Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

SERI I

“MULA KERJA, PUNCAK EFEK DAN LAMA KERJA OBAT ANALGESIK PADA
PEMBERIAN PER ORAL DAN INTRAMUSCULAR”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :

1. AULYA NISA ZABILLA (201610410311039)


2. ARNIANTI BAMBANG (201610410311074)
3. WIWEKA SANTIKRAMA (201610410311117)
4. MAYA AZIZATIN (201610410311207)
5. NOVIA DARA PUSPITA (201610410311226)
6. ALYA VAKHIRA (201610410311235)
7. DIANA INDRA RUKMANA (201610410311240)

KELAS FARMASI E

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa (YME). Di mana Tuhan YME
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga kami dari kelompok sehingga kami dapat
melaksanakan sebuah praktikum dan menyelesaikannya dengan baik.

Sehingga akhirnya terusunlah sebuah laporan resmi praktikum Farmakologi I ini. Laporan ini
telah kami susun dengan sistematis dan sebaik mungkin. Hal ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Praktikum Farmakologi I.

Dengan selesainya laporan resmi praktikum ini, maka kami tidak lupa mengucapkan banyak
terima kasih. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan laporan praktikum Farmakologi I. Khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Praktikum Farmakologi I, Kepada para asisten laboratorium Kimia yang senantiasa sabar
menghadapi kelompok kami selama praktikum, Orang tua kami yang telah mendoakan kelancaran
kuliah kami, Seluruh teman-teman yang berkenan saling membantu menyelesikan laporan
praktikum ini.

Demikian ini laporan Praktikum Farmakologi I yang telah kami buat. Kami mohon kritik dan
sarannya apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan Praktikum
Farmakologi I ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Juga bermanfaat bagi kami selaku penulis.

Malang, 30 Desember 2017

Penulis
DAFTAR ISI
PRAKTIKUM I

MULA KERJA, PUNCAK EFEK DAN LAMA KERJA OBAT ANALGESIK PADA
PEMBERIAN PER ORAL DAN INTRAMUSCULAR

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Membedakan mula kerja (onset of action), puncak efek (peak effect), lama kerja obat
(duration of action) analgetik pada pemberian per oral dan intraperitoneal.

B. DASAR TEORI
a. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat.
b. Mula Kerja (Onset of Action)
Mula kerja adalah waktu dimana obat mulai memasuki plasma dan berakhir sampai
mencapai konsentrasi efektif minimum (MEC Minimum Effective Concentration)
c. Puncak Efek (Peak Effect)
Puncak Efek adalah proses dimana obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah
dan plasma
d. Lama Kerja (Duration of Action)
Lama kerja adalah rentang waktu antara timbulnya efek obat sampai saat efek
hilang.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat
memakan waktu beberapa jam atau hari. Kurva respon – waktu menilai 3 parameter
dari kerja obat, mula kerja obat, puncak efek dan lama kerja.
Kadar obat dalam plasma atau serum menurun dibawah ambang atau MEC, maka
ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapa, kadar obat yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan toksisitas.

Ketiga fase tersebut dipengaruhi oleh :


a. Absorbsi
Absorbsi adalah proses dimana obat masuk ke dalam tubuh (sirkulasi) dari tempat
ia diberikan, jadi tempat absorbs bergantung pad acara pemberian obatnya disesuaikan
dengan kondisi pasien sehingga tercapai efek terapi yang diinginkan. Absobsi sangat
mempengaruhi biovailabilitas hal ini bisa dilihat pada pemberian secara intravena dan
secara peroral, dimana pemberian secara intravena biovaibilitasnya lebih besar
maksimal daripada pemberian secara per oral, hal ini dipengaruhi oleh tingkat absorbs
yang tidak lengkap dan eliminasi lintas pertama (first pass).

