Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Secara

umum cedera dapat terjadi akibat tenaga dari luar akibat benturan, perlambatan

(deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan,

panas, maupun zat kimia.[1] Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma

mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang

menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi

psikososial baik temporer maupun permanen.[2]

Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari

lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, duramater,

vaskuler otak, sampai jaringan otak, baik berupa luka yang tertutup maupun

terbuka.[3]

Cedera kepala merupakan salah satu jenis cedera yang terbanyak di unit

gawat darurat (UGD) di Amerika Serikat dengan perkiraan satu juta kasus

pertahun. Berdasarkan data United States Departement of Health and Human

Service tahun 2013 dijelaskan bahwa cedera otak traumatis (TBI) adalah

penyebab utama kematian dan kecacatan di Amerika Serikat. TBI berkontribusi

terhadap sekitar 30% dari semua kematian akibat kecelakaan. Setiap hari, 153

orang di Amerika Serikat meninggal karena cedera yang mencakup TBI. [4]

Di Amerika Serikat, anak-anak berusia 0–4 tahun, remaja berusia 15–19

tahun, dan orang dewasa berusia 75 tahun ke atas merupakan yang paling banyak

1
mengalami cedera kepala. Orang dewasa berusia 75 tahun ke atas memiliki

peringkat yang tertinggi tingkat rawat inap terkait TBI dan kematian di antara

semua kelompok umur. Penyebab utama cedera kepala di Amerika Serikat

diantaranya jatuh (35%), cedera terkait kendaraan bermotor (17%), dan pukulan di

kepala terhadap sebuah objek (17%), seperti cedera olahraga. [5]

Di Indonesia saat ini cedera kepala merupakan penyebab hampir setengah

dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian
[3]
yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. Berdasarkan data

Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 dilaporkan bahwa rata-rata proporsi

kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar 11,9%. Daerah Sulawesi Selatan

didapatkan proporsi cedera kepala sebesar 15,0%. Dimana karakteristik umur

tertinggi didapatkan pada kelompok umur 66-74 tahun (16,0%). Kemudian

berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih tinggi pada laki-laki (12,2%)

dibandingkan perempuan (11,5%). [6]

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis

dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat-ringannya


[7]
serta morfologi. Tingkat keparahan cedera kepala dapat diklasifikasikan

sebagai ringan, sedang, atau berat berdasarkan presentasi klinis pasien, tanda dan

gejala neurologis. Gejala cedera kepala bervariasi dari satu orang ke orang lain,

dan meskipun beberapa gejala mungkin sembuh sepenuhnya, lain halnya akibat

cedera kepala sedang dan berat, dapat menyebabkan gejala yang bertahan,

mengakibatkan cacat parsial atau permanen. [5]

2
Klasifikasi TBI berdasarkan pola dan jenis cedera penting untuk

memastikan perawatan yang tepat dan terapi jangka panjang. Tujuan utama

protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder otak

yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan

suasana yang optimal untuk pemulihan maka diharapakan sel tersebut dapat

berfungi normal kembali. Namun bila suasananya dibiarkan dalam keadaan tidak

optimal maka akan mengalami kematian. [7]

3
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Tanggal Lahir : 29 Juni 1996

Umur : 22 tahun

Alamat : BTN Timurama Pare-pare

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tidak bekerja

Agama : Islam

No. RM : 164457

Tgl.MRS : 25 Maret 2019

B. ANAMNESIS

Keluhan utama :

Kesadaran menurun

Anamnesis terpimpin :

Pasien dibawa ke UGD dengan kesadaran menurun yang dialami kurang

lebih 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut dialami setelah

pasien mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Lawawoi saat pasien ingin

berangkat ke Sidrap menggunakan motor. Mekanisme trauma tidak diketahui

oleh orang yang mengantar pasien ke rumah sakit. Selama perjalanan ke rumah

sakit pasien tidak sadarkan diri, muntah ada, kejang tidak ada..

4
Keluhan disertai adanya luka robek pada wajah bagian kiri, terdapat darah

keluar dari telinga kiri dan bengkak pada lengan kiri.

Riwayat konsumsi alkohol dan obat-obatan tidak diketahui. Riwayat penyakit

sebelumnya tidak diketahui.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Primary Survey

- Airway : Clear

- Breathing : Bernapas spontan, simetris ka=ki, jejas (-). Frekuensi

napas 24x/menit

- Circulation : Tekanan darah 90/60 mmHg, Nadi 120x/menit reguler

kuat angkat, CRT<2 detik

- Disability : GCS 10 (E2M5V3), Pupil anisokor 4 mm/ 2 mm, reflex

cahaya +/+

- Exposure : Suhu 36oC

2. Secondary Survey

- Keadaan umum :Sakit berat/gizi cukup/Incomposmentis

- Kepala :Bentuk normocephal. Vulnus excoriatum regio

frontalis sinistra, vulnus laceratum regio zygomaticum sinistra.

- Mata :Hematom regio orbitalis sinistra, perdarahan (-),

konjungtiva anemis (-/-)

- Telinga : Otore (-/+)

- Hidung : rinore (-/-)

- Mulut : perdarahan (-), bibir kering (-)

5
- Leher : jejas (-), deviasi trakea (-)

- Thorax :

 Inspeksi : normochest, simetris ki=ka

 Palpasi : massa (-), krepitasi (-)

 Perkusi : sonor

 Auskultasi : vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-)

- Abdomen :

 Inspeksi : cembung, ikut gerak napas, jejas (-)

 Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

 Palpasi : massa (-)

 Perkusi : timpani

- Ekstremitas :

 Atas : edema (-/-)

 Bawah : edema (-/-)

D. FOTO KLINIS

6
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Darah Rutin

- WBC : 26,1x103 - HGB : 9,32 g/dL

- NEU : 11,8x103 - HCT : 25,4 %

- LYM : 1,37x103 - MCV : 73,0 fL

- MONO: 1,77x103 - MCH : 26,8 pg

- EOS : 0,21x103 - MCHC: 36,7 g/dL

- BASO: 0,063x103 - PLT : 268x103

- RBC : 3,48x106

2) Radiologi

- CT Scan Kepala

7
Kesan:

 Fraktur os maxillaris hingga ke infraorbitalis sinistra, fraktur kominutif

dinding posterolateral sinus maxillaris sinistra, fraktur kominutif arcus

zygomaticum sinistra, fraktur ramus mandibula sinistra

 Kontusio cerebri lobus temporalis sinistra

 Tanda-tanda brain swelling

 Hematosinus maxillaris sinistra, sphenoidalis sinistra dan ethmoidalis

bilateral

 Soft tissue regio maxillaris siistra dan temporoparietal sinistra

- Foto Kepala

Kesan:

 Fraktur os maxillaris sinistra hingga ke infraorbitalis sinistra, fraktur os

zygomaticum sinistra, dan fraktur ramus mandibula sinistra

 Hematosinus maxillaris sinistra, sphenoidalis sinistra

 Soft tissue regio maxillaris siistra dan temporoparietal sinistra

8
- Foto Thorax

Kesan:

 Corakan bronchovaskuler dalam batas normal

 Tidak tampak proses speifik aktif dan tanda-tanda kontusio paru

 Cor :bentuk,ukuran, dan letak normal, aorta normal

 Sinus dan diafragma baik

 Tulag-tulang intak

- Foto Antebrachii Sinistra

 Kesan : fraktur 1/3 distal ulna sinistra diserati soft swelling di

sekitarnya.

