Anda di halaman 1dari 15

Fraktur pada Regio Antebrachii Dextra Satu Pertiga Tengah dengan

Compartment Syndrom

Asrianti Saddi Pairunan


102013280
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email: asriantisaddi@gmail.com

Pendahuluan

Fraktur tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan
luasnya. Fraktur merupakan masalah yang banyak dialami oleh masyarakat dan menyita
perhatian masyarakat yang cukup serius. Pada kehidupan sehari-hari terutama saat berkendara
dalam padatnya lalu lintas, kecelakaan dapat terjadi dan sering menyebabkan luka yang serius
terutama fraktur pada tulang dan dapat berdampak pada kecacatan tubuh hingga kematian.

Terdapat dua tipe utama jenis fraktur, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Pada fraktur
terbuka ujung tulang yang patah menembus kulit hingga keluar dari bagian tubuh, sedangkan
pada fraktur tertutup tulang yang patah tidak menembus kulit dan tetap berada dalam bagian
tubuh. Fraktur harus ditangani secara langsung dengan beberapa cara dan metode penanganan
sesuai dengan jenis dan luas fraktur yang terjadi.

Dari berbagai lokasi fraktur yang terjadi, fraktur pada regio antebrachii merupakan salah satu
fraktur yang sering ditemui menyangkut dengan kecelakaan lalu lintas. Berbagai gejala klinis
pada pemeriksaan fisik serta penanganan yang tepat dapat di lakukan untuk menangani fraktur
tersebut.

Anamnesis

Fraktur dalam sistem muskuloskeletal bisa bermanifestasi sebagai rasa sakit dan nyeri gerak (
khususnya pada bagian tulang yang patah ), pemendekan tulang, angulasi, rotasi, false
movement, berkurangnya mobilitas, dan penurunan fungsi gerak. Untuk itu dapat dilakukan
autoanamnesis sebagai berikut.1,2

1. Identitas Pasien
 Ditanyakan nama, usia, dan pekerjaan pasien.

1
2. Riwayat penyakit sekarang
 Keluhan utama yang pasien rasakan?
 Bagaimana kronologi kejadian yang dialami pasien?
 Dimanakah lokasi nyeri dan sakit yang dikeluhkan dan dirasakan pasien?
 Sudah berapa lama pasien merasakan keluhan tersebut?
 Bagaimana sifat sakit dan nyeri yang dirasakan pasien?
 Bagaimana intensitas rasa sakit dan nyeri yang dirasakan pasien?
 Apakah penanganan yang pernah diberikan pada pasien?
 Adakah faktor yang memperberat keluhan pasien?
 Adakah keluhan penyerta lain yang pasien rasakan?
3. Riwayat penyakit dahulu
 Pernahkah pasien mengalami rasa sakit dan nyeri pada daerah yang sama?
 Pernahkah pasien mengalami trauma yang serupa?
 Pernahkah pasien berobat alternatif sebelumnya?
 Bagaimana riwayat pengobatan dan penanganan sebelumnya?
4. Riwayat sosial
 Ditanyakan bagaimana lingkungan perumahan dan pekerjaan pasien?
 Ditanyakan aktivitas pekerjaan pasien?

Pemeriksaan Fisik

1. TTV

Memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi
pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC,
sedangkan pada sore hari mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan
tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan
melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit.
Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.3 Hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital pasien normal.3

2. Keadaan umum : tampak sakit sedang


3. Kesadaran : compos mentis
4. Look : Tampak adanya edema, merah, dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) pada regio antebrachii dextra, hal yang penting adalah
2
apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur,
cedera terbuka.
5. Feel : Terdapat nyeri tekan teraba krepitasi, A. radialis melemah, sensibilitas baal.
6. Movement : jari tangan dapat ekstensi tapi terasa nyeri.3

Pemeriksaan Penunjang

Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik, diagnosis dapat dibuat secara klinis
sedangkan pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk melengkapi deskripsi fraktur dan
dasar untuk tindakan selanjutnya. Untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda
klasik dan pada sindroma kompartemen memang diagnosanya harus dibantu pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi yaitu dengan sinar-X, CT-scan, dan sebagainya atau
pun dengan melakukan pemeriksaan laboratorium. 3,4

