Anda di halaman 1dari 18

EFEK DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA RESISTENSI OBAT

TUBERKULOSIS DAN HASIL PENGOBATAN YANG TIDAK


MEMUASKAN

Abstrak

Tujuan: Untuk mengevaluasi efek dari diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) pada hasil
pengobatan tuberkulosis (TB) dan Multi Drug Resistance (MDR).
Metode: Kohort dengan 507 individu terdiagnosis TB termasuk 183 individu dengan
koeksistensi DMT2 dan TB (TB-T2DM). Peserta diidentifikasi pada saat didiagnosis TB dan
diikuti selama pengobatan TB. Kemudian risiko dan penyesuaian relatif dihitung dengan Cox
Proportional Hazard untuk variabel hasil (resistansi obat, kematian, kambuh, kegagalan
pengobatan), dan besaran akibatnya dengan Cohen’s-d.
Hasil: Pasien dengan TB-DMT2 lebih cenderung tetap positif untuk basil tahan asam setelah
dua bulan pengobatan OAT (RR ¼ [2,01 (95% CI: 1,3, 3,1)]), memiliki resistansi obat (TB
DR) [OR 3,5 (95% CI: 1,8, 6.7)] dan multi-drug resistant TB (TB MDR) [OR 3.5 (95% CI:
1.8, 7.1)]. Cohen’s-duntuk DR atau MDR di DMT2 adalah 0,69 bila dibandingkan dengan
subjek non-DM. Pasien T2DM memiliki kemungkinan resistensi yang lebih tinggi terhadap
isoniazid (OR 3,9, 95% CI: 2,01, 7,9), rifampisin (OR 3,4, 95% CI: 1,6, 7,2) dan
pyrazinamide (OR 9,4, 95% CI: 2,8, 25,6), dan ukuran efeknya adalah 0,67. Pasien dengan
TB-T2DM (versus tidak DM) lebih cenderung menjadi TB MDR (HR 3,1; 95% CI: 1,7, 5,8; p
<0,001), mengalami kegagalan pengobatan (HR 2,04; 95% CI: 1,07, 3,8; p ¼ 0,02) dan
kekambuhan (HR 1,86; 95% CI: 1,09, 3,1; p ¼ 0,02), dengan efek ukuran 0,34.
Kesimpulan: DMT2 menunjukkan kontribusi yang cukup besar terhadap kehadiran DR atau
TB MDR dan menyebabkan hasil klinis yang tidak memuaskan selama dan setelah
pengobatan TB. Temuan kami mendukung pentingnya rutinitas skrining T2DM di antara
pasien TB yang baru didiagnosis untuk memberi stratifikasi pada penilaian DR, dan
menyoroti perlunya uji klinis untuk mengevaluasi variasi pada pengobatan standar TB di TB-
T2DM untuk mencegah hasil pengobatan yang tidak memuaskan.

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
1. PENDAHULUAN

Prevalensi global diabetes melitus (DM) telah meningkat cepat sebagai akibat dari
populasi yang lebih tua, urbanisasi dan perubahan gaya hidup selama beberapa dekade
terakhir. Federasi Internasional Diabetes (IDF) memperkirakan pada tahun 2015 prevalensi
diabetes melitus tipe 2 (T2DM) di seluruh dunia adalah 8,8% (415 juta orang). Di Meksiko,
prevalensi T2DM meningkat sebesar 4,7% dari 1998 sampai 2012, dengan tingkat kesakitan
358,2 per 100000 pada tahun 2012.[1]
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan 9,5 juta kasus baru
TB pada 2014 dengan 1,5 juta kematian.[2] Di Meksiko, kejadian tuberkulosis (TB) adalah
23 per 100.000, mencerminkan masalah kesehatan masyarakat yang serius.[3]
Kenaikan prevalensi T2DM memiliki dampak yang signifikan pada komorbiditas
tuberkulosis, dengan tingkat prevalensi mulai dari 10% sampai 30%, terutama mempengaruhi
negara berkembang, termasuk Amerika Latin.[4-9] Jumlah kasus TB terkait dengan T2DM
meningkat 82,64% dalam dekade terakhir di Meksiko. Selama tahun 2014, koeksistensi
T2DM dan TB (TB-T2DM) mewakili 21% kasus TB baru dan 45% resistensi multidrug
(MDR).[3]
Beberapa penelitian melaporkan bahwa T2DM meningkatkan risiko TB dua sampai
tiga kali lipat,[8,10,11] dan mengurangi keberhasilan penyembuhan pengobatan.[12,13]
Selain itu, T2DM telah diakui sebagai faktor risiko penting penularan, kegagalan pengobatan,
rawat inap, kambuh, drug resistence (DR), multidrug resistance (MDR), dan keterlambatan
dalam konversi apusan dahak.[8,10,12,14,15] Namun, hasil ini tidak konsisten di seluruh
studi, dimungkinkan karena variasi populasi penelitian.[6,16,17]
Studi kami sebelumnya di Veracruz, Meksiko, menunjukkan bahwa subjek TB-T2DM
memiliki risiko lebih dari 3,5 kali untuk terjadinya resistansi obat dan resistensi multi-obat,
serta peningkatan risiko BTA positif bertahan pada bulan kedua pengobatan (OR 2,3)
dibandingkan dengan subyek TB.[8] Untuk memperluas temuan ini, tujuan dari penelitian
adalah untuk mengevaluasi berdasarkan perbedaan standar deviasi (SD), ukuran efek T2DM
pada TB. Hasilnya, informasi ini bisa menjadi panduan bagi kalangan klinis untuk
menginterpretasikan tingkat keparahan TB, waktu diagnosis dan hasil pengobatannya.