9
F. DIAGNOSIS

- Trauma Capitis Sedang GCS 10 (E2M5V3)

- Closed Fracture 1/3 distal os ulnaris sinistra

G. TATALAKSANA

- O2 via NRM 8 LPM

- Pemasangan collar neck

- Head up 30o

- IVFD RL guyur 2000cc lanjut 20 TPM

- Pemasangan kateter urin

- Manitol 100cc/6jam

- Transfusi WBC 1 bag

- Piracetam 3gr/8jam/IV

- Ranitidin 50mg/12jam/IV

- Sotatic 1amp/8jam/IV

- Cefotaxim 1gr/12jam/IV

- Coctail/TGC

- TT inj. 0,5 cc

- Rawat luka

- Konsul rawat ICU

10
H. FOLLOW UP

26 Maret 2019 (ICU)


Subjective Objective Assesment Planning
Kesadaran KU : lemah - TCS GCS - O2 via NRM
menurun (+), T : 108/60 mmHg E2M5V3 - IVFD2 line NaCl
muntah (-), N: 75x/menit reguler - Closed 0,9% 16 TPM
perdarahan P : 30x/menit fracture 1/3 - Piracetam
0
telinga kiri (+) S : 36,4 C distal ulna 3gr/8j//IV
Sp O2 : 100% sinistra - Manitol
160cc/6j/IV
GCS : E2M5V3 (GCS 10) - Ceftriaxon
1gr/12j/IV
Neck collar (+) - Coctail/TGC
Kateter urin (+) - Tranfusi WB 2
bag
Lab: - Cek hb post
Hb : 8,5 transfusi
WBC : 10.200 - Rawat luka

27 Maret 2019 (ICU)


Kesadaran KU : lemah/somnolen - TCS GCS - O2 via NK 3
menurun (+), T : 122/87 mmHg E2M5V3 LPM
muntah (-), N: 75x/menit reguler - Closed - IVFD NaCl 0,9%
perdarahan P : 24x/menit fracture 1/3 16 TPM
telinga (+) S : 36,70C distal ulna - Piracetam
Sp O2 : 92% sinistra 3gr/8j//IV
- Manitol
GCS : E3M5V3 (GCS 11) 100cc/8j/IV
- Ceftriaxon
Neck collar (+) 1gr/12j/IV
Kateter urin (+) - Ketorolac
Lab: 30mg/8j/IV
- Hb : 10,3 - Coctail/TGC
- WBC : 8.390 - Cek hb post
transfusi
- Rawat luka

11
28 Maret 2019 (ICU)
Kesadaran baik, KU : lemah - TCS GCS - O2 via NK 3
muntah (-) T : 130/78 mmHg E4M5V3 LPM
N: 62x/menit reguler - Closed - IVFD NaCl 0,9%
P : 20x/menit fracture 1/3 16 TPM
S : 36,60C distal ulna - Piracetam
Sp O2 : 98% sinistra 3gr/8j//IV
- Manitol
GCS : E4M5V3 (GCS 12) 100cc/8j/IV
- Ceftriaxon
Neck collar (+) 1gr/12j/IV
Kateter urin (+) - Coctail/TGC
(STOP)
- Ketorolac
30mg/8j/IV
- Rawat luka

29 Maret 2019 (ICU)


Kesadaran KU : Lemah - TCS GCS - O2 via NK 3
somnolen, T : 139/82 mmHg E4M5V3 LPM
muntah (-) N: 60x/menit reguler - Closed - IVFD NaCl 0,9%
P : 22x/menit fracture 1/3 16 TPM
S : 36,40C distal ulna - Piracetam
Sp O2 : 97% sinistra 3gr/8j//IV
- Manitol
GCS : E4M5V3 (GCS 12) 100cc/8j/IV
- Ceftriaxon
Neck collar (+) 1gr/12j/IV
Kateter urin (+) - Ketorolac
30mg/8j/IV
- Rawat luka

12
30 Maret 2019 (ICU)
Kesadaran baik, KU : lemah - TCS GCS - O2 via NK 3
muntah (-) T : 124/70 mmHg E4M5V3 LPM
N: 60=4x/menit reguler - Closed - IVFD NaCl 0,9%
P : 22x/menit fracture 1/3 16 TPM
S : 36,60C distal ulna - Piracetam
Sp O2 : 98% sinistra 3gr/8j//IV
- Manitol
GCS : E4M5V4 (GCS 13) 100cc/8j/IV
- Ceftriaxon
Kateter urin (+) 1gr/12j/IV
- Ketorolac
30mg/8j/IV

31 Maret 2019 (ICU)


Kesadaran baik, KU : lemah/composmentis - TCS GCS - O2 via NK 3
nyeri kepala (+), T : 144/83 mmHg E4M5V4 LPM
muntah (-), N: 81/menit reguler - Closed - IVFD NaCl 0,9%
penglihatan kabur P : 22x/menit fracture 1/3 16 TPM
(-) S : 360C distal ulna - Piracetam
Sp O2 : 98% sinistra 3gr/8j//IV
- Manitol
GCS : E4M5V4 (GCS 13) 100cc/8j/IV
- Ceftriaxon
Kateter urin (+) 1gr/12j/IV
- Metamizol
1gr/8j/IV
- Aff hecting
- Pindah perawatan

13
1 April 2019 (PERAWATAN NUSA INDAH)

Kesadaran baik, KU : lemah/composmentis - TCS GCS - IVFD NaCl 0,9%


nyeri kepala (+), T : 120/80 mmHg E4M6V4 16 TPM
muntah (-), N: 82/menit reguler - Closed - Piracetam
penglihatan kabur P : 20x/menit fracture 1/3 3gr/8j//IV
(-), disorientasi S : 36,40C distal ulna - Manitol
(+), inkoheren(+), Sp O2 : 100% sinistra 80cc/12j/IV
kedua tungkai - Ceftriaxon
tidak dapat GCS : E4M6V4 (GCS 14) 1gr/12j/IV
digerakkan - Metamizol
Kateter urin (+) 1gr/8j/IV
- Konsul TS
Neurologi
- Foto Thoracal
AP/Lateral

2 April 2019 (PERAWATAN NUSA INDAH)


Kesadaran baik, KU : baik/composmentis - TCS GCS - IVFD NaCl 0,9%
nyeri kepala (+) T : 120/90 mmHg E4M6V4 16 TPM
minimal, muntah N: 88/menit reguler - Closed - Piracetam
(-), penglihatan P : 20x/menit fracture 1/3 3gr/8j//IV
kabur (-), S : 36,70C distal ulna - Manitol
disorientasi (+), GCS : E4M6V4 (GCS 14) sinistra 80cc/12j/IV
inkoheren(+), Kateter urin (+) - Paraplegia (STOP)
kedua tungkai Radiologi : - Ceftriaxon
tidak dapat 1gr/12j/IV
digerakkan. - Metamizol
Pasien belum 1gr/8j/IV
pernah BAB - Rencana Rujuk
sejak masuk ke Makassar
rumah sakit.

Kesan: fraktur kompresi corpus


vertebra Thoracal 5 dan 6
dengan spondilolistesis corpus
vertebra thoracal 5 ke anterior
terhadap corpus vertebra
thoracal 6 grade 2-3, disertai
penyempitan sendi thoracal 5-6

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. DEFINISI

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau


[8]
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.

Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan

kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, duramater, vaskuler

otak, sampai jaringan otak, baik berupa luka yang tertutup maupun terbuka.[3]

Menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma

Spinal, trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala

baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer

maupun permanen. [2]

III.2. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, anak-anak berusia 0–4 tahun, remaja berusia 15–19

tahun, dan orang dewasa berusia 75 tahun ke atas merupakan yang paling banyak

mengalami cedera kepala. Orang dewasa berusia 75 tahun ke atas memiliki

peringkat yang tertinggi tingkat rawat inap terkait TBI dan kematian di antara

semua kelompok umur. Penyebab utama cedera kepala di Amerika Serikat

diantaranya jatuh (35%), cedera terkait kendaraan bermotor (17%), dan pukulan di

kepala terhadap sebuah objek (17%), seperti cedera olahraga. [5]

15
Berdasarkan data Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 dilaporkan

bahwa rata-rata proporsi kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar 11,9%.

Daerah Sulawesi Selatan didapatkan proporsi cedera kepala sebesar 15,0%.

Dimana karakteristik umur tertinggi didapatkan pada kelompok umur 66-74 tahun

(16,0%). Kemudian berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih tinggi pada laki-

laki (12,2%) dibandingkan perempuan (11,5%). [6]

Gambar 1. Proporsi Cedera Kepala Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2018


(Sumber : Riset Kesehatan dasar. 2018)

III.3. ANATOMI KEPALA

A. Kulit Kepala (SCALP)

Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang disingkat sebagai SCALP

yaitu: (1) Skin atau kulit, (2) Connective Tissue atau jaringan penyambung, (3)

Aponeurosis atau galea aponeurotika, (4) Loose areolar tissue atau jaringan

penunjang longgar, (5) Perikranium. [3]

16
B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak dapat dibedakan yaitu cranium dan tulang-tulang wajah.

Calvaria adalah bagian atas dari cranium dan basis cranii adalah bagian paling

bawah dari cranium. [7]

Cranium terdiri atas tulang-tulang berikut ini: os frontale, os parietale, os

occipitale, os temporale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Lantai dasar rongga

tengkorak dibagi atas tiga fossa yaitu : fossa anterior, media dan posterior.

