Anda di halaman 1dari 18

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik perairan estuari


Estuari bisa mempunyai arti yang luas dalam oseanografi. Definisi
sederhananya adalah daerah pasang surut di muara sungai besar (Millero &
Sohn, 1992). Ward & Montague (1996) berdasarkan definisi berbagai penulis
meringkaskan bahwa estuari pada umumnya mencakup pengertian-pengertian
perairan pantai, semi tertutup, berhubungan bebas dengan laut terbuka, influks
air laut (mengandung salinitas laut), influks air tawar (pengenceran air laut oleh
air tawar), dan berukuran kecil sampai sedang.
Berdasarkan distribusi sifat-sifat perairan, dalam hal ini terkait dengan sifat
percampurannya dengan air tawar dari sungai, estuari diklasifikasikan sebagai
estuari yang tercampur secara vertikal (a vertically mixed estuary), sedikit
terstratifikasi (a slightly stratified estuary), sangat terstratifikasi (a highly stratified
estuary), dan estuari baji (atau lidah) garam (the salt wedge estuary) (Dyer, 1973;
De Santo, 1978; Millero & Sohn, 1992; Ji, 2008). Debit air tawar dari sungai
berperan dalam pola salinitas di estuari. Debit sungai ini menyebabkan gradien
salinitas sepanjang estuari, dari nol di bagian sungai hingga salinitas air laut di
bagian estuari ke arah laut. Gradien ini dapat menjadi curam, datar atau
bergeser karena variasi dari debit sungai (Ward & Montague, 1996). Estuari
terstratifikasi terjadi karena adanya intrusi dari air laut yang lebih berat (salt
wedge, baji garam) di bagian bawah dari aliran air sungai yang lebih rendah
salinitasnya dan lebih ringan. Pada kondisi ini, di estuari yang relatif dalam, dapat
terjadi pola aliran yang berlawanan yang berakibat pada transpor ke luar (arah
laut) dari biota dan muatan permukaan, dan transport ke dalam (arah pantai) dari
biota dan muatan dasar. Pada estuari terstratifikasi, salinitas di bagian yang lebih
dalam lebih besar daripada di permukaan (Clark, 1974).
Estuari mempunyai kelebihan nilai alami berupa beberapa karakteristik
fisik yang secara sendiri-sendiri ataupun berkombinasi satu sama lain
menghasilkan suatu fungsi khas. Karakteristik tersebut adalah: lingkungan yang
relatif terlindung dari ombak, kedangkalan dalam hubungannya dengan tumbuhan
litoral dan biota dasar, salinitas yang khas sehubungan dengan masukan air
tawar, sirkulasi air yang dinamis dan pasang-surut dalam kaitannya dengan
transport nutrien dan pembilasan limbah, peranannya dalam tingkah laku makan
dan reproduksi biota, serta adanya mekanisme perangkap yang menjadikan
10

estuari sebagai gudang nutrien (nutrien storage) (Clark, 1974; Clark, 1996).
Pasang-surut seringkali merupakan kekuatan dominan dalam pergerakan air di
estuari (Clark, 1996; Ward & Montague, 1996). Pergerakan air sangat
dipengaruhi oleh bentuk dan luasan perairan, bahkan juga oleh material dasar
perairan. Kekuatan sirkulasi cenderung berkurang dengan laju pembilasan
rendah bila amplitudo pasut kecil dan perairan berbentuk cekungan yang dalam
dan panjang (Clark, 1996).
Salinitas dan temperatur perairan estuari sangat berfluktuasi bila
dibanding-kan dengan laut terbuka. Fluktuasi bisa terjadi musiman maupun
harian akibat pengaruh pasang surut (De Santo, 1978). Pasang-surut, angin,
ombak dan aliran sungai adalah kekuatan yang mengendalikan arus pantai
(longshore currents dan prevailing longshore currents) penaikan air dasar (coastal
upwelling), dan berbagai aliran seperti arus eddie dan tiderips (Clark, 1974).
Sebagai daerah yang tingkat produktivitasnya tinggi, estuari berperan
penting secara ekologis, yakni antara lain sebagai habitat bagi jenis-jenis ikan
ekonomis penting (secara komersial maupun rekreasional), dan sebagai habitat
tempat pemijahan ikan (spawning ground) maupun tempat pembesaran (nursery
ground) anak-anak ikan (Clark, 1996).

2.2. Oksigen terlarut di perairan


Oksigen adalah gas terlarut, yang keberadaannya dalam perairan
dipengaruhi oleh tekanan gas atau atmosfer, temperatur dan salinitas atau ionic
strength dari perairan sebagaimana penjabaran dari Hukum Henry mengenai
kelarutan gas dalam cairan (Millero & Sohn, 1992). Kelarutan oksigen menurun
dengan meningkatnya temperatur dan salinitas perairan. Hal ini berarti bahwa
pada perairan dengan temperatur dan salinitas yang lebih rendah mempunyai
tingkat saturasi oksigen yang lebih tinggi. Nilai kelarutan oksigen pada berbagai
temperatur dan salinitas disajikan oleh beberapa penulis, antara lain oleh Colt
1984 (in Metcalf & Eddy, 1991) dan Millero & Sohn (1992). Kelarutan oksigen
pada temperatur 30 oC dan tekanan udara 1 atm, pada salinitas 0, 10 dan 25 ppt
berturut-turut adalah 7,54 mg/L, 7,14 mg/L dan 6,57 mg/L. Pada temperatur yang
lebih rendah, yakni 25 oC, pada tekanan dan salinitas yang sama berturut-turut
adalah 8,24 mg/L, 7,79 mg/L dan 7,15 mg/L (in Metcalf & Eddy, 1991).
Reaerasi permukaan adalah salah satu sumber oksigen di perairan.
Sumber oksigen lainnya adalah hasil proses fotosintesis dari fitoplankton dan
11

tumbuhan air lainnya. Sedangkan kehilangan oksigen disebabkan oleh


penggunaannya untuk respirasi biota, oksidasi bahan organik (BOD) dan oksidasi
sedimen (SOD) (Metcalf & Eddy, 1991). Secara skematik, sistem DO di estuari
disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Rezim oksigen terlarut (DO) di estuari (modifikasi dari James 1984)

