Anda di halaman 1dari 2

MOTIVATION LETTER

Nama saya Nur Anisa, biasa di panggil Anisa, simple, jelas, dan tidak berbelit-belit.
Saya berasal dari keluarga yang jumlah anggotanya bisa dibilang diatas rata-rata. Bagaimana
tidak, saya merupakan anak kedelapan dari sepuluh orang bersaudara. Jika program Keluarga
Berencana Indonesia alias KB mencanangkan semboyan dua anak lebih baik, maka tentu saja
keluaraga saya sudah menyalahi semboyan tersebut. Mempunyai anak yang melebihi
kapasitas tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua saya. Ayah saya hanya
bekerja sebagai buruh kasar tukang angkat kayu bangunan dengan penghasilan yang bisa
dikatakan kurang mencukupi. Ibu saya bekerja sebagai petani disawah pinjaman dari
keluarga lain itu pun luasnya tidak seberapa. Melihat kondisi ekonomi keluarga yang begitu
sulit, sebenarnya saudara-saudara saya telah berupaya untuk membantu, namun tetap saja
dengan harga kebutuhan hidup yang semakin melejit dan gaji mereka yang tak seberapa,
kebutuhan keluarga tetap tidak tertutupi.

Saya tinggal disebuah desa terpencil di Pasaman, Sumatera Barat, bahkan jika saya
sebutkan sekalipun belum tentu orang-orang akan menegetahui dimana lokasinya. Bahkan
sempat ada yang bilang bahwa desa tersebut tidak termasuk bagian Indonesia karena tidak
keluar di halaman website. Karena semua orang terlalu fokus pada Pulau Papua yang terisolir
sehingga lupa bahwa di Sumatera Barat masih ada wilayah yang terisolir seperti desa saya
ketika saya masa sekolah dahulu. Saya masih ingat ketika saya sekolah sampai SMP pada
masa itu, jika saya ingin belajar, saya hanya menggunakan satu buah lampu cimporong untuk
bersama,satu keluarga, tidak ada PLN, dan yang lebih parahnya lagi saya harus berjalan
sejauh kurang lebih 5km menapaki jalan berbatu untuk sampai ke sekolah pada waktu itu.
Hingga sekarang pembangunannya sudah lumayan maju, PLN juga sudah masuk, tapi
sepertinya keadaan dirumah saya tidak terlalu jauh mengalami kemajuan. Kami mempunyai
meteran listrik tapi tidak ada TV, kulkas, apalagi mesin cuci.

Melihat situasi yang sedemikian rupa, menjadi seorang dokter atau kuliah
dikedokteran sepertinya hanya akan menjadi khayalan belaka. Orang-orang pasti bilang
“kuliah saja syukur, ini mau kedokteran, mimpi kali” ya, tidak hanya tetangga tapi juga orang
tua saya mengatakan hal yang sama.

Sebenarnya saya sudah mempunyai cita- cita menjadi dokter sejak saya SD. Tapi
saya tidak pernah memberitahukan hal tesebut pada orang lain. Saya bersekolah di SDN 11
Pasar Cubadak, sudah tidak menjadi rahasia umum bahwa tenaga pengajar disekolah saya
semuanya honoran dan tentunya pengetahuan yang saya dapatkan juga jauh tertinggal dari
teman-teman lain yang bersekolah di pusat-pusat kota, selanjutnya saya melanjutkan ke
SMPN 2dua Koto, keadaannyapun tidak jauh berbeda. Namun dengan tekat yang kuat, di
dukung prestasi yang baik dimana saya selalu menjadi juara umum sejak kelas 1 SD sampai
SMP saya lulus di kelas unggul SMAN 1 Lubuk Sikaping dengan biaya asrana, makan dan
lainnya ditanggung pemerintah selama lima semester.
Salah satu hal yang paling menarik dalam hidup saya menurut saya adalah meskipun
sebelumnya saya belum pernah belajar Bahasa Inggris, namun sejak SMP saya sudah
lumayan good dalam berbahasa Inggris. Namun, hal ini tidak menjadi sesuatu yang dapat
mendukung saya untuk menggapai cita-cita saya. Justru orang tua saya menyarankan agar
saya kuliah jurusan Sastra Inggris saja. Pada tahun 2017 ,saya mengikuti keinginan orang tua
saya karena saya yakin ridhonya Allah adalah ridhhonya ibu, maka saya coba untuk berpaling
dari kedokteran dan saya kuliah di UNAND dengan jurusan yang lain. Jika ditanya seperti
apa sakitnya, maka saya merasa seperti ‘it is better if i gonna die than i should go far a way
from my dreams’. Akhirnya setelah dua semester kuliah saya mencoba mengikuti tes
SBMPTN sekali lagi. Dan akhirnya mimpi terbesar saya telah terwujud. Tapi pada saat itu
juga ujian terbesar dalam hidup saya muncul.

Saya ingin menjadi dokter karena menurut saya dokter merupakan suatu profesi yang
mulia, bagaimana tidak, tugas seorang dokter adalah tugas yang tidak akan mampu
dilaksanakan oleh orang lain. Seorang dokter bersedia mengobati orang lain dengan berbagai
macam penyakit tanpa pandang bulu. Pekerjaan seorang dokter tidak seputih seragam yang
dikenakannya. Seorang dokter juga rela mengorbankan waktunya demi pengabdian kepada
masyarakatnyanya. Hal lain yang membuat saya begitu tertarik untuk menjadi seorang
dokter adalah karena saya ingin mengganti mindset masyarakat, khususnya masyarakat
pedesaan bahwa anak –anak dari desa, anak buruh, anak petani juga bisa jadi dokter.

Perencanaan saya kedepannya adalah saya akan belajar sungguh-sungguh dan


mencari beasiswa sebanyak- banyaknya agar saya dapat melanjutkan kuliah di kedokteran
dengan lancar. Karena sebelumnya ketika saya masih kuliah di fakultas lain saya merupakan
seorang penerima santunan bidikmisi, tapi karena saya ‘ngulang’ bidiksmisinya pun ikut
‘ngilang’. Dan meskipun saya ceritakan semuanya namun saya takut orang lai tidak akan
percaya bahwa satu bulan setelah kelulusan di fakultas kedokteran ini merupakan masa-masa
tersulit dalam hidup saya. Karena saya harus melepaskan beasiswa bidikmisi yang semula
merupakan tumpuan hidup saya. Disamping saya harus membayar UKT saya juga harus
membeli buku-buku. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan buktikan kepada
siapapun bahwa saya mampu. Dan kelak jika saya benar-benar menjadi seorang dokter saya
ingin mengabdikan hidup saya pada semua orang yang ingin mencapai cita-citanya. Saya
tidak ingin apa yang saya rasakan terjadi pada orang lain. Dan saya akan buktikan bahwa
uang bukanlah batasan agar setiap orang menjadi seperti yang ia inginkan.

Anda mungkin juga menyukai