Anda di halaman 1dari 73

DRAFT PROPOSAL

ANALISIS TEMUAN METHICILLIN RESISTANT


STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA NARES ANTERIOR
PASIEN BARU MASUK INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
PERIODE FEBRUARI - APRIL 2018

ANALYSIS OF METHICILLIN RESISTANT


STAPHYLOCOCCUS AUREUS FINDINGS AT ANTERIOR
NARES OF NEW ENTRY PATIENTS EMERGENCY ROOM
HASANUDDIN UNIVERSITY HOSPITAL MAKASSAR
PERIOD FEBRUARY – APRIL 2018

ANDI MEUTIAH ILHAMJAYA

P1506216004

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ANALISIS TEMUAN METHICILLIN RESISTANT
STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA NARES ANTERIOR
PASIEN BARU MASUK INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
PERIODE FEBRUARI - APRIL 2018

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Ilmu Biomedik Mikrobiologi

Disusun dan diajukan oleh

ANDI MEUTIAH ILHAMJAYA

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
TESIS

ANALISIS TEMUAN METHICILLIN RESISTANT


STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA NARES ANTERIOR
PASIEN BARU MASUK INSTALASI GAWAT DARURAT
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
PERIODE FEBRUARI - APRIL 2018

Disusun dan diajukan oleh

ANDI MEUTIAH ILHAMJAYA

Nomor Pokok P1506216004

telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis

pada tanggal Februari 2018

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Komisi Penasihat,

Ketua Program Studi Direktur Program Pascasarjana


Ilmu Biomedik Mikrobiologi Universitas Hasanuddin

dr.Rizalinda Sjahril, Ph.D Prof.Dr.dr.Suryani As’ad,M.Sc,Sp.GK(K)


PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Andi Meutiah Ilhamjaya


Nomor mahasiswa : P1506216004
Program studi : Ilmu Biomedik Mikrobiologi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini


benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.

Makassar. Februari 2018


Yang menyatakan

Andi Meutiah Ilhamjaya


PRAKATA

Puji dan syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas limpahan

berkah dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan proposal

penelitian dengan judul “Analisis Temuan Methicillin Resistant

Staphylococcus Aureus Pada Nares Anterior Pasien Baru masuk Instalasi

Gawat Darurat Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Makassar Periode

Februari – April 2018.”

Saya menyadari bahwa proposal ini dapat terselesaikan berkat

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya

mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Rizalinda Sjahril, M.Sc, Ph.D sebagai penasehat utama yang

telah membimbing dan mengarahkan saya dalam menyusun proposal

penelitian ini.

2. dr. Firdaus Hamid, Ph.D selaku anggota penasehat yang juga

telah membimbing dan memberi saran serta masukan dengan penuh

ketelitian.

Makassar, Februari 2018

Andi Meutiah Ilhamjaya


ABSTRAK

Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab peningkatan


morbiditas dan mortalitas di rumah sakit. Tingkat infeksi yang didapat di
ICU lebih tinggi dari tingkat infeksi nosokomial pada pasien bangsal
umum. MRSA merupakan patogen utama yang menyebabkan infeksi
nosokomial di ICU. Penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
menggunakan pendekatan cross sectional untuk mengetahui persentase
dan pola resistensi MRSA di ICU RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Total dari 57 sampel yang diperoleh dari ventilator. Semua isolat S.aureus
diuji untuk adanya MRSA menggunakan uji difusi disk cefoxitin. Uji
resitensi isolat MRSA dilakukan menurut metode difusi cakram terhadap
resiko enam belas antibiotik. Persentase MRSA dari 44 isolat 11,3%.
Semua isolat MRSA resisten terhadap antibiotik Betalactam, termasuk
ampisilin, amoksisilin-klavulanat asam, sefotaksim, ceftriaxone dan
meropenem. Tidak ada isolat MRSA resisten terhadap vancomycin,
linezolid, kloramfenikol dan trimetoprim-sulfametoksazol.

Keywords : Infeksi nosokomial, ICU, MRSA, Pola resistensi


ABSTRACT

Nosocomial infection is one cause of increased morbidity and mortality in


hospitals. ICU-acquired infection rates are higher than hospital-acquired
infection rates in general ward patients. MRSA is a major pathogen that
cause nosocomial infection in ICU. This research was descriptive method
using crosssectional approach to know percentage and resistant patterns
of MRSA in ICU of Wahidin Sudirohusodo General Hospital of Makassar.
The total of 57 samples obtained from secret of ventilator. All isolates of
S.aureus were tested for the presence of a MRSA using cefoxitin disc
diffusion test. Resistant test of MRSA isolates were performed according
to disc diffusion method againts sixteen antibiotics. MRSA percentage
from 44 isolates were 11,3%. All of MRSA isolates were resistant to
betalactam antibiotics, including ampicillin, amoxicillin-clavulanic acid,
cefotaxime, ceftriaxone and meropenem. No MRSA isolates were resistant
to vancomycin, linezolid, chloramphenicol and trimethoprim-
sulfametoxazole.

Keywords : Nosocomial infection, ICU, MRSA, resistant pattern


DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA

ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR SINGKATAN

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Hasil Penelitian

B. Tinjauan Teori dan Konsep

C. Kerangka Konseptual

D. Hipotesis

E. Definisi Operasional

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
B. Lokasi dan Waktu

C. Populasi, Besar Sampel dan Teknik Sampling

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

E. Bahan Penelitian

F. Instrumen Penelitian

G. Analisis Data

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Staphylococcus aureus pertama kali dijelaskan secara konklusif

oleh dokter berkebangsaan jerman Anton Rosenbach pada tahun 1884.

(Lisa dan Kevin, 2006) Staphylococcus aureus merupakan

mikroorganisme komensal yang dapat ditemukan pada individu yang

sehat. Nares anterior bersama orofaring merupakan tempat pembawa

Staphylococcus aureus paling umum (10–50%), tetapi kulit juga sering,

terutama di tangan (27-90%), perineum (22-60%), dan aksila (8-19%),

traktus intestinal, vagina, dan lesi kulit juga merupakan tempat pembawa

yang umum. Nasal karier dalam literatur telah dikaitkan dengan kejadian

infeksi Staphylococcus aureus tertinggi. [Wertheim HFL dkk, 2005].

Penisilin dan turunannya, termasuk methicillin telah digunakan

untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus

(Rayner dan Munckhof, 2005). Namun, galur Staphylococcus aureus

tertentu mengembangkan resistensi yang dikenal sebagai methicillin

resistant Staphylococcus aureus (MRSA). (Freeman-Cook, 2006) MRSA

pertama kali dilaporkan di sebuah rumah sakit di Inggris pada tahun 1961

setelah diperkenalkannya methicillin untuk mengobati pasien dengan

infeksi Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin. MRSA memiliki


kemampuan untuk melawan hampir semua antibiotik β-laktam yang ada.

(DeLeo FR, 2009)

Pada beberapa dekade belakangan, insiden infeksi MRSA terus

meningkat di berbagai belahan dunia. Di Asia, prevalensi infeksi mRSA

kini mencapai 70% sementara di Indonesia pada tahun 2006

prevalensinya berada pada angka 23,5% (Sulistyaningsih, 2010) Ada dua

kategori galur MRSA yakni hospital aqcuired (HA-MRSA) dan community

acquired (CA-MRSA). (Denise GA dkk, 2016) Menurut laporan

sebelumnya, isolat CA-MRSA memiliki sedikit perbedaan dari isolat

hospital acquired MRSA (HA-MRSA) dalam hal karakterisasi molekuler,

pola resistensi antibiotik, faktor virulensi dan patogenisitas. (David MZ dkk,

2008) Galur CA-MRSA nampak lebih virulen. Isolat CA-MRSA ditandai

dengan adanya Panton Valentine Leukocidine (PVL) dan staphylococcal

cassette chromosome mec (SCCmec) tipe IV, yang mana dapat

menjelaskan peningkatan kerentanan terhadap agen antimikroba lainnya

dibandingkan dengan galur HA-MRSA.(Jawetz dkk, 2013)

Terjadinya methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

diklarifikasi melalui perolehan gen mecA, yang terletak pada

staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec). (Basset P dkk,

2013) Pada tahun 2011, homolog gen mecA baru, mecALGA251,

ditemukan pada isolat dari manusia dan sapi perah. (Garcia AL, 2011).

Telah dikemukakan oleh International Working Group tentang Klasifikasi

elemen Staphylococcal Cassette Chromosome (SCC) bahwa gen


mecALGA251 harus diganti namanya menjadi mecC. (International Working

Group, 2012)

Fungsi protein pengikat penisilin (PBP2a/2) yang dikodekan mecC

dan perannya dalam resistensi betalaktam secara formal telah ditunjukkan

oleh karya Kim et al. yang juga menyoroti perbedaan penting dalam sifat

protein mecA dan protein yang dikodekan mecC. (Kim C dkk, 2012) mecC

MRSA telah diisolasi dari pembawa dan berbagai infeksi pada manusia.