Reaerasi terjadi melalui permukaan air untuk menyeimbangkan


kandungan DO perairan pada tingkat saturasi. Proses alami seperti angin dan
gelombang atau riak air akan meningkatkan laju transfer oksigen. Pada
12

umumnya, oksigen dari atmosfer ditransfer masuk ke perairan, karena biasanya


kandungan DO di perairan alami berada di bawah tingkat saturasi. Pada kondisi
tersebut terjadi difusi oksigen dari atmosfer ke dalam perairan. Secara umum,
laju reaerasi di perairan bergantung pada kecepatan aliran air dan kecepatan
angin, temperatur dan salinitas air, dan kedalaman perairan (Ji, 2008).
Fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya merupakan
sumber oksigen perairan, walaupun hanya terjadi siang hari. Biasanya
kandungan oksigen maksimum harian terjadi pada sore hari sebagai akibat dari
akumulasi produksi fotosintesis, sedangkan kandungan oksigen terendah terjadi
pada awal pagi hari sebagai akibat dari proses respirasi dan dekomposisi,
sementara fotosintesis tidak terjadi (Ji, 2008).
Dengan demikian sumber utama oksigen terlarut perairan adalah reaerasi,
fotosintesis dan masukan dari luar (external loads). Kemudian pengguna utama
atau penyebab utama hilangnya (sink) oksigen adalah dekomposisi atau oksidasi
bahan organik, nitrifikasi, respirasi, kebutuhan oksigen sedimen (SOD, sediment
oxygen demand), dan COD dari bahan-bahan tereduksi yang keluar dari sedimen
dasar (Ji, 2008).
Pada umumnya konsentrasi oksigen di sungai-sungai seluruh dunia
dilapor-kan antara 3 – 9 mg/L, walaupun hasil pengamatan ada yang teramati 0
mg/L (kondisi anoksia) hingga 19 mg/L (kondisi supersaturasi). Kondisi
supersaturasi disebabkan oleh bloom algae dan biasanya terjadi sore hari pada
musim panas di daerah beriklim sedang (Malina, 1996). Hasil pemantauan
kandungan oksigen di estuari Delaware, USA pada tahun 1997, di bagian
sungainya pernah mengalami kandungan oksigen di dekat dasar yang rendah
yaitu berkisar 2-5 mg/L, sementara di estuari Chesapeake Bay, USA kandungan
oksigen dekat dasar, baik di bagian pantai (teluk) maupun di bagian sungai dari
beberapa sungai yang bermuara di teluk ini, bahkan mencapai tingkat hipoksia,
yakni dengan kadar oksigen  2 mg/L (Ji, 2008). Kondisi hipoksia juga terjadi di
estuari Sungai Neuse, North Carolina, USA, yakni kadar oksigen  2 mg/L di
dekat dasar, yang umumnya terjadi pada musim panas dimana suhu perairan
lebih dari 20 oC hingga 30 oC (Buzzelli et al., 2002).
Mengenai istilah hipoksia (hypoxia), sebagian besar penulis
mendefinisikan sebagai kandungan oksigen rendah  2 mg/L sebagaimana
referensi di atas serta beberapa penulis lainnya (Lowery, 1998; Vaquer-Sunyer &
Duarte, 2008; Talke et al., 2009). Tetapi penulis atau referensi lain menyatakan
13

sebagai kandungan oksigen di bawah 2 – 3 mg/L (NOAA, 1998; US EPA, 1998;


ESA, 2002; Lee & Lwiza, 2008), dan ada juga yang menyatakan sebagai
kandungan oksigen terlarut kurang dari 3 mg/L (Welsh & Eller, 1991; Garnier et
al. 2001; Dai et al. 2006). Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan hipoksia adalah kandungan oksigen 3 mg/L atau lebih rendah
( 3 mg/L).
Kandungan oksigen yang rendah juga dijumpai di beberapa estuari di
Indonesia. Pengamatan Kaban et al. (2010) pada tahun 2009 di beberapa estuari
di Pantai Timur Sumatera (Batanghari, Indragiri, Siak, Kampar, Rokan dan Musi)
mendapati bahwa kadar oksigen yang paling rendah adalah di estuari (muara)
Sungai Siak yakni sekitar 1,56 mg/L. Sedangkan di estuari Kaligarang,
Semarang, kadar oksigen terlarutnya juga tergolong rendah yakni berkisar 2,46 –
3,26 mg/L (PPLH UNDIP, 2001 dalam Darwati, 2003). Di muara Cengkareng
Drain, Teluk Jakarta, hasil pengamatan bulan Agustus 1996 yang terendah
mencapai 2,2 mg/L, sedangkan pengamatan Desember 1996 bahkan lebih
rendah lagi hingga 1,4 mg/L (Rochyatun & Susana, 1998). Berdasarkan hasil
penelitian tahun 1992/1993 kandungan oksigen terendah di muara Bengawan
Solo tercatat mencapai 1,45 mg/L, sedangkan di muara Kali Porong mencapai
1,41 mg/L dan sekitar 1,79 mg/L di pengamatan tahun berikutnya (Rochyatun,
1994; Rochyatun, 1996).

