Anda di halaman 1dari 12

AHLUSSUNNAH WALJAMAAH :

AKTUALISASI DAN PELESTARIANNYA DI TENGAH-TENGAH


MASYARAKAT
Oleh : Abdullah Syamsul Arifin

A. Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah

Dengan tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah


wal Jamaah, jam’iah Nahdlatul Ulama semenjak pertama berdirinya menegaskan diri
sebagai penganut, pengembang Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dengan sekuat
tenaga, Nahdlatul Ulama berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan
mengajak seluruh kaum muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri
pada Ahlussunnah wa Jamaah.
Pada hakekatnya, Ahlussunnah wal Jamaah, adalah ajaran Islam yang murni
sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw. bersama para sahabatnya.
Ketika Rasulullah saw. menerangkan bahwa umatnya akan tergolong menjadi banyak
sekali (73) golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan selamat dari sekian
banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah wa Jamaah. Atas pertanyaan parasahabat,
apakah as-Sunah wal Jamaah itu beliau merumuskan dengan sabdanya:
‫ما انا عليه اليوم واصحابى‬
“apa yang aku brerada di atasnya,hari ini,bersama para sahabat ku”.
Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan pengikut setia pada al-Sunnah wa al-
Jamaah, yaitu ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan Oleh Rasulullah saw. bersama
para sahabatnya pada zamanya itu.
Sebagai suatu doktrin ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada jauh sebelum
tumbuh sebagai “aliran” dan “gerakan”, bahkan teminologi atau istilah Ahlussunnah Wal
Jama’ah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah s.a.w. dan para sahabatnya; hanya saja
belum dipakai sebagai “nama aliran” atau gerakan kelompok tertentu. Hal yang memicu
lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai aliran dan gerakan tertentu dari komunitas
Islam adalah sebagai reaksi dan koreksi terhadap aliran dan gerakan lain di kalangan
umat Islam yang mengancam kemapanan doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, terutama
menguatnya pengaruh aliran dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya
pada zaman Al-Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M)
dan Al-Watsiq (228-233 H/842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab
resmi negara yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam penyebaran faham Mu’tazilah itu, terjadi suatu peristiwa yang membuat
lembaran hitam dalam sejarah umat Islam dan khususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah
Al-Ma’mun dalam upayanya menanamkan pengaruh Mu’tazilah melakukan pemaksaan
kepda seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masarakat Islam.
Dalam pemaksaan faham Mu’tazilah itu, banyak ulama yang menjadi panutan masarakat
menjadi korban penganiyayaan di antaranya adalah Imam Hambali ( ahmad bin Hambal),
Muhammad bin Nuh, dan lain-lain lagi yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk
mengattakan bahwa “ Al-qur’an itu adalah mahluk” (seperti yang diyakini Mu’tazilah),
maka mereka dipenjarakan dan dianiaya. Ketegaran dan ketegasan mereka dalam
mempertahankan keyakinan/aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mendapat simpati luas
dari masarakat dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap Mu’tazilah
dan kekuasaan pendukungnya.
Ketika Al-Mutawakkil (233-247 H/874-861 M) menjada khalifah Abbasiyah
menggantikan Al-Watsiq dia melihat bahwa posisi sebagian khalifah perlu mendapat
dukungan mayoritas dari masarakat. Sementara. Oleh sebab itu pada tahun 856 M,
khalifah Al Mutawakkil membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara
atau pemerintahan.
Bagi masarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin mu’tazilah yang
rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana yang sejalan
dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan tradisi para sahabatnya. Dalam keadaan yang
demikian itu muncullah tokoh intelektual dan ulam Islam Abul Hasan Al-Asy’ary wafat
324 H/935 M ) dengan ajaran-ajaran aqidah (teologi) baru yang berusaha
-1-
mengakomodasi aspirasi masarakat, dengan tetap berpegangan teguh pada sunnah nabi
s.a.w serta tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin teologi al-Asy’ary ini kemudian di
kembangkan secara dinamik oleh murid-murid dan ulama-ulam pengikutnya, seperti:
Abu Hasan Al Bahili, muhammad Al Baqillani, Abdul Maali Al Juwaini (Imam
haramain), Abu Hamid Muhammad Al Ghozali, Muhammad bin Yusuf As Sanusi, dan
lain-lain. Dan disamarkand, muncul tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang lain yakni Abu
Manshur Al Maturidi (wafat333 H/ 944 M) kemudian ajaran teologinya di kenal Al
Maturidiyah. Di Bukhara, aliran Mturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al
Basdawi. Meskipun pendukung Asy’ariyah maupun Maturidiyah, secara metodologi
mengikuti imamnya, tetapi dalam fatwa-fatwa qauliyah tidak seluruhnya sama; disana
terjadi dinamika konsepsi sejalan dengan realita dan penemuam-penemuan baru yang
dihadapi. Dan dari kajian khazanah keilmuan dan data-data kesejarahan Ahlussunnah
Wal Jama’ah selama ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk mempelajari
ahlussyunnah Wal Jama’ah secara utuh, perlu beberapa macam pendekatan, setidak
tidaknya adalah pendekatan doktrinal (mengkaji dari sisi ajaran yang di pandang baku),
historis (aspek kesejarahan yang mempengaruhi perkembangan Ahlussunnah Wal
Jamaah selama ini), dan kultural (pengaruh budaya dan tradisi yang mendukung maupun
menentang Ahlussunnah Wal Jama’ah) itu sendiri.