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
2. METODE

2.1. Penentuan ukuran populasi

Penelitian ini adalah studi kohort terbuka yang mencakup pasien berusia 15 tahun atau
lebih tua yang didiagnosis dengan TB paru selama periode Maret 2006 sampai Maret 2014 di
Negara Bagian Veracruz oleh Pelayanan Kesehatan Program Mycobacteriosis Negara Bagian
Veracruz (SESVER), dan diikuti sampai Juli 2015. Diagnosis TB berdasarkan apusan dahak
positif melalui pewarnaan Ziehl Neelsen atau temuan klinis (chest imaging studies). Penderita
TB baru terdiagnosis yang setuju untuk berpartisipasi diikuti dari awal terdiagnosis TB
(waktu nol) sampai ada catatan variasi hasil apapun (kegagalan pengobatan, resistansi obat,
kambuh) atau sudah menyelesaikan perawatan dan apusan dahaknya negatif pada tanggal 1
Juli 2015. Orang HIV-positif dikecualikan.
Pasien dengan TB diagnosis baru, mendapat pengawasan ketat pengobatan (TAES)
selama 25 minggu, sampai 150 dosis, terbagi menjadi dua tahap: fase intensif, enam puluh
dosis (Isoniazid, rifampisin, pirazinamida dan etambutol), dan fase lanjutan, empat puluh
lima dosis (tiga kali seminggu, dengan Isoniazid dan rifampisin).
T2DM dipertimbangkan saat subjek telah terdiagnosis sebelumnya (kadar glukosa
plasma puasa 126 mg / dl) atau saat didiagnosis dengan TB. Data diperoleh dari file klinis
pasien, atau tes yang dilakukan oleh dokter yang merawat. Individu dengan DM Tipe 1
dikeluarkan dari penelitian. Pasien TB kemudian diklasifikasikan sebagai TB-nonT2DM atau
TB-T2DM ( Gambar 1 ).
Perhitungan ukuran sampel dilakukan dengan Program statistik Epidat 3.1, yaitu:
menggunakan analisis epidemiologi untuk tabulasi data, dimana rasio paparan 2 banding 1
dipertimbangkan, dengan frekuensi resistansi obat 36%, pada TB-T2DM, dan 10% untuk
kelompok TB, dengan tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 95%, Ukuran sampel
minimal 54 subjek diperkirakan untuk kelompok terpapar dan 108 subjek untuk kelompok
yang tidak terpapar, menggunakan Yates correction’s.

2.2. Data Epidemiologi dan klinis

Data epidemiologi dan riwayat kesehatan yang dilaporkan didokumentasikan pada


saat diagnosis TB menggunakan kuesioner yang telah dikembangkan sebelumnya.[18] Status
sosio-ekonomi dibagi menjadi tinggi (profesional, manajer dan pemilik bisnis); medium
(karyawan, pekerja kantor, ibu rumah tangga dan siswa) dan rendah (pekerja, petani,

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
pengangguran dan tahanan). Kepadatan domestik didasarkan pada kehadiran tiga orang atau
lebih per kamar di rumah pasien. Berasal asli, ketika pasien dikenali sebagai pribumi.
Konsumsi alkohol yang dilaporkan sendiri, setidaknya sekali seminggu, dan merokok dalam
waktu enam bulan sebelum diagnosis TB. Gaya hidup menetap didasarkan pada laporan tidak
adanya aktivitas fisik lebih dari 3 kali seminggu selama 30 menit setiap waktu. Riwayat TB
sebelumnya, dipertimbangkan ketika pasien atau berkas medis melaporkan TB sebelumnya.
Catatan register medis diperoleh dari Platform Informasi Kesehatan untuk TB di Negara
Bagian Veracruz (SINAVE, modul TB) digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
apusan dahak, pada saat penelitian dimulai (momen diagnostik) dan bulanan sampai akhir
pengobatan. Modul TB ini juga digunakan untuk mengidentifikasi hasil tes sensitivitas, TB
kambuh dan kegagalan pengobatan Menurut peraturan nasional, tes DR dilakukan pada
subjek yang, menurut penilaian klinis sebelumnya, curiga DR, konfirmasi dilakukan oleh
program mycobateriosis negara dan dianggap sebagai DR ketika resistan terhadap satu atau
lebih obat lini pertama (rifampisin, isoniazid, streptomisin, etambutol) diamati. MDR
dipertimbangkan bila resistansi simultan terhadap rifampisin dan isoniazid ditemukan.
Analisis ini didasarkan pada pengujian in vitro standar sensitivitas obat (BACTEC, MGIT).
Kambuh kembali/infeksi ulang adalah jika pasien yang telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan selesai, kemudian menunjukkan hasil apusan dahak dan tanda positif gejala TB.
Kegagalan pengobatan didefinisikan saat pasien sebelumnya diobati untuk TB dan dahak
tetap positif pada 5 bulan atau lebih selama perawatan. Kematian didaftarkan selama
pengobatan anti-TB.[2]