Pemeriksaan Radiologi

Sinar-X

Pemeriksaan radiologi untuk fraktur tulang regio antebrachii secara umum dapat
menggunakan sinar-X. Peranan sinar-X adalah untuk memperlihatkan keberadaan fraktur
yang terjadi. Sinar-X juga dapat menunjukan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas dari tulang Pemeriksaan sinar-X dapat dilakukan dengan dua proyeksi utama,
yaitu AP dan lateral dan satu proyeksi tambahan yaitu oblique. 3,4

CT-Scan

Prosedur pemeriksaan ini dapat menunjukan rincian bidang tertentu dari tulang yang sakit dan
dapat memperlihatkan cedera ligamen atau tendon dan tumor jaringan lunak. Pemeriksaan ini
digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit
dievaluasi. 3,4

Ultrasonografi (USG)

Prosedur pemeriksaan dengan menggunakan USG dilakukan untuk mendeteksi gangguan


pada jaringan lunak ( adanya massa, dan sebagainya ). Pemeriksaan ini menggunakan sistem
gelombang suara yang menghasilkan gambran jaringan yang diperiksa. Kulit diatas jaringan
yang akan diperiksa diolesi gel untuk memudahkan gerakan alat. Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk mendeteksi gangguan pada sindroma kompartemen. 3,4

3
Pemeriksaan Laboratorium

Pada fraktur, pemeriksaan laboratorium yang perlu diketahui adalah Hb dan hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak
sangat luas. Pada masa penyembuhan fraktur, kadar kalsium serum dan fosfor akan meningkat
didalam darah. Kadar normal kalsium serum adalah 4.5-5.5 mg/l atau 8.0-20.5 mg/dl,
sedangkan kadar normal fosfor adalah 2.5-4.0 mg/dl dalam serum. 3,4

Gejala Klinis

Fraktur Regio Antebrachii

Berikut merupakan gejala klinis dari fraktur antebrachii.

 Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang yang mengalami
fraktur diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
 Deformitas dapat disebabkan oleh karena adanya pergeseran fragmen pada fraktur
lengan dan eksremitas. Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
 Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama .
 Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik
tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
 Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam
atau beberapa hari setelah cedera.2,5

Sindroma Kompartemen

Sindroma kompartemen adalah suatu kelainan yang potensial menimbulkan kedaruratan yaitu
dengan adanya peningkatan tekanan interstisial dalam sebuah ruang tertutup, biasanya
kompartemen oseofasial ekstremitas yang noncompliant, misalnya kompartemen ateral,
anterior, dan posterior dalam tungkai serta kompartemen volar superfisial dan dalam lengan
serta pergelangan tangan. Peningkatan tekanan dapat menyebabkan gangguan mikrovaskular
dan nekrosis jaringan lokal.
4
Penyebab tersering dari sindroma kompratemen akut adalah perdarahan dari fraktur, trauma
jaringan lunak atau luka bakar, cedera arteri, dan penekanan anggota badan selama kesadaran
menurun. Perban atau gips yang restriktif juga dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya
sindroma kompartemen. 6,7

Pada sindroma kompartemen, terrjadi penimbunan cairan di kompartemen otot, tetapi fasia
fibrosa tidak dapat mengembang sehingga terjadi edema dan tekanan meningkat. Apabila
tidak segera diobati maka dapat mengakibatkan terjadinya iskemia. Gejala utama adalah nyeri
hebat dan edema, tetapi gejala tersebut sering berkaitan dengan penyebab timbulnya sindroma
sehingga diagnosis sering sulit ditegakkan. Penilaian neurovaskular secara berkala merupakan
hal yang sangat perlu dilakukan. 6,7

Diagnosis juga sulit ditegakkan pada pasien yang dianestesi atau tidak sadar dan mungkin
memerlukan pengukuran tekanan secara langsung. Tekanan kompartemen yang lebih besar
dari 30 mmHg biasanya mengindikasikan intervensi pembedahan. Sindroma kompartemen
yang berkaitan dengan fraktur ekstremitas atas harus diteapi saat dilakukannya stabilisasi
fraktur. Modalitas pengobatan yang sering dilakukan adalah fasiotomi dan apabila dilakukan
dalam 25 hingga 30 jam setelah awitan prognosisnya baik.