B. Peranan para Sahabat


Para sahabat, generasi yang hidup se-zaman dengan Rasulullah saw. adalah
generasi yang paling menghayati as-Sunnah wal Jamaah. Mereka dapat menerima
langsung ajaran agama dari tangan pertama. Kalau ada yang belum jelas, dapat
menanyakan langsung pula kepada Rasulullah saw. terutama al-Khulafa ar-Rosyidun
sahabat Abu Bakar as-Shiddiq ra., sahabat Umar bin Khatab ra., sahabat Utsman bin
Affan ra., dan Sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Memang para sahabat adalah manusia biasa yang tidak memiliki wewenang
Tasyri’( ‫= تشر يع‬membentu atau mengadakan hukum), Tetapi di dalam tathabiq ( ‫تطبيق‬
= menerapkan prinsip-prinsip pada perumusan sikap dan pendapaat yang kongkrit),
peranan mereka tidak dapat dikesampingkan karena hanya ada kritik atau koreksi dari
seseorang atau kelompok orang manusia biasa pula yang jarak zamannya sedemikian
jauh dengan zaman Rasulullah saw. dan kemampuan penghayatannya terhadap as-
sunnah wal Jamaah sulit diyakini melebihi kemampuan para sahabat.
Rasulullah saw. bersabda:
‫عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين‬
“Haruslah kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para
Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk”(Rw.Ahmad)

Nahdlatul Ulama berpendirian teguh, bahwa al-Mahdiyyin (yang mendapat


petunjuk) adalah sifat menerangkan kenyataan bukan sifat yang merupakan syarat yang
membatasi. Artinya, memang semua Khulafa al-Rasyidin itu, tanpa diragukan lagi adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk, bukan orang-orang yang sebagian mendapat
petunjuk dan sebagian tidak. ‫ المهديين‬adalah sifat kata ‫ الخلفاء‬bukan sifat kata : ‫ سنة‬.
Bahkan, jumhur ulama berpendapat bahwa para sahabat Rasulullah saw. adalah para
tokoh yang diyakini kejujurannya di dalam masalah penyampaian ajaran agama. Keragu-
raguan terhadap kejujuran para sahabat merupakan salah satu bahaya bagi kemantapan
saluran ajaran agama, apa alagi terhadap Khulafa ar-Rosyidin al-Mahdiyyin. Keragu-
raguan tersebut akan mengacaukan, mengaburkan dan mengeruhkan jalur-jalur yang
harus ditelusuri sampai kepada as-Sunnah dan al-Qur’an.
Para sahabat yang mendengar ucapan, melihat perbuatan dan menghayati sikap
(taqrir) Rasulullah saw. kemudian ucapan, perbuatan dan sikap Rasulullah saw itu
dikumpulkan, dicatat dan dikodifikasikan. Para sahabat pula yang mendengar dan
mencatat Rasulullah saw., membaca ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dikumpulkan dan
disusun menjadi mushaf yang sampai sekarang kita yakini sebagai mushaf al-Qur’an
yang otentik.
Selain dalil-dalil qauli (bersifat ucapan) yang memberi kesaksian Rasulullah saw.
atas kemampuan penghayatan para sahabat terhadap apa yang diajarkan oleh beliau,
-2-
terdapat pula dalil-dalil yang sekaligus qauli dan fi’li (bersifat perbuatan tindakan).
Beliau merestui beberapa sahabat melakukan ijtihad (mengerahkan daya pikir untuk
mendapat kesimpulan pendapat berdasarkan atas pemahaman dan peghayatan terhadap
nash al-Qur’an dan al-Hadits). Yang paling terkenal ialah ketika Rasulullah saw.
mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ke Yaman. Atas pertanyaan Rasulullah saw.,
sahabat Mu’adz ra memberi jawaban yang dapat dirumuskan :
1. Kalau sesuatu masalah ada dalilnya yang jelas didalam al-Qur’an, maka keputusan
hukum diambil berdasarkan al-Qur’an
2. Kalau tidak terdapat dalam al-Qur’an dan terdapat didalam as-Sunnah, maka diambil
berdasarkan as-Sunnah
3. Kalau tidak terdapat dalil yang jelas didalam al-Qur’an dan juga tidak terdapat
didalam as-Sunnah, maka keputusan hukum diambil berdasarkan ijtihad (hasil daya
pikir).
Pasti dapat diyakinkan oleh setiap pemeluk Islam, bahwa para sahabat bukanlah
sekelompok orang yang dibina oleh Rasulullah saw. hanya untuk diri mereka sendiri
tanpa berkelanjutan peranannya. Pasti para sahabat adalah generasi pertama kaum
muslimin mengemban tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah saw.
mengembangkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok dunia kepada segenap umat
manusia.
Allah berfirman:
.‫وماارسلناك اال كافة للناس بشيرا ونذيرا ولكن اكثر الناس ال يعلمون‬
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia
tidak mengerti”. (Q.S. As-Saba, 28)
Pasti para sahabat adalah pembawa cahaya Islam yang diterima dari Rasulullah
saw. kepada generasi-generasi sesudahnya.
Rasulullah saw bersabda :
‫اصحابى كالنجوم بايهم اقتديتم اهدينتم‬
“para sahabatku adalag ibarat bintang-bintang . dengan siapapun diantara
mereka kamu sekalian ikut, maka kamu akan mendapat petunjuk”.
Para sahabat, pasti bukan sekedar pembawa rekaman ayat-ayat al-Qur’an dan as-
Sunnah saja, tetapi sekaligus adalah juga pembawa pentauladanan, penjelasan dan
pendapat mengenai arti ayat al-Qur’an dan al-Hadits itu sesuai dengan penghayatannya.

