Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan
dengan semakin meningkatnya usia.
Salah satu golongan reumatik yang menimbulkan gangguan
muskuloskeletal adalah Arthtritis Rheumatoid dapat mengakibatkan
perubahan otot hinggah fungsinya dapat menurun bila otot pada bagian yang
menderita tidak dilatih guna mengaktifkan fungsi otot. Dengan bertambahnya
usia fungsi otot dapat dilatih dengan baik namun tidak semua usia lanjut
mengalami atau menderita reumatik. Reumatik bukan merupakan suatu
penyakit namun merupakan suatu sindrom.
Dari berbagai masalah kesehatan itu ternyata gangguan
muskuloskeletal menempati urutan kedua 14,5% setelah penyakit
kardiovaskuler dalam pola penyakit masyarakat usia >55 tahun (Household
Survey on Healt, 1996) dan berdasarkan WHO di Jawa ditemukan bahwa
Rheumatoid Arthritis menempati urutan pertama (49%) dari pola penyakit
lansia (Boedhi Darmojoet.al,1991).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah dalam
makalah ini adalah bagaimana konsep medis dan konsep keperawatan pada
pasien dengan Reumhatoid Arthtritis

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penuliasan makalah ini adalah untuk mengetahui
konsep medis dan konsep keperawatan pada pasien dengan Reumatoid
Arthtritis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi Artritis Reumatoid
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan penyakit inflamasi non-
bakterial yang bersifat sistemik, progresif, cenderung kronik dan mengenai
sendi serta jaringan ikat sendi secara simetris (Chairuddin,2003). Penyakit ini
merupakan peradangan sistemik yang paling umum ditandai dengan
keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan
kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung
kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).

2. Epidemiologi Artritis Reumatoid


Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh
dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18,
insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan
diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli
Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan
memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini
merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda halnya, dengan studi pada
populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih rendah sekitar
0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang
lebih sama yaitu sekitar 0,75% (Suarjana, 2009).

Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi


kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu
dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi yang serius,
merupakan RA . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering
dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa.

2
Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000
pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa (Schneider, 2013).
Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika menunjukkan predominansi
angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1
(Longo, 2012).

Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik


didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah
mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di
daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada
penduduk berusai diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5%
didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah kabupaten. Di poliklinik reumatologi
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru RA merupakan 4,1% dari
seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode januari s/d juni 2007
didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak
12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi
pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan
pada dekade keempat dan kelima (Suarjana, 2009).

Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia,


pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak
kejadian RA terjadi pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli
dari universitas Alabama, AS, wanita yang memderita RA mempunyai
kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal dibanding yang tidak
menderita penyakit tersebut (Afriyanti, 2011).

Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung didapatkan


bahwa penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun
2011. Pada presurvey ini dilakukan pengamatan data sejak tahun 2007
sampai dengan 2012. RA muncul pada tahun 2011 menempati urutan
kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671 kasus (5,24%) dan naik
ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan 50.671 kasus (7,85%) (Dinkes,
2011)
3
3. Etiologi Artritis Reumatoid
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)
a. Genetik
Berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

b. Hormon Sex
Perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan
stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2)
dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih
dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang
berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

c. Faktor Infeksi
Beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host)
dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya
penyakit RA (Suarjana, 2009).

d. Heat Shock Protein (HSP)


Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres.
Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga
terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan
terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan
reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

e. Faktor Lingkungan
Salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012)

4
4. Patofisiologi Artitis Reumatoid
RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.
Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi
dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah
perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi
neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi
oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat
terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang
Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor
pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi
sistemik (Surjana, 2009).

Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema,


kongesti vaskular, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau
penutup yang menutupi kartilago. Pannus masuk ke tulang sub chondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuer. Kartilago menjadi nekrosis.

Tingkat erosi dari kartilago menentukan tingkat ketidakmampuan sendi.


Bila kerusakan kartilago sangat luas maka terjadi adhesi diantara permukaan
sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang bersatu (ankilosis). Kerusakan
kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan ligamen jadi lemah dan bisa
menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari persendian. Invasi dari tulang
sub chondrial bisa menyebkan osteoporosis setempat.

Lamanya arthritis rhematoid berbeda dari tiap orang. Ditandai dengan


masa adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang
yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi.
Yang lain. terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan
rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif.

5
5. Pathway

Reaksi factor R dengan antibody,


Reaksi
factor metabolic, infeksi dengan Nyeri
peradangan
kecenderungan virus.

Synovial menebal Pannus

Nodul Infiltrasi dalam Os.