(Barraud O dkk, 2013). Sebagian besar adalah infeksi kulit dan jaringan

lunak tapi juga infeksi tulang yang parah [31], pneumonia nosokomial [13]

dan bakteremia fatal [30].

Isolat CA-MRSA ditandai dengan adanya Panton Valentine

Leukocidine (PVL), toksin Staphylococcus aureus ini memiliki dua

komponen, dua komponen ditandai sebagai S dan F yang bertindak

secara sinergis pada membran sel darah putih. Pvl bisa membunuh sel

darah putih manusia dan kelinci. Toksin ini merupakan faktor virulensi

penting pada infeksi CA-MRSA. Kedua kelompok hemolysin tersebut

diatur oleh accessory gene regulator (agr). CA-MRSA yang mengandung

Panton Valentine Leukocidine menyebabkan osteomielitis hematogen akut

yang mempengaruhi banyak tempat, seringkali berhubungan dengan

komplikasi vaskular. (Jawetz dkk, 2013)

Sedangkan, Arginine catabolic mobile element (ACME) adalah gen

virulensi dan faktor kelangsungan hidup Staphhylococcus aureus, yang

ditemukan dengan cara sekuens keseluruhan genom USA300 (ST-8).


Perolehan ACME oleh Staphylococcus aureus, berkolonisasi sementara

pada kulit, memungkinkan CA-MRSA untuk mengkolonisasi kulit secara

permanen, sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi kulit. (Diep BA

dkk, 2006) (Liu GY, 2009)

Saat ini pasien rumah sakit dan pengunjung rumah sakit yang telah

terkolonisasi dengan CA-MRSA bisa masuk rumah sakit dan

menyebarkannya ke pasien lain. Mereka dapat berperan dalam penularan

infeksi antara komunitas dan rumah sakit. Sangat penting untuk

mendeteksi nasal karier Staphylococcus aureus di antara pasien baru

masuk di IRD rumah sakit lebih dini untuk memahami prevalensi,

kerentanannya terhadap antibiotik, karakteristik pasien yang

bersangkutan, serta karakteristik molekuler dan gen virulensi (gen mecC,

pvl, dan ACME) MRSA yang ditemukan guna mengetahui lebih dini pasien

yang kemungkinan beresiko terjangkit infeksi kulit, osteomyelitis dan

komplikasi vaskular serta mencegah resiko penularan ke orang lain

selama dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk

meneliti “analisis temuan methicillin-resistant staphylococcus aureus pada

nares anterior pasien baru masuk instalasi gawat darurat rumah sakit

universitas hasanuddin Makassar periode februari-april 2018”.


B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka

rumusan masalahnya adalah “Bagaimana analisis temuan methicillin-

resistant staphylococcus aureus pada nares anterior pasien baru masuk

instalasi gawat darurat rumah sakit universitas hasanuddin makassar

selama periode februari - april tahun 2018 ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya angka kejadian methicillin-resistant staphylococcus

aureus pada nares anterior pasien baru masuk instalasi gawat darurat

rumah sakit universitas hasanuddin selama februari - april tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya angka kejadian staphylococcus aureus positif pada

nares anterior pasien instalasi gawat darurat rumah sakit

universitas hasanuddin periode februari - april tahun 2018

menggunakan metode kultur dan PCR.

b. Diketahuinya angka kejadian MSSA pada nares anterior pasien

baru masuk instalasi gawat darurat rumah sakit universitas


hasanuddin selama februari - april tahun 2018 menggunakan

metode kultur.

c. Diketahuinya angka kejadian CA-MRSA pada nares anterior pasien

baru masuk instalasi gawat darurat rumah sakit universitas

hasanuddin selama februari - april tahun 2018 menggunakan

metode kultur dan PCR.

d. Diketahuinya angka kejadian HA-MRSA pada nares anterior pasien

baru masuk instalasi gawat darurat rumah sakit universitas

hasanuddin selama februari - april tahun 2018 menggunakan

metode kultur dan PCR.

e. Diketahuinya keragaman genetik antara strain MRSA yang

diperoleh.

f. Diketahuinya hubungan antara karakteristik pasien dengan

kejadian MRSA.

g. Diketahuinya perbedaan karakteristik antara pasien pembawa CA-

MRSA, pembawa HA-MRSA, dan pembawa MSSA.


D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan mafaat kepada berbagai pihak,

antara lain:

a. Manfaat Teoritis

1. Bagi peneliti, dapat menerapkan ilmu yang sudah didapatkan

selama perkuliahan di kampus dan menambah pengetahuan

mengenai upaya pencegahan kejadian Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus.

2. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat menjadi suatu

acuan dan sumber informasi untuk meneliti lebih lanjut

khususnya mengenai kejadian CA-MRSA dan HA-MRSA.

b. Manfaat Aplikatif

1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai titik awal dari

studi dan dasar penelitian uji klinis skrining Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus khususnya pada tim pengendali infeksi

nosokomial (INOS) di RS. Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Bagi instansi terkait, penelitian ini dapat membantu dalam

pencegahan penularan MRSA dari pasien instalasi rawat

darurat rumah sakit universitas hasanuddin ke pasien lain yang

tidak terinfeksi MRSA sehingga dapat membantu menekan


angka kejadian Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus di

kota makassar.

3. Bagi petugas medis yang merawat pasien bersangkutan,

penelitian ini dapat membantu dalam pemilihan antibiotik yang

tepat sebagai upaya mengatasi resistensi antibiotik pada pasien

yang terinfeksi MRSA.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus pertama kali dijelaskan secara konklusif

oleh dokter berkebangsaan jerman Anton Rosenbach pada tahun 1884.

(Lisa dan Kevin, 2006) Nama ini berasal dari akar kata Yunani staphyle

atau "sekelompok buah anggur," mengacu pada susunan bakteri seperti

yang terlihat dalam pewarnaan. Nama spesies, aureus, atau "emas"

mengacu pada warna krem khas koloni Staphylococcus aureus. (Denise

GA dkk, 2016)

2.1.1 Klasifikasi Ilmiah

Domain : Bacteria

Kingdom: Eubacteria

Filum: Firmicutes

Kelas: Bacilli

Ordo: Bacillales

Famili: Staphylococcaceae

Genus: Staphylococcus

Spesies: Staphylococcus aureus


2.1.2. Karakteristik

a. Pewarnaan Gram :

Nonmotil, nonspora, pewarnaan gram kokkus positif, terdapat

secara tunggal dan membentuk pasangan dan kelompok. Sel bulat,

berdiameter 0,5-1,5 mm. (Paul DV dkk, 2009)

Gambar 1. Pewarnaan Gram Staphylococcus aureus menunjukkan

kokkus gram positif berpasangan, tetrad, dan berkelompok. Pembesaran

asli 1000x. (Jawetz, 2013)

b. Kultur :

Fakultatif anaerobik. Tumbuh dengan baik dalam medium yang

mengandung NaCl 10%, kurang baik pada 15% NaCl. (Paul DV dkk,

2009) Mereka tumbuh paling cepat pada suhu 37°C namun membentuk

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25°C). (Jawetz dkk, 2013) Pada

agar darah, mereka tampak berkilau, halus, utuh, cembung, koloni tembus

pandang yang sering memiliki pigmen emas. Koloni berdiameter 2-3 mm


setelah inkubasi 24 jam dan kebanyakan galur menunjukkan β hemolisis

yang mengelilingi koloni. (UK Standards, 2014)

Gambar 2. Koloni Staphylococcus aureus pada cawan agar darah setelah

inkubasi 24 jam. Koloni kuning-abu-abu berdiameter 3 sampai 4 mm pada

cawan 10 cm. Koloni dikelilingi oleh zona hemolisis yang jelas berdiameter

1 cm. (Jawetz dkk, 2013)

c. Uji Biokimia :

Reaksi positif : alkaline fosfatase, koagulase, heat-stable

nuclease, hemolisis, and hialuronidase. Menghasilkan asam aerobik dari

fruktosa, maltosa, dan sukrosa. (Paul DV dkk, 2009)

Reaksi negatif : oksidase, b-galaktosidase, b-glukuronidase. Tidak

menghasilkan asam arabinosa, selobiosa, melezitosa, rafinosa, salisin,

xylitol, atau xylosa. (Paul DV dkk, 2009)

Salah satu karakteristik identifikasi Staphylococcus aureus yang

paling berguna yang membedakannya dari kebanyakan stafilokokus


lainnya adalah menghasilkan koagulase dan faktor penggumpalan. Kedua

protein ini menyebabkan plasma menggumpal namun berbeda secara

genetik. (Denise A dkk, 2016)

2.1.3. Epidemiologi

Bakteri Staphylococcus aureus mengkolonisasi kulit, kelenjar kulit

dan membran mukus, menyebabkan infeksi baik pada manusia dan

hewan seperti ruam, peradangan tulang dan menings serta septikemia.

(Aklilu dkk, 2010). Sekitar 20% orang dewasa sehat memiliki kultur nasal

yang terus-menerus positif selama satu tahun atau lebih, sedangkan lebih

dari 60% akan terkolonisasi pada suatu waktu selama tahun tertentu.

