Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

TEKNIK DAN MANAJEMEN SISTEM IRIGASI

PENDANAAN KEGIATAN LEMBAGA IRIGASI


DI TINGKAT PETANI

Disusun oleh :
Nama: Suci Ristiyana
NIM : 13/353693/PTP/1287

JURUSAN PASCASARJANA TEKNIK PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Air merupakan sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan oleh semua makhluk
yang ada di dunia ini. Pada saat ini, air adalah salah satu sumberdaya alam yang
semakin langka dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi disamping nilai sosial.
Ketersediaan sumber air yang semakin lama cenderung menurun karena berbagai
bentuk praktek pengelolaan alam yang tidak memperhatikan keseimbangan, tidak
sebanding dengan kebutuhan air yang semakin meningkat. Keadaan yang demikian
akan membawa pada kondisi ketidak seimbangan dalam penggunaan air, dengan kata
lain akan terjadi kompetisi dalam mendapatkan air. Oleh karenanya pengelolaan sumber
daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan
ekonomi secara selaras.
Pengguna air terbesar di Indonesia adalah pertanian yaitu untuk irigasi sehingga
pemerintah membuat kebijakan untuk mengatur pengelolaan irigasi. Peraturan
Pemerintah (PP) No 20/2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa pengembangan dan
pengelolaan irigasi dilakukan oleh petani dan pemerintah sesuai dengan arasnya. Di
tingkat jaringan utama, pengelolaan irigasi menjadi wewenang dan tanggung jawab
pemerintah sedangkan petani bertanggung jawab pada aras tersier. Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A) dibentuk sebagai lembaga pengelola irigasi di tingkat tersier.
Pembagian kewenangan pengelolaan irigasi di jaringan utama didasarkan pada
luasan irigasi dan wilayah administratif. Daerah irigasi dengan luas layanan di atas
3000 ha dan lintas provinsi menjadi wewenang pemerintah pusat, daerah irigasi dengan
luas layanan 1000 ha – 3000 ha dan lintas kabupaten/kota menjadi wewenang
pemerintah provinsi dan daerah irigasi dengan luas layanan di bawah 1000 ha dan
dalam satu kabupaten/kota menjadi wewenang pemerintah kabupaten/kota tersebut
(UU7/2004 Pasal 41).
Sesuai dengan kondisi hidrologis dan administratif di Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), Pemerintah DIY mengelola 36 buah DI lintas kabupaten/kota dan 7
buah DI utuh dalam kabupaten. Total luas oncoran DI yang dikelola oleh pemerintah
DIY adalah 17.112 ha. Di dalam pengelolaan irigasi, P3A dimungkinkan untuk
berpartisipasi di jaringan utama yaitu di tingkat primer dan sekunder bahkan bendung
meskipun kewenangan pengelolaan masih pada pemerintah sesuai peraturan
perundangan. Partisipasi P3A di tingkat jaringan utama dilakukan sesuai kebutuhan dan
kemampuan dan dengan persetujuan dari pemerintah sesuai dengan kewenangannya.

1.1 TUJUAN
Secara umum makalah ini bertujuan untuk mengetahui kegiatan pendanaan yang
dilakukan baik pemerintah ataupun organisasi di tingkat petani.

1.1 MANFAAT
Manfaat dari makalah ini adalah dapat diketahui pendanaan kegiatan yang telah
diberikan atau dilakukan sehingga tujuan yang sebelumnya di rencanakan bisa tercapai
dengan maksimal.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 GEOGRAFIS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa setingkat provinsi di
Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara
Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian tengah-
selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’- 8o12’ Lintang Selatan dan
110o00’ - 110o50’ Bujur Timur. Daerah Istimewa Yogyakarta berbatasan langsung
dengan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah disebelah Barat, Kabupaten Wonogiri,
Jawa Tengah disebelah Timur, Samudera Indonesia di sebelah Selatan, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah di Barat Laut, dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah disebelah
Timur Laut. Luas wilayahnya mencapai 3.185,80 km2 yang terdiri atas Kota Yogyakarta
32,50 km2, Kabupaten Sleman 574,82 km2, Kabupaten Bantul 506,85 km2, Kabupaten
Kulon Progo 586,27 km2, Kabupaten Gunung Kidul 1485,36 km2 (Anonim, 2013).