Subcondria
Deformitas Sendi

Hambatan nutrisi
Kartilago Nekrosisi
Gangguan Boddy pada kartilago
Image artikularis

Erosi Kartilago
Kerusakan kartilago
dan tulang
Adhesi pada
permukaan sendi
Tendon dan ligament
melemah
Ankilosis fibrosa
Hilangnya kekuatan
Resiko Cidera
otot

Keterbatasan gerakan Kekuatan Sendi


sendi

Hambatan mobilitas fisik


Deficit perawatan diri

6
6. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling
sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki
dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang
yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi
(Syamsuhidajat, 2010).
Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada 3 stadium pada RA yaitu :
1. Stadium Sinovitis (Stadium 1)
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi
pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat
umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini
menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan
kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir
selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan
metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).
2. Stadium Destruksi (Stadium 2)
Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan
sinovial (Nasution, 2011).
3. Stadium Deformitas (Stadium 3)
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,
deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution,
2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi


artikular dan manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009). Manfestasi artikular
RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo
yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops
ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi berupa nyeri,
bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada awal atau
selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak
dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu
dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini
mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset
terjadinya (Longo, 2012). Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup

7
bervariasi. Tidak semua sendi proporsinya sama, beberapa sendi lebih
dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya sendi sendi kecil pada tangan
(Suarjana, 2009).

Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA


(Syamsyuhidajat, 2010). Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir
seluruh bagian tubuh. Manifestasi ekstraartikular pada RA, meliputi (Longo,
2012):

a.) Konstitusional, terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam >38,3oc , kelelahan
(fatigue), malaise, depresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang
secara umum merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului
terjadinya gelaja awal pada kerusakan sendi (Longo, 2012).

b.) Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level
tertinggi aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak
lembut, dan dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa
terdapat di paru-paru, pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya
benign (jinak), dan diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren
(Longo, 2012).

c.) Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti


dengan penyakit paru interstitial (Longo, 2012).

d.) Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung
yang disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis,
penyakti arteri koreoner atau disfungsi diastol (Longo, 2012).

e.) Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan
penyakit RA yang sudah kronis (Longo, 2012).

f.) Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated


trombocytopenia dan keadaan dengan trias berupa neutropenia,
splenomegaly,dan nodular RA sering disebut dengan felty syndrome.
Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap akhir (Longo, 2012).

g.) Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell
lymphoma sercara luas (Longo, 2012).

8
7. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis RA dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang
harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik
antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang
merawatnya
1. Pendidikan pada pasien mengenai penyakitnya dan penatalaksanaan
yang akan dilakukan sehinggah terjalin hubungan baik dan ketaatan
pasien.
2. OAINS diberikan sejak dini untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan :
a. Aspirin, pasien dibawah 50 tahun dapat mulai dengan dosis 3-4 x
1g/hari, kemudian dinaikkan 0,3-0,6g/minggu sampai terjadi perbaikan
atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30mg/dl.
b. Ibuprofen, naproksen, piroksikam, diklofenak, dan sebagainya.
3. DMARD (disease-modifying antirheumatic drugs) digunakan untuk
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat artritis
reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian.
Setelah 2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid
akan berkurang. Jenis-jenis yang digunakan adalah :
a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau,
namun efektifitasnya lebih rendah dibandingkan dengan yang lain.
Dosis anjuran klorokuin fosfat 250mg/hari, hidrosiklorokuin 400
mg/hari.
b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam
dosis 1x500mg/hari, ditingkatkan 500mg/minggu, sampai mencapai
dosis 4x500mg/hari. Setelah remisi tercapai, dosis dapat diturunkan
hinggah 1g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai
remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya,
obat ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi.
c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat.
Digunakan dalam dosis 250-300 mg/hari, kemudian dosis total 4x 250-
300 mg/hari.

9
d. Garam emas, adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak
diragukan lagi meski sering menimbulkan efek samping. Auro sodium
tiomalat (AST) diberikan intramuskular, dimulai dengan dosis
percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian dosis kedua
20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu
selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar
50 mg tiap 2 minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan
dosis 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi tercapai.
e. Obat imunosupresif atau imunoregulator, metotreksat sangat mudah
digunakan dan waktu mulai kerjanya relatif pendek. Dosis dimulai 5-7,5
mg setiap minggu. Bila dalam 4 bulan tidak menunjukkan perbaikan,
dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20 mg/minggu.
Penggunaan siklosporin untuk artritis reumatoid masih dalam
penelitian.
f. Kortikosteroid hanya dipakai untuk pengobatan artritis reumatoid
dengan komplikasi berat dan mengancam jiwa, seperti vaskulitis,
karena obat ini memiliki efek samping yang sangat berat. Dalam dosis
rendah (seperti prednison 5-7,5 mg/hari) sangat bermanfaat sebagai
bridging therapy dalam mengatasi sinovitis sebelum DMARD mulai
bekerja, yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dapat diberikan
suntikan kortokosteroid intraartikuler jika terdapat peradangan yang
berat. Sebelumnya, infeksi harus disingkirkan terlebih dahulu.
4. Rehabilitasi
Merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat kemampuan pasien RA
dengan tujuan :
a. Mengurangi rasa nyeri
b. Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi
c. Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot
d. Mencegah terjadinya deformitas
e. Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri
f. Mempertahankan kemandirian sehinggah tidak bergantung kepada
orang lain