Tulang-tulang wajah terdiri atas tulang-tulang berikut ini: os zygomaticum,

maxilla, os nasale, os lacrimale, vomer, os palatinum, concha nasalis inferior, dan

mandibula. [9]

Gambar 1. Anatomi Tengkorak


(Sumber: Martini. Human Anatomy.2012)

17
C. Meningen (Selaput Otak)

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu: duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater merupakan selaput

yang kuat, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan

dalam kranium. Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan

dalam kranium (ruang epidural). Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari

meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut selaput arakhnoid. Lapisan

ketiga adaalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. [7]

Gambar 3. Anatomi Meningen


(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. 2014)

D. Otak

Otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri

dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks cerebri, yaitu lipatan

duramater yang merupakan lanjutan dari sinus sagitalis superior di garis tengah.

Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara pada sebagian besar manusia.

18
Lobus frontal mengontrol inisiatif, emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan

mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan

kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri bertanggung jawab

dalam kemampuan menerima rangsang dan integrasi bicara. Lobus occipital

bertanggung jawab dalam penglihatan. [7]

Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pusat kardiorespiratorik berada di medula

oblongata, yang berlanjut memanjang menjadi medula spinalis. Serebelum

terutama bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak

dalam fosa posterior. [7]

Gambar 4. Anatomi Otak


(Sumber: Martini. Human Anatomy.2012)

19
E. Sistem Ventrikel

Ventrikel adalah suatu sistem berupa rongga yang berisi cairan

serebrospinal (CSS). Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk

dalam rongga subarachnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula

spinalis. [7]

F. Peredaran Darah Otak

1) Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri

serebri media kanan dan kiri, arteri communicans anterior (yang

menghubungkan kedua arteri serebri anterior) sepasang arteri serebri medial

posterior dan arteri comunicans posterior (yang mehubungkan arteri serebri

medial dan posterior) kanan dan kiri.

2) Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah

orbita, masing-masing melalui arteri ophtalmica dan arteri facialis ke arteri

maxillaris externa.

3) Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis eksterna (pembuluh

darah ekstra kranial). [9]

Gambar 5. Peredaran Darah Otak


(Sumber: Martini. Human Anatomy.2012)
20
III.4. FISIOLOGI OTAK

Konsep fisiologis yang berhhubungan dengan cedera otak meliputi

tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah otak. [7]

A. Tekanan intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan

kenaikan tekanan intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi

otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan

istirahat kira-kira 10 mmHg. [7]

B. Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-kellie merupakan suatu konsep bahwa volume intrakranial

harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga

yang kaku. Darah di dalam vena dan cairan serebrospinal dapat

dikeluarkan/dipindahkan dari rongga tengkorak, sehingga tekanan intrakranial

tetap normal. [7]

Gambar 6. Kurva TIK dan Volume intrakranial


(Sumber: ATLS.2010)

21
Tekanan isi intrakranial pada awalnya dapat mengkompensasi suatu massa

intrakranial yang baru seperti perdarahan epidensial atau subdential. Sekali

volume perdarahan ini melebihi kompensasi maka tekanan intrakranial akan

meningkat dengan cepat, yang akan menyebabkan pengurangan atau penghentian

aliran darah otak. [7]

Gambar 7. Doktrin Monro-Kellie


(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.2014)

Doktrin Monro-kellie tentang kompensasi intrakranial terhadap penambahan

massa volume intrakranial selalu normal. Bila ada penambahan volume seperti

perdarahan akan menyebabkan pengeluaran LCS dan darah vena sehingga

tekanan intrakranial tetap normal akan tetapi ketika mekanisme kompensasi ini

terlewati maka akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial dengan cepat. [7]

C. Aliran Darah Otak (ADO, Cerebral Flow)

ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 mL per 100 gr

jaringan otak. Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan ntuk

22
berkontriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap tekanan perfusi otak (CPP=

Cerebral Perfussion Pressure), yang secara klinis didefinisikan sebagai tekanan

darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intrakraial. CPP 50-150 mmHg diperlukan

untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi tekanan).

Pembuluh-pembuluh darah ini secara normal berdilatasi atau konstriksi sebagai

repon terhadap perubahan kadar PaO2 atau PaCO2 darah (autoregulasi kimia).

Cedera otak berat dapat merusak kedua mekanisme regulasi tersebut. [7]

III.5. MEKANISME CEDERA KEPALA

Ditinjau tipe beban mekanik yang menimpa kepala, secara garis besar

mekanisme trauma kepala dapat dikelompokkan dalam dua tipe beban yaitu beban

statik (static loading) dan beban dinamik (dynamic loading). Beban dinamik

terdiri dari beban benturan (impact loading) dan beban guncangan (impulsive

loading).[3]

Beban benturan terjadi akibat kontak, dapat mengakibatkan tiga hal, yaitu

kerusakan pada tulang tengkorak, perdarahan intrakranial, dan gelombang energi

benturan. Sedangkan beban guncangan terjadi akibat gaya inersia pada gerakan

translasi, rotasi dan angulasi. [3]

Beban statik timbul perlahan-lahan yang dalam hal ini tenaga tekanan

mengenai kepala secara bertahap. Hal ini terjadi ketika terdapat tekanan lambat

mengenai kepala yang sedang diam (statis). Bila kekuatan tenaga tersebut cukup

besar dapat mngakibatkan terjadinya keretakan tulang (egg-shell fracture), fraktur

multipel atau kominutif dari tengkorak atau dasar tulang tengkorak. [3]

23
Beban dinamik merupakan mekanisme trauma kepala yang lebih umum,

dimana peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang lebih singkat. Beban

benturan merupakan jenis beban dinamik yang lebih sering terjadi dan pada

umumnya merupakan kombinasi kekuatan kontak dan kekuatan lanjut akibat gaya

inersia. Kekuatan kontak merupakan benturan langsung pada kranium dapat

mengakibatkan distorsi lokal dan distribusi gelombang tekanan dari permukaan

kranium sampai ke bagian otak yang lebih dalam. [3]

Objek-objek yang lebih besar dari 5cm2 akan mengakibatkan deformitas

lokal tengkorak yang cenderung melekuk ke dalam tepat pada daerah benturan.

Bila derajat deformitas loakl tersebut melebihi toleransi tengkorak maka akan

terjadi fraktur. Penetrasi, perforasi atau fraktur depresi lokal kebanyakan

disebabkan oleh objek dengan permukaan yang luasnya kurang dari 5cm2. [3]

Beban guncangan terjadi bila kepala mengalami kombinasi antara

percepatan-perlambatan (aselerasi-deselerasi) secara mendadak. Atau sebaliknya

bila kepala yang sedang bergerak tiba-tiba dihentikan tanpa mengalami suatu

benturan. Gaya inersia adalah bentuk resistensi yang terjadi pada suatu objek

ketika terdapat resistensi yang terjadi pada suatu objek ketika terdapat perubahan

gerakan. Otak berhenti sejenak ketika terjadi benturan mendadak kemudian akan

bergerak ketika tengkorak sudah berhenti bergerak. [3]

Bagian dalam basis cranii memiliki banyak penonjolan, terutama pada

fossa kranii anterior, media, dan ala minor tulang sphenoid. Oleh karena itu, otak

dapat mengalami cedera pada titik yang tidak sesuai dengan tempat benturan

24
(kontusio counter-coup). Selain itu, kontusio ini juga disebabkan oleh adanya

perubahan tekanan pada parenkim otak. Tekanan negatif terjadi pada saat awal

gerak ketika otak masih tertinggal di sisi yang berlawanan dari benturan.