2.3. Statistik, Analisis Survival Dan Pertimbangan Etis

Estimasi perbedaan rata-rata ditentukan dengan T-Test, sedangkan untuk proporsi


digunakan uji AZ. Regresi logistik digunakan untuk rasio odds (OR), disesuaikan dengan usia
(tidak ada perbedaan jenis kelamin dicatat). Analisis survival dilakukan mengikuti metode
Cox [19] untuk rasio bahaya (HR) yang disesuaikan dengan usia (<35 dan 35 tahun), jenis
kelamin, kepadatan dan merokok. Pengaruh perhitungan ukuran dilakukan dengan Cohen's-d
[20] , berupa ukuran standar dari efek ukur yang berdasarkan perbedaan standar deviasi (SD)
dan dihitung setelah transformasi OR dan HR, sementara 0,2 SD dianggap kecil efeknya
sedangkan 0,8 SD adalah efek yang besar dan bisa menjadi panduan klinis untuk interpretasi
dampak variabel pada suatu peristiwa.

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Paket statistik SPSS 22 dan Epidat 3.0 digunakan untuk analisis data. Perbedaan
antara kelompok dianggap signifikan jika nilai p <0,05 tercapai.
Pertimbangan etis diamati secara ketat mengikuti panduan dari Komite Institut
Kesehatan Masyarakat Universitas Veracruz, yang menangani masalah etika yang terkait
dengan penelitian ini.

Gambar 1. A) Kriteria inklusi dan ekslusi partisipan. B) Perlakuan terhadap partisipan dan follow up
selama penelitian

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
3. Hasil

3.1. Karakteristik Yang Membedakan TB-T2DM Versus TB-nonT2DM Pada Waktu


Diagnosis

Selama periode dari Maret 2006 sampai Maret 2014, 600 pasien TB baru didaftarkan,
dimana 507 pasien masuk dan berlanjut sampai akhir pengobatan TB, termasuk 183 (36%)
individu dengan TB-T2DM. Waktu rata-rata tindak lanjut adalah 8,39 (SD 18,6) bulan; usia
rata-rata adalah 43 (SD 16) tahun; pria lebih banyak (67%) dibanding wanita. Pasien dengan
TB-T2DM lebih tua dengan usia rata-rata 50 (SD 11) tahun, juga cenderung tinggal di bawah
kondisi yang penuh sesak (43% vs 34%, p ¼ 0,05) dan memiliki asal (9% vs 4%, p ¼ 0,06),
variabel demografis tambahan ditunjukkan pada Tabel 1.
T2DM didiagnosis 6.1 (SD 5.2) tahun sebelum penyakit TBC pada 90% subjek
(165/183), dan sisanya 10% didiagnosis serentak. Pasien dengan TB-T2DM lebih mungkin
kelebihan berat badan (31% vs 15%, p <0,005), memiliki riwayat keluarga DMT2 (68% vs
30%, p <0,005), dan cenderung menjadi perokok (30% vs 43%, p <0,005). Kehadiran
malnutrisi lebih tinggi di antara TB-nonT2DM pasien (25% vs 7%, p <0,005) (Tabel 1).
Sebanyak 10% Subjek (49) menggambarkan sendiri riwayat TB sebelumnya, dengan
frekuensi yang lebih tinggi pada kelompok TB-DMT2 (14% vs 7%, p <0.014), tapi tanpa
registrasi sebelumnya di TB-modul SINAVE, atau file klinis pasien. Pada saat diagnosis TB,
TB-DMT2 vs TB-noT2DM, lebih cenderung menunjukkan hasil pemeriksaan apusan positif,
tapi di antara BTA-positif tidak ada perbedaan lebih lanjut pada jumlah BTA (Tabel 1).
Tanda dan gejala klinis pada saat didiagnosis tuberkulosis serupa untuk TB-noT2DM dan
TB-T2DM, kecuali untuk demam (subjek TB-T2DM memiliki OR ¼ 1,8, 95% CI: 1,2, 2,9)
dan kecenderungan untuk batuk darah. Rawat inap setelah didiagnosis dengan TB lebih tinggi
pada subjek dengan TB-T2DM (OR ¼ 1,8, 95% CI: 1,04, 3,3).