Tingkat Absorbsi
Dalam pemberian oral, suatu obat dapat diabsorbsi secara tidak sempurna, misalnya
hanya 70% dari dosis digoksin yang mencapai system sirkulasi sistemik. Hal ini
disebabkan kurangnya absorbs melalui usus. Obat yang terlalu hidrofilik misalnya
aetanolol tidak akan bisa menembus membrane plasma yang bersifat lipid dan jika
terlalu lipofilik misalnya acyclovir maka obat tersebut akan kurang melarut untuk
menembus lapisan air disekitar sel. Obat mungkin tidak akan di absorbsi oleh karena
adanya transporter yang berlawanan yang berkaitan dengan glikoprotein- P. Proses ini
secara aktif memompa obat keluar dari sel-sel dinding usus masuk ke dalam lumen
usus. Penghambat glikoprotein – P dan metabolisme dinding usus mungkin jus jeruk
bali, mungkin berkaitan dengan absorbs obat.

Tabel Rute pemberian, Biovalibilitas dan sifat-sifat umum


Rute Biovalibilitas Sifat – sifat
Intravena (IV) 100 (dengan ketentuan) Kebanyakan dengan mula
kerja cepat
Intramuscular (IM) 75 sampai < = 100 Sering membutuhkan
volume yang besar,
mungkin disertai dengan
rasa nyeri
Subkutan (SC) 75 sampai < = 100 Volume lebih sedikit
dibandingkan IM,
mungkin dengan rasa
nyeri
Oral (PO) 5 sampai < 100 Sebagian besar sesuai
efek first pass mungkin
berarti
Rektal (PR) 30 sampai <100 Efek first pass lebih kecil
dibandingkan per oral
Inhalasi 5 sampai <100 Mula kerja sering sangat
cepat
Transdermal 80 sampai <= 100 Absorbs biasanya sangat
lambat, digunakan untuk
yang tidak memiliki efek
first pass, memperlambat
durasi kerja

Eliminasi first Pass


Setelah absorbsi melalui dinding usus, darah portal akan membawa obat ke hati
sebelum masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Obat dapat dimetabolisme di dinding usus
(missal oleh system enzim CYP3A4) atau bahkan di dalam darah portal, tetapi
umumnya hati adalah yang bertanggung jawab atas metabolisme obat sebelum obat
mencapai sirkulasi sistemik. Selain itu, hati dapat mengeluarkan obat kedalam empedu.
Setiap proses ini dapat berperan pada pengurangan biovalibilitas, semua proses ini
dikenal sebagai eliminasi first pass.

Distribusi
Distribusi adalah proses dimana molekul obat yang diabsorbsi mulai meninggalkan
tempat ia diabsorbsi, masuk sirkulasi sistemik, bersama aliran darah menuju ke selutuh
tubuh, melewati berbagai barrier untuk mencapai tempat kerja nya pada jaringan atau
organ target sehingga terapi. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah menuju ke
seluruh tubuh, afinitas (kekuatan penggabungan) terhadap jaringan, dan efek
pengikatan dengan protein. Ketika obat di distribusi didalam plasma, kebanyakan
berikatan dengan protein (terutama albumin) merupakan protein yang berikatan dengan
obat yang bersifat asam misalnya fenitoin salisilat dan disopiramid dan ada juga proten
a1-acid glycoprotein – mengikat obat basa misalnya kunidin lidokain dan propranolol.
Obat yang berikatan dengan protein maka molekulnya menjadi besar sehingga sulit
untuk berdifusi pada membran secara difusi pasif. Hanya fase drugs yang dapat
melewati membrane jaringan kemudian berikatan dengan reseptor seluler dan
kemudian didistribusikan ke jaringan tubuh lain setelah itu dimetabolisme dan
diekskresi. Ikatan protein pada obat tidak spesifik mislanya ketika ada obat yang
berbeda mengikat protein yang sama pada saat itu terjadi kompetisi, dimana obat yang
memiliki afinitas kuat akan berikatan kuat dengan proteinnya. System kerja distribusi
obat seperti pola difusi dimana obat yang telah selesai diabsorbsi didistribusikan oleh
sirkulasi darah menuju jaringan target, kemudian berikatan dengan protein plasma dan
ada obat free drugs. Obat yang berikatan dengan protein dan obat free drugs berpindah
secara difusi akibat perbedaan konsentrasi.

