Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217022 / April 2019

** Preseptor

BRONKOPNEUMONIA
*Febriano Ramadhana N, S.Ked, **dr. Nuriyah, M.Biomed

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PUSKESMAS TAHTUL YAMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA

Oleh:

Febriano Ramadhana N, S.Ked

G1A217022

Sebagai salah satu tugas program pendidikan profesi dokter

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Jambi

2019

Jambi, April 2019

Preseptor,

dr. Nuriyah, M.Biomed

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Bronkopneumonia” sebagai kelengkapan
persyaratan dalam mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Nuriyah, M.Biomed yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, April 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. 2


KATA PENGANTAR ........................................................................ 3
DAFTAR ISI ................................................................................... 4
BAB I STATUS PASIEN .................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 14
BAB III ANALISA KASUS ................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 33
LAMPIRAN ........................................................................................ 34

4
BAB I
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
a. Nama : An.J
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 6 bulan
d. Pekerjaan :-
e. Alamat : RT 12 Arab Melayu

2. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga


a. Status Perkawinan : -
b. Jumlah saudara : Satu
c. Status ekonomi keluarga : Cukup
d. KB : -
e. Kondisi Rumah :
Rumah semipermanen dengan ukuran ± 6 x 10 m2. Rumah terdiri
dari 1 ruang tamu, 1 ruang tengah, 3 kamar tidur, 1 dapur, 1 kamar
mandi, terdapat 1 buah jamban/wc jongkok di kamar mandi. Rumah
pasien disertai 2 pintu yaitu berada di depan dan dibelakang, jendela
terdapat di bagian depan rumah, di ruang tengah di kamar tidur dan di
dapur. Perabotan di dalam rumah tertata dengan rapi.
Lantai rumah terbuat dari papan, beratap seng. Air yang digunakan
dari air pdam dan air sumur, air pdam yang digunakan cukup bersih,
jernih dan tidak berbau sedangkan air sumur keruh. Untuk minum
dengan air galon isi ulang. Pencahayaan di dalam rumah cukup baik
karena terdapat jendela yang disertai ventilasi, sumber listrik dari PLN.
f. Kondisi Lingkungan di Sekitar Rumah
Lingkungan di sekitar rumah berdekatan dengan rumah penduduk lain
dan sedang pembangunan rumah serta didepan rumah terdapat pabrik
karet.

5
Bagian depan rumah Ruang tengah

Kamar Tidur Kamar Mandi

3. Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga :


Pasien merupakan anak tunggal yang disayang oleh keluarganya. Pasien
tinggal bersama kedua orangtua. Hubungan antar anggota dalam keluarga
baik. Ayah pasien adalah perokok aktif, sehari merokok 1 bungkus, namun
berdasarkan keterangan ibu pasien, ayah pasien tidak pernah merokok
didekat anaknya, ayah pasien juga jarang sekali merokok didalam rumah

6
4. Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 4 hari yang lalu.

5. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk berdahak
sejak 4 hari yang lalu. Awalnya pasien mengalami batuk kering, disertai
dengan munculnya demam dan pilek yang tidak seberat seperti saat dibawa
ke puskesmas. Kemudian batuk menjadi berdahak dan semakin hari
tampaknya dahak semakin banyak. Anak tidak pernah mengeluarkan dahak
dari batuknya sehingga ibu tidak mengetahui seperti apa dahak anaknya
tersebut.
Sekitar dua hari terakhir anak menangis sembari batuk sehingga
seperti susah bernafas dan menjadi rewel, tidak terdapat kulit atau bibir
yang membiru setelah itu. Anak menjadi sulit untuk tidur dimalam hari.
Pasien juga mengalami demam semenjak hari pertama batuk. Demam tidak
menentu, pada siang dan malam. Demam tidak disertai menggigil atau
kejang. Selain itu, anak juga mengalami pilek dengan ingus yang kental.
Anak tampak lemas. Anak lebih banyak menangis. Anak tidak mengalami
diare ataupun muntah. Minum ASI tidak berkurang. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

6. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien mengalami keluhan yang serupa (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat alergi cuaca, makanan ataupun obat-obatan (-)

7. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluahan yang sama dalam keluarga (-)
 Riwayat asma di keluarga (-)
 Riwayat penyakit TB di keluarga (-)

7
8. Riwayat Makan, Alergi dan Perilaku Kesehatan
 Pasien mendapat ASI Eksklusif. Pasien tidak memiliki alergi terhadap
susu, makanan dan obat-obatan. Orangtua pasien merokok dan jarang
mencuci tangan setelah bermain. Air untuk minum digunakan air galon isi
ulang.
 Riwayat Selama Kehamilan dan Persalinan
Selama kehamilan, ibu pasien rutin kontrol ke bidan dan tidak memiliki
keluhan. Riwayat persalinan pasien lahir spontan pervaginam ditolong oleh
bidan, bayi lahir cukup bulan dan langsung menangis setelah dilahirkan,
bergerak aktif, berat bayi lahir 3.000 gram, panjang badan 48 cm

9. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
1.Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2.Kesadaran : compos mentis
3.Nadi : 118 x/menit, irama reguler, isi cukup
4.Pernafasan:48 x/menit, irama reguler, jenis pernapasan torakoabdominal
5.Suhu aksila: 38,0°C
6.Berat Badan : 7,5 kg
7.Tinggi Badan : 69 cm
8.Status Gizi : -(2) > Z score > 2 (Gizi baik)

Pemeriksaan Organ
1. Kepala
a. Bentuk : normocephal, simetris
b. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
2. Mata

a. Kelopak : edema (-/-)


b. Conjungtiva : anemis (-/-) Sklera : ikterik (-/-)

8
c. Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+

d. Mata cekung : ( - / - )
3. Telinga : Sekret (-), serumen (-)
4. Hidung : Nafas cuping hidung (-) , deviasi septum (-), secret (-)
5. Mulut
a. Bibir : tidak kering, sianosis (-)
b. Gusi : warna merah muda, perdarahan (-)

c. Lidah : kotor (-), ulkus (-), stomatitis (-)


d. Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), detritus (-)
6. Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiriod (-)
7. Thorax
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
 Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi : Batas jantung dbn
 Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo

 Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (+) intercostal. tidak ada


bagian yang tertinggal
 Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
 Perkusi : Sonor
 Auskultasi : Vesikular (+/+), wheezing (-/-), ronki basah basah
nyaring di kedua lapangan paru (+/+)
1. Abdomen :
 Inspeksi : datar, sikatriks (-), striae (-)
 Palpasi : Supel, hepar, lien dan ginjal tidak teraba.
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

9
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
2. Ekstremitas
 Superior : akral hangat, edema (-), sianosis (-), edema (-),
CRT < 2detik
 Inferior : akral hangat, edema (-), sianosis (-), edema (-),
CRT < 2detik
10. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Darah Rutin
11. Usulan Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Sp O2
Pemeriksaan Foto Toraks posisi AP
Pemeriksaan Pewarnaan Gram
Kultur Sputum
12. Diagnosa Kerja
Bronkopneumonia (O21.0)
13. Diagnosa Banding
1. Bronkiolitis (J21.0)
2. Asma bronkial (J45.9)
3. TB paru (A15.0)
14. Manajemen
a. Promotif :
1.Edukasi mengenai penyakit bronkopneumonia, penyebab, faktor
predisposisi, pengobatan, pencegahan, dan komplikasi kepada orang tua
pasien.
2.Edukasi mengenai pentingnya memberikan ASI dan makanan bergizi
serta asupan cairan yang cukup pada anak.
3.Edukasi mengenai pentingnya peningkatan sanitasi lingkungan untuk
menjaga kebersihan aliran udara didalam rumah dengan cara seperti
membersihkan ventilasi dari debu, mencuci sprei dan sarung bantal
secara rutin, mencegah terpapar asap pembakaran maupun rokok, serta
budidaya cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.