Fasiotomi meliputi pembukaan kulit, jaringan subkutis, dan fasia yang membungkus
kompartemen. Otot yang bengkak mungkin menonjol melalui insisi sehingga terjadinya
dekompresi kompartemen dan pulihnya perfusi jaringan. Pada fasiotomi ini mungkin perlu
dilakukan lebih dari satu insisi, bergantung pada ukuran atau jumlah kompartemen yang
terkena. Semua jaringan nekrotik harus dikeluarkan dan luka dapat ditutup atau dibiarkan
terbuka beberapa lama, bergantung kepada keparahan dan kerusakan jaringan. 6,7

Gejala klinis yang terjadi pada sindroma kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu: 6,7

 Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting.
Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-
anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya).
Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering.
 Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
 Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
 Parestesia (rasa kesemutan)
5
 Paralisis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindroma kompartemen.

Diagnosis Banding

Fraktur Colles

Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok (dinner fork deformity). Pasien terjatuh
dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke dalam
(endorotasi). Tangan terbuka yang terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi). 8

Manifestasi Klinis

Fraktur Metafisis distal radius dengan jarak ±2,5 cm dari permukaan sendi distal radius.
Kemudian terdapat adanya dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal dengan
terdapat subluksasi sendi radioulnar distal. AdanyaAvulsi prossesus stiloideus ulna. 8

Penatalaksanaan
Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan pemasangan gips
psirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai dislokasi diperlukan tindakan reposisi
tertutup. Dilakukan dorsofleksi fragmen distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi,
deviasi ulna (untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk
mengoreksi supinasi). Imobilisasi ini dilakukan selama 4-6 minggu. 8

Fraktur Smith

Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut
reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan
menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan
pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang intraartikular. 8

Manifestasi Klinis

Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar pergelangan, dan deviasi
tangan ke radial (garden spade deformity). 8

Penatalaksanaan

Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi ringan, deviasi
ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi Colles). Lalu diimobilisasi dengan gips di atas
siku selama 4-6 minggu. 8

6
Fraktur Galeazzi

Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius ulna distal.
Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan
bawah dalam posisi pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi. 8

Manifestasi Klinis

Tampak tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada pergelangan tangan dapat
diraba tonjolan ujung distal ulna. 8

Penatalaksanaan

Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral untukk dislokasi
radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi. 8

Fraktur Montegia

Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi radius
ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung. 8

Manifestasi Klinis

Terdapat dua tipe, yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan tipe fleksi. Pada tipe ekstensi gaya
yang terjadi mendorong ulna kearah hiperekstensi dan pronasi. Sedangkan pada tipe fleksi,
gaya mendorong dari depan ke arah fleksi yang menyebabkan fragmen ulna mengadakan
angulasi ke posterior. 8

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya dislokasi. Lihat


kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan pertengahan radius. 8

Penatalaksanaan

Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong melakuka tarikan
lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah supinasi penuh. Setelah itu, dengan jari
kepala radius dicoba ditekan ke tempat semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan diatas siku
dengan posisi siku fleksi 900 dan posisi lengan bawah supinasi penuh. Bila gagal, dilakukan
reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi interna (plate-screw). 8

7
Diagnosis Kerja

Diagnosis fraktur tertutup regio antebrachii dekstra 1/3 tengah ditegakkan atas dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta adanya gejala klinis yang
sesuai. Pada orang yang mengalami fraktur, anamnesis diperoleh dengan autoanamnesis
dimana ditemukan adanya riwayat trauma dan pada pemeriksaan fisik ditemukan gejala-gejala
klinis seperti nyeri, pembengkakan atau edema, adanya krepitasi, dan pulsasi arteri radialis
yang melemah menunjukan adanya fraktur yang disertai dengan sindroma kompartemen. Pada
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi dengan menggunakan sinar-x
ditemukan adanya fraktur di regio antebrachii dekstra 1/3 tengah yang sangat menunjang
pemeriksaan fisik dan mengarahkan pada diagnosis kerja.