C. Generasi sesudah Sahabat


Sesudah generasi sahabat, tugas melanjutkan missi dan perjuangan Rasulullah
SAW. diterima oleh generasi baru yang disebut tabi’in ( ‫ = تابعين‬para pengikut).
Selanjutnya ganti berganti, berkesinambungan generasi demi generasi menerima missi
dan perjuangan itu, para tabi’in, para Imam Mujtahidin, para Ulama Shalihin, dari zaman
ke zaman.
Kalau pengumpulan dan penyusunan catatan-catatan ayat-ayat al-Qur’an sampai
menjadi sebuah mush-haf yang otentik sudah terselesaikan pada zaman sahabat, maka
pengumpulan Hadits baru dirintis dan dilakukan oleh para tabi’in. selanjutnya seleksi,
kategorisasi, sistematisasinya digarap dan dirampungkan oleh generasi-generasi
sesudahnya. Segala macam syarat, sarana dan metode untuk menyimpulkan pendapat
yang benar dan murni dari al-Qur’an dan al-Hadits diciptakan dan dikembangkan. Mulai
dari ilmu-ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharraf, Ma’ani, Badi’, dan Bayan sampai kepada
ilmu mantiq (logika) dan filsafat, dirangkaikan dengan ilmu tafsir, ilmu Mushthalahul
Hadits sampai kepada Ushul Fiqh dan al-Qowa’id al-Fiqhiyah. Semuanya dimaksudkan
untuk dapat mencapai kemurnian ajaran a-Sunnah wal Jamaah.
Bukan hanya guna mendapatkan ilmunya untuk diamalkan sendiri, tetapi sekaligus
juga segala ilmu yang didapat itu di siarkan, di da’wahkan dan lebih dari untuk
diamalkan oleh sebanyak mungkin umat.
Mereka as-Sabiqunal Awwalun (‫ = السابقون االولون‬generasi terdahulu) itu bergerak
kesegala penjuru dunia, dengan segala jerih payah, dengan penderitaan dan pengorbanan
menyebarkan as-Sunnah wal Jamaah, Kaaffatan linnaas (‫ = كافة للناس‬kepada seluruh

-3-
umat manusia). Tidak terkecuali ke tanah air Indonesia ini. Para Muballighin, atas resiko
sendiri tanpa dukungan dari kekuasaan politik dan tanpa dukungan dari kekuatan materil
yang berarti membawa as-Sunnah wal Jamaah itu kemari. Dengan tidak mengurangi
penghargaan terhadap para Muballighin yang lain, tidaklah dapat dilewatkan menyebut
jasa-jasa para wali Muballighin yang dikenal dengan istilah Wali Sanga, kelompok
sembilan yang paling berkesan di dalam sejarah Islam di Indonesia.

D. Sistem dan Methode


Bagi para sahabat Rasulullah saw. yang hidup se zaman dengan beliau, tidaklah
terlalu sulit mendapatkan kemurnian ajaran agama Islam, karena jarak waktu dan jarak
fisik yang sangat dekat. Namun makin jauh jarak fisik dengan sumber pertama, maka
menjadi sulit untuk mendapatkan kemurnian as-Sunnah wal Jamaah itu, terutama karena
besarnya gangguan-gangguan yang membahayakan kemurnian tersebut.
Kecuali jauhnya jarak dan adanya gangguan-gangguan, kesulitan untuk
mendapatkan as-Sunnah wal Jamaah itu menjadi lebih berat, karena al-Qur’an hanya
mengandung hal-hal yang prinsip sedang al-Hadits, meskipun lebih terperinci isinya,
tetapi disampaikan oleh Rasulullah saw. secara parsial (sebagian-sebagian) sehingga satu
masalah saja (umpamanya cara melakukan shalat) mungkin beratus-ratus jumlah al-
Hadits yang berhubungan dengan masalah shalat ini. Belum lagi, seleksi al-Hadits dan
latar belakang sejarah disampaikannya oleh Rasulullah saw.
Oleh karenanya, tidak semua orang mampu memahami sendiri dan menyimpulkan
pendapatnya mengenai sesuatu masalah langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, secara
benar sehingga dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya. Dengan demikian
diperlukan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan, bagi seseorang yang perlu punya
pendapat atau perlu melakukan sesuatu hal mengenai ajaran agama.
1. Bagi yang memenuhi syarat dan sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat
(istinbath = ‫ )استنباط‬sendiri dapat menggunakan sistem ijtihad, yaitu beristinbath
sendiri
2. Bagi yang tidak memenuhi syarat atau yang meragukan kemampuannya sendiri,
tidak ada yang dapat dilakukan kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istinbath orang
lain yang mampu, yang disebut dengan istilah sistem taqlid.
Memaksa semua orang beristinbath dan berijtihad sendiri, bukan saja tidak tepat
tetapi juga sangat membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-
Sunnah wal Jamaah. Rasulullah bersabda:
‫اذا وسد االمر الى غير اهله فانتظر الساعة‬
“Tatkala suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
saat (kehancuran saat perkara itu).”

E. Karakteristik
Karena as-Sunnah wal Jamaah itu tidak lain adalah ajaran agama Islam yang murni
sebagaimana dianjurkan dan diamalkan oleh Rasulullah saw bersama para sahabatnya,
maka perwatakan (karakteristik) nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.
Karakteristik agama Islam yang paling esensial adalah:
1. Prinsip at-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak tathorruf (ekstrem = ‫ ) تطرف‬kekanan-
kananan atau kekiri-kirian.
2. Sasaran Rahmatan lil ‘alamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam.

KARAKTER AT-TAWASSUTH WAL I’TIDAL


A. Pengertian at-Tawassuth
As-Sunnah wal Jamaah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan
oleh Rasulullah saw. dan diamalkan oleh beliau bersama para sahabatnya. Oleh karena
itu dapat dipastikan bahwa karakter as-Sunnah wal Jamaah serambutpun tidak bergeser
dari karakter agama Islam sendiri. Karakteristik as-Sunnah wal Jamaah adalah
karakteristik agama Islam.