Orang yang terkolonisasi dengan Staphylococcus aureus mungkin

memiliki sebanyak 108 sel bakteri per lubang hidung. (Denise A dkk, 2016)

2.1.4. Transmisi

Organisme tersebut kemudian menyebar ke bagian tubuh yang lain

dan ke lingkungan oleh tangan. Staphylococcus bertahan dengan baik di

lingkungan, sehingga mudah dipindahkan dari satu inang ke inang lainnya

melalui benda mati. Benda mati termasuk pakaian, keyboard, telepon

genggam, pegangan pintu, dan gelas minum bisa terkontaminasi saat

seseorang menyentuhnya. Cuci tangan adalah tindakan pengendalian

yang penting untuk mencegah jenis transmisi tak langsung ini. (Denise A

dkk, 2016)
2.1.5. Tempat infeksi

Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi internal yang

serius. (Gambar 3). (Lisa dan Kevin, 2006)

Gambar 3. Diagram tubuh yang menunjukkan kedua tempat infeksi dan

penyakit umum yang disebabkan Staphylococcus aureus. Staphylococcus

aureus dapat menginfeksi kulit, saluran pernafasan, pencernaan, saluran

kemih, dan reproduksi, dan dapat menyebabkan infeksi serius pada

jantung dan tulang. (Lisa dan Kevin, 2006)

2.1.6. Struktur Antigen

Staphylococcus aureus mengandung antigen polisakarida dan

protein serta zat lain yang penting dalam struktur dinding sel.

Peptidoglikan, suatu polimer polisakarida yang mengandung subunit-

subunit yang bergabung memberikan eksoskeleton yang kaku dari dinding


sel. Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau paparan terhadap lisozim.

Ini penting dalam patogenesis infeksi. Infeksi akan merangsang

pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonin oleh

monosit, dan ini dapat menjadi penarik kimiawi bagi lekosit

polimorfonuklear, mempunyai aktivitas seperti endotoksin dan

mengaktivasi komplemen. (Jawetz dkk, 2013)

Asam teikoat, yang merupakan polimer dari poliribitol-fosfat, saling

terkait silang dengan peptidoglikan dan dapat bersifat antigenik. Antibodi

asam anti teikoat yang dapat dideteksi melalui difusi gel dapat ditemukan

pada pasien dengan endokarditis aktif yang disebabkan oleh

Staphylococcus aureus. (Jawetz dkk, 2013)

Protein A merupakan komponen dinding sel galur Staphylococcus

aureus dan merupakan protein permukaan bakteri yang telah ditandai di

antara sekelompok adhesin yang disebut microbial surface components

recognizing adhesive matrix molecules (MSCRAMMS). Perlekatan bakteri

pada sel inang dimediasi oleh MSCRAMMS, dan ini adalah faktor virulensi

yang penting. Protein A mengikat ke bagian Fc molekul IgG kecuali IgG3.

Meskipun igG terikat pada protein A, namun fragmen Fab tetap biasa

bebas berikatan dengan antigen spesifik. MSCRAMM yang tersisa,

memainkan peran penting dalam membangun kolonisasi dan invasi

Staphylococcus aureus. (Jawetz dkk, 2013)

Beberapa galur Staphylococcus aureus mempunyai kapsul yang

menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear kecuali jika


terdapat antibodi spesifik. Sebagian besar galur Staphylococcus aureus

mempunyai koagulase atau faktor penggumpalan pada permukaan

dinding sel, ikatan koagulase secara non enzimatik pada fibrinogen,

menyebabkan agregasi pada bakteri. (Jawetz dkk, 2013)

2.1.7. Faktor virulensi

Galur Staphylococcus aureus dapat memiliki banyak faktor

virulensi yang berbeda, meski tidak smua galur patogen membuat faktor

yang sama (tabel.2). (Denise GA dkk, 2016)

Sifat / Ciri dari Staphylococcus aureus dilibatkan dalam virulensinya

Produk Efek

Kapsul Menghambat fagositosis

Faktor penggumpalan Melekatkan bakteri ke fibrin,

fibrinogen, dan perangkat plastik

Koagulase Dapat memperlambat kemajuan

leukosit ke daerah yang terinfeksi

dengan menghasilkan gumpalan

pada kapiler di sekitarnya

Enterotoksin Superantigen menyebabkan

keracunan makanan jika tertelan,

menyebabkan syok toksik jika

sistemik

Eksfoliatin Menghancurkan bahan yang


mengikat lapisan luar epidermis

bersama-sama, menyebabkan

sindrom kulit melepuh.

Protein pengikat fibronektin Melekatkan bakteri ke zat jaringan

aselular, endotelium, epitel, bekuan

darah, perangkat plastik yang

tinggal.

Hialuronidase Memecah komponen asam

hialuronat dari jaringan, sehingga

memungkinkan infeksi menyebar.

Leukosidin Membunuh neutrofil atau

menyebabkan neutrofil melepaskan

enzim mereka.

Lipase Memecah lemak dengan

menghidrolisis ikatan antara gliserol

dan asam lemak.

Protease Degradasi kolagen dan protein

jaringan lainnya.

Protein A Mengikat ke bagian Fc antibodi,

sehingga mengganggu opsonisasi

yang jika tidak memfasilitasi

fagositosis

Toksin sindrom shock toksik Penyebab ruam, diare, dan syok.


Toksin α Membuat lubang di membran sel

inang.

Banyak galur Staphylococcus aureus mensintesis kapsul

polisakarida yang menghambat fagositosis. ( Gambar ). (Denise GA dkk,

2016)

Gambar. Molekul virulensi pada pembungkus sel Staphylococcus aureus.

Sebuah kapsul polisakarida, protein A, dan faktor penggumpalan

berkontribusi untuk virulensi organisme ini. (Denise GA dkk, 2016)

Staphylococcus. aureus, khususnya, menghasilkan variasi faktor

virulensi yang luar biasa. Faktor-faktor ini biasanya dibagi menjadi tiga

kategori utama, berdasarkan deskripsi luas tentang bagaimana faktor


virulensi membantu bakteri Staphylococcus. aureus: (Lisa dan Kevin,

2006)

1. Penempelan: Faktor virulensi memungkinkan Staphylococcus aureus

untuk secara efektif menempel pada sel inang.

2. Menghindari pertahan sel inang: Faktor virulensi mencegah respon

imun atau mengurangi efek respon imun.

3. Invasi jaringan: Faktor virulensi secara khusus menyerang dan

merusak sel inang.

2.1.8. Patogenesis

Kemampuan patogenik dari galur Staphylococcus aureus adalah

pengaruh gabungan antara faktor ekstraseluler dan toksin bersama

dengan sifat daya sebar invasif. Pada satu sisi semata-mata diakibatkan

oleh ingesti enterotoksin; pada sisi lain adalah bakteremia dan

penyebaran abses pada berbagai organ. Peranan berbagai bahan

ekstraseluler pada patogenesis berasal dari sifat masing-masing bahan

tersebut. (Jawetz dkk, 2013)

2.1.9 Respon imun terhadap Staphylococcus aureus

Kulit adalah penghalang pertama dan terpenting. Kulit membentuk

lapisan pelindung di seluruh tubuh sehingga bakteri tidak mudah

menembus. Membran mukus yang melapisi mata, hidung, dan mulut juga

berfungsi sebagai penghalang pelindung. Selain penghalang fisik yang


terbentuk oleh kulit dan membran mukus, kulit menghasilkan minyak yang

menghambat pertumbuhan bakteri, serta air mata dan air liur mengandung

lisozim, enzim yang membunuh bakteri. (Lisa dan Kevin, 2006)

Tubuh memiliki seperangkat respons mekanis untuk mencegah

infeksi. Bakteri yang terhirup melalui hidung atau mulut menjadi terjebak

dalam lendir, dan silia menggerakkan lendir ke arah belakang mulut

sehingga bakteri tertelan. (Lisa dan Kevin, 2006)

Respon Imun nonspesifik

Respon pertama ini melibatkan sel darah putih yang

mengidentifikasi, menelan, dan membunuh Staphylococcus aureus dalam

proses yang dikenal sebagai fagositosis. (Lisa dan Kevin, 2006)

Begitu penyerangan Staphylococcus aureus menembus

penghalang kulit, mereka terikat oleh antibodi yang sudah ada

sebelumnya yang mengenali komponen dinding sel bakteri. Begitu bakteri

dilapisi dengan antibodi, mereka lebih mudah dikenali sebagai benda

asing dan kemudian dihancurkan oleh sel darah putih fagositik. (Lisa dan

Kevin 2006)

Kumpulan protein lainnya, yang secara kolektif dikenal sebagai

komplemen, juga mengikat dinding sel bakteri dan antibodi. Beberapa

protein ini bisa langsung menghancurkan bakteri yang menyerang dengan

membuat lubang di dinding sel bakteri. Lebih sering, mereka melapisi

dinding sel bakteri, seperti antibodi yang baru saja disebutkan, dan
menandai bakteri tersebut untuk dihancurkan oleh sel darah putih

fagositik. (Gambar 4.1)

Gambar 4.1 Bakteri Staphylococcus aureus bebas (a) yang masuk ke

dalam tubuh terikat oleh antibodi dan protein komplemen (b) yang mana

memicu sel darah putih untuk mengidentifikasi, menelan (fagositosis), dan

membunuh bakteri (c).