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Tabel 1. Sosio-demografis dan karakteristik klinis pasien TB dengan status T2DM
Variabel Total TB TB-T2DM p
n = 507 (%) n = 324 (%) n = 183 (%)
Jenis ♂ 337 (67) 219 (68) 118 (64) 0,53
Kelamin
♀ 170 (33) 105 (32) 65 (36)
Umur (tahun) Rerata ± SD 42,65 ± 16,4 38,6 ± 17,4 49,7 ± 11,4 <0,005
≥35 332 (66) 170 (53) 162 (88) <0,005
<35 175 (34) 154 (47) 21 (12)
Buta aksara Ya 85 (17) 49 (15) 36 (20) 0,23
Tidak 422 (83) 275 (85) 147 (80)
Tempat Kota 149 (29) 90 (28) 59 (32) 0,33
Tinggal
Desa 358 (71) 234 (72) 124 (68)
Pemukiman Ya 190 (38) 111 (34) 79 (43) 0,05
Padat
Tidak 317 (62) 213 (66) 104 (57)
Kelompok Ya 30 (6) 14 (4) 16 (9) 0,06
Etnis
Tidak 477 (94) 310 (96) 167 (91)
Status Sosio- Rendah 191 (38) 126 (39) 65 (36)
ekonomi
Menengah ke 316 (62) 198 (61) 118 (64)
atas
Merokok Ya 194 (38) 140 (43) 54 (30) <0,005
Tidak 313 (62) 184 (57) 129 (70)
Alkoholisme Ya 259 (51) 170 (53) 89 (49) 0,46
Tidak 248 (49) 154 (47) 94 (51)
Kontak TB Ya 133 (26) 81 (33) 52 (40) 0,26
sebelumnya
Tidak 374 (74) 243 (77) 131 (60)
Riwayat TB Ya 49 (10) 23 (7) 26 (14) 0,014
sebelumnya
Tidak 458 (90) 301 (93) 157 (86)
Riwayat Ya 222 (44) 97 (30) 125 (68) <0,005
Keluarga
T2DM
Tidak 285 (56) 227 (70) 58 (32)
Gaya Hidup Ya 426 (84) 270 (83) 156 (85) 0,66
Tidak
Beraturan
Tidak 81 (16) 54 (17) 27 (15)

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Variabel Total TB TB-T2DM p
n = 507 (%) n = 324 (%) n = 183 (%)
Penegakkan Sputum 464 (91,5) 292 (90) 172 (94) 0,18
Diagnosis Positif
Rontgen 42 (8) 31 (9,5) 11 (6) 0,22
Torak
TAC 1 (0,5) 1 (0,5) 0
Apusan Negatif 17 (4) 16 (6) 1 (1) 0,01
<1 187 (40) 122 (42) 65 (38) 0,47
1-10 121 (26) 70 (24) 51 (29) 0,20
>10 139 (30) 84 (29) 55 (32) 0,51
IMT (kg/m2) <18,5 78 (18) 68 (25) 10 (7) <0,005
18,5-24,9 256 (61) 162 (60) 94 (62) 0,69
≥25 88 (21) 41 (15) 47 (31) <0,005

3.2. Efek Samping Selama Pengobatan TB dengan Status T2DM

Selama pengobatan, sepertiga pasien TB tetap dengan apusan dahak positif setelah
dua bulan pengobatan TB, dan ini dua kali lipat dari kelompok TB-T2DM (OR ¼ 2,01, CI
95%: 1,3, 3,1) (Tabel 2 A). Hanya 33% (47) dari 149 subyek, yang tetap hasil apusannya
positif setelah dua bulan pengobatan obat TB melakukan tes kepekaan obat (55% TB-DMT2
vs 45% TB, p ¼ 0,32).
Tidak jelas apakah terjadi DR pada saat diagnosis TB atau muncul selama
pengobatan, mengingat bahwa di Meksiko pengujian DR umumnya dilakukan sekali pasien
telah "gagal" pengobatan dengan rejimen standar pengobatan lini pertama. Itulah alasannya
mengapa hanya 17% (87) jumlah subjek dalam penelitian ini memiliki Tes sensitivitas obat
(25% TB-DMT2 vs 13% TB-noT2DM, p> 0,001). Ditemukan bahwa TB-T2DM dikaitkan
dengan resistensi terhadap isoniazid, rifampisin dan pirazinamida (OR ¼ 3,9, 95% CI 2,1,
7,9; OR ¼ 3,4, 95% CI 1.6, 7.2; atau ¼ 9,4, 95% CI 2,8, 25,6, masing-masing) dan ukuran
efeknya, Cohen’s-d 0,7 disebabkan DMT2. Resistensi terhadap streptomycin dan ethambutol
tidak terkait dengan T2DM. T2DM juga dikaitkan dengan reistensi terhadap lebih dari satu
obat, dan MDR dengan ukuran efek, Cohen’s-ddari 0,69, di kedua jenis resistensi (Tabel 2
A).
Bila diperkirakan ukuran efek hanya untuk DR dan MDR saja subyek dengan uji
sensitivitas, DR hadir di 76% [35] dari individu dengan TB-DMT2 dengan DR pengujian vs
54% [22] TBnonT2DM, OR ¼ 2,74 (95% CI 1,1, 5,8, p <0,03) dan efek ukuran, Cohen's-d,
dari > 0,5 dikaitkan dengan T2DM. MDR diidentifikasi di 57% [26] TB-DMT2 vs 39% [16]

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
TB-noT2DM, OR ¼ 2,03 (95% CI 0,86, 4,7, p ¼ 0,1) dengan ukuran efek dari 0,39 (Tabel 2
B).
Resistansi obat ditemukan pada 24% TB-T2DM, HR ¼ 3.1 (95% CI 1,7, 5,8, p
<0,001), ini setara dengan ukuran efek, Cohen’s-d 0,62, untuk DMT2 (Gambar. 2). Setelah 2
tahun follow up DR di TB-T2DM adalah 14% vs 18% dibanding individu TB nonDMT2 (p ¼
0,9).

