Abortus
1. Definisi Abortus
Abortus adalah keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas.
Dimana masa gestasi belum mencapai usia 20 minggu dan beratnya
kurang dari 500 gr (Mansjoer, 2010). Pengguguran kandungan atau aborsi
atau abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di
dunia luar, tanpa mempersoalkan penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup
di dunia luar bila berat badannya telah mencapai lebih daripada 500 gram
atau umur kehamilan lebih daripada 20 minggu. (Salmah, 2006). Istilah
abortus dipakai untuk menunjukkan pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Abortus ditentukan sebagai
pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau
kurang dari 20 minggu (Prawirohardjo S, 2009).
2. Etiologi/Faktor predisposisi
Menurut Prawirohardjo S (2009) penyebab abortus antara lain adalah :
a. Infeksi akut : virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis. Infeksi bakteri,
misalnya streptokokus. Parasit, misalnya malaria. Infeksi kronis :
Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
Tuberkulosis paru, aktif, pneumonia.
b. Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah,air raksa, dan lain-lain.
c. Penyakit kronis, misalnya : hipertensi, nephritis, diabetes, anemia berat
penyakit jantung : toxemia gravidarum.
d. Gangguan fisiologis, misalnya syok, ketakutan, dan lain-lain.
e. Trauma fisik. Penyebab yang bersifat lokal: Fibroid, inkompetensia
serviks. Radang pelvis kronis, endometrtis. Retroversi kronis.
Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, sehingga
menyebabkan hiperemia dan abortus.
f. Kelainan alat kandungan.
g. Penyebab dari segi Janin / Plasenta Kematian janin akibat kelainan
bawaan.
h. Kelainan kromosom.
i. Lingkungan diendometrium disekitar tempat implantasi kurang
sempurna sehingga penberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
terganggu.
j. Penyakit plasenta, misalnya inflamasi dan degenerasi.
3. Klasifikasi Abortus
Menurut Nugroho (2011), abortus dibagi menjadi :
a. Abortus Provokatus : Disengaja, digugurkan.
1) Abortus Provokatus artifisial atau abortus therapeutic : Pengguran
kehamilan biasanya menggunakan alat-alat dengan alasan, bahwa
kehamilan membahayakan bagi ibunya sebelum usia kandungan 28
minggu.
2) Abortus provocatus criminalis : Pengguran kehamilan tanpa adanya
alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.
b. Abortus Spontan : Terjadi dengan sendirinya, keguguran. Biasanya
abortus spontan dikarenakan kurang baiknya kualitas sel telur dan sel
sperma.
1) Abortus imminens : Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus
pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih
dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
2) Abortus insipiens : Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan
sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang
meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
3) Abortus inkomplet : Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal
dalam uterus.
4) Abortus kompletus : Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.
5) Missed Abortion : keadaan dimana janin yang telah mati masih
berada di dalam rahim sebelum berusia 20 minggu tetapi hasil
konsepsi masih tertahan dalam kandungan selama 6 minggu atau
lebih.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer (2010) tanda dan gejala abortus secara umum yaitu :
a. Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu
b. Pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran
menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal
atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
c. Perdarahan pervaginam kemungkinan disertai dengan keluarnya
jaringan hasil konsepsi.
d. Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri
pingang akibat kontraksi uterus.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Mansjoer (2010) pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
abortus yaitu :
a. Tes kehamilan positif jika janin masih hidup dan negatif bila janin
sudah mati
b. pemeriksaan Dopler atau USG untuk menentukan apakah janin masih
hidup
c. Pemeriksaan fibrinogen dalam darah pada missed abortion Data
laboratorium tes urine, hemoglobin dan hematokrit, menghitung
trombosit
d. kultur darah dan urine
e. Pemeriksaan Ginekologi:
1) Inspeksi vulva
a) Perdarahan pervaginam sedikit atau banyak
b) Adakah disertai bekuan darah
c) Adakah jaringan yang keluar utuh atau sebagian
d) Adakah tercium bau busuk dari vulva
2) Pemeriksaan dalam speculum
a) Apakah perdarahan berasal dari cavum uteri
b) Apakah ostium uteri masih tertutup / sudah terbuka
c) Apakah tampak jaringan keluar ostium
d) Adakah cairan/jaringan yang berbau busuk dari ostium.