Selain tindakan langsung sel darah putih fagositik, ada juga

respons yang lebih umum, yang disebut respon inflamasi, saat bakteri

menyerang tubuh. Ketika protein dinding sel bakteri dikenali oleh sel darah

putih tubuh, ini memicu sel darah putih melepaskan sitokin. (Gambar 4.2).

(Lisa dan Kevin, 2006)


Gambar 4.2 Sel darah putih melepaskan sitokin saat mereka menghadapi

bakteri Staphylococcus aureus yang menyerang. Sitokin ini memicu

perekrutan sel darah putih tambahan, yang bisa menekan keluar dari

pembuluh darah ke jaringan yang terinfeksi. Sel darah putih mengenali

bakteri (terikat oleh komplemen dan antibodi) dan menelan serta

membunuh bakteri melalui fagositosis. (Lisa dan Kevin, 2006)

Respon imun spesifik

Respon imun spesifik memainkan peran kecil dalam

mengendalikan infeksi Staphylococcus aureus, namun karena respons

imun nonspesifik seringkali dapat melawan infeksi minor pada orang sehat

dan karena Staphylococcus aureus telah mengembangkan banyak cara

untuk menghindari respons imun spesifik. (Lisa dan Kevin, 2006)


2.2 METHICILLIN RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)

2.2.1 Definisi

Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah nama

yang diberikan pada galur bakteri Staphylococcus aureus yang resisten

terhadap sejumlah antibiotik. (Barbara S, 2010)

2.2.2 Epidemiologi

MRSA memiliki kemampuan untuk resisten terhadap hampir semua

antibiotik β-laktam yang ada. Statistik menunjukkan sekitar 40-70% infeksi

nosokomial Staphylococcus aureus di seluruh dunia disebabkan oleh

MRSA. MRSA pertama kali dilaporkan di sebuah rumah sakit di Inggris

pada tahun 1961 setelah diperkenalkannya methicillin untuk mengobati

pasien dengan infeksi Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin.

(DeLeo FR dkk, 2009) Pada beberapa dekade belakangan, insiden infeksi

MRSA terus meningkat di berbagai belahan dunia. Di Asia, prevalensi

infeksi MRSA kini mencapai 70% sementara di Indonesia pada tahun

2006 prevalensinya berada pada angka 23,5% (Sulistyaningsih, 2010)

2.2.3 Klasifikasi MRSA

Ada dua jenis MRSA yang berbeda. Infeksi MRSA diklasifikasikan

sebagai infeksi MRSA yang didapat di rumah sakit atau yang didapat di

masyarakat (HA-MRSA atau CA-MRSA). Masing-masing memiliki

susunan genetik yang sedikit berbeda.(Barbara S, 2010)

CA-MRSA tidak terkait dengan faktor risiko yang diketahui dan jauh

lebih mungkin terjadi menyebabkan infeksi kulit dan jaringan lunak


daripada galur HA-MRSA. Galur CA-MRSA menghasilkan sitotoksin yang

berkontribusi terhadap inflamasi dan cedera jaringan otot.( Tseng CW dkk,

2009) Sementara galur HA-MRSA biasanya multidrug resistant (MDR),

galur CA-MRSA peka terhadap lebih banyak golongan obat. (King MD

dkk, 2006) Karakteristik yang sering digunakan untuk membedakan HA-

MRSA dan CA-MRSA dirangkum dalam Tabel 2. (Jenkins TC dkk, 2009)

2.2.4 Orang yang beresiko

Karena MRSA menyebar dengan mudah, siapapun bisa

mengidapnya. Orang-orang tertentu, bagaimanapun, memiliki risiko lebih

besar. Ini termasuk orang-orang yang dikolonisasi dengan MRSA dan

anggota keluarga mereka; orang yang dirawat di rumah sakit; individu

dengan sistem kekebalan tubuh yang terganggu; individu dengan

peralatan medis yang tinggal di rumah seperti sendi buatan, kateter, dan
katup jantung; pengguna obat ilegal; individu dengan paparan kerja,

seperti pekerja perawatan kesehatan, polisi, dan petugas pemadam

kebakaran; atlet olahraga yang saling kontak; dan orang-orang yang

tinggal di lingkungan yang ramai, seperti tahanan penjara, mahasiswa,

personil militer, dan penghuni tempat penampungan tunawisma. (Barbara

S, 2010)

Faktor resiko untuk pembawa MRSA saat masuk rumah sakit

Variabel yang mencerminkan kontak dengan fasilitas layanan

kesehatan sebelumnya dikaitkan dengan pembawa MRSA saat masuk

rumah sakit. Indeks risiko untuk memprediksi pasien pembawa MRSA

saat masuk rumah sakit menemukan bahwa ada salah satu dari hal

berikut: usia 80 tahun, rawat inap sebelumnya dalam 12 bulan terakhir,

penggunaan antibiotik sebelumnya dalam enam bulan terakhir, dan

kateter urin yang terpasang saat masuk rumah sakit, akan berhasil

mengidentifikasi mayoritas pasien dengan pembawa MRSA saat masuk

rumah sakit. (Harbarth S dkk, 2006) Dalam sebuah penelitian prospektif

terhadap 697 pasien, (Furuno JP dkk.2004) menemukan bahwa laporan

pribadi pasien masuk rumah sakit pada tahun sebelumnya memiliki

sensitivitas 76% dalam mengidentifikasi pasien yang dikolonisasi dengan

MRSA. Pedoman dari Healthcare Society for Epidemiology of America

merekomendasikan skrining pasien dengan risiko tinggi untuk pembawa

MRSA dengan kultur hidung saat masuk dan secara berkala selama
tinggal di rumah sakit. Tindakan pencegahan kontak termasuk

penggunaan gaun steril dan sarung tangan sebelum memasuki kamar

pasien diajukan untuk pasien yang ditemukan terkolonisasi. Biaya yang

terkait cukup besar dan sebagian besar institusi kesehatan tidak secara

rutin menyaring pasien baru masuk rumah sakit untuk MRSA.

Kemampuan untuk memprediksi secara akurat kemungkinan kolonisasi

dengan MRSA saat masuk akan memungkinkan penerapan skrining kultur

selektif, yang dapat mengurangi biaya skrining. (Muto CA dkk,2003)

Faktor resiko memperoleh HA-MRSA

Faktor utama yang dapat dimodifikasi yang menjadi predisposisi

pasien rawat inap mendapatkan kolonisasi atau timbul infeksi MRSA

adalah penggunaan alat invasif, tekanan kolonisasi, dan paparan

antimikroba. (John AW, 2010)

2.2.5 Identifikasi MRSA

The screening of human carriers in hospitals and communities is

necessary for the successful diagnosis and control of MRSA. (de Neeling

dkk, 2007; Khanna dkk, 2008) Various methods are applied for the

detection of MRSA through phenotypic and genotypic characterization.


Both has advantages and disadvantages such as speed, reliability and

acessibility. (Karthy dkk, 2009)

2.2.1 Isolasi dan identifikasi Staphylococcus aureus, melalui:

A. Spesimen

Permukaan swab nanah atau aspirasi dari abses, darah, aspirasi

trakea, atau cerebro spinal fluid (CSF) untuk kultur, tergantung pada

lokalisasi prosesnya, semuanya adalah spesimen yang tepat untuk

pengujian. Nares anterior sering di swab untuk menentukan kolonisasi

hidung, baik dengan kultur atau tes amplifikasi asam nukleat, untuk tujuan

epidemiologis.

B. Apusan

Staphylococcus khas muncul sebagai kokkus gram positif

berkelompok pada apusan pewarnaan gram spesimen nanah atau

sputum. Tidak mungkin membedakan saprophytic (Staphylococcus

epidermidis) dari organisme patogenik (Staphylococcus aureus) pada

apusan.

C. Kultur

Spesimen yang ditanam pada cawan agar darah menimbulkan

koloni khas dalam 18 jam pada suhu 37°C, namun hemolisis dan produksi

pigmen mungkin tidak terjadi sampai beberapa hari kemudian dan optimal

pada suhu kamar. Staphylococcus aureus memfermentasi mannitol tapi

stafilokokus lainnya tidak. Spesimen yang terkontaminasi flora campuran


dapat dikultur pada media yang mengandung NaCl 7,5%; garam

menghambat sebagian besar mikrobiota normal lainnya tapi

Staphylococcus aureus tidak. Mannitol Salt Agar atau media kromogenik

yang tersedia secara komersial digunakan untuk menyaring pembawa

nasal Staphylococcus aureus dan pasien dengan fibrosis kistik. (Jawetz

dkk, 2010)

D. Uji Katalase

Tes ini digunakan untuk mendeteksi adanya enzim oksidase

sitokrom. Setetes larutan hidrogen peroksida 3% ditempatkan pada kaca

objek, dan sejumlah kecil pertumbuhan bakteri ditempatkan di larutan.

Pembentukan gelembung (pelepasan oksigen) menunjukkan hasil tes

positif. (Jawetz dkk, 2010)

E. Uji Koagulase

Plasma Kelinci (atau manusia) diencerkan 1: 5 dicampur dengan

volume yang sama dari kultur kaldu atau pertumbuhan dari koloni pada

agar-agar dan diinkubasi pada suhu 37°C. Tabung plasma dicampur

dengan kaldu steril dimasukkan sebagai kontrol. Jika gumpalan terbentuk

dalam 1-4 jam, hasil tesnya positif. (Jawetz dkk, 2010)

Staphylococcus koagulase positif dianggap patogen untuk

manusia; namun, Staphylococcus koagulase positif pada anjing

(Staphylococcus intermedius) dan lumba-lumba (Staphylococcus delphini)

jarang menyebabkan penyakit pada manusia. (Jawetz dkk, 2010)

F. Uji Serologis
Uji serologis untuk diagnosis infeksi Staphylococcus aureus

memiliki sedikit nilai praktis. Pola kepekaan antibiotik sangat membantu

dalam menelusuri infeksi Staphylococcus aureus. (Jawetz dkk, 2010)

2.2.2 Uji Kepekaan Antibiotik

Antimicrobial susceptibility tests (AST) such as agar disc diffusion

technique or minimum inhibitory concentration are used in diagnostic

laboratories to isolate MRSA (Aklilu dkk, 2010). Cefoxitin disc diffusion is

the most sensitive methods for detecting MRSA isolates showing negative

and positive predictive values of 100% and 98%, respectively (Valesco

dkk, 2005).

2.3.3 Cultured Based Rapid Methods

Metode non-molekuler dan molekuler yang cepat saat ini tersedia

untuk mendeteksi keberadaan MRSA secara langsung dari spesimen

klinis. Bergantung pada uji yang digunakan, MRSA dapat dideteksi 12-48

jam lebih awal dibandingkan dengan metodologi tradisional (Gambar).


Pengurangan waktu penyelesaian untuk deteksi MRSA dapat

dilakukan dengan konfirmasi cepat resistensi methicillin pada kultur positif

pertumbuhan Staphylococcus aureus atau dengan mendeteksi MRSA

secara langsung dari spesimen klinis.

2.3.4 Uji Molekuler


A more advanced technique usually accompanies the phenotypic

methods in order to enhance specificity and time. Molecular methods such

as PCR are used to detect Staphylococcus aureus specific DNA

sequences encoding for protein synthesis and the mec genes. Other

molecular typing methods include pulsed-field gel electrophoresis (PGFE)

and multilocus sequence typing (MLST), Staphylococcal Protein A Gene

(spa) locus typing and Staphylococcal Cassette Chromosme (SCCmec)

typing. (Grema HA dkk, 2015) Pulsed-field gel electrophoresis dan

multilocus sequence typing sangat diskriminatif. (Jawetz dkk, 2010)

2.3 Community Aqcuired Methicillin Resistant Staphylococcus

aureus (CA-MRSA)

The occurrence of methicillin-resistant S. aureus (MRSA) is clarified

by the acquisition of the mecA gene, which is located on the

staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec). (Basset P dkk,

2013) Staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec) memiliki

ukuran sekitar 20-60 kb. Strukturnya unik karena membawa berbagai

elemen genetik bergerak yang terintegrasi di dalamnya [37]. Sampai saat

ini, lebih dari 80 elemen SCCmec telah diidentifikasi pada beberapa

spesies stafilokokus [38]. SCCmec menyebar di antara spesies

Staphylococcus melalui transfer gen horisontal dan menyatu di tempat

tertentu yang disebut attB atau ISS (integration site sequence) pada ujung
3’ gen orfX yang mengkodekan fungsi yang tidak diketahui [39]. Sebuah

SCCmec tunggal membawa kompleks mec dan cassette chromosome

recombinase (ccr) yang diapit oleh direct inverted repeat (DR) dan

inverted repeat (IR); Kompleks mec terdiri dari gen mecA ( penentu

methicillin resisten), mecRI (sensor inducer), dan mecI (mec repressor).

Baik mecRI dan mecI dikenali sebagai elemen regulator mec, sementara

gen ccr mengkodekan rekombinasi serin (ccrA, ccrB, ccrC) yang

bertanggung jawab atas lokasi dan orientasi integrasi dan eksisi SCCmec.

Selain itu, SCCmec juga menyimpan elemen lain seperti insertion

sequences (IS), plasmid, dan transposon [24, 40, 41].

Gen mecC

It has been suggested by the International Working Group on the

Classification of Staphylococcal Cassette Chromosome (SCC) Elements

(International Working group, 2012) that the mecALGA251 gene should

be renamed mecC, and this term will be used herein.(Garcia AL dkk,

2011) A new divergent mecA homolog (mecC or mecALGA251, in

reference to LGA251 isolates from which it was characterized) (Shore AC

dkk, 2011) (Garcia AL dkk, 2011) was recently described in a novel

staphylococcal cassette chromosome mec named type XI (Shore AC dkk,

2011)

mecC MRSA have been isolated from carriage and a range of

infections in humans (see Table 1 for list of references). (Barraud O dkk,

2013). These are predominantly skin and soft-tissue infections but include
severe bone infections [31], nosocomial pneumonia [13] and fatal

bacteraemia [30]. The function of the mecC –encoded PBP2a/2’ and its role

in β-lactam resistance was formally demonstrated by the work of Kim dkk

which also highlighted noteworthy differences in the properties of the

mecA and mecC encoded proteins. (10)Although the detection of mecC-

encoded PBP2a in LGA251 was problematic, most likely due to low

expression levels resulting from mecI/mecR, inducible expression of mecC

in a MSSA strain conferred high MIC values against a range of β-lactam.

Recombinant PBP2amecC protein was bound by β-lactams but showed

higher affinity for oxacillin compared to cefoxitin, whereas PBP2a mecA

showed less preference. The two proteins also displayed differences in

their thermostabilty and temperature optima, with PBP2a mecC appearing to

be less stable at 37 °C than PBP2amecA. Interestingly, PBP2amecC did not

require the presence of the native PBP2 to confer high-level oxacillin

resistance. This is in contrast to PBP2amecA for which high-level oxacillin

resistance requires the presence of native PBP2 to provide

transglycosylase activity lacking in PBP2amecA. Because PBP2amecC also

appears to lack transglycosylase activity, high-level oxacillin resistance

conferred by mecC is likely to involve collaboration between PBP2a mecC

and one of the other monofunctional glycotransferases that are known to

be induced in S. aureus when PBP2 is inhibited. Although this

characterisation confirms the function of mecC-encoded PBP2a as a

transpeptidase, and its role in methicillin resistance, there are important


differences in the behaviour of the proteins encoded by mecC and

mecA.(10)

Although there are obviously differences in biochemistry between

mecA and mecC-encoded PBP2a, mecC nonetheless confers methicillin

resistance, and such strains need to be identified correctly as MRSA in

diagnostic laboratories. Where laboratories are performing antimicrobial

susceptibility testing, mecC MRSA will likely be correctly identified as

MRSA. (11)

Gen ACME (Arginine catabolic mobile element)

Pseudo-SCCmec dikenali sebagai SCCmec yang tidak mengandung

kompleks ccr namun memiliki gen mecA. Meskipun elemen ini berbeda

dari SCCmec lengkap dalam hal gen atau organisasi operon, namun

masih memiliki beberapa kesamaan pada bagian-bagian tertentu dalam

struktur pseudo-SCCmec dan SCCmec lengkap. Delesi adalah peristiwa

besar yang disimpulkan oleh tidak adanya gen atau operon tertentu dalam

struktur pseudo-SCCmec. Sebagai contoh, daerah-daerah di dalam

kompleks mec dan wilayah J tidak ada pada pseudo-SCCmec II.5 dan

pseudo-SCCmec16691. Telah diamati bahwa pseudo-SCCmec16691

kekurangan gen J1, J2, dan gen ccr, sedangkan komponen yang hilang

terdeteksi pada pseudo-SCCmec II.5 dan digantikan oleh elemen

transposabel yang disebut Tn6012. (Shore AC dkk, 2008) (Lindqvist M

dkk, 2012)
Meskipun demikian, pseudo-SCCmec tertentu tidak membawa

kompleks mec dan ccr. Contohnya adalah Arginine catabolic mobile

element (ACME) karena memiliki elemen seperti SCC namun kekurangan

gen mecA dan ccr. Ini bisa jadi sisa struktur SCCmec yang telah

mengalami banyak peristiwa mutasi. Lindqvist et al. menemukan sisa

pertama struktur pseudo-SCCmec dalam methicillin sensitive

staphylococcus aureus (MSSA) yang menyebabkan wabah klon di

Swedia. Mereka memberi kesan bahwa struktur pseudo-SCCmec ini dapat

diturunkan dari SCCmec type II. (Lindqvist M dkk, 2012)

Arginine catabolic mobile element (ACME) adalah gen virulensi dan

faktor kelangsungan hidup Staphhylococcus aureus, yang ditemukan

dengan cara sekuens keseluruhan genom USA300 (ST-8). Perolehan

ACME oleh Staphylococcus aureus, berkolonisasi sementara pada kulit,

memungkinkan CA-MRSA untuk mengkolonisasi kulit secara permanen,

sehingga meningkatkan kemungkinan infeksi kulit. (Diep BA dkk, 2006)

(Liu GY, 2009)

ACME ditemukan pada MRSA dan MSSA, terutama dengan sequence

type 8 (ST8), dan telah disebarluaskan pada Staphylococcus aureus yang

virulen melalui transfer gen horisontal. Namun demikian, ACME sering

dikaitkan dengan MRSA-IVa dengan sequence type 8 (ST8-MRSA-IVa),

yang juga dikenal sebagai CA-MRSA USA300 (Diep BA dkk, 2004)

(Ghasemzadeh MH dkk, 2012). ACME telah dikaitkan dengan

kemampuan CA-MRSA untuk mengkolonisasi pada bagian tubuh manusia


lainnya seperti kulit dan membran mukosa bukan hanya terbatas pada

lubang hidung. Perolehan ACME dapat meningkatkan kemampuan CA-

MRSA untuk bertahan hidup di lingkungan asam kulit manusia dengan

mendorong produksi enzim resisten poliamin yang memerangi kelebihan

poliamin inang (senyawa toksik pada kulit manusia terhadap

Staphylococcus aureus). (Thurlow LR dkk, 2013)


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan analitik dengan

pendekatan cross sectional study.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium HUM-RC RS.

Pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar.

2. Waktu Penelitian

Pengambilan sampel swab nasal dilakukan selama periode

Februari – April pada tahun 2018 di IGD RS. Universitas

Hasanuddin Makassar. Sedangkan, uji molekuler dilakukan selama

periode Februari – April pada tahun 2018 di Laboratorium HUM-RC

RS. Pendidikan Universitas Hasanuddin Makassar.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien baru

masuk di IGD RS. Universitas Hasanuddin Makassar periode

februari – april 2018.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sampel jenuh dari

populasi.

3. Teknik Sampling

Sampling dilakukan menggunakan teknik Accidental

Sampling setiap hari Senin-Jum’at dari Pkl. 10.00- Pkl. 16.00 WITA.

Dengan target sampel 100 pasien selama 2 bulan.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah isolat Staphylococcus

aureus.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Methicillin Resistant

Staphylococcus Aureus (MRSA).


E. Kerangka Konsep

Populasi Variabel Dependent

Uji Biokimia Temuan S.aureus


Kultur S.aureus dari
Swab nasal pasien
baru masuk IRD Temuan MRSA
Uji Sensitivitas
RSUH Makassar
periode februari-
april 2018
PCR Temuan HA-MRSA dan
CA-MRSA

Karakteristik demografi dan klinis pasien

Usia Riw. Berkunjung ke RS sebelumnya

Jenis Kelamin

Suku

Pekerjaan
Variabel Independen
F. Definisi Operasional

1. Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif, non-motil, non-

spora, berbentuk kokkus (seperti buah anggur), dapat tunggal atau

berpasangan maupun berkelompok yang nampak pada pewarnaan

gram. Menghemolisis medium agar darah domba setelah diinkubasi

suhu 37°C selama 18-24 jam, merubah warna medium mannitolt

salt agar (MSA) menjadi warna kuning setelah diinkubasi suhu

37°C selama 24 jam, uji katalase positif (terdapat gelembung udara

pada koloni yang diteteskan larutan H2O2), serta uji koagulase

positif (terdapat aglutinasi pada koloni)

2. Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus adalah koloni kuman

Staphylococcus aureus yang diperoleh isolasi dari swab nasal

pasien melalui beberapa tahap teknik isolasi, yang dinyatakan

resisten melalui tes sensitivitas menggunakan cefoxitin 30µg pada

medium Mueller Hilton Agar. Dinyatakan MRSA positif bila zona

inhibisi cefoxitin 30µg ≤ 21 mm.

G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria Inklusi:

a. Pasien baru masuk IGD (<24 jam);


b. Pasien sadar (kooperatif)

c. Pasien tidak pernah dirawat inap di RS dalam 3 bulan terakhir;

d. Pasien tidak memiliki luka ataupun hambatan (obstruksi) pada

hidungnya.

e. Pasien/keluarga telah menandatangani informed consent.

2. Kriteria Eksklusi:

a. Pasien sudah berada di IGD >24 jam.

b. Pasien dalam kondisi tidak sadar/koma (tidak kooperatif).

c. Pasien pernah dirawat inap di RS dalam 3 bulan terakhir.

d. Pasien memiliki luka ataupun hambatan (obstruksi) pada

hidungnya.

e. Pasien/keluarga menolak menandatangani informed consent.

H. Izin Penelitian dan Ethical Clearance

Permintaan izin dari seseorang yang memenuhi kriteria untuk dijadikan

sampel atau mengambil sampel penelitian, serta persetujuan Komisi Etik

Penelitian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Ethical

Clearance tidak memberikan kerugian pada subjek penelitian,

kerahasiaan data tetap dijaga dan dilakukan informed consent sebelu

pengambilan sampel.
I. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat –alat yang digunakan dalam penelitian ini yakni alat- alat

Laboratorium Mikrobiologi, yaitu spidol marker, swab steril, cawan

petri, ose, pinset, mikropipet (1000 µL, 100 µL, 20 µL, 10 µL), tips

(1000 µL, 100 µL, 20 µL, 10 µL), tabung efendorf, tabung reaksi,

tabung PCR, labu erlenmeyer, gelas ukur, gel DOC, waterbath,

cetakan agarosa, inkubator, autoklaf, spiritus, sentifuge, BSC tipe II,

Laminar Air Flow, freezer, mesin PCR (BioRad), mesin elektroforesis

serta peralatan lainnya yang lazim digunakan di Laboratorium

Mikrobiologi untuk identifikasi bakteri.

2. Bahan

Bahan yang digunakan berupa:

a. Medium transport : Amies medium.

b. Swab sterile sekali pakai.

c. Medium Phospate Buffered Saline (PBS)

d. Isolat bakteri Staphylococcus Aureus diperoleh dari swab nasal

pasien IGD RS. Universitas Hasanuddin Makassar.

e. Medium Blood Agar / Agar Darah Domba (ADD)

f. Medium Mannitolt Salt Agar (MSA)

g. Medium Mueller Hilton Agar (MHA)


h. Cakram Antibiotik Cefoxitin 30 µg

i. Primer mecC

J. Prosedur Kerja

1. Menyiapkan swab steril

2. Menyiapkan medium transport : medium amies

3. Membuat medium Agar Darah Domba (ADD)

Kegunaan

Agar Darah Domba (ADD) merupakan medium padat yang

direkomendasikan untuk digunakan dalam prosedur kualitatif untuk

budidaya berbagai mikroorganisme yang memiliki persyaratan

pertumbuhan yang tepat (termasuk staphylococcus aureus) dan

untuk visualisasi reaksi hemolitik. Medium ini sangat tepat untuk

mengkultur hampir semua spesimen bakteriologi.

Komposisi ADD

Agar Darah Domba (ADD) mengandung komposisi berikut:

Bahan – Bahan Gram / Liter

Casein Peptone 15.0 gram

Sodium Chloride 5.0 gram

Soy Peptone 5.0 gram

Sheep Blood 5%

Agar 15.0 gram

Air suling (distilled water) 1000.0 mL


pH 7.3 ± 0.2 pada shu 25°C.

Langkah-Langkah membuat Agar Darah Domba (ADD):

a. Larutkan 40.0 gram bahan diatas dalam 1000.0 mL air suling .

b. Panaskan hingga benar-benar larut.

c. Autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.

d. Dinginkan sampai suhu 45°C-50°C.

e. Secara aseptik tambahkan 50 mL darah domba defibrinasi

f. Tuangkan 15-20 mL media yang sudah siap ke dalam cawan

petri.

g. Biarkan cawan petri posisi berdiri selama 30 menit untuk

menguatkan.

h. Lakukan pengujian sterilitas.

i. Beri label pada bagian bawah cawan petri.

j. Simpan cawan media kultur secara terbalik pada suhu 2-8°C

yang disegel dalam kantong pastik untuk mengurangi

kemungkinan kontaminasi.

k. Uji sampel untuk kinerja, dengan menggunakan kultur kontrol

yang stabil dan khas:

 pH medium 7,2 - 7,6 pada suhu kamar tergantung pada

bahan dasar agar-agar yang digunakan.

 Lama simpan: sampai 16 minggu masih dapat digunakan

asalkan tidak ada perubahan dalam tampilan media


untuk menghindari adanya kemungkinan kontaminasi,

hemolysis, atau deteroriasi.

4. Membuat medium Mannitol Salt Agar (MSA)

Kegunaan

Mannitol Salt Agar (MSA) digunakan untuk isolasi dan diferensiasi

staphylococci yang patogenik, terutama staphylococcus aureus.

Medium ini menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri lain

selain staphylococci.