Tabel 2A. Resistensi obat tuberculosis pada pasien dengan atau tanpa T2DM
Variabel Total TB TB-T2DM d OR 95% P
n = 507 (%) n = 324 (%) n = 183 (%) CI
Apusan Y 149 (29) 77(24) 72 (39) 0,38 2,01 1,3- <0,005
positif 3,1
(Bulan ke-2
terapi)
N 358 (71) 247 (76) 111 (61)
Resisten Y 57 (11) 22 (7) 35 (19) 0,69 3,5 1,8- <0,005
terhadap ≥ 1 6,7
obat
N 450 (89) 302 (93) 148 (81)
MDR Y 42 (8) 16 (5) 26 (14) 0,69 3,5 1,6- <0,005
7,1
N 465 (92) 308 (90) 157 (86)
INH Y 52 (10) 19 (6) 33 (18) 0,75 3,9 2,01- <0,005
7,9
N 455 (90) 305 (94) 150 (82)

R Y 41 (8) 16 (5) 25 (14) 0,67 3,4 1,6- <0,005


7,2
N 466 (92) 308 (95) 158 (86)
H Y 23 (5) 6 (2) 17 (9) 1,17 9,4 2,8- <0,005
25,6
N 484 (95) 318 (98) 166 (91)
S Y 34 (7) 17 (5) 17 (9) 0,29 1,7 0,81- 0,14
3,8
N 473 (93) 307 (95) 166 (91)
E Y 22 (4) 13 (4) 26 (14) 0,1 1,2 0,46- 0,69
3,2
N 485 (96) 311 (96) 157 (86)

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Tabel 2B. Resistensi obat tuberculosis pada pasien dengan atau tanpa T2DM dengan tes
sensitifitas obat
Variabel Total TB TB-T2DM d OR 95% CI P
n = 87 (%) n = 41 (%) n = 46 (%)
Resisten terhadap Y 57 (66) 22 (54) 35 (76) 0,55 2,74 1,1-6,8 <0,03
≥ 1 obat
N 30 (34) 19 (46) 11 (26)
MDR Y 42 (48) 16 (39) 26 (57) 0,39 2,03 0,86-4,7 0,1
N 45 (52) 25 (61) 20 (43)

3.3. Hasil Efek Samping Pengobatan Yang Tidak Memuaskan Dengan Status T2DM

Kegagalan pengobatan adalah 24% di antara kelompok TB-T2DM, dibandingkan


dengan 11% subyek dengan TB-nonT2DM, HR-nya adalah 2,04 (95% CI 1,07, 3,8, p ¼ 0,02)
dan ukuran efek, Cohen's-d, 0,39 (Gambar. 3). Tidak ada perbedaan signifikan pada subyek
dengan kegagalan pengobatan dan kegagalan untuk usia, kepadatan penduduk, merokok,
alkoholisme, kontak TB sebelumnya, riwayat keluarga T2DM, dan juga tanda dan gejala (p
0,05). Namun, ada yang frekuensi lebih tinggi dari pria dengan kegagalan pengobatan (12%
vs 8% wanita, p ¼ 0,01), dengan DMT2 (13% vs 7% TB, p ¼ 0,02), riwayat TB (46% vs 8%,
p <0,001), dan BTA positif pada 2 dan 3 bulan pengobatan (21% v s 5%, p <0,001; 26% v s
11%, p <0,03, masing-masing). Selama periode tindak lanjut, hanya 23 (4,5%) subyek
meninggal (6% TB-DMT2 vs 4% TB, p ¼ 0,56), tidak ada perbedaan yang signifikan dengan
variabel lain yang diamati.
Tindak lanjut sejak akhir pengobatan sampai akhir pengobatan pada bulan Juli 2015
adalah 50,09 (SD 30.8) bulan dan termasuk 484 pasien. Orang-orang dengan TB-T2DM
menunjukkan 30% kekambuhan. Setelah selesai pengobatan anti tuberkulosis, dibandingkan
dengan pengobatan anti tuberkulosis 15% pada mereka dengan hanya TB, HR ¼ 1,86 (95%
CI 1,09, 3,1, p ¼ 0,02), dan Cohen’s-d, 0,36 (Gambar 4). Subjek dengan kambuh tidak
menunjukkan perbedaan statistik dengan subjek tanpa kambuh di usia, kepadatan, merokok,
alkoholisme, kontak TB sebelumnya dan sejarah keluarga dengan DMT2, (p> 0,05). Namun,
kami mengamati frekuensi yang lebih tinggi dari pria dengan kekambuhan (17% vs 5%, p>
0,001), DMT2 (19% vs 10%, p ¼ 0,005), BTA positif pada 2 dan 3 bulan pengobatan (21%
vs 10%, p ¼ 0,001, 31% vs 11%, p <0,001, masing-masing) dan batuk darah (20% vs 11%, p
¼ 0,008).
Stratifikasi pasien TB dengan T2DM dan apusan dahak positif pada bulan ke-2,
menunjukkan bahwa orang-orang dengan T2DM dan apusan dahak positif lebih cenderung