2.3. Konsepsi BOD


Biological atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) adalah suatu ukuran
yang menggambarkan jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba
yang terkandung dalam air untuk mengoksidasi secara biokimia bahan organik
yang ada (Metcalf & Eddy, 1991; Malina, 1996). Berdasarkan National Water
Council, Inggris (1978, in Wood & Sheldon, 1980), batasan nilai BOD untuk
sungai kelas 1A, yakni sungai yang kualitas airnya paling baik dan dapat
digunakan untuk bahan baku air minum, adalah tidak lebih dari 3 mg/L.
Sedangkan untuk sungai kelas 2 yang berkualitas sedang dan hanya dapat
digunakan untuk air minum setelah mengalami pengolahan tingkat lanjut, batasan
nilai BOD sungai adalah tidak lebih dari 9 mg/L, dengan nilai rata-rata kurang dari
5 mg/L. Pada sungai kelas 3 yang dianggap telah terpolusi dan tidak ada ikan,
batasan nilai BOD sungai adalah tidak lebih dari 17 mg/L.
14

Konsepsi kinetika BOD dimulai dari studi yang dilakukan oleh Streeter dan
Phelps pada tahun 1925 dan Theriault pada tahun 1927. Persamaan proses ok-
sidasi didasarkan atas reaksi kimia orde pertama sederhana dan tidak bolak-
balik, dengan asumsi bahwa kecepatan penguraian sebanding dengan bahan
organik yang ada (Mara, 1976; France & Thornley, 1984). Jika L (mg/L)
menyatakan BOD pada waktu t (hari) dan k merupakan konstanta kecepatan
reaksi atau konstanta degradasi (hari-1), maka model matematikanya dapat
dituliskan sebagai berikut (Mara, 1976; France & Thornley, 1984; Jorgensen,
1988; McGhee, 1991; Metcalf & Eddy, 1991; Ji, 2008):
dL = -k L ....................................................................... (1.1)
dt
Integrasi antara limit dari t = 0 dan t = t akan menghasilkan persamaan:
Lt = L . e- k.t ......................................................................... (1.2)
Lt adalah nilai BOD yang tersisa di perairan pada waktu t, dan L adalah BOD
yang tersisa pada waktu t = 0 atau sama dengan nilai BOD secara keseluruhan
(ultimate BOD, BODu). Bila selisih antara L dan Lt adalah nilai BOD yang terjadi
selama selang waktu t, yang dilambangkan sebagai Yt, maka persamaan (1.2)
tersebut dapat dituliskan menjadi:
Yt = L - Lt = L (1- e- k.t) ......................................................... (1.3)

Jumlah bahan organik tersisa terhadap waktu bila diplot pada grafik akan
menghasilkan kurva parabola. Kurva parabola yang berlawanan akan diperoleh
bila jumlah bahan organik yang dioksidasi dibuatkan grafiknya terhadap waktu,
seperti pada Gambar 2.2 (Umaly & Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991).

Waktu, t

Gambar 2.2. Perubahan bahan organik selama berlangsungnya oksidasi biologis


di perairan pada kondisi aerobik (Metcalf & Eddy, 1991)
15

Konstanta laju reaksi k dapat bervariasi sehubungan dengan macam


bahan organik yang ada dan suhu inkubasi yang digunakan. Pada nilai BOD total
yang sama, penggunaan oksigen akan bervariasi terhadap waktu dan dengan
nilai k yang berbeda, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 (Metcalf &
Eddy, 1991). Hasil penelitian Polii (1994) menunjukkan bahwa nilai k pada suhu
inkubasi 30oC hampir dua kali nilai k pada suhu 20oC. Bila hanya BOD sampai
hari tertentu atau BODt yang bisa diukur, penentuan laju reaksi k dan nilai BOD
keseluruhan L (ultimate BOD) dapat dilakukan dengan antara lain pendekatan
metode kuadrat terkecil (least-squares method) atau metode Fujimoto (Metcalf &
Eddy, 1991).

Gambar 2.3. Pengaruh konstanta laju reaksi (k) pada BOD untuk nilai Lt tertentu
(Metcalf & Eddy, 1991)

2.4. Peranan Nitrogen dalam dekomposisi


Nitrogen (N) adalah faktor utama dalam dekomposisi bahan organik,
semakin besar persentase N dalam bahan organik semakin cepat bahan organik
terdekomposisi (Boyd, 1990; Web-1). Proses dekomposisi tidak dapat
berlangsung bila tidak ada nitrogen. Laju dekomposisi akan menjadi sangat
lambat dalam sistem yang defisiensi N. Agar cukup untuk mendukung proses
dekomposisi. Maka kandungan nitrogen dalam bahan organik setidaknya harus
lebih besar dari 1,5 %. Bila kurang dari persentase tersebut, maka proses
dekomposisi akan menggunakan nitrogen yang ada di lingkungan. Cara lain
yang sering digunakan dalam menyatakan kandungan nitrogen dalam bahan
organik adalah dengan perbandingan C/N (C:N ratio) (Boyd, 1990; Web-1).
16

Dengan demikian, semakin tinggi C:N ratio berarti semakin rendah persentase
nitrogennya.
Di estuari, C:N ratio digunakan untuk identifikasi sumber karbon organik
maupun distribusi serta proses degradasinya, melalui analisis C:N ratio dari
sedimen (Mishima et al., 1999; Rojas & Silva, 2005) maupun C:N ratio dari seston
atau bahan tersuspensi (Kerner & Edelkraut, 1995; Veritya, 2002; Amon & Meon,
2004), atau melalui analisis C:N ratio dari bahan tersuspensi maupun sedimen
(Matson & Brinson, 1990; Martinotti et al., 1997; Middelburg & Niewenhuize,
1998;).
Hasil penelitian Helland et al. (2003) berdasarkan data pemantauan
sepuluh sungai di Norwegia selama 1990 – 1998, menunjukkan bahwa
kandungan bahan organik sungai mencakup 40-80% dari bahan tersuspensi total.
Sebagian besar dari bahan organik tersebut adalah karbon organik terlarut (DOC)
dengan mole rasio C/N >25. Lebih lanjut hasil penelitian laboratoriumnya juga
menunjukkan bahwa lebih dari 90% DOC masih tetap terlarut dalam air atau tidak
mengendap, meskipun salinitas meningkat sampai 30%o.