Komposisi MSA

Mannitol Salt Agar (MSA) mengandung komposisi berikut:

Bahan – Bahan Gram / Liter

Pancreatic digest of casein 5.0 gram

Peptic Digest of animal tissue 5.0 gram

Ekstrak daging (beef ekxtract) 1.0 gram

NaCl 75.0 gram

D-mannitol 10.0 gram

Phenol Red 0.025 gram

Agar 15.0 gram

Total 111.025 gram

Air Suling (distilled water) : 1000 mL

pH akhir 7.4 ± 0.2 pada suhu 25°C

Langkah-langkah membuat MSA:


a. Larutkan 111.025 gram bahan tersebut dalam 1000 mL air

suling.

b. Didihkan untuk melarutkan media secara sempurna.

c. Autoklaf pada suhu 121°C selama 15-20 menit.

(opsional: tambahkan 5% v/v emulsi kuning telur).

d. Dinginkan sampai suhu 45-50°C dan tuangkan ke dalam cawan

petri.

5. Membuat medium Mueller Hilton Agar (MHA)

Kegunaan

Mueller Hilton Agar (MHA) merupakan medium padat pilihan yang

direkomendasikan untuk digunakan dalam prosedur kualitatif untuk

uji sensitivitas antibiotik dengan metode difusi cakram. Medium ini

cocok untuk menumbuhkan bakteri aerob dan fakultatif anaerob.

Bakteri rewel nutrisi (fastidious bacteria) tidak dapat tumbuh baik

pada medium ini.

Komposisi MHA

Bahan – Bahan gram

Acid digest of casein/casein acid hydrolysate 17.5 gram

Beef extract 2.0 gram

Starch 1.5 gram

Agar 17.0 gram

Demineralized water 1000.0 mL

pH akhir 7.3 ± 0.1 pada suhu 25°C.


Langkah – langkah membuat MHA

a. Larutkan 38 gram bahan diatas ke dalam 1 liter air yang

dimurnikan.

b. Campurkan secukupnya

c. Panaskan dengan sering diaduk dan didihkan selama 1

menit untuk benar-benar melarutkan bahan. Autoklaf pada

suhu 121°C selama 15 menit.

d. Jangan terlalu panas. Dinginkan sampai 45-50°C dan tuang

ke dalam cawan petri.

e. Tuangkan 15-20 mL medium yang sudah siap ke cawan

petri.

f. Biarkan cawan posisi berdiri selama 30 menit untuk

menguatkan.

g. Lakukan pengujian sterilitas.

h. Beri label bagian bawah setiap cawan petri dengan tanggal

persiapan dan nomor batch.

i. Simpan cawan media kultur secara terbalik pada suhu 2-8°C

yang disegel dalam kantong pastik untuk mengurangi

kemungkinan kontaminasi.

j. Uji sampel untuk kinerja, dengan menggunakan kultur

kontrol yang stabil dan khas:

 pH medium 7,2 - 7,6 pada suhu kamar tergantung pada

bahan dasar agar-agar yang digunakan.


 Lama simpan: sampai 16 minggu masih dapat digunakan

asalkan tidak ada perubahan dalam tampilan media

untuk menghindari adanya kemungkinan kontaminasi,

hemolysis, atau deteroriasi.

6. Mengambil dan mengisolasi bakteri Staphylococcus aureus dari

sampel swab nasal

a. Persiapan

1. Siapkan pasien (orang yang akan diambil

sampel swab hidungnya) dan label sampel

(nama pasien/no.sampel).

2. Jika pasien memiliki kotoran hidung:

 Minta pasien untuk membersihkannya dengan

meniup/menghembuskan hidungnya ke kertas

tissue tak beraroma.

 Khusus pasien anak: bantu kapanpun

diperlukan.

 Jangan mencoba membersihkan kotoran hidung

dengan swab, karena ini mungkin dapat

menyebabkan trauma/perlukaan.

b. Pengambilan sampel swab nasal

1. Setelah mencuci tangan, kenakan sarung tangan

bersih. Tidak perlu mengganti sarung tangan


sebelum prosedur pengambilan swab nasal

selesai.

2. Buka plastik pembungkus swab steril.

3. Lepaskan swab steril.

4. Masukkan swab steril sekitar 2 cm (kira-kira ¾

inci) ke dalam nares.

5. Putar swab pada mukosa nasal anterior selama

3 detik.

6. Tempatkan swab kembali ke dalam tabung

medium transport.

7. Dorong swab sampai terbenam dalam tabung

medium transport.

8. Patahkan sedikit ujung swab agar tabung

medium transport dapat tertutup rapat.

9. Lepaskan dan buang sarung tangan yang sudah

digunakan.

10. Cuci tangan kembali.

c. Transport spesimen

1. Transport spesimen yang telah dilabeli ke

laboratorium (<6jam setelah pengambilan).

2. Catat spesimen ke dalam sistem pencatatan

laboratorium.
7. Kultur spesimen swab nasal pada medium Agar Darah Domba

(ADD)

Prosedur penggunaan medium ADD untuk kultur :

a. Menggunakan spidol permanen, bagi bagian bawah tiap cawan

petri menjadi 4 bagian.

b. Beri label cawan petri dengan nomor sampel dan tanggal

penanaman bakteri.

c. Inokulasi dan goreskan spesimen swab nasal sesegera mungkin

setelah spesimen diterima di laboratorium.

d. Jika bahan dikultur secara langsung dari swab (apusan kapas

steril), gulingkan swab steril tersebut di atas area kecil

permukaan agar darah domba dan diisolasi.

e. Inkubasi medium tersebut secara aerobik, atau pada 5-10%

CO2, selama 18-24 jam pada suhu 33°-37°C.

f. Amati morfologi koloni khas yang tumbuh dan reaksi hemolitik

pada medium tersebut.

g. Catat hasil yang diamati.

8. Kultur koloni bakteri yang tumbuh pada medium Agar Darah Domba

(ADD) ke medium Mannitol Salt Agar (MSA)

Prosedur penggunaan medium MSA untuk kultur :

a. Menggunakan spidol permanen, bagi bagian bawah tiap

cawan petri menjadi 4 bagian.


b. Beri label cawan petri dengan nomor sampel dan tanggal

penanaman bakteri.

c. Buka tutup cawan petri Agar Darah Domba (ADD)

d. Inokulasi salahsatu koloni yang tumbuh pada Agar Darah

Domba (ADD) menggunakan ose inokulasi yang steril.

e. Buka penutup cawan MSA agar ada sedikit celah ose untuk

masuk. Goreskan ose tersebut dari bagian yang diinokulasi

(dekatkan dengan api spiritus agar menghindari kontaminasi

udara luar) dan sebarkan merata ke medium MSA. Pastikan

tidak ada goresan yang saling tumpang tindih.

e. Pasang kembali tutup cawan petri medium MSA, balik cawan

petri, diamkan 2-5 menit, lalu inkubasi pada suhu 37°C

selama 24-48 jam.

f. Amati dan bandingkan ada tidaknya perubahan warna dan

kualitas morfologi koloni yang tumbuh pada cawan petri MSA

yang sudah diinkubasi tersebut.Media berubah menjadi

kuning menandakan bakteri yang tumbuh tersebut adalah

Staphylococcus aureus.

g. Catat hasil yang diamati.

9. Melakukan uji sensitivitas antibiotik

Setelah koloni terisolasi tersedia dari organisme yang telah

diidentifikasi sebagai Staphylococcus aureus, perlu dilanjutkan

untuk melakukan uji sensitivitas antibiotic sebagai berikut:


1. Pilih koloni

Salah satu langkah terpenting dalam proses pengujian

adalah menyiapkan inokulum. Ini melibatkan pemilihan koloni

yang sesuai untuk pengujian, menyingkirkannya ke dalam broth,

dan standarisasi suspensi.

Pertama, pilih beberapa koloni Staphyloccus aureus yang

diuji. Jika memilih 3-5 koloni, bukan hanya satu, kemngkinan

untuk mendeteksi resisteensi lebih tinggi.

Catatan: Dengan menggunakan loop inokulasi (ose) atau

cotton swab, pilih hanya 1 koloni terisolasi dengan baik dari

cawan petri untuk mencegah pengujian kultur campuran. Jika

koloni tidak terisolasi dengan baik, subkkultur organism eke

cawan petri segar.

2. Persiapkan suspensi inokulum

Ada dua metode untuk persiapan inokulum yaitu suspensi koloni

langsung (Direct colony suspension) dan pertumbuhan fase log

(log phase growth).

Dalam penelitian ini dipilih metode suspensi koloni langsung

(Direct colony suspension) oleh karena hanya metode suspensi

koloni langsung (Direct colony suspension) yang akan

memberikan hasil akurat untuk beberapa organisme. Untuk

kedua metode tersebut, kekeruhan suspensi uji harus

distandarisasi agar sesuai dengan standar McFarland 0,5


(sesuai dengan sekitar 1,5 x 108 CFU/ml). Suspensi yang

disesuaikan harus digunakan sebagai inokulum dalam waktu 15

menit.

Metode suspensi koloni langsung (Direct colony

suspension)

Untuk metode suspensi koloni langsung, koloni tidak boleh

lebih lama dari 18-24 jam. Standarisasikan inokulum pada waktu

yang sama peneliti mempersiapkan suspensi.