-4-
Ada tiga kata istilah yang diambil dari al-Qur’an dalam menggambarkan
karakteristik agama Islam, yaitu: at-Tawassuth = ‫التوسط‬, al-I’tidal = ‫االعتدال‬, at-Tawazun
= ‫التوازن‬.
1. At-Tawassuth = ‫ التوسط‬yang berarti: pertengahan, diambil dari firman Allah swt. (dari
kata wasathan = ‫) وسطا‬
‫وكذلك جعلناكم امة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا‬
“Dan demikianlah, kami telah menjadikan kamu sekalian (umat Islam) umat
pertengan ( adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) manusia dan supaya Rasulullah saw. menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian…(QS. Al-Baqarah:143)

2. Al-I’tidal = ‫ االعتدال‬berarti tegak lurus, tidak condong kekanan-kananan dan tidak


condong kekiri-kirian, diambil dari kata al-Adlu )‫ )العد ل‬keadilan atau I’diluu ( ‫اعد‬
‫ = لوا‬bersikap adillah) pada ayat:
‫ياايهاالذين امنوا كونوا قوامين هلل شهداء بالقسط وال يجرمنكم شنان قوم على ان ال‬
.‫ ان هللاا خبير بما تعملون‬.‫ اعدلوا هو اقرب للتقوى واتقوهللاا‬.‫تعدلوا‬
“Hai orang-orang yang beriman kendaklah kamu sekalian menjadi orang yang
tegak (membela kebenaran) karena Allah swt. Menjadi saksi (pengukur kebenaran)
yang adil (bil qisthi). Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah keadilan itu lebih dekat kepada
taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah itu Maha Melihat
terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 9)

3. At-Tawazun = ‫التوازن‬, berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu
unsur atau kekurangan unsur yang lain. Diambil dari kata al-waznu atau al-mizan alat
penimbang dari ayat:
‫لقد ارسلنارسلنا بالبينات وانزلنامعهم الكتاب والميزان ليقوم الناس بالقسط‬
“Sungguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Mizan (penimbnagn
keadilan)supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (al-qisth)…(QS. Al-Hadid : 25)
At-Tawassuth (termasuk al-I’tidal dan ast-Tawazun), bukanlah serba kompromistis
dengan mencapur adukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan merngucilkan diri
dari menolak pertemuan dengan unsur apa-apa. Karakter at-Tawassuth bagi Islam adalah
memangs sejak semula Allah swt. Sudak meletakkan didalam Islam segala kebaikan,dan
segala kebaikan itu pasti terdapat diantara ujung tatharruf, sifat mengujung, ,
ekstrimisma. Prinsip dan karakter at-Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini
harus diterapkan didalam segala bidang,supaya agama Islam dan sikap serta tingkah laku
umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah
laku manusia umumnya.

B. Penerapan Prinsip dan Karakter at-Tawassuth


Manifestasi prinsip dan karakter at-Tawassuth ini tampak pada segala bidang
ajaran agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-
baiknya, terutama oleh kaum Ahlussunnah wal Jamaah, pengikut setia as-Sunnah wal
Jamaah.
Beberapa hal dikemukakan, sebagai pembuktian termanifestasikannya prinsip at-
Tawassuth itu:
1. Pada bidang aqidah :
a. Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasional) dengan dalil naqli
(nash al-Qur’an dan al-Hadits) dengan pengertian, bahwa dalil aqli dipergunakan
dan ditempatkan dibawah dalil naqli.
b. Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari
luar Islam.
c. Tidak tergesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka
yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid/ aqidahnya,
semurni-murninya.
-5-
2. Pada bidang Syari’ah
a. Selalu berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan menggunakan
methode dan sistem yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui jalur-jalur
yang wajar.
b. Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sharih dan qath’I (tegas dan
pasti), tidak boleh ada campur tangan pendapat akal.
c. Pada masalah yang dhanniyat (tidak tegas dan tidak pasti), dapat di toleransi
adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip
agama.
3. Pada bidang Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran
Islam, denga riyadhoh dan mujahadah menurut kaifiyah yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum dan ajaran Islam.
b. Mencegah ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan (al-Ghuluwwu) yang dapat
menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syari’ah
c. Berpedoman bahwa ahlak yang luhur selalu berada diantara dua ujung sikap yang
mengunjung, misalnya:
- Syaja’ah (‫ ) الشجاعة‬berani adalah diantara Jubn (penakut) dan sembrono at-
Tahawwur
- Tawadhu’ ( ‫ ) التواضع‬menempatkan diri secara tepat adalah diantara takabbur
(sombong) dan tadzallul (rendah diri)
- Jud atau karom (‫ ) الجود ـ الكرم‬luman, dan dermawan adalah diantara Bukhl (kikir)
dan Israf (boros)
-
4. Pada bidang Mu’asyaroh (pergaulan) antar golongan:
a. Mengakui watak tabiat manusia yang selalu senang berkelompok dan bergolong-
golong berdasarkan atas unsur pengikatnya masing-masing.
b. Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling mengerti dan saling
menghormati
c. Permusuhan terhadap sesuatu golongan, hanya boleh dilakukan terhadap
golongan yang nyata memusuhi agama Islam dan Umat Islam. Terhadap yang
tegas memusuhi Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap tegas.
5. Pada bidang kehidupan Bernegara
a. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara
dan dipertahankan eksistensinya.
b. Penguasa negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang
terhormat dan ditaati, selama tidak meyeleweng, dan/atau memerintah kearah
yang bertentangan dengan hukum dan ketentuan Allah.
c. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara memperingatkannya melalui
tata cara yang sebaik-baiknya.
6. Pada bidang Kebudayaan
a. Kebudayaan, termasuk di dalamnya adat-istiadat, tata pakaian, kesenian dan
sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada
kedudukan yang wajar dan bagi pemeluk agama, kebudayaan harus dinilai dan
diukur dengan norma-norma hukum dan ajaran agama.
b. Kebudayaan yang baik dalam arti menurut norma agama, dari manapun
datangnya dapat diterima dan dikembangkan. Sebaliknya, yang tidak baik harus
ditinggalkan. Yang lama yang baik dipelihara dan di kembangkan. Yang baru
yang lebih baik dicari dan dimanfaatkan.
‫المحافظة على القديم الصالح واالخذ بالجديد االصلح‬
c. Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang
baru atau sebaliknya selalu menerima yang baru dan menolak yang lama
7. Pada bidang Dakwah
a. berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk berbuat menciptakan keadaan
yang lebih baik, terutama menurut ukuran ajaran agama. Tidak mungkin orang
berhasil mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakkan hati yang
diajak. Berda’wah bukan menghukum.
-6-
b. Berdakwah harus dilakukan dengan sasaran tujuan yang jelas, tidak hanya
sekedar mengajak berbuat saja, menurut selera.
c. Berdakwah harus dilaksanakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-
petunjuk yang baik, sebgaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap
pasien. Kalau terdapat kesulitan, maka kesulitan itu harus ditanggulangi dan
diatasi dengan cara yang seb aik-baiknya.