2.5. Kapasitas asimilasi perairan


Kapasitas asimilasi perairan didefinisikan sebagai kemampuan
perairan dalam menerima limbah organik (dapat dinyatakan dalam nilai BOD)
untuk diasimilasi tanpa mengganggu kualitas air pada umumnya – dalam hal ini,
tingkat kadar oksigen perairan masih dalam batas kelayakan ekologis (Metcalf &
Eddy, 1991; http://www.webref.org/agriculture/a/assimilative_capacity.htm).
Lafont (2001) menyebut kapasitas asimilasi sebagai bagian dari
“pertahanan ekosistem” (“ecosystem deffense”, ED) bersama-sama dengan
semua proses penyimpanan (storage) dan kemampuan pulih diri (sef-purification)
perairan. Faktor ED tersebut sangat penting bagi pengkajian dampak dari
pencemaran dan bagi penyusunan suatu aturan pengelolaan dalam kerangka
konservasi dan restorasi ekologi.

2.6. Box model


“Box model” adalah suatu model khusus, yang merupakan suatu pemecahan
perkiraan-terbatas (finite-approximation) untuk persamaan kesetimbangan massa
pada model transport (Ward & Montague, 1996). Selanjutnya disebutkan bahwa
17

kelebihan “box model” dibanding model transport numerik yang lebih canggih
adalah:
 “Box model” sederhana secara konseptual, oleh karena itu pertimbangan
intuisi diperlukan;
 Dapat diformulasikan sebagai neraca akuntansi, sehingga memberikan
kerangka yang lebih mudah untuk mendeliniasi besaran dan distribusi dari
beban (muatan) dan konsentrasi yang tinggi, dan untuk menilai kecukupan
data lapangan;
 Perhitungan dalam “box model” lebih sederhana, cukup dengan
menggunakan kalkulator atau spreadsheet software.
Sedangkan kekurangan “box model” di antaranya adalah:
 sifat dan implikasi dari penyederhanaan asumsi bisa saja hilang (seperti
kondisi long-term steady state, atau perkiraan yang berbeda yang
digunakan dalam perhitungan transport); dan
 mungkin saja akan memberikan gambaran mengenai ketepatan yang
nampaknya masuk akal tetapi sebenarnya tidak sepenuhnya benar.

Menurut Peirson et al. (2002), “box model” adalah suatu pendekatan


kajian estuari dengan pembagian estuari dalam beberapa segmen. Untuk estuari
yang tercampur sempurna (well-mixed estuary), diasumsikan selalu terjadi
percampuran air setiap saat dalam segmen. Untuk estuari yang terstratifikasi,
pembagian segmen didasarkan pada stratifikasi hasil observasi.
Estuari dibagi menjadi beberapa segmen. Pada estuari yang tidak
terstratifikasi, satu seri kompartemen ditetapkan berdasarkan volume (V) pada
saat pasang dan saat surut. Pada tiap kompartemen disusun persamaan
kesetimbangan garam dengan pertimbangan pengaruh aliran air tawar di bagian
hulu estuari dan laut sebagai batas hilirnya. Sebaran salinitas dapat diperkirakan
berdasarkan laju percampuran dalam estuari yang telah ditetapkan (Peirson et
al. 2002). Pada estuari terstratifikasi, untuk setiap kompartemen, persamaan
kesetimbangan garam dapat dikembangkan sehingga memungkinkan laju
pergantian dan percampuran antara kompartemen yang berdekatan dapat
ditentukan (Peirson et al., 2002).
18

2.7. Perkembangan penelitian oksigen terlarut di estuari


Telah cukup banyak penelitian terkait dengan kandungan oksigen yang
rendah (hipoksia) di perairan estuari. Welsh & Eller (1991) mengamati
mekanisme yang mengendalikan kondisi rendah oksigen pada musim panas di
Selat Long Island Bagian Barat, New York. Penelitian dilakukan dengan
pengukuran profil fisik perairan (kedalaman, temperatur, salinitas, densitas dan
profil oksigen), serta pengukuran profil produksi biota dan penggunaan oksigen
melalui inkubasi botol terang – botol gelap di beberapa kedalaman perairan
selama 8 jam dan 24 jam. Periode kandungan oksigen rendah terutama
berkaitan dengan stratifikasi termal perairan yang bertahan dari pengaruh pasut
maupun angin sepanjang musim panas. Sementara di estuari lainnya seperti
Chesapeake Bay, Mobile Bay, dan Teluk Meksiko, stratifikasi sangat didominasi
oleh perbedaan salinitas secara vertikal dengan sedikit peran dari perbedaan
temperatur (Schroeder & Wiseman, 1988).
D’Avanzo & Kremer (1994) meneliti mengenai dinamika harian oksigen
dan kondisi anoksia (tanpa oksigen) di Waquoit Bay, Massachusetts, suatu
estuari yang eutrofik. Hasil penelitiannya di estuari sungai yang menerima beban
nutrien dari sistem septik perumahan padat ini menunjukkan terjadinya fuktuasi
harian oksigen yang cukup tajam di musim panas, dari 1-3 mg/L hingga 10-15
mg/L di bagian dasar perairan. Selain itu juga terjadi beberapa kali kondisi
anoksia yang sangat berkaitan dengan tingginya respirasi biota dasar (benthic
seaweed dan benthos lainnya) yang tidak dibarengi dengan penambahan
oksigen dari fotosintesis karena keterbatasan cahaya akibat cuaca mendung,
ditambah dengan faktor relatif tingginya temperatur air dan rendahnya angin
yang tidak cukup kuat mencampurkan kolom air akibat stratifikasi densitas yang
terjadi.
Kerner (2000) mengamati interaksi antara defisiensi oksigen dan proses
mikrobial heterotropik di estuari Elbe, Jerman berdasarkan data oksigen terlarut,
BOD, biomas fitoplankton dari tahun 1982 hingga 1994. Selain itu juga dilakukan
observasi tahun 1994 dan 1995 untuk mendapatkan data bahan partikel
tersuspensi, pengamatan proses mikrobial heterotrofik (respirasi dan produksi
bahan organik terlarut) di laboratorium; kelimpahan bakteri dan komposisi
fitoplankton. Hasil menunjukkan bahwa kandungan oksigen pada musim-musim
hangat dikendalikan oleh konsumsi oksigen mikrobial dan degradasi bahan
organik dari bagian hulu yang terutama berupa fitoplankton. Hasil pengamatan
19