Singkirkan koloni ke dalam tabung berisi 2-3 mL NaCl steril.

Kemudian, atur inoculum ke kekeruhan yang setara dengan

standar McFarland 0,5.

3. Standarisasi suspensi inokulum

4. Inokulasi pada cawan petri

a. Siapkan cawan petri inokulasi

Lepaskan wadah cakram antibiotic dari freezer atau

kulkas. Sebelum membuka wadah, biarkan cakram

antibiotic untuk menyesuaikan dengan suhu kamar

selama satu sampai dua jam untuk meminimalkan

kondensasi dan mengurangi kemungkinan kelembaban

yang mempengaruhi konsentrasi antibiotik. Biarkan

cawan petri Mueller Hilton Agar (MHA) mehangat sampai

suhu kamar sehingga kelebihan kelembaban apapun

akan diserap ke dalam medium. Anda bisa mempercepat


langkah ini dengan menempatkan cawan petri MHA ke

inkubator dengan tutupnya terbuka selama 10-15 menit.

Pastikan cawan petri MHA memiliki kedalaman tepat 4

mm. Lalu celupkan kapas steril baru ke suspensi.

Keluarkan kelebihan cairan dari kapas tersebut dengan

menekannya ke sisi tabung suspensi.

b. Inokulasikan pada cawan petri

Mulai inokulasi pada bagian atas dari permukaan cawan

petri MHA menggunakan kapas steril(swab). Lapisi/usap

seluruh cawan dengan menggores bolak-balik dari ujung

ke ujung. Putar cawan petri kira-kira 60° dan ulangi

prosedur swab. Putar cawan petri 60° lagi dan usap

seluruh cawan untuk ketiga kalinya. Ini akan memastikan

inokulumnya didistribusikan merata. Tips teknis: Inkubasi

cawan selama 15 menit untuk standarisasi suspensi

inokulum.

5. Tambahkan cakram antibiotik

Pasang cakram yang mengandung agen antibiotik

dalam waktu 15 menit setelah inokulasi di cawan petri MHA.

Cakram mungkin ditempatkan pada cawan petri satu per

satu atau dengan “multichannel disk dispenser” seperti yang

terllihat pada gambar. Tapi dalam penelitian ini cakram

dipasang secara manual menggunakan bantuan pinset steril.


Biasanya, sampai 12 cakram antibiotik dapat

diaplikasikan pada cawan petri berdiameter 150 mm atau

sampai 5 cakram antibiotik pada cawan petri berdiameter

100 mm. Tekan setiap cakram antibiotik ke bawah dengan

benar untuk memastikan tingkat persentuhan yang

sempurna dengan agar. Tutup cawan petri kembali, lalu

inkubasi selama 24 jam.

Poin yang perlu diingat tentang cakram antibiotik:

a. Jangan gunakan cakram antibiotik melebihi tanggal

kadaluwarsa.

b. Jangan menyimpan cakram antibiotik di freezer tanpa

bunga es

c. Gunakan produk yang jelas dari FDA.

d. Gunakan cakram antibiotik dengan isi yang ditentukan

dalam standar NCCLS.

e. Jangan memindahkan cakram antibiotik setelah

menyentuh permukaan agar.

6. Inkubasi cawan petri

a. Balikkan dan inkubasi cawan petri dengan agar pada sisi

atas.

b. Inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

7. Ukur zona hambat


Untuk mengukur zona hambat dilakukan dari bagian belakang

cawan petri menggunakan cahaya yang dipantulkan:

a. Pegang cawan petri beberapa inci di atas permukaan

yang gelap tak bercahaya

b. Ukur ke milimeter terdekat dengan jangka sorong atau

penggaris

c. Cahaya yang dipantulkan digunakan untuk

Enterobacteriaceae seperti Staphylococcus aureus salah

satunya.

d. Cahaya yang dipantulkan juga digunakan ketika

mengukur zona hambat pada BMHA

8. Interpretasikan hasil

Diameter zona hambat hasilnya dibaca menggunakan

metode Kirby bauer yang dikategorikan sebagai sensitif,

intermediet, atau resisten.

a. Interpretasi zona dengan tepi yang berbulu

Ukurlah titik dimana Anda dapat melihat batasan yang

jelas antara tumbuh dan tidak tumbuh. Hindari

memaksakan untuk melihat koloni terkecil.

b. Mengukur zona tak biasa

Beberapa zona mungkin sulit untuk diukur. Berikut ini

cara mengukur zona yang tak biasa, yakni:

1. Zona ganda (Double Zone): Ukur zona terdalam.


2. Koloni di dalam zona (Colonies within the zone): Ini

bisa disebabkan oleh kultur campuran, yang biasanya

sudah jelas, atau subpopulasi yang resisten terhadap

bakteri uji. Kadang sulit untuk membedakan kultur

campuran dari subpopulasi yang resisten. Berikut

ringkasannya dalam bentuk diagram alur.

Koloni di dalam zona pada


cawan petri uji difusi cakram

Ulangi uji dengan koloni tunggal atau subkultur


koloni tunggal dari cawan petri kultur primer

Pada uji ulang “apakah ada koloni di dalam zona?”

TIDAK YA

Ukur zona dan Ukur zona bebas koloni dan


interpretasikan. Verifikasi interpretasikan. Verifikasi
identifikasi organisme dan identifikasi organisme dan
profil kepekaan keseluruhan profil kerentanan keseluruhan

Laporan Hasil Laporan Hasil

9. Catat hasil

10. Melakukan uji molekuler

a. Deteksi gen mecC dengan PCR

b. Deteksi gen pvl dengan PCR

c. Typing SCCmec dan SpA .

11. Mengamati band/pita hasil uji PCR dengan metode elektroforesis.


a. Buat gel
1) Ditimbang 2 gr agarose dan dilarutkan dalam 100 ml
TAE Buffer 0,5x untuk mendapatkan larutan agarose 2 %
2) Campuran agarose dan TAE Buffer 0,5x dipanaskan
hingga larut kemudian ditunggu hingga agak dingin
kemudian ditambah 5μl Ethidium Bromida
3) Larutan agarose dituang ke dalam cetakan dan ditunggu

hingga beku.

b. Pembuatan DNA Marker

1) Sebanyak 25 µl DNA 100 bp ladder dimasukkan ke


dalam tube berisi 1 ml Blue Juice Loading Dye, dan
dicampur untuk marker
2) Laber tube dicopot dan diganti menjadi marker

c. Persiapan Running Elektroforesis

1) Gel yang telah beku dimasukkan ke dalam elektroforesis dan


direndam dalam larutan TAE 0,5x
2) Sebanyak 8 µl amplicon hasil PCR ( Kontrol Positif, Kontrol
negative, sampel) ditambah dengan 2 µl Blue Juice Loading
Dye (tanpa marker), dicampur dan dimasukkan ke dalam
sumur-smur gel sebanyak 10 µl.
3) Pada Lubang pertama tambahkan 10 ul DNA leader 100 bp

dimasukkan ke dalam sumur di dekat control positif

d. Running Elektroforesis

1) Elektroforesis dihidupkan dan dijalankan dari muatan


negatif (katode) ke muatan positif (anode) pada 100 A dan
40 menit
2) Setelah elektroforesis dilihat pita yang terbentuk. Apabila
pita sejajar dengan kontrol positif berarti hasil positif.
e. Prosedur Kerja Gel Doc

Cara menggunakan alat Gel Doc dibagi menjadi 4 tahap :

1) Menyalakan Alat Gel Doc


2) Mengatur posisi gel
3) Mengatur gambar
4) Save dan Print gambar

K. Alur Penelitian

PENGAMBILAN SWAB NASAL PASIEN DI IGD RS.


UNHAS MAKASSAR PERIODE FEB-APR 2018

MEDIUM AMIES

Kultur pada BLOOD AGAR < 6


jam setelah pengambilan sampel.
Inkubasi suhu 37°C selama 18-24
jam (amati reaksi hemolisis)

pewarnaan gram pindahkan koloni ke medium MSA.


Inkubasi suhu 37°C selama 24 jam
(amati perubahan warna medium)
GRAM
POSITIF,
KOKKUS

Uji sensitivitas Ekstraksi


Uji
terhadap cakram PBS
Biokimia: antibiotik cefoxitin
Katalase dan 30µg pada medium
MHA. Inkubasi PCR
koagulase suhu 37°C selama
24 jam Elektroforesis

S.aureus Zona hambat CA-MRSA


positif diameter ≤ 21 mm positif
=MRSA Positif

ANALISIS DATA
L. Metode Analisis

Data yang diperoleh akan dilakukan analisa statistik deskriptif

menggunakan aplikasi SPSS 20.0 berupa distribusi frekuensi untuk

mengetahui angka kejadian MRSA (CA-MRSA dan HA-MRSA) dan non

MRSA. Juga dilakukan uji chi square dan uji regresi logistik multivariat

untuk mengetahui hubungan kejadian MRSA (CA-MRSA dan HA-MRSA)

dengan karakteristik pasien. Hasil analisis akan ditampilkan dalam bentuk

tabel disertai narasi.

Anda mungkin juga menyukai