10
4.Memperhatikan kebersihan makanan dan air minum yang akan
dikonsumsi
5.Memberikan imunisasi dasar secara lengkap terhadap anak
6. Menerapkan etika batuk agar mencegah terjadi penularan
b. Preventif :
1.Menjaga keseimbangan nutrisi dan tetap memberikan ASI
2.Meminum obat secara teratur
3.Menghindari kontak dengan penderita batuk
4.Menghindari terpapar dengan bahan-bahan yang memperberat iritasi
saluran pernapasan seperti bedak tabur, bulu binatang, atau debu-debu
pada pakaian.
c. Kuratif :
Non Farmakologi
a) Teruskan ASI. Ibu membersihkan payudara dengan kain bersih dan
air hangat sebelum menyusui.
b) Pemberian MPASI bernutrisi dan cairan per oral yang cukup
c) Membersihkan hidung dan mulut anak dari cairan dahak dan ingus

Farmakologi

Amoxicilin sirup 125 mg/5 ml 1 cth setiap 12 jam


Puyer: ISPA 2 3x1
Paracetamol 500 mg 2 tablet
Chlorpheniramine maleat 4 mg 2 tablet
Glyceryl guaicolate 100 mg 2 tablet
Nebulisasi NaCl 15 menit

Pengobatan tradisional
Adapun herbal yang dapat dimanfaatkan untuk batuk salah satunya
adalah timi dengan nama latin Thymus vulgaris. Dosis 4 x 20 gram
herba/hari, bahan direbus dengan 2 gelas air sampai mendidih
menjadi setengahnya, dinginkan, saring dan diminum sekaligus.

11
d. Rehabilitatif
1.Memenuhi kebutuhan kalori harian dan cairan tubuh sehingga dapat
memperkuat daya tahan tubuh
2.Menjaga posisi agar membantu anak mengurangi sumbatan jalan
napas akibat dahak atau membantu pengeluaran dahak dengan
dimiringkan ke kanan atau ke kiri pada saat berbaring.
3.Menjalankan pengobatan secara baik dengan minum obat teratur dan
kontrol ulang setelah 3 hari pengobatan..

12
RESEP PUSKESMAS RESEP ILMIAH 1
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Tahtul Yaman Puskesmas Tahtul Yaman
Jl. H. Tomok , Tahtul Yaman Kota Jambi Jl. H. Tomok , Tahtul Yaman Kota Jambi
Febriano Ramadhana N Febriano Ramadhana N
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

RESEP ILMIAH 2 RESEP ILMIAH 3

Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Tahtul Yaman Puskesmas Tahtul Yaman
Jl. H. Tomok , Tahtul Yaman Kota Jambi Jl. H. Tomok , Tahtul Yaman Kota Jambi
Febriano Ramadhana N Febriano Ramadhana N
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

BAB II

13
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial. Penumonia didefnisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis,
serta perjalanan pernyakitnya. WHO mendefenisikan penumonia hanya
berdasarkan penemuan klinis yang didapt pada pemeriksaan inspeksi dan
frekuensi pernapasan.1 Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim
paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution).2

2.2 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah diberbagai negara
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insiden pneumonia pada
anak kurang dari 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun,
sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia
menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara
berkembang.3
Di seluruh dunia setiap tahun diperkirakan terjadi lebih 2 juta kematian
balita karena pneumonia. Di Indonesia menurut Riskesdas 2013, prevalensi
pneumonia semua umur sebesar 4,50%, sedangakan period prevalence
pneumonia balita adalah 1,85%, menurun dibanding tahun 2007 sebesar 2,13%.
Berdasarkan kelompok umur, prevaleni paling tinggi adalah kelompok umur 1-4
tahun, kemudian mulai meningkat pada usia 45-54 tahun dan terus meninggi
pada kelompok umur berikutnya.
2.3 Etiologi