Obat yang berikatan dengan Protein Albumin


Barbiturate Probenecid
Benzodiazepines Streptomycin
Bilirubin Sulfonamides
Digotoxin Tetracycline
Fatty acids Tolbutamide
Penicilins Valproic acid
Phenytoin Warfarin

Obat yang berikatan dengan Protein a1-glikoprot


 Alprenolol
 Bupivacaine
 Desmethylperazine
 Disopyramide
 Etidocaine
 Imipramine
 Lidocaine
 Methadone
 Prazosin
 Propranolol
 Quinidine
 Verapamil
b. Metabolisme
Metabolisme adalah proses dimana enzim mengkatalisa perubahan kimia obat menjadi
lebih polar (metabolit) sehingga mudah diekskresikan.
Hati merupakan tempat utama metabolisme. Kebanyakan obat di inaktifkan oleh enzim –
enzim hati dan kemudian diubah atau di transformasikan oleh enzim – enzim menjadi
metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk diekskresikan. Tetapi, beberapa obat
di transformasikan menjadi metabolit aktif, menyebabkan peningkatan Respon
Pharmacology. Penyakit – penyakit hati, seperti sirosis dan hepatitis mempengaruhi
metabolisme obat.
c. Eksresi atau klirens
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute – rute lain meliputi empedu,
feses, paru-paru, saliva, keringat dan ASI. Obat bebas yang tidak berikatan yang larut
dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah difiltasi oleh ginjal.obat – obat yang berikatan
dengan protein tidak dapat di filtrasi oleh ginjal. Sekali obat dilepaskan ikatnya dengan
protein. Maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan diekskresikan melalui usus.

C. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
- Analgesic meter bahan geser
- Hot plate
- Spuit 1 ml
- Sonde
- Stop watch
b. Bahan
- Tikus
- Obat analgesik xylomidon (250mg/ml metampiron)
- Antalgin tablet (500 mg/tab) dipuyer + CMC + air sampai 20 ml
D. PROSEDUR KERJA
a. Menentukan ambang nyeri tikus I & II

Siapkan Analgesimeter

Atur beban pada posisi terkecil

Pegang tikus

Tangan kiri Tangan kanan

Memposisikan sela-sela jari tikus Memegang tikus


pada alat penekan

Jalankan beban dengan menggeser


kecepatan stabil (menentukan ambang nyeri)

Respon nyeri dengan menarik


kaki

Lepaskan beban

Catat ambang nyeri (dalam bentuk


gram)
b. Pemberian Analgesik tikus I dan tikus II serta pengamatan

Tikus I dan Tikus II

Analgesik oral (tikus 1) Analgesic intramuscular (tikus 2)

Memposisikan sela-sela jari tikus


pada alat penekan analgesimeter

Diberikan dua kali beban kontrol


ambang nyeri normal

Dilakukan sedang waktu 5 menit


hingga menit ke 60 (12 kali
percobaan)

Catat hasil pengamatan


c. Menentukan ambang nyeri tikus menggunakan rangsangan suhu

Siapkan Hot Plate

Atur suhu standart (misal 30*C)

Tikus dimasukkan kedalam hot plate

Suhu dinaikkan (kenaikan 2*C

Respon nyeri dengan menjilat-jilat kaki yang kontak dengan panas

Catat hasil pengamatan (catat suhu dalam *C)


E. HASIL PRAKTIKUM

CARA & KELOMPOK WAKTU


5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’
PER ORAL
Kelompok 1 - - - - - - - - + - - -
Kelompok 2 - - - + - + + - - - - -
Kelompok 3 - - - - + - + + - - - -
Kelompok 4 - - - - - + + + - - - -
Kelompok 5 - + + - + + - + + - - +
INTRAPERITONIAL
Kelompok 1 - - + + + + + + + + + -
Kelompok 2 - - + + + + + + + + + +
Kelompok 3 - + - + - + - + - - - -
Kelompok 4 - - - - + + + + + + - -
Kelompok 5 - - - - - + + + + + + +