3) Pemeriksaan dalam/ Colok vagina
a) Apakah portio masih terbuka atau sudah tertutup
b) Apakah teraba jaringan dalam cavum uteri
c) Apakah besar uterus sesuai, lebih besar atau lebih kecil dari
usia kehamilan
d) Adakah nyeri pada saat porsio digoyang
e) Adakah rasa nyeri pada perabaan adneksa
f) Adakah terasa tumor atau tidak
g) Apakah cavum douglasi menonjol, nyeri atau tidak
6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rukiyah (2010), penatalaksanaan pada abortus :
a. Abortus iminens
1) Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang
mekanik berkurang.
2) Periksa denyut nadi dan suhu badan 2 kali sehari bila pasien tidak
panas dan tiap 4 jam bila pasien panas.
3) Tes kehamilan dapat dilakukan, bila hasil negatif mungkin jaringan
sudah mati.
4) Tentang pemberian hormon progesteron pada abortus imminens
belum pada persesuaian faham. Sebagian besar ahli tidak
menyetujuinya, dan mereka yang menyetujui bahwa harus
ditentukan dahulu adanya kekurangan hormone progesteron.
Apabila difikirkan bahwa sebagian besar abortus didahului oleh
kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat disebabkan oleh
banyak factor, maka pemberian hormon progesteron memang tidak
banyak manfaatnya.
5) Pemeriksaan ultrasonografi penting di lakukan untuk menentukan
apakah masih janin hidup.
6) Berikan obat penenang, biasanya Fenobarbital 3 x 30 mg. Berikan
preprat hematinik misalnya, sulfas ferosus 600-1000 mg.
7) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C.
8) Membersihkan vulva minimal 2 kali sehari dengan cairan
antiseptik.
b. Abortus insipiens
1) Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan
tanpa pertolongan selama 36 jam dengan diberikan morfin.
2) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai
perdarahan, ditangani dengan penosongan uterus memakai kuret
vacum atau cunam abortus disusul kerokan memakai kuret tajam.
Suntikan ergometrin 0,5 mg IM.
3) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5%, 500ml dimulai 8 per menit dan naikan sesuai
kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
4) Bila janin sudah keluar, tapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
c. Abortus incomplit
1) Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus NaCl fisiologis
atau Ringer Laktat dan selekas mungkin ditransfusi darah.
2) Setelah syok diatasi, dikerok dengan kuret tajam lalu suntikkan
ergometrin 0,2 mg IM.
3) Bila janin sudah keluar, tapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
4) Berikan antibiotic.
d. Abortus komplit
1) Bila pasien baik, berikan ergometri 3 x 1 tablet selama 3-5 hari.
2) Pasien anemi, berikan sufas ferosus atau transfusi darah.
3) Berikan antibiotik.
4) Diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.
e. Abortus terapeutik
Menurut Sastrawinata (2005), abortus terapeutik dapat dilakukan
dengan cara:
1) Kimiawi : pemberian secara ekstrauterin atau intrauterin obat
abortus, seperti prostaglandin, antiprogesteron, atau oksitosin.
2) Mekanis :
- Pemasangan batang laminaria atau dilapan akan membuat
serviks terbuka secara perlahan dan tidak traumatis sebelum
kemudian dilakukan evakuasi dengan kuret tajam atau vakum.
- Dilatasi serviks dilanjutkan dengan evakuasi, dipakai dilator
Hegar dilanjutkan dengan kuretase.
- Histerektomi/histerotomi.
7. Komplikasi
Ada pun komplikasi medis yang dapat timbul pada ibu : (Prawirohardjo,
2009)
a. Perforasi
Dilatasi dan kerokan yang dilakukan menyebabkan kemungkinan
terjadinya perforasi dinding uterus, yang dapat menjurus ke rongga
peritoneum, ke ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Bahaya
perforasi ialah perdarahan dan peritonitis.
b. Luka pada serviks uteri
Apabila jaringan serviks keras dan dilatasi dipaksakan maka dapat
timbul sobekan pada serviks uteri yang perlu dijahit. Apabila terjadi
luka pada ostium uteri internum, maka akibat yang segera timbul ialah
perdarahan yang memerlukan pemasangan tampon pada serviks dan
vagina. Akibat jangka panjang ialah kemungkinan timbulnya
incompetent cerviks.
