. Ilham Priharto, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA, SERANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 8 APRIL – 11 MEI 2019
TONSIL
I. Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil
faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil.

Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang


merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam
dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.
Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina asendens, cabang
tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal.

2
Persarafan tonsil berasal dari saraf trigeminus dan saraf glossopharingeus.
Nervus trigeminus mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang
melewati ganglion sphenopaltina yaitu n. palatina. Bagian bawah tonsil
dipersarafi n. glossopharingeus.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua menjadi
palatum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat
foramen sekum dan apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata.
Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan
secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual
thyroid) atau kista duktus tiroglossus.

II. Fisiologi
Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting
sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk
ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat
bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel

3
maka sel – sel fagositik mononuklear pertama – tama akan mengenal dan
mengeliminasi antigen.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan
bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi
sel limfosit T dengan antigen spesifik.
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi dan bertindak seperti filter untuk
mencegah bakteri dan virus masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil
juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk melawan
patogen. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu
melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi
yaitu tonsilitis.
Tonsil mengandung sel limfosit B dan limfosit T. Limfosit B membentuk
kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi.

TONSILITIS
I. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatinan yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yanh
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil Tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.
4
II. Etiologi
Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes
(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV), sitomegalovirus, adenovirus, dan virus
campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan
tonsillitis akut. Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis;
GABHS adalah penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak.
Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada
tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil
penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus,
Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie,
Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus
epidermidis.
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis yaitu rangsangan yang
menahun dari asap rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat.

III. Klasifikasi
A. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis Viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa
nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr.
Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika
terjadi infeksi virus coxshakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan
pasien. Terapinya dapat berupa stirahat, minum cukup, analgetika, dan
antivirus diberikan jika gejala berat.

5
2. Tonsilitis Bakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokikus Beta
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudomembrane) yang
menutupi tonsil.

Gejala dan Tanda


Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang
tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain)
melalui saraf n. glosofaringeus (n. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil
membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau
tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.

6
Terapi
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin, antipiretik dan obat
kumur yang mengandung desinfektan

Komplikasi
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis,
abses peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronkitis, glomeronefritis
akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna
(sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menuebabkan pasien bernapas melalui mulut,
tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang
dikenal sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

B. Tonsilitis Membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa ialah (a)
Tonsilitis difteri, (b) Tonsilitis septik (septic sore throat), (c) Angina Plaut
Vincent, (d) Penyakit kelainan darag seperti leukimia akut, anemia pernisiosa,

7
neutropenia maligna serta infeksi mononukleosis, (e) Proses spesifik lues dan
tuberkulosis, (f) Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis, dan blastimikosis, (g)
Infeksi virus morbili, pertusis dan skarlatina.

1. Tonsilitis Difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada
bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri adalah kuman Coryne bacterium
diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas
bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan kni tergantung pada titer anti
toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan
dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Tonsilitas difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupum pada orang dewasa
masih mungkin menderita penyakit ini.

Gejala dan Tanda


Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal
dan gejala akibat eksotoksin
(a) Gejala Umum
Seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan sihu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta
keluhan nyeri menelan
(b) Gejala Lokal
Yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu
ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah
berdarah. Pada perkembanhan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus,
kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga
8
leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s
hals.
(c) Gejala Akibat Eksotoksin
Yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf kranial yang menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal
menimbulkan albumineria

Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteriae.

Terapi
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnta penyakit.
Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg per kg berar bedan dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat
tidur selama 2-3 minggu.

Komplikasi
Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat
timbul komplikasi ini. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau
decompensatio cordis. Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk
akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkam kesulitan
menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria
sebagai akibat komplikasi ke ginjal.
9
2. Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di
Indonesia susu sapi dimasak dulu dekgan cara pasteurisasi sebelum diminum
maka penyakit ini jarang ditemukan.

3. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C.
Gejala
Demam sampai 39 derajat, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang
terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi
mudah berdarah.

Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
(foetor ex ore) dan kelebjar submandibula membesar.

Terapi
Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higine mulut.
Vitamin C dan Vitamin B kompleks.

4. Penyakit Kelainan Darah


Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulasitosis dan
infeksi mononukleosis timbul dinfaring atau tonsil yang tertutup membran
semu. Kadang-kadang terdapat perdarahan di selaput lendir mulut dan faring
serta pembesaran kelenjar submandibula.

10
a) Leukimia Akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi
dan di bawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil
membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri
yang hebat di tenggorok.
b) Angina Agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring
serta di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan
di genitalia dan saluran cerna.
c) Infeksi Mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral.
Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan. Tersapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan regio
inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam
jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel).

C. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberap jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Kuman oenyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-
kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.

Patologi
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid terkikisx sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan
sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.
Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya
11
menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak
proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula.

Gejala dan Tanda


Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas
berbau.

Diagnosis
Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa
dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau
busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada
leher.

Pemeriksaan Fisik
• Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.
• Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material
menyerupai keju.
• Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae
palatal.
• Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran
tonsil yang obstruktif.
• Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
• Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
• Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.

12
• Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga
mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
• Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring,
tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi
kronis pada tonsil. (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck
Surgery, 2014).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya


membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi)
terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan
pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam
Farokah, 2005). Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1
– T4:
• T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior
– uvula.
• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½
jarak anterior – uvula.
• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula.
• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau
lebih.

13
Terapi
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
isap.

Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara per
kontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan
dapat timbul endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik,
gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
Komplikasi lainnya antara lain
a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan
otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi
pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise
yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi
dengan melakukan aspirasi abses.
b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui
insisi servikal.
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan
merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase
abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
14
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade
oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat
membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil.
Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan
mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang
tidak rata pada perabaan.

IV. Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit
menelan.Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak
dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang
bersabun sebelum digunakan kembali.Sikat gigi yang telah lama sebaiknya
diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan

15
karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain.

V. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala – gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.

TONSILEKTOMI
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina dengan eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis rekuren.
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini
bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan
keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.
Indikasi tonsiletokmi menurut The American Academy of Otolaryngology -
Head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan:
1. Serangan tonsilitas lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yanga adekuat
2. Tonsil hipertrofi yang menimbulakn maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor pulmonale
4. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan
16
5. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
6. Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus Beta
hemoliticus
7. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai sekarang
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
kekurangan.Penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.Jenis
pemilihan iaitu jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan pre operatif dan pasca operatif serta durasi operasi.Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar.
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.
2. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.Metode
pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam anestesi.
Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah medial,
sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan sickle knife
dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
3. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.

17
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.
4. Radio frekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektroda disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas.Selama periode 4- 6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
5. Skapel harmonic
Skapel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
6. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang unuk karena
dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk mengikis
jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan energi dari
radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media perantara yang akan
membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar elektroda. Kelompok
plasma tersebutakan mengandung suatu partikel yang terionisasi dan kandungan
plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan memecah ikatan molekul
jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada jaringan juga menyebabkan
disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%, sehingga dapat
meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
8. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl
Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini

18
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi
anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.

19
DAFTAR PUSTAKA
Bailey BJ et al. (2009) .Head and Neck Surgery – Otolangology 2nd Edition.
USA:Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
Boies, L., Adams, G. & Higler, P. (2013). Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6.
Jakarta:EGC
Brody, L. & Poje, C. (2008). Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. In:
Bailey BJ. Johnson JT. Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4th Edition.
p1183-1208. Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers..
Rusmarjono & Soepardi, E. (2012). .Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta:Badan Penerbit FKUI
Snell, R. (2011). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
Snow, W. (2009). Otolaryngology – head and neck surgery. USA:McGraw-Hill
Education.

20

Anda mungkin juga menyukai