Anda di halaman 1dari 10

Clinic Science Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217118/Maret 2019


** Pembimbing : dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.T.H.T.KL

Therapeutic Management of Epistaxis


in CHU Yalgado Ouedraogo

Oleh:
Juzaini Dika Nasriati, S.Ked*
G1A217118

Pembimbing:
dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.T.H.T.KL **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Therapeutic Management of Epistaxis


in CHU Yalgado Ouedraogo

Oleh:
Juzaini Dika Nasriati, S.Ked
G1A217118

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, Maret 2019


Pembimbing

dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.T.H.T.KL


Manajemen Terapi Epistaksis di CHU Yalgado Ouedraogo

Gyébré YMC1*, Gouéta A1, Zaghré N2, Sérémé M1, Ouédraogo BP2,
Ouattara M1 and Ouoba K1

Abstrak
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melaporkan hasil pengobatan
epistaksis dalam praktik kami.
Bahan dan Metode: Penelitian ini adalah studi prospektif selama periode satu
tahun dari Januari hingga Desember 2015, dengan jumlah sampel sebanyak 264
pasien yang epistaksis di Departemen THT dan Leher Bedah Wajah di CHU
Yalgado Ouedraogo dari Ouagadougou.
Hasil: Epistaksis mewakili 15% dari keadaan darurat dalam pelayanan kesehatan.
Usia onset rata-rata adalah 30,8 tahun, mulai dari 2 bulan hingga 80 tahun. Kami
mencatat 213 (80,7%) orang dewasa dan 51 (19,3%) anak-anak. Subjek berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 194 kasus (73,5%) dan berjenis kelamin perempuan
sebanyak 70 kasus (26,5%). Epistaksis anterior pada 90,1% kasus, epistaksis
unilateral 56,8% kasus, dan berat pada 40,2% kasus. Penyebab epistaksis yang
paling umum adalah locoregional (45,8%) dan didominasi oleh trauma struktur
wajah (33%). Tumor jinak sebesar 2,2%, dan tumor ganas 1,6% dari tenaga kerja.
Hipertensi arteri (14%) adalah penyebab umum yang paling sering. Tindakan non-
bedah telah menjadi metode intervensi utama pada 98,5% kasus. Pengobatan pada
dasarnya terdiri dari tampon anterior hidung (80,3%) dan pemberian etamsilat
(75%). Kami mengobservasi 5,8% pasien mengalami komplikasi. Tingkat
kematian sebesar 5%.
Kesimpulan: Epistaksis, bagian kegawatan hemoragik THT, yang umum terjadi
dalam praktik. Penyebabnya beragam, didominasi oleh penyebab lokoregional.
Epistaksis adalah evolusi yang serius dan tidak dapat diprediksi sehingga perlu
untuk memulai resusitasi yang konsekuen.

Kata kunci: Epistaksis; Etiologi; Pengobatan


Pendahuluan
Epistaksis mewakili salah satu keadaan darurat yang paling umum
dijumpai dalam praktik THT sehari-hari.1 Epistaksis dapat mempengaruhi 60%
dari populasi, dengan 6% membutuhkan perawatan medis.2 Epistaksis umumnya
tidak berbahaya, epistaksis dengan perdarahan yang sangat banyak atau yang
terjadi secara berulang-ulang dapat mengancam jiwa.3,4 Penatalaksanan epistaksis
harus secara simptomatik dan etiologis. Hal ini diterapkan di negara-negara
Barat.1,3,4 Literatur Afrika relatif sedikit dalam hal ini. Studi ini, bertujuan untuk
melaporkan pengalaman kami dalam manajemen terapi epistaksis di departemen
THT dan CCF di CHU Yalgado Ouedraogo.