Etiologi

Fraktur terjadi ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang
sedang pada tulang yang terkena penyakit (fraktur patologis), misalnya
osteoporosis.5Penyebab fraktur tulang yang paling sering adalah trauma, terutama pada anak-
anak dan dewasa muda. Jatuh dan cedera olahraga adalah penyebab umum fraktur traumatik.4

Fraktur stres dapat terjadi pada tulang normal akibat stres tingkat rendah yang
berkepanjangan atau berulang. Fraktur stres, yang juga disebut fraktur keletihan (fatigue
fracture), biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet, atau permulaan
aktivitas fisik baru. Fraktur stres paling sering terjadi pada individu yang melakukan olahraga
daya tahan seperti pelari jarak jauh. Fraktur stres dapat terjadi pada tulang yang lemah sebagai
respons terhadap peningkatan level aktivitas yang hanya sedikit. Individu yang mengalami
fraktur stres harus didorong untuk mengikuti diet sehat-tulang dan diskrining untuk
mengetahui adanya penurunan denitas tulang.4
Patofisiologi
Perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar
tulang tersebut. Jaringan lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi
yang intens terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga
menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis dan pembersihan debris
sel mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur) terbentuk di tempat.5

8
Komplikasi

Kompartemen sindrom adalah suatu kelainan yang potensial menimbulkan kedaruratan, di


mana terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruang tertutup.11Sindrom
kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf dan pembuluh darah yang
disebabkan oleh pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Dengan pembengkakan
interstitial yang intens, tekanan pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini akan menimbulkan hipoksia jaringan
dan dapat menyebabkan kematian saraf yang mempersarafi daerah tersebut dan biasanya akan
timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat mengerakkan jari tangan atau jari kakinya.
Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang
ketat, seperti lengan. Risiko terjadinya sindrom kompartemen paling besar apabila terjadi
trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat. Pemasangan
gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di kompartemen ekstremitas,dan hilangnya fungsi secara permanen atau
hilangnya ekstremitas dapat terjadi. Gips harus segera dilepas dan kadang-kadang kulit
ekstremitas harus dirobek. Untuk memeriksa sindrom kompartemen, hal berikut ini dievaluasi
dengan sering pada tulang yang cedera atau digips: nyeri, pucat, parestesia, dan paralisis.
Denyut nadi mungkin teraba atau mungkin tidak.9

Kompartmen sindrom harus mendapatkan penanganan dengan segera mungkin dan


sebaik mungkin, jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera maka kompartemen
sindrom akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain:

 Kegagalan dalam mengurangi tekanan intrakompartemen dapat menyebabkan nekrosis


jaringan, selama perfusi kapiler masih kurang dan menyebabkan hipoksia pada
jaringan tersebut.
 Kontraktur Volkmann adalah deformitas pada tungkai dan lengan yang merupakan
kelanjutan dari kompartemen sindrom akut yang tidak mendapat terapi selama lebih
dari beberapa minggu atau bulan.
 Infeksi
 Hipestesia dan nyeri
 Komplikasi sistemik yang dapat timbul dari kompartemen sindrom meliputi gagal
ginjal akut, sepsis, dan Acute Respiratory Distress Syndrome(ARDS) yang fatal jika
terjadi sepsis kegagalan organ secara multisistem.7
9
terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur, yang disebut kalus. Bekuan fibrin segera
direabsorbsi dan sel tulang baru secara perlahan mengalami re-modeling untuk membentuk
tulang sejati. Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.10

Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur


pada anak sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila
hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila sel tulang
baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.10