laboratorium menunjukkan bahwa pembentukan agregat seston meningkatkan


konsumsi oksigen hingga 1000 kali lipat. Kemudian disimpulkan bahwa
penurunan kadar oksigen di estuari Elbe menyebabkan peningkatan proses-
proses heterotropik dalam bahan-bahan seston yang kemudian menyebabkan
penurunan lebih lanjut kandungan oksigen perairan.
Garnier et al. (2001) melakukan studi mengenai neraca (budget) oksigen
dan karbon pada saat debit rendah di bagian hilir sungai dan estuari Sungai
Seine. Estuari sungai yang melalui kota Paris ini meliputi hilir sungai sepanjang
sekitar 27 km di bagian muara, dan terjadi defisit oksigen (hipoksia) setiap musim
panas. Pendekatan perhitungan neraca oksigen didasarkan atas perbedaan
antara jumlah oksigen yang mengalir masuk (inflow) ke suatu wilayah perairan
dan perubahan (flux) pada bagian yang keluar, dengan tidak melibatkan reaerasi
dari permukaan. Oksigen inflow adalah jumlah dari flux di bagian inlet, termasuk
anak-anak sungai dan buangan air limbah yang masuk, dan reaerasi pada dam
atau pintu air berdasarkan formula perbedaan kadar oksigen sebelum dan
sesudah pintu air. Neraca karbon didasarkan atas rasio produksi autotrof (P)
dan respirasi (gross respiration, R) dari bahan organik. P dihitung dari jumlah
produksi primer bersih fitoplankton dan produksi autotrof dari bakteri nitifikasi. R
dihitung dari produksi biomassa bakteri dibagi hasil pertumbuhan, dan konsumsi
oksigen oleh benthos heterotrof (pengukuran langsung pada tabung yang
dipasang di dasar perairan). Parameter yang diamati meliputi oksigen, fosfat,
silika, amonium, nitrat, TSS (total suspended solids), POC (particulate organic
carbon), DOC (dissolved organic carbon), biodegradable DOC (BDOC), klorofil a,
fotosintesis, koefisien peredupan (k), produksi dan kelimpahan bakteri, dan
nitrifikasi. Hasil studi menyimpulkan, bahwa yang berpengaruh besar pada
Neraca oksigen di estuari Seine bukannya stratifikasi ataupun dekomposisi
bahan organik sebagaimana di banyak estuari lain, tetapi terutama dipengaruhi
oleh proses nitrifikasi maupun respirasi (bakteri, benthos, fitoplankton). Faktor
nitrifikasi yang berperan besar terkait dengan dampak dari buangan domestik
maupun industri pada wilayah dengan jumlah penduduk yang padat.
Borsuk et al. (2001) mengkaji pemodelan dinamika oksigen di estuari yang
terstratifikasi secara sesaat-sesaat (intermittent), yaitu estuari Sungai Neuse di
North Carolina. Pemodelan dengan GAM (generalized additive model) dilakukan
berdasarkan data pemantauan mingguan/dua mingguan selama 10 tahun,
terutama DO, temperatur, salinitas di bagian permukaan dan dasar perairan.
20