Bakteri mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain virus,


jamur, dan bakteri. S.pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia
bakterial pada semua kelompok umur. Virus lebih sering ditemukan ada anak
kurang dari 5 tahun. Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan virus penyebab
tersering pada anak kurang dari 3 tahun. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia
pneumonia lebih sering ditemukan pada anak-anak dan biasanya merupakan

14
penyebab tersering yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun. Penelitian di
Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus penumoniadan dan Staphylococcus
epidermidismerupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada apusan
tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan.2

Bronkopneumonia terjadi secara umum dapat disebabkan oleh faktor infeksi


dan non-infeksi.2

a. Faktor infeksi
Pada umumnya pneumonia disebabkan oleh bakteri, yaitu Streptococcus
pneumoniae dan Haemophillus influenza. Pada bayi dan anak kecil dapat
ditemukan Staphilococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang berat, serius
dan sangat progresif dengan mortalitas yang tinggi. Pada neonatus penyebab
bronchopneumonia tersering adalah Streptococcus grup B, batanggram negative
dan Chlamidia. Namun selain bakteri, bronchopneumonia atau pneumonia lobaris
yang paling sering dijumpai pada anak usia kurang dari 2 tahun, biasanya juga
disebabkan oleh virus, antara lain adenovirus, virus parainfluenza, virus influenza,
dan enterovirus.Adapun etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok
umur:2

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


0-20 hari Bakteri Bakteri
E.Colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria Haemofillus influenza
monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks
3minggu-3bulan Bakteri Bakteri

15
Chlamydia Bordetella pertussis
trachomatis Haemofillus influenza tipe B
Streptococcus Moraxella catharalis
pneumonia
Virus
Virus Adeno Staphyloccus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virusparainfluenza Virus
1,2,3 Virus Sitomegalo
Respiratory Syncitial
Virus
4bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia Haemofillus influenza tipe B
pneumoniae Neisseria meningitidis
Mycoplasma Moraxella catharalis
pneumoniae Staphyloccus aureus
Streptococcus
pneumonia
Virus Virus
Virus Adeno Virus Varicella-Zoster
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncitial
Virus
5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia Haemofillus influenza tipe B
pneumoniae Legionella sp
Mycoplasma Staphyloccus aureus
pneumoniae Virus

16
Streptococcus Virus Adeno
pneumonia Virus Epstein-Barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Syncitial Virus
Virus Varicella-Zoster
b. Faktor Non Infeksi
1. Bronkopneumonia hidrokarbon; bronkopneumonia yang terjadi karena
aspirasi, penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti
pelitur, minyak tanah, dan bensin).2
2. Bronkopneumonia lipoid; bronkopneumonia yang terjadi akibat
pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, setiap
keadaan yang menggangu mekanisme menelan seperti palatoskizis
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan
pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang
menangis.2
Selain faktor diatas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang
berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan
anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. 2

2.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kejadian dan derajat


keparahan pneumonia anatara lain adalah adanya defek anatomi bawaan, defisit
imunologi, polusi, gastroesofageal refluks, aspirasi, gizi buruk, berat badan lahir
rendah, tidak mendapatkan ASI, imunisasi tidak lengkap, adanya saudara serumah
yang menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu padat penghuninya. 1

2.5 Patofisiologi

17
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat
timbulnya infeksi penyakit. berdasarkan perjalanan penyakitnya, maka dapat
dibagi menjadi beberapa stadium yaitu sebagai berikut: 1

a. Stadium I

Pada stadium ini dapat terjaid pada 4-12 jam pertama. Stadium ini disebut
juga dnegan stadium kongesti atau hiperemia yang mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. 1
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.1
b. Stadium II
Pada satidum ini terjadi pada 48 jam berikutya. Pada stadium ini akan
terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang
dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar,

18
pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 1
c. Stadium III
Stadium ini terjadi pada 3-8 hari kemudian dimana yang terjadi sewaktu sel-
sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.1
d. Stadium IV
Stadium ini disebut juga dengan stadium resolusi, terjadi pada 7-11 hari.
Resolusi terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin
dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.1
2.6 Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispneu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.2
2.7 Diagnosis

3.7.1 Anamnesis

Adapun gejala-gejala yang sering terjadi pada pasien bronkopneumonia


adalah batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulen bahkan bisa berdarah. Kemudian baisa juga terdapat keluhan sesak napas,
demam, kesulitan makan dan minum, tampak lemah, sserangan pertama atau
berulang, untuk membedakan dengan kondisi imunokompromais, kelainan
anatomi bronkus, atau asma.1

19
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
Dinding thorak terlihat retraksi intercostali dan kalau berat disertai retraksi
epigastrium. Stem fremitus teraba mengeras bila beberapa kelainan kecil menyatu.
Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan, tetapi kalau sarang
bronkopneumonia menjadi satu, pada perkusi terdengar redup. Pada auskultasi
terdengar vesikuler mengeras, ronkhi basah halus dan sedang nyaring yang
terdengar pada stadium permulaan dan stadium resolusi sedangkan pada stadium
hepatisasi ronkhi tidak terdengar.1
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
a. CRP (C-Reactive Protein); Suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
secara cepat distimulasi oleh sitokin (IL-6, IL-1 dan TNF). Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superficialis
dari pada infeksi bakteri profunda.2
b. Uji serologis; secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis
infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk mendeteksi infeksi bakteri atipik
seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, influenza A dan B dan adeno,
peningkatan antibody IgM dan IgG dapat dikonfirmasi.2
c. Pemeriksaan mikrobiologis; tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia
berat yang dirawat di rumah sakit. Spesimen dapat berasal dari usap
tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru. Pada pneumonia specimen yang memenuhi syarat yakni
sputum yang mengandung lebih dari 25 leukosit, dan kurang dari 40 sel
epitel/ lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran kecil.
Specimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen
bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di
nasofaring. Kultur darah jarang positif pada infeksi mikoplasma dan
klamidia, oleh karena itu, tidak rutin dianjurkan. 2
d. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia pada kasus
berat. Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik. 2

20
e. Pemeriksaan foto rontgen thoraks
Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar
diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan
informasi tambahan, misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang –
kadang bercak – bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis
sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada
pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak
diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum
gambaran foto toraks terdiri dari:1
1) Pneumonia atau infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan
corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.
Biasanya disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat
terjadi patchy consolidation karena atelektasis.1
2) Infiltrat alveolal: merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan
pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain. 1
3) Bronkopneumonia: ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.1

21
Gambar 1. Perbedaan bronkopneumonia dan pneumonia klasik. 1
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan
pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu
penelitian ditemukan pneumonia pada anak terbanyak di paru kanan,
terutama lobus atas. Bila ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di
lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor perjalanan
penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih
meningkat.1
Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi
segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus
sering ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan
berbagai ukuran.1
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan/atau
serologis merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium menunjang yang
memadai. Oleh karena itu pneumonia pada anak didiagnosis berdasarkan
gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran
radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan
lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping
hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. 5
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat
di negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat,
sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit.
Napas cepat dinilai dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam
keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda

22
bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang,
kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak
berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi
pneumonia berdasarkan pedoman tersebut:3

Tabel 3.1 Diagnosis pneumonia untuk bayi dan anak usia 2 bulan – 5
tahun.3
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
 bila ada sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
 bila tidak ada sesak napas
 ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
 tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih
bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut: 3
Tabel 3.2. Diagnosis pneumonia untuk bayi di bawah 2 bulan. 3
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik

23
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia
dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:3
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat
napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:3
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal
salah satu hal berikut ini:3
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas,
konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:3
a. Napas cepat
1) anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
2) anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
3) anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
4) anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
b. Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
c. Pada auskultasi terdengar
1) crackles ( ronki )
2) suara pernapasan menurun
3) suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
a) tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya

24
b) kejang, letargi, atau tidak sadar
c) sianosis
d) distress pernapasan berat
2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan bertujuan untuk mengeradikasi infeksi, menurunkan morbiditas
dan mencegah komplikasi. Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi
dan hasil resistensi dari kuman, akan tetapi mengingat hal ini sulit dilakukan,
maka pengobatan langsung diberikan:1,3,5,6
1. Pemberian antibiotika selama 10 - 15 hari, meliputi :
a. Amoksisilin 50-100 mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis merupakan pilihan
pertama untuk antiobotik oral pada anak yang berumur kurang dari 5
tahun karena efektif melawan sebagian besar pathogen yang
menyebabkan pneumonia.
b. Atau ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis
c. Jika tidak membaik dalam 3 hari maka dapat ditambah kloramfenikol; <
6 bulan : 25-50 mg/KgBB/hari, > 6 bulan : 50-75 mg/KgBB/hari dosis
dibagi dalam 3-4 dosis
d. Atau eritromisin 40-60 mg/kgbb/hari dibagi 3-4 dosis
e. Atau pada neonatus sampai usia 2 bulan dengan penumonia berat dapat
diberikan ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis ditambah
gentamisin dengan dosis 3-5 mg/KgBB/hari diberikan dalam 2 dosis
f. Pada penderita yang dicurigai resisten dengan obat tersebut berdasarkan
riwayat pemakaian obat sebelumnya, atau pneumonia berat dengan tanda
bahaya, atau tidak tampak perbaikan klinis dalam 3 hari, maka obat
diganti dengan cephalosporin generasi ke-3 (dosis tergantung jenis obat)
atau penderita yang tadinya mendapat kloramfenikol diganti dengan
gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hr diberikan dalam 2 dosis.
2. Terapi cairan (desktrose 5 % ditambah NaCl 15%) dan terapi oksigen bila
diperlukan
3. Simptomatik; antipiretik bila demam, bronkodilator
4. Tindak lanjut

25
a. Pengamatan rutin; frekuensi nafas, denyut nadi, tekanan vena,
hepatomegali, tanda asidosis, dan tanda komplikasi.
b. Indikasi pulang; bila tidak sesak dan intake adekuat.
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu di rawat inap. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berta ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit dasar lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatis dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus di rawat inap. 5,6

1. Pneumonia rawat jalan

Ada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada
pneumonia rawat jalan, pemberian ammkosisilin dan kotrimoksazol dua kali
sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah
25 mg/kgBB sedangkat kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP 20 mg/kgbb
sulfametoksazol.5

2. Pneumonia rawat inap


Dasar tatalaksana penumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuia dan pengobatan suportif yang meliputi:5
a. Pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asm-basa, elektrolit, dan gula darah.
b. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik atau antipiretik
c. Suplemen vitamin A tidak terbukti efektif
d. Penyakit penerta harus ditanggulangi dengan adekuat
e. Komplikasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.

Kriteria rawat inap adalah sebagai berikut:5

a. Pada bayi
1. Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis

26
2. Frekuensi pernapasan >60 kali/menit
3. Distres pernapasan, apnea intermitten
4. Tidak mau minum atau menyusu
5. Keluarga tidak bisa merawat di rumah
b. Pada anak
1. Saturasi oksigen < 92%, sianosis
2. Frekuensi pernapasan >50 kali/menit
3. Distres pernapasan
4. Terdapat tanda dehidrasi
5. Keluarga tidak bisa merawat dirumah