Gambar 3.1 Peta Administrasi DI. Yogyakarta

1.1 PERTANIAN
Faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kelangsungan budidaya komoditas
pertanian adalah ketersediaan lahan. Pemanfaatan lahan di DIY sebagian besar
digunakan untuk lahan pertanian dengan luas mencapai 225,87 ribu hektar atau 70,9
persen, terdiri dari lahan sawah sebesar 56,49 ribu hektar dan lahan bukan sawah
sebesar 169,69 ribu hektar. Sementara, lahan non lahan pertanian mencapai 92,69 ribu
hektar atau 29,1 persen dari luas DIY.
Berdasarkan wilayahnya, distribusi lahan sawah terbanyak terdapat di Kabupaten
Sleman dan Bantul dengan luas masing masing mencapai 22,79 ribu hektar dan 15,45
ribu hektar. Untuk lahan bukan sawah, distribusi terbesar terletak di Kabupaten
Gunungkidul dengan luas mencapai 104,12 ribu hektar. Di wilayah Gunungkidul lahan
yang digunakan untuk pertanian bukan sawah seluas 70%. Luas lahan pertanian dan
bukan pertanian di DIY pada tahun 2011 dijelaskan pada Tabel 3.1 (Anonim, 2013).

3
Tabel 3.1. Luas Lahan Pertanian dan Bukan Pertanian di DIY 2011 (ha)
Kabupaten/ Kota Lahan Pertanian Lahan non Jumlah
Sawah Lahan Kering pertanian
Kulonprogo 10.304 35.027 13.296 56.627
Bantul 15.453 13.442 21.790 50.685
Gunungkidul 7.865 104.117 36.554 148.536
Sleman 22.786 16.624 18.072 57.282
Yogyakarta 83 187 2.980 3.250
DIY 56.491 169.397 92.682 315.580
Sumber: yogyakarta.bps.go.id

1.1 ORGANISASI PETANI PEMAKAI AIR

5.3.5 Pengertian P3A


Wadah Perkumpulan Petani Pemakai Air merupakan himpunan bagi petani
pemakai air yang bersifat sosial-ekonomi, budaya, dan berwawasan lingkungan.
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) bertujuan mendayagunakan potensi air irigasi
yang tersedia di dalam petak tersier atau daerah irigasi pedesaan untuk kesejahteraan
masyarakat tani. P3A juga mempunyai batas-batas daerah kerja, yaitu petak tersier,
daerah irigasi pompa yang areal pelayanannya dipersamakan dengan petak tersier, dan
daerah irigasi pedesaan. P3A dibentuk dari, oleh, dan untuk petani pemakai air secara
demokratis, yang pengurus dan anggotanya terdiri dari unsur petani pemakai air.
(Rachman, 2009)
Tugas pokok P3A dapat dijelaskan lebih lanjut secara terperinci menjadi sebagai
berikut:
1. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan-perbaikan jaringan pengairan tersier
dan pedesaan.
2. Membuat peraturan dan ketentuan pebagian air pengairan serta pengamanan
jaringan-jaringan pengairan agar terhindar dari perusahaan si pembutuh air
pengairan yang hanya mementingkan diri sendiri.
3. Mengatasi dan menyelesaikan pelbagai masalah yang timbul dan terjadi
diantara para anggota petani pemakai air pengairan di dalam pengelolaan air
pengairan.
4. Mengumpulkan dan mengurus iuran pembiayaan bagi kegiatan eksploitasi
dan pemeliharaan bangunan dan jaringan pengairan dari para anggota petani
pemakai air pengairan yang telah mereka sepakati bersama pada musyawarah
di antara mereka.
5. Sebagai badan masyarakat mewujudkan peransertanya kepada pemerintah
melaksanakan kewajiban-kewajiban pemerintah dalam rangka kegiatan yang
menyangkut persoalan-persoalan pengairan dan pertanian.