Kemudian tekanan menjadi positif saat otak yang masih bergerak membentur

rongga kranial yang sudah berhenti bergerak. Ketika terjadi peregangan otak,

kontusio kontra-koup, kontusi intermediate-kup, perdarahan intraserebral

traumatika, dan cedera aksonal difus akibat trauma dapat terjadi. [3]

Pergeseran otak yang mendadak juga dapat mengakibatkan relatif bergeser

terhadap tulang tengkorak dan duramater, sehingga terjadi cedera pada

permukaannya, terutama pada vena-vena jembatan vena (bridging vein). [3]

Gamba 8. Mekanisme Coup-Contracoup


(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.2014]

III.6. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

A. Mekanisme cedera

Cedera otak secara luas dapat dibagi atas cedera tumpul dan cedera

tembus. Cedera otak tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan

25
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka

tembak dan bacok.[7]

B. Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis

beratnya cedera otak. Pasien yang membuka kedua matanya pontan, mematuhi

perintah dan berorientasi bik mempunyai GCS 15, sementara pasien yang lemah

tidak dapat membuka mata sama sekali atau tidak bersuara nilai GCS minimal

yaitu 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau

cedera otak berat. Pasien dengan GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak

sedang, dan pasien dengan GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera otak

ringan.[7]

C. Progresivitas

Berdasarkan progresivitasnya, cedera kepala dibagi menjadi cedera primer

(initial/ primary injury), cedera sekunder (secondary injury) dan secondary brain

insult.[3]

Cedera primer adalah kerusakan yang terjadi pada struktur kepala, jaringan

otak serta pembuluh darah pada saat terjadinya cedera kepala. Pada tingkat

makroskopik dapat dilihat kerusakan jaringan otak. Sedangkan pada tingkat

mikroskopik dapat terjadi kerusakan pada sel-sel parenkim otak dan pembuluh

darah kecil. [3]

26
Cedera sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi

dari kerusakan primer. Secara umum cedera kepala sekunder meliputi hematoma

intrakranial, edema serebri, peningkatan TIK, dan pada tahap yang lebih lanjut

yaitu hidrosefalus dan infeksi. [3]

Secondary brain insult adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah

trauma kepala yang memiliki potensi untuk menambah kerusakan sel saraf, akson,

dan pembuluh darah otak, seperti keadaan hipoksia, hiperkarbia, hipotensi,

hiperpireksia, hiperglikemia, kejang, ketidakseimbangan elektrolit. [3]

CEDERA
KEPALA

Cedera Secondary
Cedera primer
sekunder brain insult

Hematoma
Lesi lokal Lesi difus Hipoksia
intrakranial

Hematoma Cedera
Edema Hipotensi
SCALP vaskuler difus

Fraktur tulang Cedera


Brain shift Hiperpireksia
tengkorak aksonal difus

Hematoma
Herniasi Hiperglikemia
epidural

Kontusio kup Hidrosefalus Kejang

Laserasi Ketidakseimba
Infeksi ngan elektrolit
cerebri

TIK tinggi

Gambar 9. Klasifikasi Cedera Kepala


(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.2014]
27
1. Cedera Primer

1) Lesi Lokal Akibat Benturan

a. Hematoma SCALP

Lapisan dermis dan subkutis dapat mendistribusikan kekuatan benturan

dan mengurangi kekuatannya hingga besaran kekuatan yang tidak menimbulkan

kerusakan struktur. Bila kekuatan benturan melebihi kapasitas SCALP maka dapat

terjadi hematoma pada SCALP. Hematoma SCALP yang paling sering ditemukan

pada cedera kepala terdapat pada jaringan loose areolar tissue dan disebut sebagai

hematoma subgaleal.[3]

Trauma lain pada SCALP meliputi (a) abrasi/ekskoriasi, berupa luka yang

terbatas pada lapisan skin. (b) laserasi adalah luka yang melebihi ketebalan S dan

mecapai tulang tanpa tanpa disertai pemisahan lapisan SCALP. (c) kontusio

berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematoma seperti hematoma

subperiosteal, dan sefalhematom. (d) avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai

pemisahan lapisan SCALP. [3]

Gambar 10. Hematoma subgaleal


(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.2014]

28
b. Fraktur Tulang Tengkorak

Gambar 11. Tiper fraktur tengkorak


(Sumber: Campbell.Head Traumaand Traumatic Brain Injury.2018]

Gejala fraktur basis cranii[3]

- Anterior: perorbital hematom unilateral/bilateral (brill hematom/racoon

eye), kerusakan saraf kranial I, kerusakan saraf kranial II, kerusakan

chiasma opticum, rinore dan epistaksis.

29
- Media : battle sign, otore, rinore,kerusakan saraf III,IV,VI, kerusakan

telinga dalam (organ vestibuli).

- Posterior : cedera batang otak, cedera saraf kranial IX,X,XI,XII.

Gambar 12. Tanda Fraktur Basis Cranii


(Sumber: Campbell.Head Traumaand Traumatic Brain Injury.2018]

c. Kontusio

Lesi otak pada kontusio berupa area perdarahan pada bagian sentral

bercampur dengan area nekrosis non-hemoragik dan sebagian daerah otak yang

mengalami edema. Kontusio serebri seering terjadi (20% sampai 30% dari cedera

otak berat). Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun

dapat juga terjadi pada setiap bagian otak kontusio serebri dapat dalam waktu

beberapa jam atau hari berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio

yang luas sehingga menyebabkan lesi desak ruang. [3]

Gambar 13. Tiper fraktur tengkorak


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

30
2) Cedera Difus

a. Cedera aksonal difus

Keadaan dimana serabut saraf subkortikal (serabut proyeksi, asosiasi, dan

komisural) mengalami kerusakan akibat gaya akselerasi deselerasi. Cedera

aksonal difus dibagi tiga berdasarkan beratnya kerusakan yang timbul, yaitu: [3]

- Grade 1 : kerusakan akson pada substansia alba dapat dilihat secara

mikroskopik tanpa adanya lesi fokal

- Grade 2: kerusakan akson disertai fokus perdarahan pada korpus kalosum

- Grade 3: kerusakan akson difus disertai perdarahan pada korpus kalosum

dan batang otak

b. Cedera vaskular difus

Pembuluh darah lebih tahan terhadap cedera regangan dibandingkan

akson. Perdarahan akibat robekan jaringan yang berhubungan dengan cedera difus

merupakan perdarahan akibat kerusakan endotel menyeluruh, kecil-kecil,

menyebar di seluruh hemisfer. [3]

2. Cedera Sekunder

1) Hematoma Intrakranial

a. Hematoma Epidural

Perdarahan pada rongga epidural diantara duramater dan tulang tengkorak

(antara lapisan periosteal dan lapisan meningeal duramater). Perdarahan epidural

31
relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan (9% dari pasien yang

mengalai koma. Hematoma epidural secara tipikal berbentuk bikonveks atau

cembung sebagai akibat perdorongan perdarahan terhadap duramater yang sangat

melekat di tabula interna tulang kepala. Sering terletak di daerah temporal atau

temporoparietal dan biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meingea media

akibat fraktur tulang tengkorak. [3]

Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan penunjang Indikasi operasi

- Lucid interval, - Volume >30 mm

Rupturnya penurunan CT Scan: hiperdens tanpa

1. A. Meningea kesadaran bikonveks mempertimbangkan

media (85%) - Defiit neurologis: Homogen, berbatas tegas, GCS

2.Vena meningea hemiparese menyatu dengan tabula - Midline shift >0,5cm

media konralateral, interna, tidak menyebrang - Defisit neurologis:

3. Sinus dural dilatasi pupil sutura pupil anisoor pada

4. Vena diploeica ipsilateral Tidak menyeberang falks sisi yang esuai

- Nyeri kepala, dan tentorium dengan hematoma

muntah bila GCS<9

Gambar 14. Epidural Hematom


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

32
b. Hematoma Subdural

Perdarahan pada rongga subdural (diantara duramater dan subarakhnoid).

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural, kira-kira

30% dari cedera otak berat. Perdarahan sering terjadi akibat robekan pembuluh

darah/vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural

biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak. [3]

Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan penunjang Indikasi operasi

- Penurunan kesadaran CT Scan: bulan sabit - Tebal >1 cm atau

1.Robeknya - Defisit neurologis (kresentrik) Midline shift >0,5cm

bridging vein - Nyeri kepala, mual, Akut (1-3 hari): tanpa

2.Laserasi muntah, kejang hiperdens mempertimbangkan

parenkim otak Subakut (4-21 hari) : GCS

isodens - Tebal < 1cm MLS <0,5

Kronis (>21hari) : cm dengan:

hipodens - penurunan GCS >2

Menyelimuti permukaan poin dan/atau

otak - Pupil anisokor atau

Dapat menyeberang dilatasi

sutura - TIK >20 mmHg

Gambar 15.Subdural Hematom


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

33
c. Hematoma Intraserebral

Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di

dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma capitis berat atau perkembangan lesi

kontusio. [3]