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
memiliki DR (OR ¼ 6.68, 95% CI 2.3, 19.1; p <0,0001) dengan Cohen's-d ukuran efek d 1,04
untuk DMT2, dan kegagalan (OR ¼ 4,7, 95% CI 1,5, 14,2; p ¼ 0,006), Cohen’s-d, ukuran
efek dari 0,85 untuk T2DM. Akhirnya, apusan dahak positif pada bulan ke-2 dan T2DM tidak
dikaitkan dengan kematian atau kambuh (Tabel 3).

Gambar 2. Perjalanan waktu sejak didiagnosis TB hingga terdeteksinya resistensi obat pada
pasien T2DM

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Gambar 3. Perjalanan waktu sejak didiagnosis TB hingga terdeteksinya kegagalan terapi
pada pasien T2DM

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Gambar 3. Perjalanan waktu sejak selesai menjalani terapi TB hingga terdeteksinya relaps
pada pasien T2DM

Tabel 3. Perkiraan besar efek resistensi obat dan hasil terapi terhadap komorbiditas T2DM
dan sputum postif pada terapi bulan ke-2 yang persisten
Sputum postif pada bulan TB-T2DM TB d OR 95% CI P
ke-2 terapi (n=183) (n=324)
n=72 (39%) n=77 (24%)
Resistensi Obat 21 (29) 16 (21) 1,04 6,68 2,3-19,1 <0,001
Gagal 14 (19) 17 (22) 0,85 4,73 1,5-14,2 0,006
Relaps 21 (29) 10 (13) 0,22 1,5 0,63-3,4 0,24
Meninggal 5 (7) 4 (5) 0,10 1,1 0,34-3,6 0,84

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
4. DISKUSI

Ini adalah kohort pertama dari pasien TB Meksiko yang baru didiagnosis, yang diikuti
sejak saat diagnosis TB sampai selesai pengobatan TB, selama tujuh tahun, termasuk 507
pasien dengan TB (n ¼ 324) dan TB-T2DM (n ¼ 183). Bagian koeksistensi kedua kondisi
tersebut adalah 36%, yaitu di antara yang tertinggi dilaporkan sampai saat ini. Meskipun
serupa dengan yang dilaporkan di perbatasan Meksiko dengan Texas, lebih tinggi dari 21%
kota lainnya di Meksiko [2,3,5] , dan lebih tinggi daripada penelitian lain di Amerika Latin,
yang berkisar dari 10 sampai 30% [3,13,17,21,22] .
Desain penelitian observasional memiliki kesulitan pada interpretasi kausalitas dan
kelompok yang dirancang dengan baik membantu untuk efek yang jelas untuk membedakan
perbedaan di antara mereka. Pada tahun terakhir ukuran efek untuk interpretasi klinis hasil
statistik, dan tidak semata deskripsi signifikansi statistik, berdasarkan nilai p, telah
direkomendasikan untuk dilaporkan[23] . OR adalah pengukuran asimetris yang diturunkan
dari belahan antara dua hubungan lainnya. Penggunaan logaritma hubungan untuk fungsi
logistik berubah menjadi dimensi lineal [24] membuat cocok untuk dianalisis dengan
perbedaan. Cohen’s-d[20] adalah ukuran standar pengukuran efek berdasarkan standar
perbedaan deviasi (SD), sedangkan 0,2 SD dianggap kecil dan 0,8 SD efeknya besar, dan bisa
menjadi panduan untuk interpretasi klinis, namun, menurut konteks masing-masing.
Mengenai tuberkulosis, kami membandingkan kelompok yang didefinisikan dengan baik
(diabetes vs non-diabetes), oleh karena itu kami memberi efek yang mudah dianalisis dan
siap digunakan di bidang meta-analisis. Sepengetahuan kami ini adalah pertama kalinya
bahwa ukuran efek (Cohen’s-d) T2DM untuk hasil TB telah ditentukan. Ukuran efeknya
adalah pandangan menyeluruh terhadap efek klinis suatu faktor, dalam kasus kami T2DM.
Kita menemukan ukuran efek 69% untuk resistansi obat, 43% untuk kegagalan pengobatan
dan 34% untuk kambuh. Data ini menunjukkan relevansi klinis T2DM tentang evolusi TB
dan adanya TB-MDR.
Pasien dengan TB-T2DM berusia 10 tahun lebih tua dari yang hanya TB. Perbedaan
ini dapat dijelaskan dengan kenaikan paralel prevalensi T2DM dengan usia, seperti yang
telah dilaporkan sebelumnya [3,8,25,26]. Studi kami mendukung konsep bahwa sejarah
diabetes keluarga (dilaporkan pada 68% pasien dengan TB-T2DM, OR 5,04, IC 95%: 3,4,
7,4, p <0,001) merupakan faktor risiko untuk pengembangan TB [8,27] .