Model dapat menjelaskan sekitar 79% dari variasi DO baik secara spasial
maupun periodik. Temperatur perairan yang rendah (15oC atau lebih) hanya
akan menyebabkan kadar oksigen kurang dari 4 mg/L, sedangkan bila
temperatur perairan mencapai 20oC atau lebih maka dapat diperkirakan kadar
oksigen akan tinggal 2 mg/L atau kurang. Model juga dapat memprediksi jumlah
hari lamanya kondisi masing-masing hipoksia tersebut.
Daoji et al. (2002) menyajikan hasil penelitiannya di estuari Changjiang di
depan muara S. Yangtze, Laut China Timur yang zona hipoksianya mencapai
luasan 13700 km2 setebal sekitar 20 m di dasar perairan. Dalam dua dekade
terakhir, nilai DO minimum di wilayah beroksigen rendah di estuari ini telah
menurun dari 2,88 mg/L menjadi 1 mg/L. Di zona hipoksia, penggunaan oksigen
yang nampak (apparent oxygen utilization, AOU) mencapai 5,8 mg/L. Kondisi
haloklin di atas lapisan zona hipoksia sebagai akibat dari percampuran air dari
Changjiang dan arus hangat Taiwan (Taiwan Warm Current), serta tingginya
konsentrasi partikel karbon organik (POC) dan partikel nitrogen organik (PON)
diduga merupakan faktor utama penyebab terjadinya zona hipoksia.
Berdasarkan rasio POC:PON dan sebaran konsentrasi nutrien di zona hipoksia,
dapat disimpulkan bahwa defisiensi oksigen di bagian dasar selama musim
panas di Laut China Timur sekitar muara Chanjiang ini sebagai akibat dari
produksi organik karbon yang meningkat karena nutrien dan bahan organik dari
sungai, yang diikuti oleh perubahan regenerasi nutrien di Laut China Timur.
Breitburg et al. (2003) mengamati pola dan pengaruh DO rendah terhadap
toleransi biota dan larva ikan di Sungai Patuxent, estuari di Chesapeake Bay
yang mengalami hipoksia musiman. Perairan dasar di banyak area mesohalin di
S. Patuxent pada umumnya mengandung DO kurang dari 50% tingkat
saturasinya selama musim panas. Konsentrasi DO sangat bervariasi secara
spasial maupun temporal, dan kondisi hipoksia yang hebat dan meluas, sudah
cukup untuk dapat mengubah pola sebaran organisme dan interaksi trofik di
perairan. Zooplankton bergelatin adalah biota yang paling toleran terhadap
hipoksia, sementara kebanyakan ikan-ikan yang penting secara ekologi dan
ekonomi adalah yang paling sensitif. Data lapangan, percobaan di laboratorium,
dan pemodelan menunjukkan bahwa DO yang rendah di estuari S. Patuxent
menyebabkan kondisi heterogen secara temporal dan spasial pada habitat,
mengurangi luasan dan kesesuaian habitat bagi ikan dan avertebrata, mengubah
21

interaksi jejaring makanan, dan berpengaruh pada kelangsungan hidup dari telur
hingga larva ikan dari jenis-jenis ikan yang penting secara ekologi.
Radwan et al. (2003) mengkaji pemodelan konseptual sederhana DO dan
BOD di sungai di Flanders, Belgia untuk tujuan pengelolaan yang dibandingkan
dengan model detail berdasarkan proses fisik perairan Mike 11 (suatu perangkat
lunak pemodelan sungai dari DHI Water & Environment). Dengan mem-
pertimbangkan sumber-sumber BOD dari kegiatan pertanian dan domestik,
konsentrasi DO dan nilai BOD di sungai dimodelkan dalam Mike 11. Model
memperhitungkan proses adveksi dan dispersi, serta proses-proses biologi dan
kimia penting utama. Kalibrasi model dilakukan berdasarkan data kualitas air
yang ada. Kalibrasi dari model yang lebih sederhana terhadap model detail Mike
11 ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil simulasi jangka panjang yang lebih
mudah yang dapat digunakan dalam analisis statistik. Akurasi dan kecepatan
model juga diperhatikan. Model konseptual sederhana ini 1800 kali lebih cepat
daripada model Mike 11, sementara akurasi kedua model hampir sama.
Bagaimanapun, pembuatan model sederhana ini hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan simulasi dengan model detail. Oleh karena itu, model detail dan
model sederhana harus digunakan secara komplementer (saling melengkapi).
Lehman et al. (2004) meneliti tentang sumber-sumber yang menggunakan
oksigen di bagian hilir sungai San Joaquin, California. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan pengukuran berbagai parameter kualitas air termasuk
DO, BOD (10 hari), CBOD (carbonaceus BOD, dengan penambahan inhibitor
nitrifikasi), NBOD (Nitrogeneus BOD), amonifikasi dari fitoplankton melalui
pengukuran klorofil a, amonia dan DO secara periodik pada sampel yang
diinkubasi dalam kondisi gelap selama 30 hari (20oC), dan inkubasi botol gelap
botol terang selama 24 jam untuk produksi primer plankton, serta pendekatan
model kesetimbangan massa untuk perhitungan muatan amonia. Hasil penelitian
mereka menunjukkan bahwa kondisi oksigen rendah yang berkepanjangan di
bagian sungai yang telah dipengaruhi pasang surut dan diperdalam untuk
keperluan pelayaran tersebut bukan disebabkan oleh adanya stratifikasi fisik,
tetapi terutama oleh kebutuhan oksigen untuk proses nitrifikasi baru kemudian
oleh kebutuhan oksigen untuk dekomposisi karbon (CBOD). Nitrifikasi tersebut
berkaitan dengan tingginya amonia terlarut yang berasal dari instalasi
pengolahan air limbah dan berbagai sumber tersebar (nonpoint sources) lainnya
yang ada di bagian lebih hulu.
22