TIKUS I (PER ORAL)


Ambang batas nyeri 1 : 2,0
2 : 7,4
3 : 7,0
Ʃ = 5,47 x 2 10,94

TIKUS II (INTRAMUSKULAR)
Ambang batas nyeri 1 : 6,9
2 : 4,5
3 : 3,2
Ʃ = 4,87 x 2 9,74
F. PEMBAHASAN
 Mekanisme kerja obat analgesic
Analgetik atau penghalang rasa nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Analgetik anti inflamasi di duga bekerja berdasarkan penghambatan sintesis
prostaglandin (mediator nyeri).
Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme fisiologis tubuh
terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer
dan sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin
tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati
reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan
transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
a. Analgetik perifer
Analgetik perifer memiliki khasiat sebagai anti piretik yaitu menurunkan
suhu badan pada saat demam. Khasiatnya berdasarkan rangsangan terhadap
pusat pengatur kalor di hipotalamus, mengakibatkan vasodilatasi perifer di kulit
dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya keringat.
Berdasarkan rumus kimianya analgesik perifer di golongkan terdri dari
golongan salisilat, golongan para-aminofenol, golongan pirazolon, dan
golongan antranilat. Contohnya Parasetamol, Asetosal, Antalgin.
b. Analgetik NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs)
Anti radang sama kuat dengan analgesik di gunakan sebagai anti nyeri atau
rematik contohnya asam mefenamat, ibuprofen.
c. Analgetik narkotik (analgetik central)
Analgetik narkotik bekerja di SSP, memiliki daya penghalang nyeri yang
hebat sekali yang bersifat depresan umum (mengurangi kesadaran) dan efek
sampingnya dapat menimbulkan rasa nyaman (euforia). Obat ini khusus di
gunakan untuk penghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker.
Contoh obatnya : Morfin, Codein, Heroin, Metadon, Nalorfin.
Yang termasuk analgetik narkotik antara lain :
 Agonis Opiat, yang dapat dibagi dalam :

- Alkaloida candu

- Zat-zat sintetis

Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin, hanya berlainan mengenai
potensi dan lama kerjanya, efek samping, dan risiko akan kebiasaan dengan
ketergantungan.