Bahaya-bahaya bagi kemurnian ajaran ASWAJA


Banyak sekali dalam Ayat-ayat Al Qur’an, Allah SWT , memberikan jaminan,
bahwa dia pasti memelihara agamanya. Namun jaminan itu tidaklah berarti bahwa agama
Islam berkembang dan terpelihara tanpa rintangan ancaman, hambatan dan bahaya-
bahaya terhadap kemurniannya dan kelangsungan perkembangannya. Juga tidak berarti,
bahwa kaum muslimin tidak perlu berjuang memelihara kemurnian agamanya, tidak
perlu bersusah payah mengembangkan agamanya. Rasulullah SAW diharuskan berjuang
untuk mengembangkan agama itu dengan susah payah, dengan penderitaan, bahkan
berkali-kali jiwanya terancam dan mendapat luka-luka pada waktu berdakwah dan pada
waktu berperang. Rasulullah SAW harus memberikan pengorbanan segala galanya demi
tugasnya mengemban dan mengembangkan agama Islam.
Pada jaman inipun, bahaya fisik bagi kaum muslimin yang harus dihadapi secara
fisik pula masih terdapat di beberapa bagian dunia ini umpamanya di palestina. Beratus –
ratus ribu kaum muslimin palestina harus mempertaruhkan jiwanya untuk dapat kembali
dari kamp-kamp pengungsiannya ke negrinya, palestina. Mereka masih harus berjihad
fisabilillah, bahkan ber-qital ( perang ) untuk pulang ke kampung halamannya,
mendekati masjidil Aqsha.
Meskipun demikian, secara umum dan keseluruhan muslimin, terutama umat Islam
Indonesia tidak lagi menghadapi bahaya fisik itu sebagai satu-satunya bahaya yang
paling besar.
Sejak beberapa abad terakhir ini bahaya permanen yang selalu mengancam Islam,
bahaya laten yang selalu muncul pada tiap kesempatan adalah serangan musuh Islam
dalam wujud yang lain, yaitu serangan yang dilakukan oleh apa yang lazim disebut kaum
orientalis.
Kaum orientalis ialah mereka, para cerdik cendikiawan yang tekun mempelajari
masalah-masalah ketimuran terutama masalah Islam, tetapi sama sekali bukan untuk
kepentingan Timur dan Islam. Bahkan sebaliknya, untuk menghancurkan timur dan
Islam. Mereka belajar tentang Islam sedalam-dalamnya, belajar bahasa arab dan bahasa
timur lainnya dengan segala kelengkapannya, dari sejarah, sosiologi, hukum dan adat
istiadat Islam. Dari sudut keilmuan, mereka mungkin jauh lebih mengerti dari pada
beberapa para sarjana Islam sendiri. Sayang maksudnya hanya satu: Menghancurkan
Islam, sebagai kelanjutan dari perjuangan golongan mereka dalam perang salib. Secara
fisik, perang salib memang sudah lama berakhir, tetapi secara ma’nawi ( politik, Ideologi
dan kebudayaan ) berlangsung terus berabad-abad kemudian, sampai sekarang dan akan
berlangsung seterusnya.
Medan perjuangan mereka mengancam kelangsungan dan kemurnian Islam sangat
luas, tak terbatas. Senjata dan saluran perjuangan mereka, terutama adalah otak, pikiran
dan imu, terutama ilmu tentang Islam dan keislaman. Dengan ilmu dan dengan saluran
ilmu, mereka berusaha:
1. mengaburkan, kemudian mengoncangkan jalur agama Islam kedua, yaitu al-hadits.
Mula-mula mereka membayang-bayangkan sesuatu yang pantas di ragukan, yaitu
kemampuan seorang sahabat Abu hurairah ra., bagaimana seseorang mampu
meriwayatkan Hadist sekian banyaknya. Dibayangkan pula keraguan terhadap
kemampuan seorang imam Zuhri, bagaimana seseorang mampu mengumpulkan
hadits yang bertebaran sedemikian rupa. Akhrinya mereka berusaha
menggoncangkan keyakinan kaum muslimin akan adanya hadits-hadits yang shahih
yang benar-benar dari Rasaulullah saw. Kalau kaum muslimin sudah “kehilangan
hadits” karena semua hadits diragukan kebenaran dan keasliannya, maka berarti
sudah kehilangan jalur utama kepada al-Quir’an.