Etiologi Gejala klinis Pemeriksaan Indikasi operasi

penunjang

- Penurunan kondisi neurologis

Gaya aselerasi - Nyeri kepala, CT Scan: progresif akibat efek massa

deselerasi yang mual, muntah, hiperdens sesuai CT scan)\hipertensi

menyebabkan penurunan terlokalisisr intrakranial yang refrakter

pecahnya pembuluh kesadaran, dengan obat-obatn

darah kortikal dan kejang - Volume >50cc

subkortikal. - Pasien dengan GCS 6-8

Perkembangan - Kontusio frontal atau temporal

kontusio serebri volume >20ml, dengan midline

shift > 5cm dan/atau

- Kompresi pada sisterna basalis

Gambar 16. Hematom Intracerebral


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

34
d. Hematoma Intraventrikular

Sering dikaitkan dengan perdarahan parenkim atau perdarahan basal

ganglia yang meluas. Perdarahan dapat diakibatkan oleh robeknya vena pada

fornix, septum pelusidum, dan pleksus koroid. [3]

Gambar 17. Intraventrikel Hemorrhage


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

e. Perdarahan Subarakhnoid

Diakibatkan oleh regangan pembuluh darah pada rongga subarakhnoid. Darah

dapat dijumpai di fissura sylvii, sulkus serebri, dan sisterna basalis. [3]

Gambar 18. Perdarahan Subarakhnoid


(Sumber: Pope. Imaging of Brain Trauma.2013]

35
2) Edema Otak

Ada beberapa tipe edema otak sehubungan dengan asal cairan dan

lokasinya (intraselular atau atau ekstraselular). Tipe yang terpenting pada

kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema sitotoksik. [3]

Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas

kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma

ekstraseluler terutama di massa cairan putih serebral. Edema sitotoksik

merupakan penumpukan cairan intraseluler. Edema ini akibat adanya kegagalan

metabolisme energi seluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan

keseimbangan cairannya. [3]

3) Brain shift

Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses, atau

pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intrakranial biasanya akan

menyebabkan kompresi dan pergeseran ventrikel ketiga, ventrikel lateral, dan

septum pelusidum melewati garis tengah. [3]

III.7. PEMERIKSAAN KLINIS CEDERA KEPALA

Pemeriksaan klinis tetap merupakan hal yang paling komprehensif dalam

evaluasi diagnostik penderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan-

pemeriksaan serial yang cepat, tepat, dan noninvasif diharapkan dapat

menunjukkan perogresivitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan

tersebut. [3]

36
A. ANAMNESIS[2]

Informasi yang diperlukan adalah:

– Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat

– Keluhan utama

– Mekanisma trauma

– Waktu dan perjalanan trauma

– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma

– Amnesia retrograde atau antegrade

– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo

– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala

– Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi

dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah.

B. PEMERIKSAAN FISIK [2]

Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta

pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:

– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,

– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:

a) Pemeriksaan kepala

Mencari tanda :

- Jejas di kepala meliputi; hematoma subkutan, subgaleal, luka terbuka,luka

tembus dan benda asing.

37
- Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill

hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhe, dan otorhoe

serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.

- Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima

orbita dan fraktur mandibula

- Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan

bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.

b) Pemeriksaan neurologis [3]

1) Tingkat kesadaran

Dinilai dengan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Skala ini merupakan

gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral

berdasarkan respon verbal, motorik dan mata penderita.

Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dibagi atas:

- Cedera kepala ringan (GCS 14-15)

- Cedera kepala sedang (GCS 9-13)

- Cedera kepala berat (GCS <8)

38
Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS) pada Anak

2) Pupil dan pergerakan bola mata

Ukuran pupil dan responnya terhadap cahaya merupakan pemeriksaan

ayng penting karena bagian batang otak yang merupakan pusat kesadaran

secara anatomis letaknya berdekatan dengan pusat yang mengendalikan

reaksi pupil. Refleks cahaya menunjukkan fungsi mesensefalon.[3]

39
Gambar 20. Pemeriksaan Pupil
(Sumber: Campbell.Head Trauma and Traumatic Brain Injury.2018]

Pupil dilatasi unilateral disertai perlambatan refleks cahaya merupakan salah

satu gejala dini dari herniasi lobus temporal. Dalam hal ini adanya kompresi

maupun distrofi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial-unkal

menganggu fungsi akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk

konstriksi pupil. [3]

Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktivitas

fungsional batang otak (forasio retikularis). Penderita yang sadar penuh dan

mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan bahwa sistem motorik

okuler di batang otak intak. [3]

3) Reaksi motorik terbaik

Pada keadaan normal, respon motorik merupakan hasil koordinasi dari korteks

serebri bekerjasama dengan formasio retikularis di pons dan red nucleus yang

40
memperkuat tonus fleksor, serta nukleus vestibularis yang memperkuat otot

ekstensor. Jika terdapat gangguan kerja sama antara korteks serebri dan nukleus-

nukleus tersebut, gejala motorik yang tampak adalah: [3]

- Respon fleksor abnormal (dekortikasi), yaitu adanya fleksi abnormal pada

lengan dengan atau tanpa ekstensi tungkai.

- Respon ekstensor abnormal (deserebrasi), yaitu gerakan ekstensi pada lengan

dan/ tungkai.

Gambar 21. Posisi Dekortikasi (A), Deserebrasi (B)


(Sumber: Campbell.Head Trauma and Traumatic Brain Injury.2018]

4) Pola pernapasan

Pusat pernapasan terletak di batang otak bagian bawah, diantara pons dan

cervicomedullary junction. Kerusakan pada tingkat yang berbeda dapat

menghasilkan pola pernapasan yang berbeda. [3]

41
Gambar 22. Jenis Pernapasan menurut Letak Lesi
(Sumber: Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.2014]

III.8. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Foto Polos Tengkorak[3]

Dari foto polos tengkorak dapat diperoleh informasi mengenai:

- Bentuk fraktur tulang kepala

- Adanya benda asing

- Pneumosefalus (udara yang masuk ke rongga kepala)

B. CT-Scan[3]

Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih (gold

standard) untuk kasus cedera kepala. Dalam hal ini dapat diperoleh informasi

42
tentang lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, kontusi, udara, benda

asing intrakranial, seeta pergeseran struktur di dalam rongga tengkorak.

Pemeriksaan CT Scan adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada

semua pasien cedera otak yang gagal kembali menjadi GCS 15 dalam waktu 2

jam setelah cedera, adanya kecurigaan fraktur tulang tengkorak terbuka, adanya

tanda-tanda klinis raktur basis cranii, adanya muntah leih dari dua kali episode

maupun pada pasien berusia lebih dari 65 tahun. [7]

C. MRI

MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronik maupun

kerusakan otak yang kronik. Dalam hal ini MRI T2 mampu menunjukkan

gambaran yang lebih jelas terutama untuk memberi identifikasi yang lebih jelas

lesi hipodens pada CT Scan atau lesi yang sulit dibedakan densitasnya dengan

korteks. [3]

III.9. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA

Prinsip tatalaksana cedera otak atau trauma otak,yaitu [11]

- Penanganan cedera otak primer

- Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder

- Optimalisasi metabolisme otak

- Rehabilitasi

43
Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut:
[11]

- Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran

- Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah

- Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi

- Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus

- Fraktur tengkorak

- CT scan abnormal

A. PENANGGULANGAN TRAUMA KAPITIS AKUT[11]

Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan,

sedang, berat) berdasarkan urutan :

1. Survei Primer, berguna untuk menstabilkan kondisi pasien, meliputi tindakan

tindakan sbb :

- A= Airway (Jalan nafas).

Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah,

gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai

kemungkinan adanya fraktur tulang leher).

- B =Breathing (pernafasan).

Pastikan pernafasan adekuat. Perhatikan frekuensi, pola nafas dan

pemafasan dada atau perut dan kesetaran pengembangan dada kanan dan

kiri (simetris). Bila ada gangguan pemafasan, cari penyebab apakah

terdapat gangguan pada sentral ( otak dan batang otak) atau perifer (otot

44
pemafasan atau paru-paru). Bila perlu, berikan Oksigen sesuai dengan

kebutuhan dengan target saturasi O2 > 98%.

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada pasien

cedera otak berat dan hanya dilakukan saat timbul perburukan neurologis

akut.

- C =Circulation (sirkulasi)

Pertahankan Tekanan Darah Sistolik > 90 mmHg. Pasang jalur intravena.