5.3.5 Pengertian GP3A


Gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) adalah istilah umum untuk
wadah kelembagaan dari sejumlah P3A yang memanfaatkan fasilitas irigasi, yang
bersepakat bekerjasama dalam pengelolaan pada sebagian daerah irigasi atau pada
tingkat sekunder. Pembentukan GP3A dilakukan dengan cara : beberapa P3A yang
berlokasi pada sebagian daerah irigasi atau pada tingkat sekunder mengadakan
kesepakatan untuk membentuk GP3A, kepengurusan GP3A, serta menyusun rancangan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga GP3A.
4
Susunan organisasi GP3A terdiri dari pengurus dan anggota. Setiap anggota
GP3A berhak untuk dipilih dan memilih dalam kepengurusan serta berhak
mendapatkan pelayanan air irigasi yang adil sesuai dengan ketentuan pembagian air
yang berlaku. Sedangkan kewajiban anggota GP3A yaitu menjaga kelangsungan fungsi
sarana dan prasarana irigasi, wajib membayar iuran pengelolaan irigasi, dan
melaksanakan ketentuan – ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga serta keputusan – keputusan lain yang ditetapkan oleh rapat anggota.
Kinerja GP3A dapat ditingkatkan dengan adanya pemberdayaan GP3A,
Pemberdayaan yang dilakukan dapat menguatkan kelembagaan sampai berstatus badan
hukum dan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia di bidang organisasi,
teknis, dan keuangan untuk mengelola suatu sistem irigasi secara mandiri dalam upaya
keberlanjutan sistem irigasi. Peningkatan kinerja dengan pemberdayaan GP3A
dilakukan melalui rangkaian kegiatan. Berdasarkan kemitraan , transparansi,
demokratis, akuntabilitas, dan kepastian hukum sesuai dengan tingkat kepentingannya.
Dana yang diterima guna pemberdayaan GP3A dikelola secara otonom oleh GP3A
sendiri sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adapun dana GP3A
dapat bersumber dari : (Ambler, 1990)
1. Iuran pengelolaan irigasi yang berasal dari anggota P3A. Besarnya iuran,
pemungutan, pengelolaan dan pemanfaatannya ditetapkan oleh P3A dan
GP3A. Serta dikelola secara transparan dalam penyelenggaraan tugas dan
kewajibanya serta biaya pengelolaan irigasi.
2. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat
3. Usaha – usaha lain yang sah menurut hukum
4. Bantuan pemerintah dan pemerintah daerah (APBD atau APBN).
Bantuan ini diberikan atas dasar permintaan dan kesepakatan dengan
GP3A. Besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan pemerintah dan
pemerintah daerah dengan memperhatikan prinsip kemandirian GP3A. Tata
cara penyaluran dan pertanggungjawaban bantuan dari pemerintah dan
pemerintah daerah dilakukan sesuai dengan pedoman pendanan pengelolaan
irigasi yang berlaku.
1.1 PENDANAAN IRIGASI

Dana pembangunan, rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan irigasi berasal


dari Pemerintah (DAU, APBN), LOAN maupun dari masyarakat petani melalui IPAIR.
Sejak dilakukannya kegiatan PKPI, dana IPAIR dikumpukan dan dikelola sendiri oleh
GP3A untuk kepentingan pengelolaan irigasi di wilayah kerja GP3A dimaksud.
Sebelumnya dana ini masuk ke kas daerah terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan untuk
pengelolaan irigasi. Selain itu GP3A juga diberi kewenangan untuk mengelola dana-
dana stimulan baik dari DAU maupun dana LOAN melalui dana APBN. Dengan
dikeluarkannya Inpres No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan
Irigasi, beberapa kabupaten dipilih oleh Pemerintah Pusat yang bekerja sama dengan
World Bank (ADB) sebagai salah satu percontohan (pilot project) dalam kegiatan
Penyerahan Pengelolaan Irigasi.