Penatalaksanaan

Penanganan fraktur

Fraktur adalah gangguan pada kontinuitas tulang. Fraktur paling sering disebabkan oleh
trauma, tetapi dapat terjadi fraktur patologik pada tulang yang sakit hanya ikeh regangan otot
ringan pada aktivitas sehari-hari. Tujuan dari perbaikan fraktur adalah untuk memulihkan
susunan tulang ( reduksi ), mempertahankan reduksi tulang hingga terjadinya penyembuhan
tulang secara sempurna, dan mempertahankan serta memulihkan fungsi otot-otot rangka. 7,9

Fraktur dipersulit oleh adanya cedera jaringan lunak dan struktur neurovaskular disekitar
fraktur, serta oleh efek sistemik yang terjadi selama trauma. Terdapat dua kelompok besar
fraktur, yakni fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Dalam melakukan perbaikan fraktur,
pemberian posisi pasien dan peralatan khusus diperlukan bergantung pada jenis fraktur dan
ekstremitas yang terkena. Dapat digunakan sebuah meja fraktur atau meja lengan. Peralatan
lainnya yang diperlukan biasanya adalah bor dan gergaji mesin, fluoroskopi serta implan dan
instrumentasi sesuai dengan pilihan ahli bedah. 7,9

Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan pengembalian fungsi
dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

A. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka.
Masing-masing metode reduksi di pilih bergantung pada sifat fraktur yang terjadi.
 Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Fraktur sederhana pada sebuah tulang panjang sedikit atau tidak menyebabkan
pergeseran tulang dan dapat di terapi dengan teknik reduksi tertutup. Untuk
10
kenyamanan pasien biasanya dilakukan anestesi umum, tetapi dapat juga
dilakukan anestesi spinal. 7,9
 Traksi, fraktur sederhana yang menyebabkan pergeseran ringan ujung-ujung
tulang dan kerusakan jaringan lunak minimal dapat direduksi dan diimobilisasi
melalui traksi pada kulit atau tulang. Traksi tulang dapat digunakan untuk
mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi.
 Reduksi terbuka , adalah metode yang luas digunakan untuk terapi fraktur.
Metode ini dilakukan dengan pendekatan pembedahan terbuka pada
fragmen tulang yang mengalami fraktur. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. 7,9
B. Imobilisasi fraktur, setelah fraktur telah direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar dan tepat hingga terjadi
penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal ataupun internal.
Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, dan fiksator
eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam seperti pin, kawat, sekrup,
dan sebagainya yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
C. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi tulang, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak yaitu dengan mempertahankan reduksi dan
imobilisasi yang telah dilakukan hingga tulang menyambung secara sempurna,
meminimalkan pembengkakan (edema), memantau status neurologi, mengontrol rasa
sakit dan nyeri yang pasien alami, melakukan latihan isometrik dan setting otot,
berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari hingga kembali keaktivitas hidup
sehari-hari yang normal secara bertahap. 7,9

Sekarang ahli bedah ortopedi memiliki banyak pilihan yang tersedia untuk menangani fraktur.
Teknik-teknik pengobatan dapat digolongkan sebagai reduksi tertutup, fiksasi eksternal
ataupun fiksasi internal. 7,9

Penanganan sindroma kompartemen

Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis
dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun
11
fasiotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah
indikasi mutlak untuk melakukan fasiotomi. Penanganan kompartemen secara umum
meliputi: 10

Terapi Medikal / Non Bedah

Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi:

 Menempatkan ekstremitas yang terkena sindroma kompartemen setinggi jantung,


untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia
 Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut
kontriksi dilepas.
 Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen
 Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah
 Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen yang terjadi. Manitol mereduksi edema
seluler, dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi
sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.7

Terapi Bedah

Fasiotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai > 30 mmHg. Tujuan


dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika
tekanannya < 30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi
pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga
fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasiotomi.
Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.