Yin et al. (2004) menyajikan penelitiannya mengenai sebaran spasial dan


temporal oksigen terlarut di estuari S. Pearl, Hong Kong dan perairan pantai
sekitarnya. Berdasarkan data DO tahun 1980an dan data dari tahun 1990-2000,
diketahui bahwa kadar DO di perairan pantai pernah mencapai 3–<4 mg/L,
sedangkan di estuari S. Pearl nilai DO terendah mencapai <2,5 mg/L tetapi skala
besar hipoksia (<2 mg/L) tidak pernah terjadi. Sebaran spasial oksigen mungkin
dikendalikan oleh sirkulasi estuari, karena DO berkorelasi secara signifikan
dengan salinitas. Lebih lanjut, nampaknya sebaran oksigen di lapisan dasar
berkaitan dengan konsumsi oleh benthos dan adanya flux dari air beroksigen
rendah pada antarmuka sedimen-air yang tersuspensi kembali oleh proses
percampuran. Selain itu, adanya keterbatasan fosfor (PO4) diduga ikut berperan
dalam membatasi luasan zona hipoksia perairan. Diduga keterbataan fosfor juga
merupakan faktor pembatas bagi dekomposisi bakteri yang berperan penting
dalam konsumsi total oksigen di kolom air dan sedimen.
Zheng et al. (2004) mengembangkan model fisika tiga dimensi dan model
kualitas air untuk estuari Sungai Satilla, Georgia. Model ini melibatkan tidak
kurang dari 50 parameter dan konstanta hasil kajian beberapa peneliti maupun
berdasarkan persamaan baku yang telah ada, antara lain meliputi laju reaerasi,
laju deoksigenasi, laju nitrifikasi, denitrifikasi, laju respirasi fitoplankton, bakteri,
laju pertumbuhan, laju kematian fitoplankton, laju mineralisasi N, P, SOD
(sediment oxygen demand), penyesuaian temperatur untuk berbagai proses,
setengah konsentrasi saturasi untuk keterbatasan oksigen pada proses oksidasi
BOD, nitrifikasi, denitrifikasi, kecepatan pengendapan berbagai partikel, fraksi-
fraksi organik, rasio unsur, fluks N P di dasar, koefisien peredupan, intensitas
cahaya dan kedalaman lapisan benthos. Model dapat memprediksi konsentrasi
nutrien anorganik, klorofil a dan DO dengan baik. Hasil studi juga menunjukkan
bahwa rendahnya DO di estuari rawa payau ini terutama disebabkan oleh
tingginya kebutuhan oksigen sedimen (SOD) yang merupakan sifat alami dan
tidak terkait dengan kegiatan antropogenik. Selain proses nitrifikasi, proses
resuspensi sedimen akibat pasang-surut berperan penting dalam penyediaan
nutrien di kolom air.
Vallino et al. (2005) menduga produksi primer kotor (GPP), respirasi
komunitas (CR), dan produksi bersih ekosistem (NEP) di estuari dengan
percampuran sempurna (well mixed estuary) Sungai Parker, Pulm Island Sound,
Massachusetts, dengan menggunakan model adveksi-dispersi yang
23

dikombinasikan dengan pengukuran DO pada saat subuh dan petang. Hasil


penelitian menunjukkan nilai NEP yang negatif. Analisis neraca karbon
menunjukkan bahwa sekitar 71% input C berasal dari rawa-rawa pasang-surut,
27% berasal dari laut dan sisanya sekitar 2% berasal dari input daratan.
Gilbert et al. (2005) mengamati kandungan oksigen terlarut di bagian
dasar estuari St. Lawrence Hilir, yang pada periode 1984-2003 berkurang dari
125 umol/L (4 mg/L) menjadi 65 umol/L (2,08 mg/L), dan pada Juli 2003 sekitar
1300 km2 dasar laut estuari ini mengalami hipoksia (<62,5 umol/L). Hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa berkurangnya jumlah massa air yang lebih
dingin dan kaya oksigen dari arus Labrador (Labrador Current Water) –
sementara massa air dari arus Atlantik Utara bagian tengah (North Atlantic
Central Water) yang hangat dan miskin oksigen jadi lebih besar, dan
meningkatnya kebutuhan oksigen sedimen (SOD), merupakan faktor utama
penyebab menurunnya kandungan oksigen.
Lin et al. (2006) mengamati startifikasi vertikal DO di estuari tercampur
sebagian (partially-mixed estuary) yaitu di Cape Fear River Estuary (CFRE) dan
di Pamlico River Estuary (PRE), di North Carolina, berdasarkan dua parameter
utama yakni (1) kekuatan dari sirkulasi gravitasional estuari, dan (2) tingkat
kepentingan relatif antara BOD dan difusivitas vertikal. Hasil menunjukkan bahwa
di CFRE, meskipun terdapat stratifikai salinitas yang kuat, pada umumnya
konsentrasi DO cukup merata, hal ini terutama karena relatif lebih kuatnya
sirkulasi gravitasional estuari dan lebih tingginya inflow air tawar yang terjadi.
Sedangkan di PRE, stratifikasi vertikal DO berhubungan erat dengan stratifikasi
salinitas. Sirkulasi gravitasional dan aliran sungai di PRE seringkali sangat
lemah, dan stratifikasi DO sangat sensitif terhadap konsumsi BOD yang relatif
cepat dan diffusivitas vertikal yang dipengaruhi oleh stratifikasi salinitas.
Lee & Lwiza (2008) menganalisa variabilitas DO dasar di selat Long
Island, New York berdasarkan monitoring dari tahun 1995 hingga 2004, dalam
kaitannya dengan stratifikasi temperatur dan densitas. Faktor utama yang
mengendalikan DO dasar berubah secara spasial maupun temporal. Pada
musim-musim selain musim panas, tingkat DO di dasar sangat berkaitan dengan
temperatur, yang berarti keberadaan DO dikendalikan oleh kelarutan. Selama
musim panas, stratifikasi meningkat pada kondisi angin yang lemah dan DO
dasar menurun. Pada bagian paling barat yang sempit dan dangkal (<15 m), DO
dasar berkorelasi dengan stratifikasi densitas, di bagian ini DO terus menurun
24