Unutk kriteria rujukan pada pneumonia adalah penumonia berat dan


penumonia rawat inap.5

Jika terjadi sesak napas dengan ditemukannya wheezing, maka dapat


diberikan bronkodilator dan dinilai responnya. Petama dapat diberikan salbutamol
neubilsasi. Tuangkan salbutamol nebulisasi ke dalam mangkuk nebulizer, bila
perlu ditambahkan NaCl 0,9% untuk memenuhi volume isi yang biasanya sekitar
5 ml. Jika belum membaik, daapt diulang nebulisasi sebanyak 3 kali dan 1 jam.
Selain nebulisasi, dapat juga digunakan salbutamol metered-doseinhaler (MDI)
dengan alat spacer. Pada anak kecil penggunaan MDI harus dibantu dengan alat
spacer berkatup. Penggunaan MDI dnegan spacer sama baiknya dengan
menggunakan nebulizer. Pertama di kocok dahulu MDI 3-4 kali kemudian buka
tutupnya masukkan mouthpiece ke dalam lubang spacer. Semportkan 1 puff
kedalam spacer. Pasangkan masker spacer menutupi hidung dan mulut pasien.
Lihat gerakan napas pasien bilsa sudah bernapas 6-10 kali obat dalam spacer
sudah terhirup. Tindakan yang sama dapat dilakukan sekali lagi saat itu juga, jika
spacer komersial tidak tersedia, spacer dapat diganti dengan gelas plastik atau
botol plastik 1 liter yang dilubangi pangkalnya sesuai dengan ukuran mouthpiece
MDI. Jika kedua cara untuk pemerian salbutamol tidak tersedia, beri suntikan
epinefrin subkutan dosis 0,01 ml/kgg dalam larutan perbandingan 1:1000 (dosis
maksimal 0,3 ml). Jika 20 menit setelah pemberian epinefrn subkutan tidak ada

27
perbaikan, maka ulangi dosis satu kali lagi. Ketika anak jelas membaik untuk bisa
dipulangkan bila tidak tersedia atau tidak mampu membeli salbutamol hirupan,
berikan salbutamol oral dalam sirup atau tablet. 3

2.9 Diagnosis Banding


1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua.
Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan
nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat
adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus. 1
2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki
nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia
darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik. 1
3. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba, wheezing
atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal. 1

4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif
( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau
lebih, batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan
menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik,
pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat
disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor
TB.1
5. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan

28
dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum
akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi.1
6. Asma bronkial
Pada asma, dapat dilakukan anamnesis yang cermat agar didaptkan riwayat
penyakit yang tepat mengenai gejala sulit bernapas, mengi, atau batuk yang
bersifat periodik dan berkaitan dengan riwayat adanya penyakit atopi atau asma
pada anggota keluarga. Pola gejala dapat menjadi spesifik dengan pencetus
tertentu. Ada serangan akut, jika wheezing sudah terjadi berulang dan mereda
dengan pemberian bronkodilator maka kemungkinan pasien mengalami asma. 1

2.10 Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pneumonia
adalah sebagai berikut:1
1. Otitis media akut (OMA); terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang
berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, oklusi tuba, terjadi
tekanan negatif pada telinga tengah dan timbul efusi.
2. Atelektasis; pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru.
3. Efusi pleura
4. Emfisema; suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura
5. Meningoensefalitis; infeksi yang menyerang selaput otak dan/atau
parenkim otak
6. Abses paru; pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
7. Endokarditis bacterial; peradangan pada katup endokardial

29
BAB III

ANALISA KASUS

3.1 Hubungan diagnosis penyakit dengan keadaan rumah dan lingkungan


sekitar

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa dengan


bronkopneumonia. Penyakit ini sangat berhubungan dengan keadaan rumah dan
lingkungan sekitar tempat tinggal pasien. Dilihat dari kondisi rumah pasien,
pencahayaan dan ventilasi cukup di bagian ruang tamu dan ruang keluarga, namun
pada kamar masih kurang sehingga sirkulasi udara tidak baik dan menjadikannya
lembab. Jendela kamar yang jarang dibuka dapat menyebabkan sirkulasi udara
tidak baik di dalam kamar tidur tersebut. Didalam rumah, meskipun tiap-tiap
jendela terdapat ventilasi, ventilasi jarang dibersihkan sehingga menumpuk
banyak debu yang dapat saja terbawa angin kedalam rumah dan terhirup. Hal-hal
ini memudahkan perkembang biakan bakteri-bakteri ataupun patogen lainnya,
salah satunya adalah dapat menginfeksi saluran pernapasan melalui udara yang
dihirup, terutama pada pasien-pasien dengan daya tahan tubuh yang belum cukup
berkembang, seperti pada penyakit yang diderita pasien.

3.2 Hubungan diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga


Dilihat dari keadaan keluarga dan hubungannya di rumah pasien, tidak ada
hubungan antara diagnosis dengan keadaan keluarga dan hubungan keluarga
pasien. Pasien diakui mendapat perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya dan
hubungan antar anggota keluarga baik. Walaupun adanya keluhan batuk-batuk di
keluarga disangkal, tetapi hal ini dapat tidak pasti dan anak tetap memiliki risik
penularan, baik dari keluarga maupun orang sekitar.
3.3 Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan
lingkungan sekitar

30
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan saudara kandungnya dimana
kebiasaan cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir masih jarang dilakukan.
Ayah pasien memiliki kebiasaan merokok, walaupun tidak merokok didekat
pasien, namun partikel-partikel dari asap rokok yang menempel pada pakaian,
alat-alat makan, dan benda-benda lainnya tetap dapat terhirup oleh anak dan dapat
menimbulkan iritasi pada saluran napas yang memudahkan inokulasi bakteri
sehingga memperbesar risiko untuk terkena penyakit.

4.1 Analisis kemungkinan faktor risiko atau etiologi penyakit pada pasien

Pada pasien dan keluarga didapatkan sanitasi rumah, pencahayaan, dan


aliran udara yang tidak terjaga, personal hygiene yang kurang baik, dan kebiasaan
merokok yang tidak baik, dapat berhubungan dengan kemungkinan diagnosa
penyakit pasien. Ditambah lagi didapatkan adanya pembangunan disebelah rumah
pasien dan terdapat pabrik karet di depan rumah pasien. Hal ini menyebabkan
anak terpapar debu yang dapat menjadi salah satu faktor risiko terinfeksinya
saluran pernapasan. Infeksi saluran pernapasan ini dapat memburuk sehingga akan
semakin menimbulkan gejala yang lebih berat.

4.2 Analisis untuk mengurangi paparan dengan faktor resiko atau etiologi
pada pasien ini

Sebagai upaya mengurangi paparan pada pasien ini adalah dengan


menghindari faktor resiko yang dapat menjadi penyebab timbulnya penyakit pada
pasien. Sanitasi lingkungan rumah dan sekitar rumah pasien harus diperbaiki,
kebiasaan untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan harus ditingkatkan,
prilaku merokok sebaiknya ditinggalkan, dan pada anak-anak sebaiknya dihindari
terpapar debu dalam waktu yang lama.

4.3 Edukasi yang diberikan kepada pasien atau keluarga


Adapun edukasi yang dapat diberikan kepada pasien dan keluarga adalah:m
1. Beristirahat cukup
2. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan rumah
3. Memberikan ASI dan makanan bergizi serta cairan yang cukup

31
4. Membersihkan payudara sebelum menyusui anak
5. Menjaga kebersihan peralatan makanan, peralatan memasak, dan bahan-
bahan masakan. Menyimpannya ditempat tertutup seperti di lemari piring
6. Sebaiknya anak dihindari untuk mengkonsumsi susu dari botol dot
7. Anjuran berhenti merokok bagi orang tua.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu Kesehatan
Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2014.
2. Soedarmo SS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis
Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002
3. Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tatalaksana pneumonia
balita. Jakarta: Kemnkes RI. 2015.
4. Tim Adaptasi Indonesia. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit:
pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota.
Jakarta: World Health Organization. 2009.
5. Pudjiadi AH, Hegar B, Handriyastuti S, Idris NS, Gandaputa EP, Harmniatis
ED. Pedoman pelayana media. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
6. Panduan paraktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2014.

33
LAMPIRAN

pemeriksaan pasien Pembangunan disamping


rumah pasien

34

Anda mungkin juga menyukai