10
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Aktivitas/Istirahat
- Gejala : Nyeri sendi karena gerakan, nyeri tekan, memburuk
dengan adanya stres pada sendi, kekuatan pada pagi hari, biasanya
terjadi bilateral dan simetris. Limitasi fungsional yang berpengaruh
pada gaya hidup, waktu senggang, pekerjaan, dan keletihan.
- Tanda : Malaise, keterbatasan rentang gerak, otrofi otot, kulit,
kontraktor/kelainan pada sendi.
b. Kardiovaskuler
- Gejala : Fenomena Raynaud jari tengah/kaki (pucat intermitten,
sianosis, kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali
normal).
c. Integritas Ego
- Gejala : Faktor-faktor stres akut/kronis, misalnya finansial,
pekerjaan, ketidakmampuan, faktor hubungan. Keputusan dan
ketidakberdayaan (situasi ketidakmampuan). Ancaman pada konsep
diri, citra tubuh, identitas pribadi (misalnya, ketergantungan pada orang
lain).
d. Makanan/Cairan
- Gejala : ketidakmampuan untuk menghasilkan/mengkonsumsi
makanan/cairan adekuat : mual, kesulitan untuk mengunyah.
- Tanda : penurunan berat badan, kekeringan pada membrane
mukosa
e. Hygiene
- Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktifitas
perawatan pribadi/ketergantungan
f. Neurosensori
- Gejala : kebas, kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya
sensasi pada jari tangan.
- Tanda : pembengkakan sendi simetris
g. Interaksi sosial
- Gejala : kerusakan interaksi sosial dengan keluarga / orang lain.
Perubahan peran, isolasi sosial.
11
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi dan palpasi persendian untuk masing-masing sisi (bilateral),
amati warna kulit, ukuran, lembut tidaknya kulit, dan pembengkakan.

b. Lakukan pengukuran passive range of mation pada sendi-sendi synovial


 Catat bila ada deviasi (keterbatasan gerak sendi)
 Catat bila ada krepitasi
 Catat bila ada nyeri saat sendi digerakkan
c. Lakukan inspeksi dan palpasi pada otot-otot skelet secara bilateral
 Catat bila ada atrofi, tonus yang berkurang
 Ukur kekuatan otot
d. Kaji tingkat nyeri, derajat, dan awal mulanya
e. Kaji aktivitas / kegiatan sehari-hari

3. Pemeriksaan Penunjang
1. Faktor reumatoid, fiksasi lateks, reaksi-reaksi aglutinasi
2. Laju Endap Darah, umumnya meningkat pesat (80-100mm/h)
3. Protein C-reaktif, positif pada masa eksaserbasi
4. Sel Darah Putih, meningkat pada waktu timbul proses inflamasi
5. Haemoglobin, umumnya menunjukan anemia sedang
6. Ig (Ig M dan Ig G), peningkatan besar menunjukkan proses autoimun
sebagai penyebab AR
7. Sinar X dari sendi yang sakit, menunjukkan pembengkakan pada jaringan
lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan
(perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil
jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara
bersamaan.
8. Scan radionuklida, identifikasi peradangan sinovium
9. Artroskopi Langsung, Aspirasi cairan sinovial
10. Biopsi membran sinovial, menunjukkan perubahan inflamasi dan
perkembangan panas

12
4. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan citra tubuh b/d perubahan penampilan tubuh, sendi, bengkok,
deformitas
b. Nyeri akut b/d perubahan patologis oleh artritis reumatoid
c. Resiko cidera b/d hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri
d. Hambatan mobilitas fisik b/d kekakuan sendi
e. Defisiensi perawatan diri b/d penurunan kekuatan sendi

5. Intervensi Dan Implementasi Keperawatan


1. Gangguan citra tubuh b/d perubahan penampilan tubuh, sendi, bengkok,
deformitas
Tujuan : klien memahami perubahan-perubahan tubuhnya akibat proses
penyakit
Intervensi :
 Dorong klien untuk mengungkapkan rasa takut dan cemasnya
mengahdapi proses penyakit. Kondisi ini dapat membantu untuk
menyadari keadaan diri.
 Berikan support yang sesuai. Hal ini dapat membantu meningkatkan
upaya menerima dirinya.
 Dorong klien untuk mandiri. Kemandirian membantu meningkatkan
harga diri.
 Memodifikasi lingkungan sesuai dengan kondisi klien