Bahan dan Metode


Studi ini adalah studi prospektif selama 1 tahun, dari Januari hingga
Desember 2015 di departemen THT dan Bedah Servikofasial CHU Yalgado
Ouedraogo dari Ouagadougou. Dalam studi ini, ada 264 kasus epistaksis yang
telah diperiksa. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang
ada, tanpa memandang usia dan jenis kelamin, baik yang dalam keadaan darurat
ataupun dalam layanan rawat inap. Data yang dikumpulkan dimulai dari lembar
kuesioner selama wawancara langsung dengan pasien. Register pasien masuk,
data rekam medis penyakit dan laporan operasi juga digunakan sebagai sumber
data. Variabel penelitian ini adalah karakteristik sosio demografis (usia, jenis
kelamin, dan riwayat), manifestasi klinis (jumlah perdarahan, lokasi perdarahan,
anatomi dari lokasi perdarahan, rekurensi), penyebab epistaksis, aspek terapeutik.
Anonimitas dan kerahasiaan data dijaga. Protokol penelitian ini telah disetujui
oleh komite etika. Para pasien yang diketahui hipertensi, didiagnosis secara
kardiologi tetapi pengobatan tidak teratur atau tidak diketahui. Tekanan darah
diambil dalam dua kali kesempatan yaitu pada posisi terlentang dan duduk dalam
interval 15 menit, didahului dengan periode istirahat 10 menit menggunakan
monitor tekanan darah manual. Klasifikasi epistaksis awalnya adalah epistaksis
dengan jumlah perdarahan sedikit, perdarahan sedang, dan perdarahan berat.
Klasifikasi terbaru epistaksis saat ini adalah epistaksis jinak/ringan tanpa gejala
dan epistaksis berat dengan gejala. Kami menggunakan klasifikasi yang kedua.
Pasien dengan hemoglobin yang hanya kurang atau sama dengan 6 g/dl diberikan
transfusi darah.

Hasil
Pada periode ini, epistaksis mewakili 15% dari keadaan darurat. Pada
orang dewasa terjadi sebanyak 213 kasus (80,7%) dan anak-anak 51 kasus
(19,3%). Subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 194 kasus (73,5%) dan
subjek berjenis kelamin perempuan 70 kasus (26,5%) dari tenaga kerja dengan
rasio jenis kelamin 1,8. Usia rata-rata terjadinya epitaksis adalah 30,8 tahun, dari
usia 2 bulan hingga 80 tahun. Etiologi epistaksis dominan disebabkan oleh
epistaksis lokal/lokoregional yaitu 45,8% dengan trauma kepala dan struktur
wajah 33% kasus. Hipertensi mendominasi sebagai penyebab epistaksis
umum/general. Epistaksis idiopatik atau essensial sebanyak 36% (Tabel 1).

Penyebab Epistaksis Jumlah Sampel (n) Presentase (%)


Lokoregional 121 45.8
Trauma 87 33
Rhinosinusitis 11 4.1
Tumor Sinonasal 10 3.8
Benda Asing 7 2.6
Iatrogenik (Pembedahan, 6 2.3
Medikasi)
General 48 18.2
Tekanan Darah Tinggi 37 14
Penyakit Hematologi 6 2.3
Kehamilan 3 1.1
Demam Tifoid 2 0.8
Idiopatik atau Esensial 95 36
Tabel 1: Penyebab Epistaksis.
Berdasarkan lokasi pendarahan, terdapat epistaksis anterior yang terjadi
pada 238 kasus (90,1%), epistaksis posterior pada 10 kasus (3,8%), epistaksis
anterior dan posterior pada 16 kasus (6,1%). Epistaksis unilateral dalam 150 kasus
(56,8%) dan bilateral dalam 114 kasus (43,2%). Berdasarkan tingkat keparahan
kasus di atas, epistaksis ringan/jinak pada 158 kasus (59,8%) dan epistaksis berat
pada 106 kasus (40,2%) di mana 18 kasus (6,8%) termasuk epistaksis sangat berat
dengan tanda-tanda syok. Secara terapeutik, tindakan non-bedah telah menjadi
metode intervensi utama pada 98,5% kasus epistaksis. Semua pasien menerima
pengobatan yang diarahkan secara hemostatik lokal dan atau umum. Hemostasis
lokal ditangani dengan tampon hidung anterior pada 80,3% kasus. Hemostasis
umum ditangani dengan pemberian etamsilat secara parenteral (72 jam) kemudian
secara oral pada 75% kasus. Tindakan bedah dilakukan pada 1,5% kasus yang
ditangani dengan reseksi pada tumor sinonasal. Modalitas pengobatan dirangkum
dalam (Tabel 2).