c. Pelekatan pada kavum uteri
Sisa-sisa hasil konsepsi harus dikeluarkan, tetapi jaringan miometrium
jangan sampai terkerok, karena hal itu dapat mengakibatkan terjadinya
perlekatan dinding kavum uteri di beberapa tempat. Sebaiknya
kerokan dihentikan pada suatu tempat apabila pada suatu tempat
tersebut dirasakan bahwa jaringan tidak begitu lembut lagi.
d. Perdarahan
Kerokan pada kehamilan yang sudah agak tua atau pada mola
hidatidosa terdapat bahaya perdarahan. Oleh sebab itu, jika perlu
hendaknya dilakukan transfusi darah dan sesudah itu, dimasukkan
tampon kasa ke dalam uterus dan vagina.
e. Infeksi
Apabila syarat asepsis dan antisepsis tidak diindahkan, maka bahaya
infeksi sangat besar. Infeksi kandungan yang terjadi dapat menyebar
ke seluruh peredaran darah, sehingga menyebabkan kematian. Bahaya
lain yang ditimbulkan abortus kriminalis antara lain infeksi pada
saluran telur. Akibatnya, sangat mungkin tidak bisa terjadi kehamilan
lagi.
2. Diagnosa Keperwatan
Menurut Herdman (2014), kemungkinan diagnosa yang muncul pada
pasien dengan abortus yaitu :
a. Ansietas berhubungan dengan kurang terpajannya informasi mengenai
abortus.
b. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan
pervaginam.
d. Risiko syok hipovolemik.
e. Risiko infeksi.
B. Anemia
1. Anemia dalam Kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik
dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit
penyulit yang dapat timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus),
kelahiran prematurs, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim di
dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca melahirkan karena
tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat
bersalin maupun pasca bersalin serta anemia yang berat (<4 gr%) dapat
menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat
menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalinan (Wiknjosastro,
2007).
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin
dibawah 11gr % pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5 gr % pada
trimester 2, nilai batas tersebut dan perbedaannya dengan kondisi wanita
tidak hamil, terjadi karena hemodilusi, terutama pada trimester 2
(Cunningham. F, 2005).
b Paritas
Menurt Herlina (2006), Ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai
resiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia di banding
dengan paritas rendah. Adanya kecenderungan bahwa semakin
banyak jumlah kelahiran (paritas), maka akan semakin tinggi angka
kejadian anemia.
e Jarak kehamilan
Menurut Ammirudin (2007) proporsi kematian terbanyak terjadi pada
ibu dengan prioritas 1 – 3 anak dan jika dilihat menurut jarak
kehamilan ternyata jarak kurang dari 2 tahun menunjukan proporsi
kematian maternal lebih banyak
f Pendidikan
Pada beberapa pengamatan menunjukkan bahwa kebanyakan anemia
yang di derita masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di
jumpai di daerah pedesaan dengan malnutrisi atau kekurangan gizi.
Kehamilan dan persalinan dengan jarak yang berdekatan, dan ibu
hamil dengan pendidikan dan tingkat social ekonomi rendah
(Manuaba, 2010). Menurut penelitian Amirrudin dkk (2007), faktor
yang mempengaruhi status anemia adalah tingkat pendidikan rendah.
3. Pengertian Anemia
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11 gr %
pada trimester I dan III atau kadar lebih kecil 10,5 gr % pada trimester II
(Cunningham,, 2005). Anemia pada kehamilan adalah anemia karena
kekurangan zat besi, menurut WHO kejadian anemia hamil berkisar
antara 20 % sampai dengan 89 % dengan menetapkan Hb 11 gr %
sebagai dasarnya. Hb 9 – 10 gr % disebut anemia ringan. Hb 7 – 8 gr %
disebut anemia sedang. Hb < 7 gr % disebut anemia berat (Manuaba,
2010).
5. Patofisiologi
Anemia adalah suatu kondisi yang mengakibatkan kekurangan zat besi
dan biasanya terjadi secara bertahap. (Zulhaida Lubis, 2003).
a. Stadium 1
b. Stadium 2
Cadangan zat besi yang berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan
membentuk sel darah merah yang memproduksi lebih sedikit.
c. Stadium 3
Mulai terjadi anemia kadar hemoglobin dan haemotokrit menurun.
d. Stadium 4
Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi
dengan mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah
merah baru yang sangat kecil (Mikrositik).
e. Stadium 5
Semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia maka timbul
gejala - gejala karena anemia semakin memburuk (Anonim, 2004).
Ibu hamil memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah
sel darah merah dan membentuk sel darah merah, janin dan plasenta.