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
Meski kekurangan gizi atau kurus adalah risiko tradisional untuk berkembangnya TB
[28], hanya 18% pasien TB yang memiliki BMI 18.5. BMI rendah kurang sering terjadi pada
TB-T2DM dan konsisten dengan temuan dari peneliti lain dimana BMI> 25 lebih mungkin
terjadi antara TB-DMT2 [17,18]. Hal ini dapat memiliki implikasi klinis karena sesuai
dengan pedoman pengelolaan pengendalian TB, terapi obat harus disesuaikan ketika BMI 25
[2] . Namun, kelebihan berat badan dan obesitas tidak secara rutin diperhitungkan untuk
penyesuaian obat selama pengobatan TB. Dengan demikian, ada kemungkinan pasien TB-
2DM yang kelebihan berat badan menerima dosis TB suboptimal obat-obatan, dan dapat
berkontribusi terhadap kadar obat di dalam plasma yang lebih rendah [ 29-31]. Dalam
penelitian ini, tingkat suboptimal obat-obatan TB telah dikaitkan dengan hiperglikemia kronis
atau kemungkinan interaksi antara obat untuk pengelolaan DM dan TB [12,32] . Temuan
kami menunjukkan bahwa kelebihan berat badan harus menjadi pertimbangan tambahan
dalam kasus tersebut.
Pada saat diagnosis TB, pasien TB-T2DM lebih mungkin mengalami demam, lebih
banyak batuk darah, lebih cenderung menunjukkan hasil apusan dahak yang positif, dan
setelah dua bulan pengobatan kemungkinan lebih tinggi untuk persistensi apusan positif.
Pengeliminasian bakteri yang tertunda dari dahak selama pengobatan dilaporkan pada
kebanyakan penelitian lainnya pada TB-DMT2 [10,13,33,34] . Bersama-sama, temuan ini
menunjukkan jumlah bakteri yang tinggi pada saat diagnosis memakan waktu lebih lama
untuk tereliminasi selama perawatan, yang mendukung penularan TB ke kontak terdekat [21]
. Dengan demikian, komorbiditas T2DM tidak hanya menjadi masalah bagi pasien TB,
namun komorbiditas yang menantang pengendalian TB di masyarakat.
Penundaan konversi apusan dahak selama pengobatan juga bisa terjadi karena
resistansi obat utama yang tidak terdeteksi pada saat diagnosis TB, namun sampai tiga bulan
pengobatan pasien masih dengan apusan dahak positif. Keterlambatan dalam pengujian DR
karena keterbatasan dana, dan bukan hanya situasi tertentu saja di Meksiko, tapi untuk
sebagian besar negara berkembang di mana TB dan T2DM adalah lazim. Jadi, kita
menemukan jumlah kasus MDR TB di antara pasien TB-T2DM, seperti dilaporkan dalam
beberapa penelitian [22, 35-37], tapi kita tidak bisa membedakan kasus resistansi obat primer
dan sekunder pada pasien TB-T2DM. Ini adalah batasan yang membutuhkan perubahan.
Kami menemukan bahwa subyek dengan TB-T2DM rentan terhadap resistensi obat
TB yang diketahui terjadi dengan adanya mutasi dalam genom bakteri, setelah tekanan