Tabel 2: Modalitas Terapi.

Pada seri kami, tidak ada dilakukan tindakan tampon nasal posterior
maupun tindakan kauterisasi, atau embolisasi atau ligasi pembuluh darah, karena
tidak memadainya platform teknis. Transfusi whole blood diberikan pada sepuluh
pasien, yaitu 3,8% kasus. Empat pasien 1,5% dirawat dengan resusitasi intensif.
Pasien yang memiliki hemoglobin kurang dari atau sama dengan 6 g / dl
menerima transfusi darah. Antibiotik profilaksis diresepkan pada 36% pasien
kami. Evolusi ditandai dengan adanya 4 jenis komplikasi pada 15 pasien atau
komplikasi sebesar 5,7% (Gambar 1). Epistaksis rekuren adalah komplikasi yang
paling sering terjadi di antara komplikasi lainnya yaitu 40% kasus . Lama rata-
rata rawat inap di rumah sakit adalah 7,6 hari antara 1 hingga 30 hari.
Perbaikan setelah pengobatan mengalami kemajuan pada 95% kasus. Tiga
belas pasien meninggal dengan tingkat kematian 5%. Tiga pasien meninggal
dengan sindrom syok toksik, empat pasien dengan syok hipovolemik pada pasien
trauma wajah terkait trauma tengkorak, dan enam pasien anemia pada epistaksis
berulang karena berbagai penyebab (karsinoma nasofaring, hemopati, demam
tifoid).

Gambar. 1 Diagram Frekuensi dari Komplikasi.

Pembahasan
Epistaksis adalah salah satu keadaan darurat THT yang sering terjadi, 15%
dari keadaan darurat THT3,4. Hasil penelitian kami menguatkan hal itu dalam
literatur. Dalam praktik kami, epistaksis terutama terjadi pada dewasa muda. Usia
rata-rata pasien kami adalah 30,8 tahun. Usia muda pasien juga dikemukakan oleh
peneliti Afrika lainnya2,5,6 . Hasil penelitian kami berbeda dari peneliti Barat 4,7-9