Setiap tahun dilakukan evaluasi terhadap kinerja GP3A terhadap pengelolaan


irigasi di wilayah kerjanya oleh Pemerintah Daerah. Bila GP3A dinilai tidak mampu
melakukan kewajibannya, maka pengelolaan dapat diambil alih kembali oleh
Pemerintah Daerah. Untuk mendukung pelaksanaan PPI, Pemerintah Daerah
mengeluarkan Perda No. 17 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Irigasi, membentuk
Komisi Irigasi dengan SK Bupati Nomor 183 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi

5
Irigasi dan Sekretariat Tetap Komisi Irigasi yang anggotanya terdiri dari unsur
Pemerintah Daerah, IP3A, Akademisi, LSM dan tokoh masyarakat/ pemerhati bidang
keirigasian. Sistem irigasi sangat penting guna mengatur ketersediaan air bagi tanaman
padi. Tanaman padi merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air, khususnya
pada saat tumbuh mereka harus selalu tergenangi air. Dengan ketersediaan air yang
cukup melalui saluran irigasi, akan menghasilkan produktivitas padi lebih efektif
sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani.( Anonim, 2013).

Di dalam pengaturan ketersediaan air terlebih pada saluran sekunder tidak lepas
dengan peran serta Gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) didalamnya.
Karena itu diperlukan suatu pemberdayaan bagi GP3A guna meningkatkan kinerja
dalam pengelolaan ketersediaan air irigasi seperti yang telah diatur dan dijelaskan
dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2001 tentang Pedoman
Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air. Pemberdayaan masyarakat
merupakan suatu alternatif strategi pengelolaan pembangunan memprasyaratkan adanya
keterlibatan langsung masyarakat, baik secara perorangan sebagai warga masyarakat
maupun secara lembaga, dalam seluruh proses pengelolaan pembangunan, baik pada
tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi hasil-hasil pembangunan

Dinas Pertanian Provinsi DIY juga ikut serta dalam pemberdayaan kepada para
anggota P3A dimana sebagian besar adalah bantuan pendanaan dimana digunakan
sebagai peningkatan sarana dan prasarana pertanian di tingkat tersier. Berikut adalah
bantuan pendanaan yang diberikan oleh Dinas Pertanian bagi para anggota P3A dalam
bentuk bantuan sosial: (deptan, 2013)
1. Kabupaten Kulon Progo
a. Bantuan sosial pengembangan optimasi lahan mendukung tanaman pangan pada
kegiatan prasarana dan sarana pertanian.
b. Bantuan sosial pengembangan embung kegiatan konservasi air dan antisipasi
anomali iklim mendukung holtikultura pada kegiatan prasarana dan sarana
pertanian (2013).
c. Bantuan sosial untuk pengembangan jaringan irigasi mendukung tanaman pangan
pada prasarana dan sarana pertanian (2013).
d. Bantuan sosial pengembangan jaringan irigasi pada kegiatan sarana dan prasarana
(2012).
e. Bantuan sosial pembangunan embung/ dam parit mendukung tanaman pangan
pada kegiatan sarana dan prasarana pertanian (2012).
f. Bantuan sosial pembangunan embung/ dam parit mendukung tanaman
holtikultura pada kegiatan sarana dan prasarana pertanian (2012).
g. Bantuan sosial untuk pengelolaan irigasi partisipatif pada kegiatan sarana dan
prasarana pertanian (2012).
h. Bantuan sosial pembangunan embung/ dam parit kegiatan konservasi air dan
antisipasi anomali iklim mendukung tanaman pangan pada kegiatan sarana dan
prasarana pertanian (2012).
i. Bantuan sosial pengembangan optimasi lahan pendukung tanaman pangan pada
kegiatan sarana dan prasarana pertanian (2012).
j. Bantuan sosial kegiatan penyediaan sarana dan prasarana pertanian (2012).
k. Bantuan sosial kegiatan pengelolaan lahan dan air (2010).
2. Kabupaten Bantul
a. Bantuan sosial kegiatan sarana dan prasarana pertanian (2013).
b. Bantuan kegiatan perluasan areal dan pengelolaan lahan pertanian program
penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian (2012).
6
c. Bantuan kegiatan pengelolaaan air irigasi untuk pertanian program penyediaan
dan pengembangan prasarana dan sarana pertanian (2012).
d. Bantuan penyediaan dan perbaikan infrastruktur pertanian kegiatan pengelolaan
lahan dan air (2012).
e. Bantuan sosial kegiatan pengelola lahan dan air (2010).

3. Kabupaten Gunung Kidul


a. Bantuan sosial kegiatan sarana dan prasarana pertanian (2013).
b. Bantuan sosial kegiatan pengelolaan lahan dan air (2010).