-7-
2. menganjurkan penggunaan akal sebebas-bebasnya, karena Islam sendiripun
menghargai akal dan pikiran. Mereka ingin menumbuhkan pendapat bahwa akal
manusia cukup untuk mengatur segala-galanya. Sasaran terakhir mereka ialah
supaya kaum muslimin lebih menampilkan akalnya dan mengesampingkan
agamanya. Kalau sasaran ini sudah tercapai, maka dengan mudah mereka memompa
otak kaum muslimin dengan teori-teori, paham-paham dan doktrin ciptaan mereka,
antara lain:
i. intelektualisme, yang pada pokoknya megajarkan bahwa dengan akal saja,
manusia akan dapat mencapai segala hidupnya.
ii. Materialisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa yang paling
menentukan hidup manusia adalah benda.
iii. Sekularisme, yang pada pokoknya mengajarkan bahwa manusia harus dapat
memisahkan masalah duniawi yang harus dijadikan urusan pokok dari masalah
ukhrawi yang masih diragukan kebenarannya

Sudah tentu bahaya terhadap kelangsungan hidup dan kemurnian ajaran Islam
tidak hanya datang dari orientalisme saja yang merupakan bahaya dari luar. bahaya yang
ada dalam tubuh kaum muslimin sendiri, banyak juga meskipun sebagian berasal dari
luar dan sudah lama berada di dalam, antara lain:
1. sikap memihak yang berlebih-lebihan kepada seseorang atau sekelompok orang,
baik karena motif kekeluargaan atau kekuasaan atau motif lainnya, sehingga
cenderung mencari dalih dan dalil untuk membenarkan sikap sendiri. Hal ini mulai
tampak pada ahir masa khalifah Utsman bin Affan, pada zaman ke khalifahan
sahabat Ali bin Abi Thalib dan seterusnya dengan munculnya aliran Syi’ah dan
Khawarij.
2. masukknya pengaruh filsafat Yunani yang memunculkan aliran Mu’tazilah dan
sebagainya.
3. masih adanya sisa kepercayaan lama seperti Israiliyyat, Majusi, dan lain sebagainya.
Sisa-sisa ini ditambah dan dikobarkan kembali dengan sengaja oleh unsur-unsur
munafiqin. Di wilayah-wilayah baru yang didatangi oleh agama Islam, sisa-sisa
kepercayaan lama ini pun merupakan sesuatu yang membahayakan kemurnian
ajaran Islam. Tidak terkecuali di Indonesia.
4. Sikap “menentang yang lama” secara berlebih-lebih sehingga tergelincir oleh sikap
“serba anti yang lama”. Anti madzah, anti taqlid anti ziarah kubur dan lain
sebagainya.
Segala kelemahan yang ada di dalam tubuh kaum muslimin itu sendiri itidak
satupun yang terlepas dari perhatian kaum Orientalis untuk dipergunakan sebagai jalur
penyalur usahanya mengeruhkan kemurnian Islam meskipun demikian, senjata ilmu
yang mereka gunakan itu ahirnya mulai tampak menjadi “senjata makan tuan” ketekunan
mereka mempelajari ilmu keislaman telah menjalar, menjadikan jumlah peminat itu
semakin banyak. Di antara mereka yang tekun mempelajari ilmun keislaman ini tidak
sedikit yang kemudian benar-benar menerima Islam sebagai satu kebenaran yang harus
diikuti. Islam mulai berkembang di kalangan para sarjana itu terbuktilah kebenaran janji
Allah SWT. Dalam firmannya :
‫يريدون ان يطفئوا نور هللاا بافواههم ويابى هللاا اال ان يتم نوره ولو كره‬
‫الكافرون‬
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka
dan Allah tidak berkenan kecuali menyempurnakan Cahaya-Nya, meskipun orang-orang
kafir tidak suka”. (QS. At-Taubah :32).
AKTUALISASI AJARAN AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
Untuk dapat memahami dan apalagi mengaktualisasikan Ahlussunnah wal
jamaah dalam kehidupan individu maupun masyarakat muslim, tentunya tidak hanya
didekati melalui doktrinnya saja. Sedikitnya ada tiga macam pendekataan utuk
memahami dan mengaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.