selama musim panas sampai tingkat minimum ketika temperatur bagian dasar
sekitar 19-20 oC, sedangkan di bagian yang dalam (>20 m) hubungan antara
penurunan oksigen dengan stratifikasi tidak signifikan. Volume perairan yang
mengalami hipoksia berkorelasi lemah dengan kecepatan angin, total nitrogen
musim semi, klorofil a musim semi, dan debit sungai maksimum. Bloom yang
terjadi pada musim semi sepertinya menjadi sumber penting dari karbon organik
yang selanjutnya ini berkaitan dengan meningkatnya penggunaan oksigen untuk
proses biologi.
Sementara Talke et al. (2009) melakukan studi mengenai pengaruh debit
air tawar, kedalaman, dan sedimen tersuspensi terhadap penurunan oksigen di
estuari yang keruh (Ems estuary, Jerman) dengan menggunakan model rata-rata
pasang surut ideal (idealized model) berdasarkan penyederhanaan proses-
proses geometri, fisik dan biologi yang terjadi. Hasil studi menunjukkan bahwa
peningkatan kedalaman di perairan, penurunan debit air tawar, dan penurunan
percampuran, menggeser zona keruh ke arah hulu, meningkatkan sedimen
tersuspensi dan menurunkan DO.
Pena et al. (2010) mengevaluasi berbagai pendekatan pemodelan yang
digunakan dalam berbagai kajian tentang hipoksia di perairan pantai, dari mulai
box model sederhana hingga model sirkulasi tiga dimensi, baik model hipoksia
untuk sistem bentik maupun pelagik. Dalam sepuluh tahun terakhir, pemodelan
semi empiris lebih sering digunakan daripada pemodelan mekanistik (turbulensi,
stratifikasi) dalam mengkaji pengkayaan nutrien dan hubungannya dengan
hipoksia. Kemajuan dalam pemodelan gabungan fisik-ekologi-biogeokimia tiga-
dimensi telah dapat merepresentasikan interaksi fisika-biologi dalam sistem yang
lebih baik. Model ekologi generik (generic ecological model, GEM) yang
digunakan oleh Blauw et al. (2009) lebih dapat diaplikasikan pada berbagai
situasi perairan pantai dibanding pendekatan model lainnya yang pada umumnya
hanya baik bagi wilayah penelitian yang bersangkutan.
Analisis Sharp (2010) terhadap data 30 tahun hasil upaya riset
laboratoriumnya dan 40 tahun data monitoring dari berbagai lembaga mengenai
oksigen di Estuari Delaware, estuari yang sering mengalami hipoksia dan
anoksia sebelumnya, menghasilkan gambaran jangka panjang dari penurunan
dan peningkatan DO di wilayah urban dari estuari. Penyebab utama dari
penurunan DO sepertinya adalah masukan atau bahan-bahan allochtonous yang
berasal dari kegiatan perkotaan. Selain karena tingginya konsentrasi nutrien,
25

produksi alga yang berlebihan tidak berpengaruh pada DO baik dibagian tawar
maupun di bagian asin dari Estuari Delaware yang tercampur sempurna, dan itu
terjadi sampai sekarang. Muatan nutrien ke Estuari Delaware sangat tinggi,
meskipun tanda-tanda eutrofikasi tidak nampak jelas. Berdasarkan model
penggunaan oksigen yang nampak (apparent oxygen utilization, AOU), Teluk
Delaware rupanya pernah menghasilkan produksi primer yang tinggi lima puluh
tahun yang lalu, pada saat ketika konsentrasi nutrien setinggi atau lebih tinggi
dari sekarang, produksi kerang-kerangan dan ikan sepertinya juga lebih tinggi,
dan kandungan DO mendekati nilai saturasi. Penyebab memburuknya kualitas
estuari tidak hanya karena peningkatan muatan nutrien semata, tetapi
berkombinasi dengan faktor lainnya seperti perubahan atau perusakan habitat,
hilangnya tingkat trofik yang lebih tinggi, dan adanya kontaminan lain yang
menjadi penghambat dalam perkembangan ekosistem estuari.

2.8. Perairan estuari muara Cisadane


Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar di Jawa Barat yang
mengalir dari kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango di Kabupaten Bogor
melalui kota Bogor dan Tangerang sejauh sekitar 80 km dan bermuara di pantai
utara Jawa di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang (Gambar 2.4).
Daerah aliran sungainya seluas 1100 km2, yang mencakup dua propinsi yakni
Jawa Barat dan Banten. Debit aliran sungainya sangat berfluktuasi. Berdasarkan
data hasil pengukuran Stasiun Observasi Serpong dari tahun 1971 hingga 1997,
debit aliran terendah tercatat sebesar 2,93 m3/detik pada tahun 1991 dan debit
aliran tertinggi adalah sebesar 973,35 m3/detik pada tahun 1997. Dari data debit
aliran bulanan yang diamati dari tahun 1981 hingga 1997, debit aliran terendah
terjadi antara bulan Juli – September dengan debit aliran rata-rata kurang dari 25
m3/detik (TKCM, 2005).

Beberapa penelitian di estuari Cisadane dilakukan oleh LIPI pada periode


2003-2005 dengan hanya satu titik di bagian badan sungai di muara, satu titik
tepat di muara, dua titik di depan muara, dan 14 titik selebihnya di bagian
pantai/laut sekitarnya (Ruyitno et al., 2008). Kandungan klorofil-a di bagian
muara tergolong sedang dengan konsentrasi mencapai 20,23 mg/m3 (Afdal &
Riyono, 2008), kandungan total padatan tersuspensi (pengamatan Juni 2003)
berkisar 26-79 mg/L (Helfinalis, 2008), kekeruhan (pengamatan Juli dan Nopem-
26

ber 2005) berkisar 11,3 – 34,12 NTU (Nurhayati & Suyarso, 2008), pH berkisar
7,4 – 7,57, kadar fosfat 0,09 – 7,22 µg/L dan kadar nitrat 0,13 – 3,35 µg/L
(Muchtar & Simanjuntak, 2008). Sementara itu, kandungan total bakteri
produktivitas pada pengamatan Mei 2004, Juni 2003, dan September 2003
adalah 24,4 x 106 sel/ml, 46,96 x 106 sel/ml, dan 34,66 x 106 sel/ml (Kunarso et
al., 2008).

Gambar 2.4. Sungai Cisadane, yang mengalir dari Bogor hingga Tangerang dan
bermuara di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tangerang
(sumber: PUSARPEDAL, 2010)

Anda mungkin juga menyukai