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
selektif oleh obat TB [38]. Temuan kami tentang kemungkinan resistensi obat yang lebih
tinggi untuk isoniazid, rifampicin dan pyrazinamide pada pasien TB-T2DM konsisten dengan
laporan sebelumnya [10,13,17,22,39], tetapi tidak yang lain [7,13,36,37,40]. Salah satu
penjelasannya bisa jadi karena perbedaan kekebalan inang menyebabkan respon yang
dihasilkan dari beragam latar belakang genetik populasi yang berbeda, atau perbedaan dalam
pengelolaan penyakit oleh Program TB di seluruh dunia karena ketersediaan sumber daya.
Untuk contoh, pengujian untuk DR tidak tersedia untuk semua pasien TB yang baru
didiagnosis di Meksiko atau banyak negara lain di seluruh dunia. Temuan kami menyoroti
pentingnya memprioritaskan penggunaan sumber daya terbatas untuk tes DR pada pasien TB
yang baru didiagnosis dengan T2DM.
Dalam penelitian kami, kami tidak bisa membedakan resistensi obat primer dan
sekunder, mengingat pengujian itu hanya dilakukan tiga bulan setelah dimulainya pengobatan
pada pasien yang hasil dahaknya tetap menunjukkan apusan dahak positif. Penelitian
sebelumnya menyatakan TB-MDR terutama terjadi pada pasien DMT2 [39], tapi secara
keseluruhan, data tersebut minim dalam literatur. Resistansi obat bisa diperoleh dengan
melihat rendahnya konsentrasi obat anti-tuberkulosis di serum pasien TB-T2DM. Penjelasan
yang mungkin untuk perubahan farmakokinetik ini berhubungan dengan interaksi antara obat
untuk TB dan T2DM, mengurangi penyerapan atau kerusakan fungsi hati pada pasien DMT2
[12, 29-32].
Kami selanjutnya menemukan bahwa stratifikasi status T2DM pada individu dengan
apusan dahak positif pada bulan ke-2, didefinisikan sebagai kelompok berisiko tinggi, dengan
kemungkinan DR 3 kali lipat lebih tinggi dan memiliki risiko serupa untuk kekambuhan TB,
bila dibandingkan dengan TB-nonT2DM dengan apusan dahak positif pada bulan ke-2.
Temuan kami yang menunjukkan tingginya risiko hasil pengobatan TB yang tidak
memuaskan menunjukkan kebutuhan uji klinis untuk mengevaluasi modifikasi regimen pada
pengobatan TB dengan T2DM, seperti perpanjangan waktu untuk tahap pertama pengobatan,
modifikasi dosis obat anti-TB dengan dosis yang lebih tinggi, dan pengobatan selama 9 bulan
(DOT) dibandingkan 6 bulan (DOTS).
T2DM mendukung perkembangan dan hasil pengobatan yang tidak memuaskan dari
TB karena adanya hiperglikemia [7,10,32], dengan menurunkan respon kekebalan dari inang
melawan Mycobakterium oleh disregulasi interleukin IL1 b, TNF dan IL-6, IFN-ɣ, IL-18, IL-
10 dan IL-12 [41,42], mengurangi atau menghambat fagositosis dan inisiasi respon imun

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
bawaan pada TB akut atau kronis, dan meningkatkan Th1 dan Th17 yang berlebihan saat
penyakit TB berkembang [35,43,44]. Penelitian selanjutnya harus memperhatikan dampak
kenaikan prevalensi T2DM pada TB. Federasi Diabetes Internasional memprediksi bahwa
prevalensi diabetes akan naik menjadi 642 juta pada 2040 [9], sehingga menjadi prioritas bagi
pengembangan penelitian binomial yang lebih mendalam, dan manajemen farmakologis
untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi dalam masyarakat [8,11,45,46] .
Pada kesimpulannya, temuan kami menunjukkan bahwa DM2 memiliki pengaruh
yang signifikan pada kejadian efek TB yang merugikan, seperti resistensi obat, non konversi
dahak, kegagalan pengobatan, dan kambuh. Terjadinya T2DM dan dahak positif yang
persisten setelah dua bulan pengobatan pada individu dengan TB memberi risiko lebih besar
untuk mengalami kegagalan pengobatan dan berlanjut kepada DR. Aspek ini seharusnya
dipertimbangkan dalam manajemen farmakologi dan tindak lanjut medis pasien dengan
binomial, karena setelah bulan kedua pengobatan (fase intensif) terjadi perubahan jenis
pengobatan (fase lanjutan) berupa pengurangan dosis dan jenis obat yang dimodifikasi. Dari
bahasan sebelumnya menunjukkan perlunya mengevaluasi kembali relevansi untuk
memperpanjang fase intensif, dan mengurangi risiko untuk terjadinya kegagalan pengobatan
atau DR.
Di berbagai negara, seperti Meksiko, di mana tes sensitivitas obat pada individu
dengan diagnosis TB kasus baru belum distandarisasi, pada kasus di mana subjek juga
memiliki T2DM, harus dilakukan uji sensitivitas terhadap obat lini pertama dan lini kedua.
Dengan adanya informasi tersebut, maka akan memungkinkan untuk mengidentifikasi secara
tepat waktu, adanya DR, MDR dan XDR-TB, dan dari titik tersebut, pengobatan farmakologis
dan surveilans epidemiologis yang memadai dapat diterapkan sejak awal pengobatan, untuk
menghindari memburuknya kasus dan kemungkinan dispersi pada kontak dekat.
Tidak ada keraguan bahwa pendekatan terkoordinasi untuk lebih memahami efek
gabungan dari T2DM dan TB sangat diperlukan, dengan tujuan untuk mengurangi risiko
penyebaran TB lokal, regional, dan global, serta mendukung tujuan eliminasi penyakit yang
diinginkan pada tahun 2050

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK ULM / RSUD Ulin Banjarmasin
JURNAL READING

Divisi Infeksi

The Effect Size Of Type 2 Diabetes Mellitus On Tuberculosis Drug Resistance


And Adverse Treatment Outcomes

Konsulen :
Dr. dr. Mohammad Isa, Sp. P (K)

Oleh :
dr. Pradana Maulana Putra

Program Pendidikan Dokter Spesialis


SMF Pulmonologi & Kedokteran Respirasi
FK Universitas Lambung Mangkurat / RSUD Ulin
Banjarmasin

Desember, 2017

Anda mungkin juga menyukai