Berikan cairan intravena drip, NaCI 0,9% atau Ringer. Hindari cairan

hipotonis. Bila perlu berikan obat vasopresor dan/ inotropik. [2]

Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada

pasien dengan hipotensi harus segera dilakkukan stabilisasi untuk

mencapai euvolemia. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan

banyak darah, yang kadang tidak tampak jelas.[7]

- D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum

dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi). Tanda vital :

tekanan darah, nadi, pemafasan, suhu. Skala koma Glasgow. Pupil :

ukuran, bentuk dan refiek cahaya. Pemeriksaan neurologi cepat :

hemiparesis, refieks patologis. Luka-luka. Anamnesa : AMPLE (Allergies,

Medications, Past Illnesses, Last Meal, Event I Environment related to the

injury).[11]

45
2. Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi

pasien stabil[11]

- E = Laboratorium

Darah : Hb, leukosit, hitung Jems lekosit, trombosit, ureum, keatinin, gula

darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit. Urine : perdarahan (+)/(-).

Radiologi: Foto polos kepala, posisi AP, lateral, tangensial. CT scan otak.

Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal).

- F = Manajemen Terapi

Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi. Siapkan

untuk masuk ruang rawat. Penanganan luka luka dan pemberian terapi obat

obatan sesuai kebutuhan.

B. PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK RINGAN

Sebagian besar pasien cedera otak ringan pulih sempurna. Kurang lebih

30% mengalami perburukan dengan hasil gangguan neurologis hebat apabila tidak

terdeteksi lebih dini.[7]

Survei sekunder sangat penting pada evaluasi pasien dengan cedera otak

ringan. Catat mekanisme cedera, dengan perhatian pada adanya kehilangan

kesadaran, termasuk lamanya durasi pasien tidak memeberikan respon, adanya

kejang dan derajat kesadaran. Jika pasien asimtomatis, sadar, neurologis normal,

observasi diteruskan selama beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap

normal dikatakan pasien aman dan dapat dipulangkan. [7]

46
Gambar 23. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan
(Sumber: Bajamal. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. 2014]

C. PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK SEDANG

Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan

stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan, CT-

Scan kepala harus segera dilakukan dan segera menghubungi ahli bedah saraf.

Pasien harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara.[11]

47
Gambar 24. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang
(Sumber: Bajamal. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. 2014]

C. PENATALAKSANAAN CEDERA OTAK BERAT

Pasien dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana

walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Pasien cedera otak berat dengan

hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding pasien tanpa

hipotensi. [11]

48
Gambar 25. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Otak Berat
(Sumber: Bajamal. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. 2014]

Indikasi Operasi Penderita Trauma Capitis[11]

a. EDH (epidural hematoma);

- >40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal / frontal/ parietal

dengan fungsi batang otak masih baik.

49
- >30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang

otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.

- EDH progresif.

- EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

b. SDH (subdural hematoma)

- SDH luas (> 40 cc I > 5 mm) dengan GCS > 6,fungsi batang otak masih

baik.

- SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

- SDH dengan edema serebri I kontusio serebri disertai midline shift dengan

fungsi batang otak masih baik.

c. ICH (perdarahan intraserebral) pasca trauma.

- Penurunan kesadaran progresif.

- Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing

reflex).·

- Perburukan defisit neurologi fokal.

d. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe.

e. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.

f. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial).

g. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangan

operasi dekompresi.

50
III.10.REKOMENDASI TATALAKSANA PERAWATAN

MEDIKAMENTOSA[11]

A. Rekomendasi Penggunaan Obat Anti Kejang

Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan

kejang pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.

Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap

terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma

(early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca

trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma

tipe dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Kriteria pasien

risiko tinggi kejang pasca trauma:

- GCS ≤ 10

- Immediate seizures

- Kontusio kortikal

- Fraktur linier

- Penetrating Head Injury

Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan resiko kejang pasca

trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah trauma. Dosis

loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan kecepatan

infus maksimum 50 mg/menit. Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin yang

direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5mg/kgBB/hari dibagi

51
dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk

mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.

B. Rekomendasi Penggunaan Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis

Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol

dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan

intravaskular. Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non

surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia selama

perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan kontusio serebri grade III.

Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20%. Manitol diberikan

bolus 0,25– 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum

memberikan manitol harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula

darah, dan elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan

sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran

diuresis. Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat

untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum

<320 mmol/l.

Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis

dan harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound

dapat dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan

secara bertahap.Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB

selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat

diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau

hipotensi. Sodium laktat dapat menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang

52
lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih

cepat.

C. Rekomendasi penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pemasangan

Kateter Ventrikel

Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada

tindakan pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb.

Cephalosporin generasi ke 1 dan 2 merupakan jenis antibiotik yang di

rekomendasikan. Pada trauma penetrasi craniocerebral, tidak didapatkan bukti

yang mendukung penggunaan antibiotik profilaksis namun para ahli menyarankan

pemberian antibiotika broad spectrum secara rutin berkaitan dengan beratnya

komplikasi yang mungkin terjadi.

D. Rekomendasi penggunaan analgetik

Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani.

Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam

proses rasa nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat

mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim

Cyclooxigenase (COX). Peningkatan kadar prostaglandin terjadi pada pasien

cedera otak.

Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis

tunggal atau 30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari.

Metamizol diberikan dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena

atau perektal.

53
E. Rekomendasi Penggunaan Steroid

Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan

reseptor kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar

kortikosteroid atau meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya

penggunaan kortikosteroid tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor

protein yang masih ada dan sebagian reseptor kortikosteroid mengalami

kerusakan sehingga pembentukan lipokortin juga terbatas. Hal ini juga

menyebabkan toleransi kortikosteroid terganggu.

Pada beberapa kasus dilaporkan efek samping penggunaan kortikosteroid

yang terjadi bisa timbul perdarahan gastrointestinal dan infeksi. Karena adanya

peningkatan mortalitas dan manfaat yang kurang pada penggunaan kortikosteroid

dibeberapa penelitian menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan

kortikosteroid pada pasien dengan cedera otak.

Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk

mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki kesudahan terapi pasien

cedera otak berat.

F. Rekomendasi Penggunaan Sedatif

Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera

otak,dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan

memastikan pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di

bawah ini, pilihan yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi

mekanik.

54
Pemberian sedatif dapat digunakan sebagai tertiary management kontrol

TIK. Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3

mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam

20 menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan

5-10mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-

4mg/kgBB/jam.

Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB

diikuti infus siringe pump (0.3-7.5 mg/kgBB/jam) atau thiopental 1-6 mg/kg/hr.

Dexmedetomidine diberikan dengan loading dose 0,5-1 mcg/KgBb selama 10

menit, diikuti dengan dosis maintanance 0,2-0,3 mcg/KgBb/jam.

55
G. Rekomendasi Pemberian Nutrisi

Cedera otak meningkatkan respon metabolik dan katabolik tubuh

sehingga membutuhkan nutrisi yang cukup. Disarankan pemberian early feeding

yang adekuat karena memberikan survival dan disability outcome yang lebih baik

pada pasien dengan cedera otak. Belum ada penelitian yang menunjukkan metode

pemberian mana yang paling baik.

Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT

mungkin dapat memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein

di viscera pasca trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding

(lebih dari 1 minggu setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang

besar disertai penurunan berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai

pemenuhan nutrisi pada hari ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling

lambat 72 jam setelah trauma atau cedera.

H. Rekomendasi Pengguan Gastric Mucosal Protector dan Acid Supressor

Agent

Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent dapat menurunkan

insiden perdarahan gastrointestinal yang disebabkan oleh stress ulcer dengan

pengaturan PH asam lambung. PPI mempunyai keunggulan dibandingkan

regimen lainnya karena site of action memblokade jalur akhir produksi asam

lambung dan durasi kerja yang lebih lama. Dosis anjuran omeprazole 40mg/12jam

iv atau 40mg/hari peroral atau personde.

Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau

personde, 50mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu

56
intravena perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai

mucosal protector diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.

I. Rekomendasi Penggunaan Citicoline

Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi

mengaktivasi biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan

metabolise otak dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan

dopamin. Citicolin juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria

ATPase dan Na/K ATPase serta menghambat enzim phospholipase A2.

Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian

maupun jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan

gejala sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi

kognisinya. Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun

injeksi.

J. Rekomendasi Penggunaan Piracetam

Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu

katabolisme oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level

cAMP, memperbaiki metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein.

Piracetam juga memperbaiki fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak

serta peningkatan perfusi lokal.

Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun

pasca cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki

gejala neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera

57
otak adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan

diberikan dosis PO 4,8 gr/hari.