2. Nyeri akut b/d perubahan patologis oleh artritis reumatoid


Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman klien terpenuhi atau klien terhindar dari rasa
nyeri
Intervensi :
 Istirahatkan klien sesuai kondisi (bed rest). Hal ini dapat membantu
menurunkan stress muskuloskeletal, mengurangi tegangan otot, dan
meningkatkan relaksasi karena kelelahan dapat mendorong terjadinya
nyeri.
 Pertahankan posisi fisiologis dengan benar atai body alignment yang
baik. Bantu dan ajari klien untuk menghindari gerakan eksternal rotasi

13
pada ekstremitas. Hindarkan menggunakan bantal dibawah lutut, tetapi
letakkan bantal diatara lutut, hindari fleksi leher.
 Bila direncanakan klien dapat menggunakan splint, atau brace. Hal ini
dapat mencegah deformitas lebih lanjut.
 Hindari gerakan yang cepat dan tiba-tiba karena dapat menimbulkan
dislokasi dan stres pada sendi-sendi
 Lakukan perawatan dengan hati-hati khususnya pada anggota-anggota
tubuh yang sakit. Karena gerakan-gerakan yang kasar akan semakin
menimbulkan nyeri
 Gunakan terapi panas misal kompres hangat pada area/bagian tubuh
yang sakit. Panas dapat meningkatkan sirkulasi, relaksai otot-otot,
mengurangi kekakuan. Kemungkinan juga dapat membvantu
pengeluaran endorfin yaitu sejenis morfin yang diproduksi oleh tubuh.
 Lakukan peawatan kulit dan masase perlahan. Hal ini membantu
meningkatkan aliran darah relaksasi otot, dan menghambat impuls-
impuls nyeri serta merangsang pengeluaran endorfin.
 Memberikan obata-obatab sesuai terapi dokter misal, analgetik,
antipiretik, anti inflamasi.

3. Resiko cidera b/d hilangnya kekuatan otot, rasa nyeri


Tujuan : Klien terhindar dari cedera
Intervensi :
 Gunakan sepatu yang menyokong, hindarkan lantai yang licin,
menggunakan pegangan dikamar mandi.
 Lakukan latihan ROM (bila memungkinkan). Untuk meningkatkan
mobilitas dan kekuatan otot, mencegah deformitas, memperthankan
fungsi semaksimal mungkin
 Monitor atau observasi efek penggunaan obat-obatan misal ada
perdarahan pada lambung, hematemesis.

14
4. Hambatan mobilitas fisik b/d kekakuan sendi
Tujuan : Mobilitas persendian klien dapat meningkat
Intervensi :
 Bantu klien untuk melakukan ROM aktif maupun pasif. Untuk
memelihara fungsi sendi dan kekuatan otot meningkatkan elasitias
serabut- serabut otot.
 Rencanakan program latihan setiap hari (dapat bekerja sama dengan
dokter dan fisioterapi)
 Lakukan observasi untuk setiap kali latihan
 Berikan istirahat secara periode
 Berikan lingkungan yang aman misal, menggunakan pegangan saat
dikamar mandi, tongkat yang ujungnya sejenis karet sehingga tidak
licin

5. Defisiensi perawatan diri b/d penurunan kekuatan sendi


Tujuan : Klien akan mandiri sesuai kemampuan dalam memenuhi aktifitas
sehari-hari
Intervensi :
 Ajarkan aktifitas sehari-hari agar klien mulai terkondisi untuk
melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuanyya dan bertahap.
 Bantu klien untuk makan, berpakaian, dan kebutuhan lain selam
memang diperlukan.

15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit
autoimun sistemik (Symmons, 2006).
RA merupakan penyakit inflamasi non-bakterial yang bersifat sistemik,
progresif, cenderung kronik dan mengenai sendi serta jaringan ikat sendi
secara simetris (Chairuddin,2003).
Penyakit ini merupakan peradangan sistemik yang paling umum
ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris (Dipiro, 2008). Penyakit RA
ini merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan inflamasi sendi yang
berlangsung kronik dan mengenai lebih dari lima sendi (poliartritis) (Pradana,
2012).
Tujuan pengobatan adalah menghasilkan dan mempertahankan remisi
atau sedapat mungkin berusaha menekan aktifitas penyakit tersebut. Tujuan
utama dari program terapi adalah meringankan rasa nyeri dan peradangan,
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah dan atau memperbaiki
deformitas.

B. Saran
Mengingat artritis reumatoid merupakan penyakit yang banyak
dijumpai pada lansia namun tidak menutup kemungkinan untuk menyerang
usia muda, maka penanganan penyakit ini diupayahkan secara maksimal
dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, baik melalui tenaga
kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

17

Anda mungkin juga menyukai