-8-
Pertama : pendekatan doktrnial, yakni memahami dan mengaaktualisasikan
Ahlussunnah Wal Jamaah dengan memahami duktrin-doktrin dan ajaran-ajaran yang
dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui diskusi-diskusi dan
pengajian formal atau non formal mulai dari konsep keimanaan kepada Tuhan, sampai
masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan masalah-masalah ghaibiyah.
Kedua : pendekatan historis, yakni menulusuri perkembangan kesejarahan;
mengapa sikap-sikap ahlus sunnah waal Jama’ah menjadi tegar dalam , mensupremasikan
dalil-dalil naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa Ahlussunnah Wal Jamaa’ah
mempertahankan sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa Ahlussunnah Wal jamaa’ah
selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan kemaslahatan umat selama tidak
melanggar batasan syara’ ? sebagai contoh, ahlussunnah Wal Jamaah berusaha
mempertemukan titik temu antara perbedaan yang terjadi diantara para sahabat dan
ulama. Abdul Malik bin Marwan, seorang kholifah Umawiyah, setelah terjadai konflik
dengan keluarga Sd. Ali bin Abi Thalib r.a., masih berusaha meaklukan konsiliasi dalam
masyarakat Islam. Slogan al-jama’ah dipopulerkan dimana-mana:
ِ ‫ن َْح ُن َج َما َعةٌ َو‬
َ ‫احدَة ٌ ت َ ْح‬
ِ‫ت َرا َي ِة هللاا‬
“Kita adalah satu jama’ah dibawah naungan panji-panji agama Allah”.
Abdul Malik bin Marwan juga berusaha mengurangi perpecahan umat, antara
lain dengan konsep “Tarbi” yaitu menyebut empat nama sahabat besar berurutan (Abu
Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
radiyullahu anhu ) ebagai paket penghormatankepada mereka. Lahirnya “Tarbi” ini
merupakan produk kesejarahan, bukan bersumber dari doktrin atau dogma semata.
Sikap mencari konsensus untuk persatuan dam kemaslahatan umat ini
ditampilkan lagi oleh kholifah Uman bun Abdul Aziz; yang memerintahkan penghapusan
kalimat yang berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalip r.a dari semua khutbah
dan menggantikannya dengan bagian ayat Al-Quran yang memberi arti sangat
akomodatif dan integratif, yaitu:
ِ ‫َاء َواْل ُم ْن َك ِر َواْل َب ْغي‬
ِ ‫ع ِن اْلفَ ْحش‬
َ ‫اء ذِى اْلقُ ْربَى َويَ ْن َهى‬
ِ َ ‫ان َو ِإ ْيت‬
ِ ‫س‬َ ‫ِإ َّن هللااَ يَأ ْ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َواْ ِِل ْح‬
.ََ َ‫ظ ُك ْم لَعَل ُك ْم تَذَ َّك ُر ْون‬ ُ ‫يَ ِع‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan
kepada keluarga dekat / kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mrngambil pelajaran”.
Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khazanah kesejarahan.
Seperti peran pengembangan Ahlussunahwal Jamaa’ah melalui intrumen birokratis, yang
pernah dilakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi, Nizhomil muluk dan lain sebagainya; yang
semuanya memberikan inspirasi kepada kita, bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah
mempunyai kaitan kesejarahan dengan peran kaum birokratis, dan fenomena seperti itu
dapat di lakukan kapan saja.
Ketiga pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai dan sikap
kemasarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita tahu betapa
banyakknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzab, khususya Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak menjadikan
mereka saling bermusuhan. Imam Safi’i sendiri pernah tidak membaca Qunut waktu
sembahyang shubuh, pada saat beliau ada di madinah demi menghormati kepada imam
malik yang diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam waktu yang cukup
lama mendoakan secara khusus kepada iman Safi’i sebagai penghormatan jasa-jasa
keilmuannya.
Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliah dari pada dalil-dalil
aqliah, memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar adalah wahyu, baik
yang berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah, sedang yang dari ijtihad manusiawi tetap
hanya memiliki kebenaran nisbi saja, masih mungkin mengandung kekurangan-tepatan,
baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial.
Sifat menerima hidup dalam kemajmukan merupakan nilai sosial yang patut
dikembangkan, terutama bagi masarakat pluralistik di indonesia ini. Keangkuhan sosial
bagai manapun akan banyak menimbulkan kemadlaratan.
-9-
Sikap keilmuan yang terbuka seperti yang di kemukakan Al-Ghozali merupakan
sikap ilmiah yang patut di lestarikan, dimana keilmuan ( baik yang syar’iyah maupun
yang ghoiru syar’iyah ) dapat di kembangkan bersama-samauntuk kemaslahatan umat.
Dengan memahami Ahlissunnah Wal Jama’ah melalui beberapa pendekatan
tersebut, diharapkan lebih operatif dalam mengembangkan kualitas umat Islam, dan
bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara
menerapkannya.

PERANAN PENDIDIKAN DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI


AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH (MELALUI KAJIAN METODOLOGI)

Sampai pada awal pemerintahan bani salju, yakni pada masa tugril Beq dan
perdana meterianya yang benama Abu Nasr bin Mansur Al Kundari (416-456 H),
tekanan-tekanan terhadap golongan dan gerakan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah
masih sangat kuat, bahkan ajaran dan tokoh tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah mendapat
cacian dan kutukan mimbar-mimbar jumaat dan ceramah-ceramah di Masji-Masjid.
Bahkan Al Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh\tokoh dan
ulama-ulama Al Asariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abu Abdul Qasim
Abdul Karim Al-Qusyairi dengan ddemikian penyebaran pengembangan Ahlussunnah
Wal Jama’ah secara umum dan As-Sy’ariyah secara khusus mengalami hambatan.
Tekanan dan intimedasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah \dan
pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah terjadi pergantian kekuasaan dari
Tugril Beg ke Alp Arsalan dengan perdana menterinya yang masyhur, yakni; Mizhomul
Mulk (1063-1092 M) yang dengan setia mendukung faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Aliran As-Asy’ariyah mengalami kemajuan pesat bahkan mampu mendominasi
pemikiran dunia Islam melalui “Madrasah Nizhomiyah” yang didirikan Nizhomul Mulk
madrasah ini mempunyai cabang hampir di seluruh kota penting dalam wilayah
kekuasaan Saljukiyah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan kurikulum yang
sarat ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Imam Al-Ghozali pernah memimpin
lembaga Nizhomiyah ini,dan berkesempatan luas untuk mewarnai Nizhomiyah dengan
faham As-Asy’ariyah.
Di Mesir dan Suriah teologi Asy’ariyh ini juga berkembang dengan dukungan
pemerintahna salahuddin Al-Ayyubi, pendirian dinasti Ayyubiyah, setelah
menghapuskan ajaran syi’ah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di
Mesir dan Suriah lainnya sebagai warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya,
Dan selanjutnya sistem dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan
dan peradaban Islam bercitra Sunni Sampai selkarang.
Perkembangan aliran As-Asy’ariyah dibelahan dunia timur ( India, Pakistan,
Afganistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Muhammad Al-Gazwani ( 971-1030
M), Sultan ketiga dinasti gaswaniyah. Pada mulanya mahmud Al-Ghazwani menganut
madzhab Hanafi, tetapi kemudian beralih ke madzhab Syafi’i. Jasa Gazwani dalam
penyebaran pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan :

Pertama, memprakarsai penulisan kitab –kitab keislaman yang bermuatan ajaran Sunni.
Kedua, membangun madrasah-madrasah besar sebagai pusat pengajaran.
Ketiga, membentuk Majlis-majlis keilmuan dan keagamaaan yang diikuti oleh para
ulama’ dan cendekiawan.
Keempat, mengirim ulama’ dan muballigh-muballigh untuk menyebarkan ajaran sunni
sekaligus menghadapi gerakan-gerakan lain yang dipandang menyimpang dari ajaran
Islam.
Khusus di Indonesia pemikiran-pemikiran Al-Asy’ariyah dikenal luas melalui
kitab-kitab karya al-Ghazali dan As-Sanusi. Pengaruh As-Sanusi di Indonesia populer
dengan konsep teologinya terhadap sifat Allah dan rasulnya yaitu sifat Wajib,Mustahil
dan Jaiz.,tentang sifat-sifat wajib yang 20 (dua puluh), sifat mustahil 20 (Dua puluh), dan
sifat Jaiznya hanya satu (1) bagi Allah Juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga
bagian, yakni sifat “Nafsiyah”(kedirian Allah), sifat “salbiyah” (sifat yang membedakan
zdat Allah dengan lainnya) dan sifat “ Ma’ani” (sifat yang Abstrak). Disamping itu juag
- 10 -
konsep sifat rasul, yakni sifat wajib empat(4) sifat mustahil empat(4) dan sifat jaiz satu
(1). Konsep-konsep akidah ( teologis) tersebut begitu merasuk dalam kehidupan
masyarakat luas, baik melalui pengajian, karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah
atau madrasyah.
Di Spayol ( andalusia) dan afrika utara, peranan Ibnu Tumart sangat besar. Dia
yang memerintahkan Agar karya-karya Al-Asy’ari dan Al-Ghozali dihidupkan kembali,
yang sebelumnya dilarang bahkan dibakar oleh penguasa dinasti murabithin. Penyebaran
gerakan Al-Asy’ariyah menjadi lebih kuat setelah Ibnu Tumart berhasil membangun
kekuasaan politik di Afrika dan Andalusia pada tahun 1114M yang diberi nama daulat
“Al-muwahhidun”, kekuasaan ini berlangsung sekitar satu abad (515-667 H / 1121-1269
M). Pada zaman dinasti muwahidun inilah hidup ulama’-ulama’ dan cendikiawan besar
sunni, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Tufail, Ibnu Mulkun,Ibnu Zur dan sampai sekarang
kawasan itu seperti maroko, Al-Jazair tunisia dan Libia masih menjadi wilayah-wilayah
sunni yang sangat kuat kecuali spayol(andalusia) yang berubah menjadi kristen lagi.
Pusat-pusat pendidikan disana sampai sekarang masih merupaka pusat pengembangan
dan pengajian Islam sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah).

PEMBUDAYAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH MELALUI PENDIDIKAN


SEKOLAH
Sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua (peran pendidikan terhadap
Ahlussunnah Wal Jama’ah) bahwa pendidikan telah berperan banyak dalam penyebaran
dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bukan hanya dalam
pemahaman tetapi juga dalam pengamalan. Kita dapat menyaksikan, banyak langgar-
langgar atau surau-surau, masjid-masjid membiasakan jama’ahnya melakukan “pujian”
dengan membaca : “Wujud,Qidam,Baqa’,Muhafatul lil hawaditsi,Qiyamuhu binafsihi,
wahdaniyat,Qudrad,Iradat,....dan seterusnya”, suatu model pembudayaan melalui
pendidikan klasik dinegara kita. Tetapi tradisi semacam itu sekarang mulai terasa langka.
Dipondok-pondok pesantren dulu, dianjurkan “Riyadloh”(tirakat). Melek wengi”(tidak
tidur waktu malam) “ tahajjud” Wiridan “ dan lain-lain. Sebagai pengamalan
penghayatan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan,bahwa “ilmu’itu
sumbernya adalah Allah, yang dapat diberikan kepada manusia mulai dua jalur usaha,
yakni dengan ‘Ta’allum” (belajar) dan”Takarrub” (mendekatkan diri kepada Allah).
Sekarang ini, masalah internaliasasi nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah macam itu sudah
kurang sekali. Dilain sisi pemahaman Ahlussunnah Wal jama’ah secara ilmiah kurang
memadai, antara lain karena :
Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang proporsional (
Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan
Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan : “yang tidak qunut dalam shalat subuh, itu
bukan Ahlussunnah ...”, atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan Ahlussunnah...”,
cara-cara semacam itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah
secara ilmiah, sebab di dalam buku-buku atau kitab-kitab yang mu’tabarpun tidak pernah
masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter Ahlussunnah Wal jama’ah. Di kalangan
Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’ saat melaksanakan shalat subuh hanya
madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi, Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah
berarti mereka bukan termasuk golongan Ahlussunnah?.
Kedua; Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas tentang Ahlussunnah Wal
Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan pendekatan”Doktrinal” yang Normatif, tanpa
mengembangkan wawasan sesajarahan. Misalnya, tentang konsep Al-Juaini yang
mengharuskan “ Ta’wil” terhadap semua ayat yang memberikan gambaran tentang Allah
secara “jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad), mata (ainun), duduk (Istawa) dan
lain-lain padahal Al-Assy’ari sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan
bahkan bahwa Doktrin Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu
tidak lepas dari pengaruh sosiohistoriknya.
Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga pada zaman
generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah Wal-
jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode diologis, memberi peluang untuk bertukar
pikiran, mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini kerapkali kita gunakan
- 11 -
pendekatan yang sebaliknya guru banyak bersikap otoriter, serba memaksakan, tidak
banyak memberi peluang dialog tidak memberikan penjelasan yang memuaskan, malah
menimbulkan rasa penasaran pada peserta didiknya.
Hal demikian itu mungkin terjadi karena beberapa, seperti;
a. Keterbatasan pengajar dalam menguasai subtansi materi yang diberikan.
b. Keterbatasan wawasan dalam masalah diajarkan, sehingga media dialog sulit
dikembangkan.
c. Kelemahan metodologi.
Akhirnya terasa sekali perlunya kajian-kajian Ahlussunnah Wal-jama’ah yang lebih
Intensif, baik secara Doktrinal, Historis, maupun Kultural. Dan untuk itu semua kami kira
perlu upaya mengembangkan “laboratorium Ahlussunnah Wal-jama’ah”, yang bekerja
untuk jangka panjang dengan intesitas kajian yang utuh.

- 12 -

Anda mungkin juga menyukai