III.11. REKOMENDASI ACUAN TATALAKSANA PEMBEDAHAN[11]

A. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Epidural (EDH)

Indikasi pembedahan :

- Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan >

15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau

- Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor

Waktu :

Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito

pembedahan atau evakuasi

Penjelasan Rekomendasi :

Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT

Scan kepala awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada

pasien non operatif dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan

volume > 30 cc, atau ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm

tanpa melihat GCS, dilakukan tindakan pembedahan karena efek massa yang

signifikan. Pasien EDH dengan volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil

anisokor secepat mungkin dilakukan tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan

volume <30 cc, ketebalan <15 mm, pergeseran midline <5 mm tanpa melihat

GCS yang tidak disertai pupil anisokor dilakukan manajemen non operatif

yang agresif.

58
B. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural

Indikasi pembedahan :

SDH Akut

- Pasien SDH tanpa melihat GCS :

a. Dengan ketebalan > 10 mm

b. Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan

- Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK

- Pasien SDH dengan GCS < 9 :

a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline, jika

mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat

kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit

b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed

c. Dan/atau TIK > 20 mmHg

SDH Kronis

- Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis

fokal atau kejang

- Ketebalan lesi > 1cm

Waktu :

Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan

dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting

daripadaevakuasi hematom.

59
Metode :

Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan

drainase LCS transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy

dekompresi dan pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada

penderita dengan indikasi tertentu.

C. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Parenkim Otak

Indikasi pembedahan :

- Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah

frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan

pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.

- Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc

- Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi

neurologis yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang

refrakter dengan medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa

pada CT scan.

Waktu dan Metode :

Kraniotomy dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien

dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas. Kraniektomy

dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma merupakan pilihan penanganan

untuk pasien dengan cerebral edema diffusa dan hipertensi intrakranial

membandel dengan pengobatan. Prosedur dekompresi termasuk dekompresi

subtemporal, lobektomi temporal dan kraniektomy dekompresi hemisfer,

merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang

60
membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan radiologis adanya

impending herniasi transtentoria.

D. Rekomendasi Pembedahan Pada Fraktur Basis Cranii

Indikasi pembedahan :

- Kebocoran likuor serebrospinal setelah trauma yang disertai dengan

meningitis.

- Fraktur transversal os petrosus yang melibatkan otic capsule

- Fraktur tulang temporal disertai kelumpuhan komplit otot – otot wajah

- Pneumocephalus atau kebocoran LCS lebih dari lima hari

Waktu :

Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi

terakhir menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari

semenjak LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk

mengurangi insiden infeksi.

Metode :

Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal

bone air cell tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang

cedera diperbaiki atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule),

kavitas yang terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot

temporal. Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau

fossa posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi

tulang petrosus. Diusahakan melakukan penutupan primer, namun bila tidak

memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk

61
menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi

kebocoran yang diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.

Perawatan konservatif dilaksanakan bila tidak didapatkan kebocoran LCS

yang persisten, fraktur tulang temporal, kelumpuhan otot-otot wajah, kehilangan

pendengaran, atau kebutaan. Terapi konservatif meliputi pemberian antibiotik

empirik intravenous selama 5 hari untuk memberikan kesempatan penyembuhan

robekan dura. Data terakhir menganjurkan pemberian PNC 1-2 juta unit/hari pada

kasus kebocoran LCS. Kultur nasal dan tenggorokan segera diambil, dan

antibiotik yang dipilih sesuai dengan kultur.

Pasien dipertahankan dalam posisi bed rest total dengan elevasi posisi the

head of bed, untuk mengurangi aliran LCS. Bila kebocoran cairan likuor tidak

berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi konservatif, pemasangan lumbar

drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS perhari selama 3-4 hari. Diversi

LCS dari kebocoran dura dapat membantu penutupan secara spontan.

III.12. PROGNOSIS[3]

Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil akhir terapi

pada kasus cedera berat. Kategori-kategori hasil akhir termasuk kematian, status

persisten, disabilitas berat, disabilitas sedang, dan sembuh.

Umur adalah faktor yang paling penting karena mortalitas cedera kepala

meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Gangguan otonomik seperti pola

pernapasan abnormal dan hipertensi juga memeberikan prognosis yang buruk.

62
BAB IV

DISKUSI

Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala

baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer

maupun permanen. Pada kasus ini dilaporkan seorang pasien jenis kelamin laki-

laki berumur 22 tahun yang didiagnosis sebagai Trauma Capitis Sedang (TCS)

GCS 10. Sesuai dengan literatur dijelaskan bahwa di Indonesia saat ini cedera

kepala merupakan penyebab hampir setengah dari seluruh kematian akibat

trauma, mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan

terlibat dalam suatu kecelakaan. Berdasarkan data Laporan Riset Kesehatan Dasar

tahun 2018 dilaporkan bahwa rata-rata proporsi kejadian cedera kepala di

Indonesia sebesar 11,9%. Daerah Sulawesi Selatan didapatkan proporsi cedera

kepala sebesar 15,0% yang menempati posisi kelima dari seluruh provinsi di

Indonesia. Dari data tersebut didapatkan cedera kepala lebih tinggi pada jenis

kelamin laki-laki yang sesuai dengan kasus ini.

Berdasarkan data penyebab utama cedera kepala di Amerika Serikat

diantaranya jatuh (35%), cedera terkait kendaraan bermotor (17%), dan pukulan di

kepala terhadap sebuah objek (17%). Pada kasus ini didapatkan pasien datang ke

Unit Gawat Darurat dengan keluhan utama kesadaran menurun yang dialami

kurang lebih lima jam sebelum masuk rumah sakit setelah mengalami kecelakaan

lalu lintas yaitu terjatuh dari motor.

63
Pada proses anammnesis, informasi yang diperlukan antara lain adalah

keluhan utama, mekanisma trauma, waktu dan perjalanan trauma, pernah pingsan

atau sadar setelah trauma,amnesia retrograde atau anterograde, keluhan nyeri

kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo, riwayat mabuk,

alkohol, narkotika, pasca operasi kepala, penyakit penyerta seperti epilepsi,

jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta

gangguan faal pembekuan darah. Pada kasus ini didapatkan dari hasil anamnesis

bahwa pasien datang ke UGD dengan keluhan kesadaran menurun yang dialami

kurang lebih 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan tersebut dialami setelah

pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Mekanisme trauma tidak diketahui oleh

orang yang mengantar pasien ke rumah sakit. Selama perjalanan ke rumah sakit

pasien tidak sadarkan diri, muntah ada, kejang tidak ada. Keluhan disertai adanya

luka robek pada wajah bagian kiri, terdapat darah keluar dari telinga kiri dan

bengkak pada lengan kiri. Riwayat konsumsi alkohol dan obat-obatan tidak

diketahui. Riwayat penyakit sebelumnya tidak diketahui.

Dari hasil anamnesis diatas disimpulkan bahwa pasien adalah termasuk

pasien trauma sehingga dilakukan primary surver dan secondary survey. Pada

primary survey yang perlu dilakukan adalah berupa tindakan A (Airway) yaitu

membebaskan jalan napas, dilanjutkan dengan B (Breathing) yaitu memastikan

pernapasan yang adekuat. Kemudian C (Circulation) yaitu mempertahankan

tekanan darah Sistolik > 90 mmHg serta pemasangan jalur intravena. Setelah itu

D (Disability) yaitu berupa pemeriksaan umum dan neurologis pasien serta ada

tidaknya luka-luka yang menyertai.

64
Pada kasus ini dilakukan primary survey dan didapatkan Airway clear,

Breathing: Bernapas spontan, simetris ka=ki, jejas (-). Frekuensi napas 24x/menit.

Circulation : Tekanan darah 90/60 mmHg, Nadi 120x/menit reguler kuat angkat,

CRT<2 detik. Disability : GCS 10 (E2M5V3), Pupil anisokor 4 mm/ 2 mm, reflex

cahaya +/+. Exposure :Suhu 36oC.

Setelah itu dilanjutkan dengan Secondary survey didapatkan pada kepala

berupa vulnus excoriatum regio frontalis sinistra, vulnus laceratum regio

zygomaticum sinistra, hematom regio orbitalis sinistra, serta adanya otore pada

telinga kiri. Pemeriksaan fisik thorax dan abdomen dalam batas normal.