Terdapat dua teknik dalam fasiotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda
pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan
insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena
peroneal. 2,6

12
Pencegahan Fraktur
Pencegahan fraktur dapat dilakukan berdasarkan penyebabnya. Pada umumnya fraktur
disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau terjatuh baik ringan maupun berat. Pada
dasarnya upaya pengendalian kecelakaan dan trauma adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang menyebabkan fraktur.11
Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya menghindari terjadinya trauma benturan,
terjatuh atau kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang berat atau mobilisasi yang
cepat dilakukan dengan cara hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan dengan
memakai alat pelindung diri. 11
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat – akibat yang lebih serius dari
terjadinya fraktur dengan memberikan pertolongan pertama yang tepat dan terampil pada
penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar tidak memperparah bagian
tubuh yang terkena fraktur untuk selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan klinis
dilakukan untuk melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah. Pemeriksaan dengan foto
radiologis sangat membantu untuk mengetahui bagian tulang yang patah yang tidak terlihat
dari luar. Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian dengan gips atau
dengan fiksasi internal maupun eksternal. 11
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya
komplikasi yang lebih berat dan memberikan tindakan pemulihan yang tepat untuk
menghindari atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan disesuaikan dengan
jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi medis
diupayakan untuk mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan mobilisasi
seperti biasanya. Penderita fraktur yang telah mendapat pengobatan atau tindakan operatif,
memerlukan latihan fungsional perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan dari tulang
yang patah. Upaya rehabilitasi dengan mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain meminimalkan bengkak, memantau
status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot, partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas ringan secara bertahap. 11

13
Prognosis

Prognosis tergantung pada jenis dan lokasi fraktur antebrachii, usia dan status kesehatan
individu serta adanya cedera secara bersamaan. Pemulihan umumnya memang sudah
dijangka, namun, individu-individu di atas usia 60 dengan fraktur antebrachii tertutup
memiliki tingkat kematian 17%. Tingkat non-union adalah sekitar 1%. Masalah permanen
dengan gaya berjalan mungkin terjadi, dan kecacatan/deformitas dapat diakibatkan dari cedera
lain yang berkelanjutan pada saat fraktur.9

Penutup

Hipotesis diterima. Fraktur pada umumnya disebabkan oleh peristiwa trauma benturan atau
terjatuh ringan maupun berat. Penanganan pada fraktur yang terjadi harus dilakukan dengan
segera dan sebaik mungkin agar terhindar dari komplikasi yang dapat memperberat keadaan
pasien. Pada fraktur dapat terjadi sindroma kompartemen yaitu terjadi penimbunan cairan di
kompartemen otot, tetapi fasia fibrosa tidak dapat mengembang sehingga terjadi edema dan
tekanan meningkat. Apabila tidak segera ditangani maka dapat mengakibatkan terjadinya
iskemia. Oleh karena itu sindroma kompartemen pun harus segera ditangani sehingga
mengurangi deficit dan fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal
melalui bedah dekompresi

14
Daftar Pustaka

1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.10-


6.
2. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta: Erlangga;
2006.h.84-5.
3. Suratun, Heryati, Manurung S, Raenah E. Klien gangguan sistem muskuloskeletal.
Jakarta: EGC; 2008.h.15-32.
4. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2009.h.309-344.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.335-9.
6. Davies K. Buku pintar nyeri tulang dan otot. Jakarta: Erlangga; 2010.h.90-1.
7. Gruendemann BJ, Fernsebner B. Buku ajar keperawatan perioperatif. Jakarta: EGC;
2009.h.288-98.
8. Mahode AA, Halim MJ, Bourman V, Hartanto YB. Terapi dan rehabilitasi fraktur.
Jakarta: EGC; 2011.h.157-175.
9. Brooker C. Ensiklopedia keperawatan. Jakarta: EGC; 2009.h. 136-140, 599-600.
10. Patel PR. Lecture notes radiologi. Jakarta: Erlangga; 2007.h.221-3.
11. Oman KS, Mclain JK, Scheetz LJ. Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta:
EGC; 2008.h.305-16.

15

Anda mungkin juga menyukai