 Antagonis Opiat, bila digunakan sebagai analgetika, obat ini dapat


menduduki salah satu reseptor.
Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak
mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.
 Obat Antalgin dan Xylomidon
1. Antalgin a
a) Mekanisme kerja :
Aminopirin merupakan derivate pirazolon yang mempunyai efek sebagai
analgesik, antipiretik. Efek antipiretik diduga berdasarkan efek
mempengaruhi pusat pengatur suhu di hipotalamus dan menghabisi
biosintesa dari prostaglandin sedangkan efek analgesiknya mengurangi rasa
nyeri cukup kuat.
b) Efek Samping
Agranulosis, reaksi hipersensitifitas, reaksi pada kulit.
2. Xylomidon
Xylomidon adalah obat campuran dari antalgin 250mg.pyramidon 50
mg.lidocain 15mg.solvens ad 1ml. xylomidon termasuk dalam mitamizol yaitu
derivate sulfonat dari aminofenazol yang larut dalam air. Khasiat dan efek
sampingnya sama yaitu analgesik, antipiretik, dan anti radang. Obat ini sering
dikombinasi dengan obat lain yaitu dengan aminofenazol. Obat ini dapat secara
mendadak dan tak terduga menimbulkan kelainan darah yang bisa
menyebabkan akibat fatal. Oleh karena itu, sudah lama dilarang beredar.
Jalur pemberian obat :
Dalam pengelolaan penderita, ketepatan cara pemberian obat bisa menjadi
factor penentu keberhasilan suatu pengobatan, karena cepat lambatnya obat
sampai di tempat kerjanya (site of action) sangat tergantung pada cara
pemberian obat. Ada berbagai cara pemberian obat diantaranya dapat
memberikan secara peroral, intraperitoneal, intravena, subcutan, intramuscular.
Pada percobaan ini kita akan membedakan antara peroral dan intraperitoneal.
- Per Oral
Absorbs obat yang dilakukan secara oral dapat berlangsung didalam mulut,
lambung ataupun usus. Absorbsi dapat berlangsung di mulut melalui mukosa
mulut, jika obat diberikan secara sublingual(dibawah lidah) atau secara bukal
(antara mukosa pipi dan gusi). Cara ini dapat menguntungkan karena mencegah
perusakan obat oleh asam lambung. Di samping itu, obat dari lambung akan
dibawa ke hati melalui vena porta sehingga dapat dimetabolisme oleh hati. Hal
ini harus diperhitungkan agar jangan sampai salah hitung pada pemberian
dosis.jika dikehendaki bahan aktif obat tidak dirusak oleh asam lambung, maka
sediaan obat (tablet) dapat dibuat agar tidak mengalami desintegrasi atau pecah
didalam lambung tapi baru pecah didalam usus. Dengan cara melapisi bahan
obat dengan bahan yang tahan asam. Jika absorbsi terjadi di usus, obat dapat
mengalami metabolisme oleh hati pada saat pertama kali melintasi hati (first
pass metabolism). Sebagian besar obat diabsorbsi melalui jalur ini dan cara ini
paling banyak digunakan karena kenyamanannya. Tetapi, beberapa obat
(misalnya benzilpenisilin, insulin) dirusak oleh asam atau enzim dalam usus
dan harus diberikan secara parenteral.
- Intramuscular
Intramuskular yaitu injeksi ke dalam otot tubuh. Injeksi ini diabsorbsi lebih
cepat daripada injeksi subkutaneus karena suplai darah yang lebih besar ke otot
tubuh. Otot juga dapat menerima volume obat yang lebih besar tanpa
menimbulkan ketidaknyamanan dibandingkan jaringan subkutaneus, walaupun
bergantung pada ukuran otot dan kondisi serta lokasi yang digunakan.
Orang dewasa dengan perkembangan otot yang baik biasanya dapat
menoleransi dengan aman hingga 4 ml obat pada otot gluteus medius dan otot
gluteus maksimus. Volume sebanyak 1-2 ml biasanya dianjurkan untuk klien
dewasa yang ototnya kurang berkembang. Pada otot deltoid, dianjurkan volume
obat 0.5-7 ml.
Biasanya, spuit 2-5 ml dibutuhkan. Ukuran spuit yang digunakan
bergantung pada jumlah obat yang akan diberikan. Jarum intramuskular
kemasan standart memiliki panjang 1.5 inci.Beberapa faktor yang menentukan
ukuran dan panjang jarum yang akan digunakan adalah otot, tipe larutan obat,
jumlah jaringan adiposa yang menutup otot dan usia klien.
Pertimbangan utama dalam memberikan injeksi intramuskular adalah
memilih lokasi injeksi yang aman, jauh dari pembuluh darah besar, saraf dan
tulang. Beberapa lokasi tubuh untuk melakukan injeksi intramuskular adalah
Lokasi Ventrogluteal, Lokasi Vestus Lateralis, Lokasi Dorsogluteal, Lokasi
Deltoid. Kontraindikasi penggunaan lokasi tertentu antara lain cedera jaringan
dan adanya nodul, bengkak, abses, nyeri tekan atau keadaan patologis lainnya.

G. KESIMPULAN

H. DAFTAR PUSTAKA
http://www.psychologymania.com/2012/12/mekanisme-kerja-obat-analgetik.html
http://norhayani.blogspot.ca/2010/04/farmakologi-cara-pemberian-obat.html
http://wendijuwandi.blogspot.com/2012/09/analgetik.html Katzung, Bertram G.
Farmakologi Dasar & Klinik edisi 10. 2010 Neal, M.J. At a Glance Farmakologi Medis
edisi kelima 16

Anda mungkin juga menyukai