Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anomali kongenital didefinisikan sebagai kelainan struktur atau fungsi

dan mencakup kelainan metabolik, yang terjadi sejak dalam kandungan dan

muncul saat lahir. Kelainan ini diakibatkan oleh defek pada proses

embriogenesis atau kelainan intrinsik pada proses perkembangannya. Sampai

saat ini, anomali kongenital masih menjadi penyebab morbiditas dan

mortalitas pada bayi dan anak-anak usia di bawah lima tahun. Kelainan ini

dapat mengancam nyawa, mengakibatkan disabilitas jangka panjang,

memberi dampak negatif pada penderitanya, keluarga, dan masyarakat.

Kelainan kongenital berhubungan dengan genetik, dan lingkungan luar.

Banyak bayi yang lahir dengan defek yang serius akibat terjadinya gangguan

post konsepsi karena terpapar oleh agen lingkungan yang bersifat teratogenik,

seperti alkohol, rubella, sifilis, dan defisiensi iodium yang bisa mengganggu

perkembangan janin. Bayi-bayi yang bertahan hidup akan hidup dengan

gangguan mental, fisik, pendengaran, maupun penglihatan seumur hidupnya

(Christianson, Howson dan Modell, 2006). Pada negara berkembang angka

kejadian bayi dengan kelainan kongenital lebih tinggi daripada negara maju.

Hal ini disebabkan oleh perbedaan yang sangat tajam antara kesehatan ibu

dan faktor risiko signifikan lainnya, termasuk kemiskinan, presentase ibu


2

dengan usia yang tua di beberapa negara, pernikahan dengan hubungan

keluarga, dan lain-lain (WHO, 2013).

World Health Organization(WHO)Pada tahun 2012 melaporkan bahwa

setiap hari lebih dari 7200 bayi lahir mati, sebagian besar diantaranya 98%

terjadi di negara-negara berpendapatan rendah hingga sedang. WHO juga

mencatat antara 25% dan 40% kasus angka lahir mati disebabkan karena

kelainan kongenital, infeksi, malnutrisi, hidrops non imun dan insoimunisasi

anti-D

Menurut WHO angka kematian bayi baru lahir dengan kelainan

kongenital di dunia yaitu sekitar 303.000 jiwa pada 4 minggu pertama setelah

lahir setiap tahunnya dan kelainan kongenital yang paling sering yaitu neural

tube defect dan down syndrome. Namun data jumlah kematian bayi baru lahir

yang disebabkan kelainan kongenital belum ada di Samarinda.

Sebanyak 40-60% kasus anomali kongenital multipel tidak diketahui

penyebabnya atau idiopatik. Sisanya, yakni anomali dengan etiologi yang

diketahui dibagi menjadi anomali primer dan sekunder. Anomali kongenital

primer muncul pada 30-40% kasus. Dari presentase ini, 6% diantaranya

merupakan kelainan kromosom, 25% mutasi gen tunggal, dan 20-30%

bersifat multifaktorial. Anomali kongenital sekunder dapat disebabkan oleh

teratogen seperti obat-obatan, produk kimia dan hormonal, radiasi, bahan

toksik, dan infeksi. Kelainan sekunder ditemukan pada 5-10% kasus

Kelainan kromosom merupakan salah satu etiologi anomali kongenital

multipel yang umum dijumpai baik secara tunggal ataupun bersama-sama


3

dengan faktor lingkungan. Anomali kongenital multipel yang disebabkan

murni oleh kelainan kromosom diklasifikasikan menjadi numerikal dan

struktural dan dapat melibatkan lebih dari satu kromosom. Aneuploidi

merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya salinan

kromosom yang berlebih, yang disebut trisomi, seperti pada sindrom Down,

atau adanya kromosom yang tunggal, disebut monosomi, seperti pada

sindrom Turner. Kelainan kromosom yang signifikan termasuk aneuploidi

seringkali ditemukan saat lahir. Aneuploidi seringkali dihubungkan dengan

usia ibu dan merupakan kelainan yang sering menyebabkan abortus spontan

Anomali kongenital multipel seringkali diasosiasikan dengan sindrom-

sindrom kromosomal, seperti sindrom Down, Klinefelter, Turener, dll.

Sindrom Down (trisomi 21) merupakan salah satu kelainan kromosomal yang

paling sering dijumpai, terutama pada anak retardasi mental. Sindrom ini

selain ditandai oleh adanya fenotip yang jelas dan hambatan intelegensi, juga

dikaitkan dengan anomaly kongenital multipel dengan kelainan berupa defek

septum ventricular, defek septum atrium, duktus arteriosus persisten,

Tetralogy of Fallot (TOF), hernia diafragmatika, dan defek tuba neuralis.

Trisomi lainnya, seperti sindrom Edwards (trisomi 18) dikaitkan dengan

hernia diafragmatika, ginjal ganda, ginjal tapal kuda (horseshoe kidney),

defeks septum ventricular, dan TOF sedangkan sindrom Patau (trisomi 13)

dihubungkan dengan celah bibir dan palatum, polidaktili, TOF, dan kelainan

jantung lainnya. Sindrom lainnya, seperti Wolf-Hirschhorn (delesi 4p16.3)


4

juga kadang disertai dengan celah bibir dan palatum.8 Selain itu pada

sindrom turner kelainan dalam bentuk monosomi klasik 45 (X).

Sampai saat ini masih banyak anomali kongenital multipel yang masih

belum diketahui penyebabnya. Karakteristik kelainan kromosom pada

anomali kongenital multipel yang bukan disebabkan oleh kelainan kromosom

murni belum sepenuhnya mampu diidentifikasi khususnya di Indonesia.

Identifikasi kelainan kromosom merupakan salah satu bagian diagnosis

prenatal, yakni dengan cara amniosentesis dan pemeriksaan sampel vilus

korionik, sehingga nantinya dapat memperkirakan jenis anomali kongenital

yang terjadi pada fetus. Adanya kelainan kromosom juga menentukan

rekurensi pada kehamilan selanjutnya. Sindrom Down misalnya dikaitkan

dengan bertambahnya usia ibu dan angka rekurensi sebesar 1%

Melihat ulasan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti pola kelainan

kromosom pada pasien By. Ny. A dengan anomali kongenital multipel di

ruang NICU RSUD Abdul Wahab Sjahranie sehingga nantinya diharapkan

dapat menjadi dasar dikembangkannya diagnosis prenatal dan meningkatkan

kualitas konseling genetika bagi para orang tua yang ingin mempunyai anak

dan pada orang tua dengan bayi dengan anomali kongenital pada kehamilan

sebelumnya.
5

B. Tujuan
1. Tujuan Umum

Mendeskripsikan pelaksanaan asuhan kebidanan pada Neonatus

dengan Anomali Kongenital Multiple dengan menggunakan pola pikir

ilmiah melalui pendekatan manajemen kebidanan menurut Varney.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan konsep dasar teori Neonatus dengan Anomali Kongenital

Multiple

b. Menjelaskan konsep dasar manajemen asuhan kebidanan pada I

Neonatus dengan Anomali Kongenital Multiple

c. Melaksanakan asuhan kebidanan pada Neonatus dengan Anomali

Kongenital Multiple dengan pendekatan Varney, yang terdiri dari:

1) Melakukan pengkajian

2) Menginterpretasikan data dasar

3) Mengidentifikasi diagnosis/ masalah potensial

4) Mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera

5) Mengembangkan rencana intervensi

6) Melakukan tindakan sesuai dengan rencana intervensi

7) Melakukan evaluasi atas tindakan yang telah dilakukan

d. Mendeskripsikan pelaksanaan asuhan kebidanan pada Neonatus

dengan Anomali Kongenital Multiple dalam bentuk catatan SOAP.


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A Teori Medis

1. Bayi Baru Lahir Normal


a. Pengertian

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir pada usia kehamilan
37 sampai 42 minggu dan berat badanya 2.500-4.000 gram (Dewi,
2010: 1).

Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan presentasi
belakang kepala melalui vagina tanpa memakai alat, pada usia kehamilan
genap 37 minggu sampai dengan 42 minggu, dengan berat badan 2500-
4.000 gram, nilai APGAR>7 dan tanpa cacat bawaan (Rukiyah, dkk,
2010).

b. Ciri-ciri bayi baru lahir normal

Menurut Marmi, Rahardjo (2012: 8) menyebutkan ciri-ciri bayi baru


lahir normal yaitu sebagai berikut:

1) Berat badan 2.500-4.000 gram.

2) Panjang badan 48-52 cm.

3) Lingkar dada 30-38 cm

4) Lingkar kepala 33-35 cm

5) Frekuensi denyut jantung 120-160 x/menit

6) Pernafasan 40-60 x/menit


7

7) Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan


yang cukup.

8) Rambut lanugo tidak terlihat dan rambut kepala biasanya


telah sempurna.

9) Kuku agak panjang dan lemas.

10) Genetalia

- Perempuan labia mayora sudah menutupi labia minora.


- Laki-laki testis sudah turun, skrotum sudah ada.
11) Reflek hisap dan menelan sudah berbentuk dengan baik
12) Refleks morro atau gerak memeluk bila dikagetkan sudah baik.
13) Refleks graps atau menggenggam sudah baik
14) Eliminasi baik, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama,
mekonium berwarna hitam kecoklatan.
c. Tahapan Bayi Baru Lahir

Menurut Dewi (2010: 3) ada beberapa tahapan bayi baru lahir yaitu:

1. Tahap I terjadi segera setelah lahir, selama menit-menit pertama


kelahiran. Pada tahap ini digunakan sistem scoring apgar untuk fisik
dan scoring gray untuk interaksi bayi dan ibu.
2. Tahap II disebut tahap transisional reaktivitas. Pada tahap ini
dilakukan pengkajian selama 24 jam pertama terhadap adanya
perubahan perilaku.
3. Tahap III disebut tahap periodik, pengkajian dilakukan setelah 24 jam
pertama yang meliputi pemeriksaan seluruh tubuh.

2. Kelainan Kongengital
a. Pengertian

Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertubuhan struktur


bayi yang timbul semenjak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
8

Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting terjadinya


abortus, lahir mati, atau kematian segera setelah lahir (Rukiyah, dkk,
2010: 190).

b. Etiologi

Menurut Prawirohardjo (2007: 724) beberapa faktor etiologi

yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital

antara lain:

1) Kelainan genetik dan kromosom

Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar


akan berpengaruh atas kejadian kelainan kongenital pada
anaknya. Diantara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti
hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang
bersangkutan sebagai unsur dominan atau kadang-kadang
sebagai unsur resesif.

2) Faktor mekanik

Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intra uterin


dapat menyebabkan kelainan bentuk organ tubuh hingga
menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi
dalam pertumbuhan organ itu sendiri akan mempermudah
terjadinya deformitas suatu organ.

3) Faktor Infeksi

Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital adalah


infeksi yang tejadi pada periode organogenesis yaitu dalam
trimester petama kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam
periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan suatu organ tubuh. Selain dapat menyebabkan
9

terjadinya kelainan kongenital juga dapat menyebabkan


terjadinya abortus.

4) Faktor Obat

Beberapa jenis obat dan jamu tertentu yang diminum oleh


wanita hamil pada trimester pertama kehamilan diduga sangat
erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada
bayinya. Salah satu obat yang telah diketahui dapat
menimbulkan kelainan kongenital adalah thalidomide yang
dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.

5) Faktor Umur Ibu

Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan


pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa
menopause. Angka kejadian yang ditemukan ialah 1:5500 untuk
kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1:600 untuk kelompok ibu
umur 35-39 tahun, 1:75 untuk kelompok ibu berumur 40-44
tahun dan 1:15 untuk kelompok ibu berumur 45 tahun atau lebih.

6) Faktor Hormonal

Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan


kejadian kelainan kongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu
hipoteroidisme atau penderita DM kemungkinan untuk
mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila
dibandingkan dengan bayi yang normal.

7) Faktor Radiasi

Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan


dapat menimbulkan kelainan kongenital pada janin. Adanya
riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua dikhawatirkan
akan dapat mengakibatkan mutasi pada gene yang mungkin
10

sekali dapat menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang


dilahirkan.

8) Faktor Gizi

Pada penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa


frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari ibu yang baik
gizinya.

c. Patofisiologi

Menurut Effendy (2008: 47) menyebutkan kelainan

kongenital diklasifikasikan sebagaiberikut:

1) Malforasi

Malforasi adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh


kegagalan atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses
embriogenesis. Perkembangan awal dari suatu jaringan atau
organ tersebut berhenti, melambat atau menyimpang sehingga
menyebabkan terjadinya suatu kelainan struktur yang menetap.

Malforasi digolongkan menjadi dua yaitu:

a) Malforasi Mayor

Malforasi mayor adalah suatu kelainan yang apabila


tidak dikoreksi akan menyebabkan gangguan fungsi tubuh
serta mengurangi angka harapan hidup.
11

b) Malforasi Minor

Malforasi minor adalah tidak akan menyebabkan


problem kesehatan yang serius dan mungkin hanya
berpengaruh pada segi kosmetik.

2) Deformasi

Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang


abnormal sehingga merubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian
dari tubuh yang semula berkembang normal. Tekanan ini dapat
disebabkan oleh keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor
ibu yang lain seperti primigravida, panggul sempit, abnormalitas
uterus seperti uterus bikornus, kehaimilan kembar.

3) Disrupsi

Defek struktur juga dapat disebabkan oleh destruksi pada


jaringan yang semula berkembang normal. Berbeda dengan
deformasi yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, pada
disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau
perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai
beberapa jaringan yangberbada. Angka kejadian ulang jarang,
kecuali bila terdapat malformasi pada uterus. Penyebab tersering
adalah robeknya selaput amnion pada kehaimalan muda
sehingga tali amnion dapat mengikat erat janin.

4) Displasia

Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan


konganital adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan
dengan kerusakan (kelainan stuktur) akibat fungsi organisasi sel
abnormal, mengenai satu macam jaringan diseluruh tubuh.
12

Sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. Displasia dapat


terus menerus menimbulkan perubahan kelainan seumur hidup.

d. Diagnosis

Menurut Prawirohardjo (2005: 728) diagnosis kelainan


kongenital dapat dilakukan beberapa tahap yaitu, tahap prenatal dan
tahap post natal.

Indikasi melakukan diagnosis prenatal umumnya dilakukan bila


ibu hamil mempunyai faktor resiko untuk melahirkan bayi dengan
kelainan kongenital. Faktor-faktor ini biasanya dihubungkan dengan
adanya riwayat adanya kelainan kongenital dalam keluarga, kelainan
kongenital anak yang dilahirkan sebelumnya, faktor umur ibu yang
mendekati masa menopouse. Pencarian kelainan kongenital ini
dilakukuan pada kehamilan muda, umumnya pada kehamilan 16
minggu. Dengan bantuan alat Ultrasonografi dapat dilakukan
tindakan Amniosentesis untuk mengambil contoh cairan amnion
yang selanjutnya dilakukan penelitian lebih lanjut.

3. Congenital Talipes Equinovarus (Ctev)

a. Pengertian
CTEV, bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu
kombinasi deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot
pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar, equinus pada
sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial terhadap lutut (1,6). Deviasi
pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan sebagian internal
tibial torsion (Salter, 1999).

Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus


(ankle), pes (foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat
seperti kuda, dan varus berarti inversidan adduksi (inverted and
adducted) (Noordin et al, 2002).
13

b. Etiologi
Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan
etiologi CTEV, yaitu (Nordin, 2002) :

1) Faktor mekanik in utero

Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan


oleh Hippocrates. Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi
equinovarus akibat adanya kompresi dari luar uterus. Namun
Parker pada 1824 dan Browne pada 1939 mengatakan bahwa
keadaan dimana berkurangnya cairan amnion, seperti
oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan rentan
terhadap kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan
memicu deformitas ini.

2) Defek neuromuskuler

Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus


adalah akibat dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada
beberapa studi yang menemukan gambaran histologis normal.
Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis pada otot, fascia,
ligament dan tendon sheath pada clubfoot, hal ini diperkirakan
mengakibatkan kelainan pada tulang (Maranho et al, 2011).
Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya
TGF-beta dan PDGF pada pemeriksaan histopatologis, keadaan
ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten (Herring, 2014).

3) Primary germ plasma defect

Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki


equinovarus dan 14 kaki normal, mereka menemukan neck talus
selalu pendek dengan rotasi ke medial dan plantar. Mereka
berpendapat hal ini karena adanya defek pada primary germ
plasma.
14

4) Arrested fetal development

 Intrauterina

Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa


adanya gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio
adalah penyebab clubfoot kongenital.

 Pengaruh lingkungan

Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide)


serta asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV,
dimana terjadi temporary growth arrest pada janin (Meena et
al, 2014)

c. Klasifikasi
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat
kategori berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk
mereduksi deformitas (Nordin et al, 2002):

1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi
dengan standard casting atau fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari
50% kasus dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8
tidak didapatkan koreksi maka tindakan operatif
harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50%
kasus terkoreksi dan setelah casting dan fisioterapi,
kategori ini akan dilakukan tindakan operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral
dan memerlukan tindakan koreksi secara operatif.

d. Diagnosis
Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya
paling cepat pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat
15

kelahiran bayi yang ditandai dengan adanya heel equinus dan


inverted foot terhadap tibia. True clubfoot harus dibedakan dengan
postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat sepenuhnya dikoreksi
secara pasif (Hoosseinzaideh, 2014).

Postural clubfoot terjadi karena posisi janin saat di dalam uterus.


Pada kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan, skin
creases yang dalam atrofi dan rigiditas ekstremitas (Herring, 2014).

e. Penatalaksanaan

Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non


operatif merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV.
Mereka pun setuju semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik
hasilnya, sehingga mencegah terapi operatif lanjutan (Herring,
2014).

5. Palatoskizis

a. Definisi
Labio/palatoskisis merupakan kongenital anomali yang
berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Palatoskisis
adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12
minggu (Syaifuddin, 2006).

b. Klasifikasi
Beberapa jenis bibir sumbing :
1) Unilateral Incomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir
dan tidak memanjang hingga ke hidung
2) Unilateral Complete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir dan
memanjang hingga ke hidung.
16

3) Bilateral Complete

Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan


memanjang hingga ke hidung.

c. Penyebab
a) Faktor Herediter
1. Sebagai faktor yang sudah dipastikan.
2. Gilarsi, 75% dari faktor keturunan resesif dan 25% bersifat
dominan.
3. Mutasi gen
4. Kelainan kromosom
b) Faktor Eksternal

1. Faktor usia ibu


2. Obat-obatan. Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985)
Rifampisin, Fenasetin, Sulfonamid, Aminoglikosid,
Indometasin, Asam Flufetamat, Ibuprofen, Penisilamin,
Antineoplastik, Kortikosteroid
3. Nutrisi
4. Penyakit infeksi Sifilis, virus rubella
1) Radiasi
2) Stres emosional
3) Trauma pada trimester pertama.

d. Patofisiologis
Patofisiologinya antara lain:
1) Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau
tulang selama fase embrio pada trimester I.
2) Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal
medial dan maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8
minggu.
17

3) Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang


disebabkan oleh kegagalan penyatuan susunan palato pada masa
kehamilan 7-12 minggu.
4) penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu
masa kehamilan

e. Tanda dam Gejala


1) Deformitas pada bibir
2) Kesukaran dalam menghisap/makan
3) Kelainan susunan archumdentis.
4) Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
5) Gangguan komunikasi verbal
6) Regurgitasi makanan.
 Pada Labioskisis
1) Distorsi pada hidung
2) Tampak sebagian atau keduanya
3) Adanya celah pada bibir
 Pada Palatoskisis
1) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan
faramen incisive.
2) Ada rongga pada hidung
3) Distorsi hidung
4) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksadn
jari
5) Kesukaran dalam menghisap/makan.

f. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap)
2) Pemeriksaan Diagnosis
1) Foto Rontgen
2)Pemeriksaan fisik
18

3) MRI untuk evaluasi abnormal

g. Komplikasi
1) Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori.
Dengan adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi
pelebaran sehingga suara yang keluar menjadi sengau.
2) Maloklusi – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan
tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi
celah dan didaerah celah sering terjadi erupsi.
3) Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan
adanya celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu
akibtnya dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.

h. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bibir sumbing adalah tindakan
bedah efektif yang melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk
penanganan selanjutnya. Adanya kemajuan teknik bedah,
orbodantis, dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir tindakan
koreksi kosmetik dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung
dari berat ringan yang ada, maka tindakan bedah maupun ortidentik
dilakukan secara bertahap.
Biasanya penutupan celah bibir melalui
pembedahan dilakukan bila bayi tersebut telah berumur 1-2 bulan.
Setelah memperlihatkan penambahan berat badan yang
memuaskan dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau
sistemis.
Perbedaan asal ini dapat diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun.
Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada hidung hendaknya
ditunda hingga mencapi usia pubertas.
Karena celah-celah pada langit-langit mempunyai
ukuran, bentuk danderajat cerat yang cukup besar, maka pada saat
19

pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi masing-masing


penderita.
Waktu optimal untuk melakukan pembedahan
langit-langit bervariasi yaitu dari 6 bulan – 5 tahun. Jika perbaikan
pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon
bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila
sehingga kontraksi otot-otot faring dan velfaring dapat
menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan dengan balon tadi
untuk menghasilkan penutup nasoporing. Operasi dilakukan
dengan beberapa tahap, sebagai berikut :
Penjelasan kepada orangtuanya
1) Umur 3 bulan (rule over ten) : Operasi bibir dan hidung
evaluasi telinga.
2) Umur 10-12 bulan : Operasi palato/celah langit-
langit, evaluasi pendengaran dan telinga.
3) Umur 1-4 tahun : Evaluasi bicara, speech
theraphist setelah 3 bulan pasca operasi.
4) Umur 4 tahun : Dipertimbangkan repalatoraphy
atau/dan Pharyngoplasty.
5) Umur 6 tahun : Evaluasi gigi dan rahang, evaluasi
pendengaran.
6) Umur 9-10 tahun : Alveolar bone graft
(penambahan tulang pada celah gusi)
7) Umur 12-13 tahun : Final touch, perbaikan-
perbaikan bila diperlukan.
8) Umur 17 tahun : Evaluasi tulang-tulang
muka.
20

5. Pneumonia

a. Definisi
Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang.
Kantung-kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi berkurang.
Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bekerja. Inilah penyebab
penderita pneumonia dapat meninggal, selain dari penyebaran infeksi ke
seluruh tubuh. (Misnadiarly, 2008).
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai jaringan parenkim paru.
Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). (Said M,
2015) Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial. (CallistaniaC dan Indrawati W, 2014)

b. Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada


perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum
etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum
mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan
anak yang lebih besar. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptoccus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus. Secara
klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia
virus. Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium,
biasanya tidak dapat menentukan etiologi. (Said M, 2015)

c. Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian
perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi
jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke
jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,
yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan
21

ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi


merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium
ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag
meninkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman
dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal. (Said
M, 2015)

d. Gejala
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar
antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya
sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat
komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Gambaran klinis
pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut : (Said M, 2015)
1) Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan keluhan gastrointestinal seperti mual,
muntah atau Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas,
retraksi dada, takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih,
dan sianosis. (Said M, 2015)
2) diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. (Said
M, 2015)
22

e. Diagnosis

Diagnosis pneumonia berat untuk kelompok umur kurang 2 bulan


ditandai dengan adanya napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak
60 kali per menit atau lebih, atau adanya penarikan yang kuat pada dinding
dada sebelah bawah kedalam. Rujukan penderita pnemonia berat
dilakukan dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas yang disertai
adanya gejala tidak sadar dan tidak dapat minum. Diagnosisnya adalah
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis atau
penyakit non-pnemonia lainnya jika klasifikasinya bukan pneumonia
(DEPKES, 2012).

f. Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis,
perikarditis purulenta, pneumothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti
meningitis purulenta.
Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri. Ilten F dkk, melaporkan mengenai komplikasi
miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase
meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri pneumonia
anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan
yang fatal, maka di anjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik
noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemerikasaan enzim. (Said
M, 2015)

Anda mungkin juga menyukai