Secondary survey meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah

kondisi pasien stabil berupa pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Hasil

pemeriksaan laboratorium pasien ini didapatkan hasil leukositosis (26.100) dan

Hb yang rendah (9,32). Kemudian dilakukan beberapa pemeriksaan radiologi

berupa CT-scan kepala, foto kepala, dan foto antebrachii sinistra. Dari hasil CT-

Scan kepala pasien didapatkan kesan Fraktur os maxillaris hingga ke infraorbitalis

sinistra, fraktur kominutif dinding posterolateral sinus maxillaris sinistra, fraktur

kominutif arcus zygomaticum sinistra, fraktur ramus mandibula sinistra. Kontusio

cerebri lobus temporalis sinistradari foto kepala didapatkan . Tanda-tanda brain

swelling. Hematosinus maxillaris sinistra, sphenoidalis sinistra dan ethmoidalis

bilateral. Soft tissue regio maxillaris siistra dan temporoparietal sinistra. Dari foto

kepala didapatkan fraktur os maxillaris sinistra hingga ke infraorbitalis sinistra,

fraktur os zygomaticum sinistra, dan fraktur ramus mandibula sinistra.

65
Hematosinus maxillaris sinistra, sphenoidalis sinistra . Soft tissue regio maxillaris

sinistra dan temporoparietal sinistra.

Secondary survey sangat penting pada evaluasi pasien dengan cedera otak.

Catat mekanisme cedera, dengan perhatian pada adanya kehilangan kesadaran,

termasuk lamanya durasi pasien tidak memeberikan respon, adanya kejang dan

derajat kesadaran. Jika pasien asimtomatis, sadar, neurologis normal, observasi

diteruskan selama beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal

dikatakan pasien aman dan dapat dipulangkan.

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan

mekanismenya, cedera otak secara luas dapat dibagi atas cedera tumpul dan

cedera tembus. Cedera otak tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan

kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus

disebabkan oleh luka tembak dan bacok. Pada pasien ini trauma disebabkan oleh

kecelakanlalu lintas maka disimpulkan pasien termasuk cedera kepala akibat

cedera tumpul.

Berdasarkan beratnya cedera, Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan

sebagai pengukur secara klinis beratnya cedera otak.. Nilai GCS sama atau kurang

dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Pasien dengan GCS 9-12

dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan GCS 13-15

dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Pada kasus ini pasien datang ke UGD

dengan kesadaran menurun, membuka mata dengan rangsang nyeri, mampu

melokalisir nyeri dan mengeluarkan beberapa kata yang tidak berhubungan.

66
Pasien dinilai sebagai GCS 10 (E2M5V3) maka didiagnosis sebagai Trauma

Capitis Sedang.

Berdasarkan progresivitasnya cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera

kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera primer adalah kerusakan yang

terjadi pada struktur kepala, jaringan otak serta pembuluh darah pada saat

terjadinya cedera kepala. Sedangkan cedera sekunder adalah kerusakan otak yang

timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer. Secara umum cedera kepala

sekunder meliputi hematoma intrakranial, edema serebri, peningkatan TIK, dan

pada tahap yang lebih lanjut yaitu hidrosefalus dan infeksi.

Pada kasus ini berdasarkan hasil CT-Scan didapatkan adanya cedera primer

berupa fraktur os maxillaris sinistra hingga ke infraorbitalis sinistra dan fraktur os

zygomaticum sinistra. Kemudian cedera sekunder berupa kontusio cerebri lobus

temporalis sinistra dan adanya tanda-tanda edema serebri pada hasil CT-Scan.

Terdapat beberapa kriteria masuk rumah sakit pada pasien cedera kepala,

salah satunya adalah adanya penurunan kesadaran. Pasien didiagnosis sebagai

trauma capitis sedang (GCS 10 E2M5V3) maka dilakukan penatalaksanaan

sesuai dengan cedera kepala sedang.

Tatalaksana yang diberikan di UGD pada pasien berupa O2 via NRM 8

LPM, pemasangan collar neck, Head up 30o, IVFD RL guyur 2000cc lanjut 20

TPM, pemasangan kateter urin, Manitol 100cc/6jam, transfusi WBC 1 bag,

Piracetam 3gr/8jam/IV, Ranitidin 50mg/12jam/IV, Sotatic 1amp/8jam/IV,

Cefotaxim 1gr/12jam/IV, Coctail/TGC, TT inj. 0,5 cc, rawat luka, kemudian

pasien dikonsul untuk rawat ICU.

67
Pasien menjalani perawatan intensif selama 7 hari. Pasien diberikan terapi

berupa antibiotik Ceftriaxon 1gr/12jam/IV, neuroprotektor berupa Piracetam

3gr/8jam/IV, Manitol 160cc//8jam/IV, Ketorolac 30mg/8jam/IV. Berdasarkan

Rekomendasi Tatalaksana Medikamentosa pada Pedoman Tatalaksana Cedera

Otak dijelaskan bahwa pemberian Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK

yang meningkat. Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke

dalam ruangan intravaskular. Manitol diberikan bolus 0,25– 1 gr/KgBB dalam 10

– 20 menit, setiap 4 – 8 jam. Pemberian antibiotik yang direkomendasikan adalah

golongan Cephalosporin. Pada pasien ini diberikan ceftriaxon 1gr/12jam.IV.

Pada pasien cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan

dalam proses rasa nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen

bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade

enzim Cyclooxigenase (COX). Pada kasus ini pasien diberikan terapi berupa

ketorolac 30g/8jam/IV sebagai analgetik. Pemakaian piracetam dapat diberikan

pada pasien cedera otak maupun pasca cedera dengan gejala sindroma post

concussion dengan efek memperbaiki gejala neurologis dan kesadaran. Dosis

yang diberikan pada saat setelah cedera otak adalah 24-30 gr/hari baik injeksi

maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan dosis PO 4,8 gr/hari. Pada kasus

ini pasien diberikan Piracetam 3gr/8jam/IV. Terdapat beberapa indikasi

dilakukannya pembedahan, namun pada pasien ini tidak didapatkan indikasi untuk

pembedahan.

Setelah perawatan intensif selama 7 hari pasien menunjukkan perbaikan

keadaan umum yang progresif. Pasien diputuskan untuk pindah perawatan pada

68
tanggal 31 maret 2019. Pada hari ke-8, pasien mengeluhkan nyeri kepala ada,

muntah tidak ada, namun pasien tidak dapat menggerakkan kedua tungkai disertai

pasien menunjukkan adanya gejala inkoheren dan disorientasi sehingga pasien

dikonsul ke bagian Neurologi. Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa foto Thoracal AP/Lateral dan didapatkan adanya fraktur kompresi corpus

vertebra Thoracal 5 dan 6 dengan spondilolistesis corpus vertebra thoracal 5 ke

anterior terhadap corpus vertebra thoracal 6 grade 2-3, disertai penyempitan sendi

thoracal 5-6. Berdasarkan hal tersebut pasien diusul untuk dirujuk ke Rumah Sakit

Wahidin Kota Makassar untuk dilakukan tindakan selanjutnya.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Trauma. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-
2. Jakarta: EGC; 2004. hal. 89
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Konsensus Penanganan
Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: PERDOSSI; 2006.
3. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-5. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama; 2014. hal.313-344
4. Center for Disease and Prevention. Morbidity and Mortality Weekly Report:
Traumatic Brain Injury-Related Emergency Departments Visits,
Hospitalizations and Deaths. Atlanta: U.S. Department of Health and Human
Services; 2017.
5. Ashley MJ, Hovda DA. Traumatic Brain Injury Rehabilitation, Treatment, and
Case Management. 4th Ed. United States: CRC Press; 2018.
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2018.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
7. American College of Surgeons. Cedera Kepala. Dalam: Advanced Trauma Life
Support (ATLS). Edisi 7. Jakarta: IKABI; 2010.
8. Grace PA, Borley NR. Cedera Kepala. Dalam: At a Glance Ilmu Bedah. Edisi
ke-3. Jakarta: Erlangga; 2007.
9. Snell, RS. Sistem Saraf. Dalam: Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:
EGC; 2008
10. Pope, TL. Imaging of Brain Trauma. In: Harris & Harris’s Radiology of
Emergency Medicine. 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Wiliams and Wilnkins;
2013
11. Bajamal, AH. et all. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya: Surabaya
Neuroscience Institute; 2014.
12. Campbell,JE. Alson,RL. Head Trauma and Traumatic Brain Injury. In:
International Trauma Life Support for Emergency Providers. 8th Ed. England:
Pearson Education Limited; 2018.

70
71

Anda mungkin juga menyukai