yang menunjukkan bahwa epistaksis adalah masalah geriatri yang mempengaruhi


subjek dengan usia rata-rata sekitar 60 tahun. Pada kasus seri kami, anak-anak
muda terpapar trauma wajah akibat kecelakaan lalu lintas, mereka rata-rata
merupakan pengguna kendaraan roda 2 untuk transportasi harian. Kami mencatat
kasus didominasi oleh laki-laki (73,7%) dengan rasio jenis kelamin 1,8. Dominasi
2,5,6,10,11
laki-laki ini seusai dengan berbagai penelitian lainnya . Laki-laki lebih
sering melakukan aktivitas fisik dan pekerjaan yang beresiko menyebabkan
trauma.
Berdasarkan kasus tersebut etiologi utama epistaksis lebih bervariasi pada
seri ini. Dalam penelitian kami, etiologi yang sering terlibat terjadinya epistaksis
adalah penyebab lokoregional 45,8%, dengan kasus trauma kepala tulang wajah
33% kasus. Faktor etiologis ini diikuti dengan epistaksis yang disebut esensial
sebesar 36% kasus. Pengamatan seri ini sesuai dengan seri Afrika lainnya2,5,6 dan
dalam beberapa studi Barat7,10,12. Tingkat epistaksis idiopatik yang tinggi ini dapat
mencerminkan keterbatasan etiologi. Dalam penelitian ini, setiap epistaksis tanpa
sebab yang jelas telah diklasifikasikan sebagai epistaksis idiopatik. Faktor-faktor
lain yang perlu diperhatikan dari epistaksis esensial adalah: menggaruk hidung,
paparan sinar matahari, dan aktivitas fisik. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
adalah penyebab ketiga epistaksis dalam penelitian ini. Hal ini menggambarkan
kontrol tekanan darah yang buruk. Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan
Nigeria tentang pasien hipertensi yang tidak terkontrol (penghentian terapi
antihipertensi) yang mengalami epistaksi13. Penatalaksanaan epistaksis dirangkum
dengan jelas dan diterapkan dalam sekuler yaitu : resusitasi pasien, menentukan
lokasi perdarahan, menghentikan perdarahan, dan mengobati penyebab
epistaksis14.Tujuan pengobatan adalah untuk menghentikan perdarahan, untuk
memastikan hemodinamik yang baik dan mencegah komplikasi9,1 . Terdapat
kontroversi dalam manajemen tata laksana yang terbaik untuk mencapai tujuan
tersebut.
Modalitas pengobatan dapat dipisahkan menjadi dua kelompok: intervensi
non-bedah atau konservatif dan dengan pendekatan intervensi atau bedah.
Pendekatan non-bedah telah dilaporkan dapat menghentikan pendarahan lebih dari
80-90% kasus.15 Tampon hidung anterior adalah modalitas pengobatan yang
paling umum dari pengobatan dalam penelitian ini dan berbagai penelitian
lainnya16,17 . Bentuk terapi ini efektif di beberapa pusat di Nigeria18 . Selain itu,
efektivitas tampon posterior dan probe pada double-balloon sangat baik dalam
literatur, mulai dari 74 hingga 90% kasus4,19. Dalam konteks kami, tidak ada
kasus dengan tampon nasal posterior, karena tampon nasal anterior selalu cukup
untuk menghentikan perdarahan. Tetapi kadang-kadang tampon hidung anterior
2,14,15
membuat petugas medis terpapar risiko darah. Beberapa penulis kemudian
merekomendasikan tindakan pencegahan universal (masker wajah, penutup
kepala, sarung tangan ganda, kacamata) untuk semua petugas kesehatan yang
terlibat dalam manajemen pasien ini. Etamsilat adalah hemostasis umum yang
paling banyak digunakan karena ketersediaan geografisnya, dan aksesibilitas
finansialnya. Namun, input formal dalam pengendalian hemostasis masih harus
dibuktikan dengan studi hematologi lainnya.
Tingkat transfusi darah dalam penelitian kami (3,8%) lebih rendah dari
yang dilaporkan dalam literatur antara 6,92 hingga 15,1%.2 Hal ini
menggambarkan keparahan epistaksis. Namun, yang ideal adalah transfusi pack
red cells (PRBC).
Penggunaan antibiotik profilaksis setelah pemasangan tampon hidung
anterior masih kontroversial. Sebagian besar penulis14,20 merekomendasikan
penggunaan antibiotik profilaksis karena risiko komplikasi infeksi seperti sinusitis
dan sindrom syok toksik. Pada penelitian kami, antibiotik profilaksis ini
digunakan dalam 36% kasus. Menurut kami, realisasi aseptik tampon hidung ini
tidak membuat kebal terhadap infeksi. Tingkat kematian dalam penelitian kami
adalah 5%. Hasil ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh beberapa
penelitian2,11,13 . Hal ini berkaitan dengan etiologi epistaksis. Kanker nasofaring
merupakan penyebab mortalitas dalam praktik kami karena tidak tersedia platform
teknis yang mendukung. Layanan yang menjelaskan kematian karena beberapa
trauma pada wajah yang terkait dengan trauma tengkorak juga tidak ada. Kami
setuju dengan DUVAL4 bahwa epistaksis adalah gejala yang paling sering dan
yang paling mengkhawatirkan dari keadaan darurat perdarahan ORL, yang
bertanggung jawab atas 10 hingga 25% kematian.
Kesimpulan
Epistaksis berpotensi menjadi berbahaya. Hal ini bisa menjadi faktor yang
mengancam jiwa pasien dengan perdarahan yang banyak dan berulang sehingga
dibutuhkan koordinasi tindakan manajemen: mengobati keadaan darurat sambil
mencari etiologi epistaksis agar manajemen epistaksis menjadi efisien.

Anda mungkin juga menyukai