4. Kabupaten Sleman
a. Kegiatan fasilitasi lahan pertanian berkelanjutan Dinas Pertanian (2010).
b. Kegiatan pengelolaan lahan program peningkatan ketahanan pangan (2010).
c. Rehabilitasi jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT), rehabilitasi jaringan
irigasi desa (JIDES), pengembangan irigasi permukaan, pengembangan sumur
resapan, pengelolaan irigasi partisipatif (PIP), Pembuatan embung/dam parit dan
pengarusutamaan gender kegiatan pengelolaan lahan dan air (2010).
d. Reklamasi lahan pasca bencana Merapi (2011).
e. Rehabilitasi infrastruktur dan fasilitas irigasi pertanian untuk korban letusan
merapi (2012).
f. Bantuan sosial kegiatan sarana dan prasarana ( 2013).

2.6 Aspek Finansial P3A


Di dalam kenyataanya suatu organisasi tidak dapat terlepas oleh aspek finansial
hal ini dikarenakan dalam pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang
berkesinambungan memerlukan suatu investasi untuk kegiatan operasi dan
pemeliharaan (OP) dan kegiatan rehabilitasi sistem irigasi. Kemandirian P3A dalam hal
finansial dapat dilihat dari faktor-faktor berikut ini, yaitu:
a. Mempunyai sumber dana terutama dari iuran.
b. Mempunyai usaha produktif.
c. Melaksanakan tertib administrasi keuangan.
Selain itu dalam pemenuhan kebutuhannya P3A juga melakukan iuran rutun yang
dibebankan kepada anggota anggotanya yang biassa disebut dengan IPAIR. Dimana
iuran ini diambil berdasarkan kebutuhan air yang digunakan atau juga bisa diganti
dengan 1kg gabah tiap hektar-nya.

BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
1. Pendanaan yang dilakukan oleh pemerintah biasanya diberikan dalam bentuk
bantuan sosial berupa dana pembangunan fasilitas penunjang pertanian
7
2. Pada tingkat P3A iuran rutin guna memperoleh pendanaan bagi organisasi
biasanya dilakukan dengan iuran rutin yang biasa disebut IPAIR
3. Pengelolaan dana yang berasal dari pemerintah diserahkan langsung kepada
organisasi petani baik GP3A atau P3A dalam pelaksanaannya.
4. Dana swadaya yang berasal dari IPAIR digunakan dalam pelaksanaan
pemeliharaan jaringan bila terjadi kerusakan kerusakan dalam skala kecil.
5. GP3A juga diberi kewenangan untuk mengelola dana-dana stimulan baik dari
DAU maupun dana LOAN melalui dana APBN

3.2 SARAN
Pemerintah telah secara baik memberikan pendanaan kepada P3A namun
alangkah lebih baik jika ada suatu pendampingan dalam pengelolaannya sehingga dana
yang dikucurkan lebih mengena dan dapat termangfaatkan dengan baik. Selain itu
masyarakat juga harus diberikan pengarahan secara mendalam mengenai operasi dan
pemeliharaan saluran irigasi, sehingga dapat meminimalisir kerusakan kerusakan yang
ada di saluran hal ini juga bisa menjadi salah satu cara penghematan dana dalam
perbaikan saluran irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
Ambler, J.S. 1990. Irigasi di Indonesia : Dinamika Kelembagaan Petani. LP3ES.Jakarta.

Anonim. 2013. Pengukuhan Tagana DIY. http://goo.gl/xDh9Z4. Diakses tanggal 10


November 2013.

8
Anonim. 2013. Peraturan Daerah Kabupaten Sragen. http://goo.gl/eho4q2. Diakses pada
tanggal 12 November 2013.

Anonim. 2013. Sistem Irigasi di Kabupaten Kulon Progo.http://goo.gl/mmXEyo.Diakses


pada tanggal 12 November 2013.

Arif, Supadmo Sigit. 2008.Konsep Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.


Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Keputusan Menteri. 2005. Keputusan Menteri PU No 498/KPTS/M/2005 Tentang Penguatan


Masyarakat Petani Pemakai Air dalam Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Badan
Litbang PU. Jakarta.

Rachman, Benny. 2009. Kebijakan Sistem Kelembagaan Pengelolaan Irigasi. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai