Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung Kongestif


2.1.1 Definisi
Menurut guideline dari American college of cardiology foundation (ACCF) /
American heart association (AHA), gagal jantung adalah sindrom klinis yang
kompleks karena gangguan struktural atau fungsional dari pengisian ventrikel dan
juga ejeksi darah yang menimbulkan manifestasi klinis dari gagal jantung yaitu sesak
nafas, fatigue, edema, dan ronki. (Figueroa M & Peters J, 2006)
Gagal jantung dikategorikan menjadi dua bagian yaitu gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang menurun (gagal jantung sistolik) dan gagal jantung dengan fraksi
ejeksi yang tetap (gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik ditandai dengan
fraksi ejeksi yang menurun yaitu < 50 %, dan dapat disebabkan oleh beberapa
penyakit seperti penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit katup jantung, maupun
kardiomiopati. Gagal jantung diastolik terjadi pada 40-50% kasus, lebih sering terjadi
pada perempuan, dan insidensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia.
Segala penyakit yang menyebabkan gagal jantung sistolik juga dapat menyebabkan
gagal jantung diastolik (Pazos López P et all, 2011).

2.1.2 Epidemiologi
Di seluruh dunia lebih dari 20 juta orang terkena gagal jantung. Prevalensi gagal
jantung pada orang dewasa di Negara berkembang sebesar 2%. Prevalensi gagal
jantung ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan memengaruhi 6-10%
usia diatas 65 tahun. Insidensi gagal jantung ini lebih banyak terjadi pada pria
dibandingkan wanita karena ekspektansi hidup wanita yang lebih panjang. Di United
States, sebanyak 5 juta penduduk terkena penyakit gagal jantung, dan sebagian besar
mengenai orang tua dengan presentase 80% mengenai usia di atas 65 tahun (Pazos
López P et all, 2011).
Dulunya gagal jantung lebih sering terjadi pada orang dengan left ventricural
ejection faction (LVEF) yang menurun. Namun studi epidemiologi, menunjukan
bahwa hampir setengah pasien yang menderita gagal jantung memiliki LVEF yang
normal (LVEF ≥ 50%) (Yancy CW et al, 2013).

9
2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Di Negara-negara industri, Coronary Artery Disease (CAD) merupakan
penyebab utama pada 60-75% kasus gagal jantung. Hipertensi merupakan penyebab
timbulnya gagal jantung pada 75% pasien. CAD, hipertensi, dan juga diabetes mellitus
merupakan faktor resiko tersering yang menyebabkan gagal jantung (Yancy CW et al,
2013).
Faktor predisposisi terjadinya gagal jantung yaitu hipertensi, penyakit jantung
iskemik, usia tua, obesitas, diabetes, gagal ginjal, penyakit katub jantung (Ponikowski
Piotr, 2016).
Penyakit jantung koroner meengakibatkan disfungsi miokardium karena
terganggunya aliran darah ke otot jantung yang menyebabkan terjadinya hipoksia dan
asidosis karena penumpukan asam laktat . Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan pada miokardium dan
infark miokardium akan menyebabkan kontraktilitas menurun sehingga menyebabkan
terjadinya gagal jantung. Hipertensi baik sistemik maupun pulmonal dapat
meningkatkan beban kerja jantung (afterload) dan pada akhirnya dapat menyebabkan
hipertrofi otot jantung (Mahmood SS et all, 2014).
Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung (Yancy CW et al, 2013)
Ejeksi fraksi menurun (<40%) Ejeksi fraksi tetap High- output stages
(>40-50%)
Penyakit jantung koroner Hipertrofi patologis Kelainan metabolik
(CAD): - Primer (kardiomiopati - Tirotoksikosis
hipertrofi) Kelainan nutrisi (beriberi)
-Infark miokard
- Sekunder (hipertensi) Peningkatan kebutuhan aliran
-Iskemia miokard
darah
Kardiomiopati restriktif
Peningkatan tekanan kronis - Anemia kronis
- Kelainan infiltratif
-Hipertensi
(amiloidosis)
-Penyakit katup obstruktif
- Storage disease
(hemochromatosis)
Kelebihan cairan kronis
Fibrosis
-Regurgitant valvular
disease
-Intracardiac (left-to-
right) shunting
-Extracardiac shunting

Penyakit paru kronik


-Cor pulmonale
-Kelainan pembuluh
darah paru

10
Gangguan irama jantung
-Bradiaritmia kronis
-Takiaritmia kronis

2.1.4 Patofisiologi Gagal Jantung


Gagal jantung dimulai ketika terjadi penurunan kapasitas jantung dalam
memompa darah sehingga tidak dapat melakukan fungsinya untuk menghantarkan
oksigen yang adekuat. Miokard infark merupakan penyebab tersering gagal jantung
sistolik, sedangkan hipertensi akan menyebabkan gagal jantung diastolik dan sistolik
(Pazos López P et all, 2011).
Ketika memompa darah dari ventrikel, jumlah darah yang dipompa keluar
disebut dengan stroke volume (SV). Volume darah yang dipompa dari jantung selama
1 menit disebut dengan cardiac output (CO). CO ditentukan oleh SV dan frekuensi
selama 1 menit. SV dipengaruhi oleh 3 komponen yaitu preload, kontraktilitas, dan
afterload (Ponikowski Piotr, 2016).
Preload merupakan volume darah yang masuk ke dalam ventrikel kiri yang
harus dipompa oleh ventrikel. Apabila terjadi peningkatan preload, maka terjadi
peregangan pada miokardium. Selain itu lumen dari arteri koronaria akan tertutup,
sehingga aliran darah ke miokardium akan berkurang dan terjadi iskemia miokard.
Kedua hal tersebut akan menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung. Beberapa hal
yang dapat meningkatkan preload yaitu pemberian cairan intravena yang berlebihan,
gagal ginjal, dan kelainan katup mitral (Ponikowski Piotr, 2016).
Komponen kedua adalah kontraktilitas jantung, merupakan kekuatan kontraksi
jantung untuk memompa darah keluar. Penyakit miokard infark dan kardiomiopati
dapat menurunkan kontraktilitas jantung (Ponikowski Piotr, 2016).
Afterload merupakan resistensi yang harus dilawan oleh jantung untuk
memompa darah keluar. Salah satu hal yang dapat meningkatkan afterload yaitu
hipertensi. Dalam keadaan hipertensi, resistensi pembuluh darah perifer akan
meningkat, sehingga resistensi ejeksi ventrikel juga akan meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras untuk memompa darah keluar. Pada
akhirnya kontraktilitas jantung akan menurun (Ponikowski Piotr, 2016).
Gagal jantung merupakan penyakit progresif dimana terjadi kerusakan pada otot
jantung yang menyebabkan jantung tidak dapat berkontraksi secara normal. Setelah
terjadi penurunan dalam kemampuan jantung memompa darah, banyak pasien yang

11
belum menunjukan gejala (asimptomatik). Seiring dengan berjalannya waktu, gejala
akan mulai terlihat (Yancy CW et al, 2013).
Apabila terjadi penurunan kontraktilitas jantung dimana terjadi penurunan CO
dan tekanan sistolik, serta perfusi ke ginjal yang menurun, tubuh akan mengaktivasi
mekanisme kompensasi untuk mengatasi hal tersebut. Sistem saraf simpatis, sistem
renin angiotensin aldosteron (RAAS), dan sitokin akan teraktivasi untuk
mempertahankan fungsi jantung dalam keadaan homeostasis yang seimbang, sehingga
gejala masih asimptomatik (Yancy CW et al, 2013).
Ketika terjadi penurunan CO, terjadi peningkatan sinyal ke saraf simpatik dan
pelepasan arginine vasopressin (AVP/ADH) dari pituitari. Hormon ADH merupakan
vasokonstriktor yang meningkatkan permeabilitas dari tubulus kolektivus ginjal. Hal
tersebut menyebabkan peningkatan reabsorbsi air (Ponikowski Piotr, 2016).
RAAS yang teraktivasi akan menyebabkan retensi air dan garam yang
menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit, kematian
sel miosit, dan fibrosis miokardium. Sistem saraf simpatis yang teraktivasi akan
menstimulasi ginjal untuk melepaskan renin. Renin akan meningkatkan pengeluaran
angiotensis II dan aldosteron yang menyebabkan retensi Na dan air yang pada
akhirnya akan menyebabka peningkatan tekanan darah. Mekanisme tersebut bertujuan
untuk mempertahankan tekanan darah dan berusaha memperbaiki perfusi ke organ-
organ vital (Ponikowski Piotr, 2016).
RAAS dan aktivasi saraf simpatis akan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi.
Akibatnya terjadi peningkatan afterload, tekanan darah, dan peningkatan nadi. Seiring
dengan berjalannya waktu, tubuh tidak dapat lagi melakukan kompensasi, sehingga
terjadi perubahan struktur ventrikel (ventricle remodeling) yaitu hipertrofi dan dilatasi
ventrikel, kontraktilitas jantung yang terganggu. Pada fase ini gejala simptomatik
mulai terlihat (Ponikowski Piotr, 2016).
Pada fase asimptomatik, mekanisme kompensasi yang aktif akan
mempertahankan fungsi ventrikel kiri sehingga masih dapat berfungsi normal selama
beberapa bulan hingga tahun. Mekanisme kompensasi yang pertama adalah aktivasi
dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf adrenergik yang
akan mempertahankan CO dengan meningkatkan retensi garam dan air. Mekanisme
yang kedua adalah peningkatan kontraktilitas miokardium dengan mengaktifkan
molekul vasodilator yaitu atrial natriuretic peptides (ANP) dan brain natriuretic
peptides (BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan nitric oxide (NO). Vasodilator

12
ini akan memperlebar pembuluh darah sehingga mengurangi beban jantung dalam
memompa darah (Ponikowski Piotr, 2016).
Perubahan dalam gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun yaitu
hipertofi miosit, perubahan kontraktilitas dari miosit, berkurangnya miosit secara
progresif karena nekrosis, apoktosis, dan kematian sel, desensitisasi β-adrenergik,
metabolisme miokardium yang abnormal dan reorganisasi matriks ekstraseluler di
sekitar miosit sehingga menyebabkan gangguan miosit dalam berkontraksi. Hal
tersebut menyebabkan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (Yancy CW
et al, 2013).
Relaksasi miokardium membutuhkan ATP. Namun pada keadaan iskemik,
konsentrasi ATP akan berkurang sehingga menyebabkan relaksasi miokardium yang
lebih lambat. Keadaan hipertrofi maupun fibrosis menyebabkan pengisian ventrikel
kiri terhambat karena berkurangnya compliance dari ventrikel kiri, sementara tekanan
di ventrikel kiri akan meningkat ketika akhir diastolik. Peningkatan frekuensi jantung
akan mempersingkat waktu pengisian diastolik yang menyebabkan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan tekanan di kapiler
paru meningkat sehingga menimbulkan sesak nafas pada pasien dengan disfungsi
diastolik. gangguan dalam relaksasi miokardium dan peningkatan kolagen di
miokardium menyebabkan gagal jantung diastolik (Yancy CW et al, 2013).

Left ventricular remodeling


Remodeling dari ventrikel ini berupa perubahan dalam massa, volume, bentuk,
dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah kerusakan pada jantung atau keadaan
hemodinamik jantung yang abnormal. Peningkatan dari volume end-diastolic ventrikel
kiri mengakibatkan dinding dari ventrikel kiri menipis dan ventrikel kiri berdilatasi.
Dinding ventrikel yang menipis seiring dengan meningkatnya afterload dikarenakan
dilatasi ventrikel akan mengakibatkan afterload mismatch yang berakibat pada
penurunan stroke volume lebih lanjut. Peningkatan dilatasi dari ventrikel kiri akan
mengakibatkan otot papilaris untuk menempel sehingga menyebabkan gangguan
katub mitralis dan mitral regurgitasi. Oleh karena itu, semakin banyak cairan overload
di ventrikel (Yancy CW et al, 2013).
Perubahan massa ventrikel, komposisi, dan volume menyebabkan terjadinya
perubahan geometri secara keseluruhan menjadi lebih bulat dan tidak berbentuk elips.
Perubahan geometrik ini pada awalnya bersifat kompensasi karena jantung gagal

13
membesar untuk meningkatkan volume ventrikel. Dinding otot jantung juga menjadi
menebal dan memberat yang pada awalnya digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas. Hipertrofi dari miokard ini diperantarai oleh Angiotensin II,
Katekolamin dan menghasilkan peningkatan kebutuhan energi dan oksigen miokard7.
Diperlukan jumlah ATP yang meningkat dengan bertambahnya ketebalan dari
miokard, saat persediaan ATP tidak mencukupi maka mulai terjadi gangguan daya
kontraktilitas dan perubahan struktur kardiomiosit. Penumpukan kolagen diantara
kardiomiosit juga dapat terjadi dan menyebabkan gangguan kontraktibilitas8.
Kelemahan kontraktibilitas yang terjadi karena peningkatan resistensi vaskular disebut
sebagai Hypertensive Hypertrophic Cardiomyopathy (Yancy CW et al, 2013).

2.1.5 Manifestasi klinis


Berdasarkan kriteria Framingham, diagnosis pasti dari gagal jantung kongestif yaitu
apabila terdapat minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor :

Tabel 2. Kriteria Framingham (Lilly Leonard S,2011)


Kriteria mayor : Kriteria minor :
- Paroksismal nocturnal dispnea (PND) atau - Edema pergelangan kaki bilateral
ortopnea - Batuk malam hari
- Distensi vena jugularis - Sesak pada aktivitas sehari-hari
- Ronki paru - Hepatomegali
- Gambaran ukuran jantung yang meningkat - Gambaran efusi pleura pada X-ray
pada X-ray - Penurunan 1/3 kapasitas vital
- Gambaran edema paru akut pada X-ray - Takikardi (>120 x / menit)
- S3 Gallop - Gambaran pelebaran pembuluh darah paru
- Tekanan vena > 16 cm H2O pada X-ray
- Hepatojugular refluks
- Edema paru, kongesti visceral, kardiomegali
- Penurunan berat badan 10 lbs / 5 hari

2.1.6 Klasifikasi
Berikut ini adalah klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional New York Heart
Association (NYHA) (Siswanto Bambang B, 2015) :
- Kelas I : tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak napas.
- Kelas II : terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan ketika istirahat,
namun melakukan aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak napas.

14
- Kelas III : terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan ketika
istirahat, tetapi aktivitas ringan saja dapat menimbulkan keletihan, palpitasi, atau
sesak napas.
- Kelas IV : tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan. Gejala gagal
jantung dapat muncul bahkan ketika istirahat. Apabila melakukan aktivitas fisik, rasa
tidak nyaman semakin besar.

2.1.7 Diagnosis CHF


Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh harus dilakukan
untuk menemukan penyebab gagal jantung dan faktor risiko yang mempercepat
progresivitas dari penyakit gagal jantung. Melalui anamnesis, ditanyakan apa yang
menjadi penyebab dari gagal jantungnya, faktor risiko apa saja yang dapat
menyebabkan gagal jantung (CAD, hipertensi, penggunaan obat diuretik), onset
penyakit, faktor yang memperberat dan memperingan sesak dan kelelahan, kriteria
mayor dan minor gagal jantung (ortopnea), apakah ada nyeri dada, penurunan /
peningkatan berat badan, pembengkakan pada tungkai, sesak pada malam hari yang
menyebabkan gangguan tidur, riwayat penggunaan obat-obatan, dan diet sehari-hari
(natrium dan asupan cairan) (Yancy Clyde W et all, 2017).
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum, kesadaran, dan tanda-
tanda vital. Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh dari kepala dan wajah,
leher, paru, jantung, abdomen, punggung, hingga ekstremitas. Pengukuran tinggi
badan dan berat badan juga penting untuk menilai BMI karena obesitas menjadi salah
satu faktor risiko terjadinya gagal jantung. Pemeriksaan tekanan vena jugularis
penting dilakukan, karena apabila terdapat distensi vena jugularis menandakan bahwa
ada aliran balik cairan dari atrium kanan (Yancy Clyde W et all, 2017).
Pada pemeriksaan fisik paru, ronki jarang ditemukan pada gagal jantung kronik
walaupun terdapat edema paru yang nyata. Pada pemeriksaan fisik jantung, mulai dari
inspeksi, perkusi batas jantung untuk melihat apakah ada pembesaran jantung
(hipertrofi ventrikel), kemudian mendengarkan apakah ada bunyi jantung tambahan
dan murmur. Adanya bunyi jantung tambahan (s3) merupakan tanda bahwa
prognosisnya akan lebih buruk, dan murmur merupakan indikasi bahwa terdapat
penyakit katup jantung (Yancy Clyde W et all, 2017).
Pada pemeriksaan abdomen, apabila terdapat hepatomegali atau asites
menandakan bahwa ada cairan yang berlebih. Pemeriksaan fisik pada ekstremitas

15
dilakukan untuk mencari adanya edema dan menilai temperatur pada ekstremitas
bawah. Edema menandakan adanya kelebihan cairan dan akral yang dingin pada
ekstremitas menjadi pertanda bahwa CO tidak adekuat (Yancy Clyde W et all, 2017).
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan biomarker BNP (B-
type natriuretic peptide) dan NT-proBNP (N-terminal pro B-type natriuretic peptide),
dimana keduanya merupakan biomarker untuk mendeteksi gagal jantung beserta
derajat keparahannya. Screening terhadap biomarker peptida natriuretik dan
pencegahan secara dini dapat mencegah terjadinya gagal jantung. Selain itu dapat juga
dilakukan pemeriksaan pada enzim jantung yaitu troponin I atau troponin T pada
kasus gagal jantung akut. Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal
jantung jika gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut.11,8 Apabila
terdapat peningkatan NT-proBNP ≥125 pg/mL dan BNP ≥ 35 pg/mL maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan EKG untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
(Yancy Clyde W et all, 2017).
Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan EKG, namun pemeriksaan ini memiliki
spesifisitas yang rendah. Kelainan yang ditemukan dalam pemeriksaan EKG dapat
memberikan petunjuk mengenai etiologi dari gagal jantung, salah satunya adalah
miokard infark. Temuan lainnya dalam pemeriksaan EKG dapat memberikan indikasi
yang tepat untuk pemberian terapi, misalnya dengan diketahui adanya sinus bradikardi
maka sebagai tatalaksananya akan diberikan pacu jantung untuk meningkatkan denyut
jantungnya. Pasien dengan gagal jantung hampir tidak ada yang menunjukan hasil
EKG yang normal (sensitivitas 89%). Oleh karena itu pemeriksaan EKG
direkomendasikan untuk menyingkirkan diagnosis gagal jantung (Yancy Clyde W et
all, 2017).
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan adalah chest X-ray. Pada foto
thoraks akan terlihat kongesti vena pulmonalis pada pasien dengan gagal jantung.
Selain foto polos thoraks, dapat dilakukan pemeriksaan transthoracic
echocardiography (TTE). TTE dilakukan untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik
miokardium dari kedua ventrikel jantung. 10 Magnetic resonance imaging (MRI) juga
dapat digunakan untuk mengetahui adanya penyakit jantung kongenital, melihat
bagaimana perfusi miokardium, ada tidaknya fibrosis sehingga dapat membantu
menentukan etiologi dan prognosis gagal jantung. Computed tomography (CT-scan)
jantung juga dapat digunakan untuk menilai sruktur dan fungsi jantung, termasuk
menilai keadaan arteri koronaria jantung (Figueroa M & Peters J, 2006).

16
2.1.8 Tatalaksana Farmakologis CHF
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
ACEI akan mengurangi tingkat kesakitan dan kematian pada penderita gagal
jantung dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. ACEI dapat memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup (kelas
rekomendasi I, tingkatan bukti A). ACEI akan menghambat kininase dan
meningkatkan kadar bradikinin sehingga dapat menimbulkan efek samping batuk,
namun memiliki efek yang menguntungkan dengan efek vasodilatasinya. ACEI
dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik,
batuk dan angioedema. Oleh karena itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat, kadar kalium normal (<5.0 mEq/L), dan tekanan darah yang
normal (bukan tekanan darah rendah) (Figueroa M & Peters J, 2006).
Indikasi pemberian ACEI yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau
tanpa gejala. Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu riwayat angioedema, stenosis
renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, serum kreatinin > 2,5 mg/dL ,
dan stenosis aorta berat (Figueroa M & Peters J, 2006).
b. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. Pasien yang intoleran
terhadap ACEI karena efek batuk dan angioedema dapat diberikan alternative obat
ACEI yaitu ARB. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena
penyebab kardiovaskular. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama seperti ACEI, tetapi ARB tidak
menyebabkan batuk karena tidak menghambat kiniase dan lebih jarang
menyebabkan angioedema (Figueroa M & Peters J, 2006)
Indikasi pemberian ARB yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, sebagai
pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II
- IV NYHA) yang intoleran ACEI (Figueroa M & Peters J, 2006).
Kontraindikasi pemberian ARB yaitu sama seperti ACEI, kecuali angioedema,
pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, pasien dengan

17
monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama
ACEI (Figueroa M & Peters J, 2006).
c. Angiotensin Receptor – Neprilysin Inhibitor (ARNI)
ARNI direkomendasikan untuk diberikan kepada pada pasien gagal jantung
kronis simptomatis NYHA FC II / III dengan fraksi ejeksi yang menurun yang
toleransi terhadap ACEI / ARB, untuk menggantikan ACEI / ARB. Pasien yang
sebelumnya mengonsumsi obat enalapril (ACEI) 2 x 10 mg/ hari, kemudian
menggunakan ARNI (valsartan / sacubitril 2 x 200 mg/ hari menunjukkan
penurunan tingkat kesakitan dan kematian, dan lama perawatan di rumah sakit
yang lebih bermakna ketika menggunakan ARNI dibandingkan dengan ACEI
(McCance K & Parkinson C, 2010).
ARNI juga memiliki efek samping hipotensi dan angioedema (frekuensi lebih
sedikit). ARNI tidak boleh diberikan bersamaan dengan ACEI atau 36 jam setelah
konsumsi ACEI, karena dapat menyebabkan angioedema (McCance K &
Parkinson C, 2010).
d. Ivabradine
Ivabradine direkomendasikan untuk diberikan kepada pasien gagal jantung
simptomatik NYHA FC II-III dengan fraksi ejeksi yang menurun, yang mendapat
terapi beta-bloker pada dosis maksimum, dengan irama sinus dan laju nadi ≥ 70 per
menit. Ivabradine akan menghambat laju nadi pada nodus SA sehingga terjadi
penurunan laju nadi (McCance K & Parkinson C, 2010).
e. Penyekat β
Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β akan memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penyekat β yang efektif
mengurangi risiko kematian pada pasien gagal jantung kronis dengan fraksi ejeksi
yang menurun adalah bisoprolol, metoprolol, dan carvedilol yang memblok
reseptor alpha-1, beta-1 dan beta-2 (McCance K & Parkinson C, 2010).
Indikasi pemberian penyekat β yaitu : fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % ,
gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) , ACEI / ARB (dan
antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan, pasien stabil secara klinis
(tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak
ada tanda retensi cairan berat) (McCance K & Parkinson C, 2010).

18
Kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu asma, adanya blok AV
(atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit) (McCance K & Parkinson C,
2010).
Penyekat β harus diberikan bersama dengan diuretik, karena diuretik
dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan sodium, serta
mencegah terjadinya retensi cairan karena efek samping penyekat β. Selain retensi
cairan, kelelahan, bradikardi, dan hipotensi merupakan efek samping lainnya dari
penyekat β. (McCance K & Parkinson C, 2010).
e. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan
pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat
(kelas fungsional II - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal
berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup (McCance K & Parkinson C,
2010).
Indikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40
%, Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA), Dosis optimal
penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB) (McCance K &
Parkinson C, 2010).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu konsentrasi serum
kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL , digunakan bersamaan dengan
diuretik hemat kalium atau suplemen kalium , dan kombinasi ACEI dan ARB
(McCance K & Parkinson C, 2010).
f. Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung NYHA FC III-IV dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB, hipotensi, dan ginjal yang tidak adekuat. (kelas rekomendasi
IIa, tingkatan bukti B) (McCance K & Parkinson C, 2010).
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN yaitu sebagai pengganti ACEI dan
ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi, sebagai terapi tambahan ACEI jika
ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi, jika gejala pasien menetap
walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan ARB atau antagonis
aldosteron (McCance K & Parkinson C, 2010).

19
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN, jika terdapat hipotensi
simtomatik, sindroma lupus, dan gagal ginjal berat (McCance K & Parkinson C,
2010).
g. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat
beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak
mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B) (McCance K & Parkinson C, 2010).
Indikasi pemberian digoksin yaitu apabila terdapat fibrilasi atrial dengan
irama ventrikular saat istrahat > 80 x/menit atau saat aktivitas > 110 - 120 x/menit.
Indikasi yang kedua yaitu apabila terdapat irama sinus dengan : fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA),
dosis optimalACEI dan/atau ARB, penyekat β dan antagonis aldosteron jika ada
indikasi (McCance K & Parkinson C, 2010).
Kontraindikasi pemberian digoksin adalah apabila terdapat AV blok derajat 2
dan 3 (tanpa pacu jantung tetap), sindroma pre-eksitasi , dan riwayat intoleransi
digoksin (McCance K & Parkinson C, 2010).
Efek samping dari pemberian digoksin adalah aritmia jantung, gejala
gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah dan gangguan neurologis (gangguan
pengelihatan, disorientasi, dan kebingungan) (McCance K & Parkinson C, 2010).
h. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Diuretik akan
menghambat reabsorbsi sodium atau klorida di tubulus ginjal, dan meningkatkan
sekresi sodium di urin sehingga mengurangi gejala retensi carian pada pasien dengan
gagal jantung. Diuretik diberikan untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan
pasien, untuk menghindari dehidrasi (McCance K & Parkinson C, 2010).

20
Tabel 3. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung (McCance K & Parkinson C,
2010).

Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemide 20 – 40 40-240
Bumetanide 0.5 – 1.0 1-5
Torasemide 5-10 10-20
Tiazide
Hidrochlortiazide
Metolazone 25 12.5-100
Indapamide 2.5 2.5-10
Diuretik hemat kalium 2.5 2.5-5
Spironolakton (+ACEI/ARB) 12.5 - 25 (+ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 - 200

21
Gambar 1:
Obat-obatan yang digunakan untuk HFrEF (Figueroa M & Peters J, 2006).

2.2. Hipertensi
2.2.1. Definisi
Menurut JNC 7 (Joint National Committee 7), definisi dari hipertensi adalah
peningkatan tekanan darah dengan tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan
darah diastolik 90 mmHg. Penentuan ini berdasarkan rata-rata dua kali pengukuran
tekanan darah pada posisi duduk (Chobanian et all, 2003)
2.2.2. Klasifikasi

22
JNC 7 mengklasifikasikan hipertensi menjadi 2 grade dan terdapat kategori
pre hipertensi. Adanya kategori pre hipertensi bertujuan untuk meningkatkan
kewaspadaan, karena yang termasuk pada kategori tersebut berisiko dua kali lipat lebih
besar untuk menjadi hipertensi. Klasifikasi ini hanya untuk orang dewasa di atas 18
tahun (Chobanian et all, 2003).
Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan JNC 7 (Chobanian et all, 2003).
Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre hipertensi 120 - 139 atau 80 – 89
HIPERTENSI: TD Sistolik 140 mmHg atau TD diastolik 90 mmHg
Hipertensi grade 1 140 - 159 atau 90 - 99
Hipertensi grade 2 160 atau 100

Selain dari klasifikasi JNC 7, terdapat beberapa istilah terkait hipertensi


(Tjokroprawiro & Askandar, 2015) :
 White coat hypertension: adalah istilah di mana tekanan darah selama
menjalankan aktivitas harian berada dalam batas normal, namun jika diperiksa di
klinik termasuk hipertensi.
 Persistent / sustained hypertension: adalah istilah di mana tekanan darah
meningkat baik diukur di klinik maupun di rumah, selama menjalankan aktivitas.
 Isolated systolic hypertension: adalah istilah di mana tekanan darah sistolik 140
mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg. Prevalensinya meningkat
berdasarkan usia, dan mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami serangan
jantung dan stroke.
 Isolated diastolic hypertension: adalah istilah di mana tekanan darah sistolik <140
mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg.
 Masked hypertension: adalah istilah di mana tekanan darah selama menjalankan
aktivitas harian meningkat, jika diperiksa di klinik termasuk normal.

Selain itu hipertensi juga dibedakan berdasarkan etiologi (Fuster et all, 2012)
 Hipertensi primer / esensial (95% kasus): penyebabnya tidak diketahui.
 Hipertensi sekunder (5% kasus): penyebabnya dapat diketahui.

23
2.2.3. Faktor Risiko
 Riwayat keluarga dan pribadi dengan hipertensi dan penyakit kardiovaskular
 Riwayat keluarga dan pribadi dengan dyslipidemia
 Riwayat keluarga dan pribadi dengan Diabetes Melitus
 Kebiasan merokok
 Perubahan berat badan terbaru, obesitas
 Kurangnya latihan fisik
(Tjokroprawiro & Askandar, 2015)
2.2.4. Patofisiologi
Tekanan darah merupakan hasil perkalian curah jantung (cardiac output)
dengan resistensi perifer total. Sehingga hipertensi merupakan akibat dari
peningkatan curah jantung dan atau resistensi perifer total (Silbernagl, 2000).
Peningkatan curah jantung pada hipertensi hiperdinamik disebabkan oleh
peningkatan frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel yang menyebabkan
peningkatan aliran balik vena sehingga meningkatkan volume sekuncup (stroke
volume). Begitu pula peningkatan aktivitas simpatis dari sistem saraf pusat dan
atau peningkatan respon terhadap katekolamin, misalnya karena hormone kortisol
dan tiroid, dapat menyebabkan peningkatan curah jantung. Tahanan perifer ialah
akibat kelainan kontraktilitas dan struktur dari pembuluh darah (Silbernagl,
2000).
Sebagian besar hipertensi adalah hipertensi primer, di mana tidak ditemukan
penyebabnya. Komponen genetik, jenis kelamin perempuan, dan penduduk di
perkotaan lebih berisiko terkena hipertensi. Stress psikologis kronis karena
pekerjaan atau dasar kepribadian dapat memicu hipertensi. Intake garam yang
tinggi juga berperan penting dalam terjadinya hipertensi (Silbernagl, 2000).
Pada hipertensi sekunder, penyebab dari hipertensi dapat diketahui.
Hipertensi renalis merupakan salah satu bentuk yang sering terjadi. Setiap
iskemia ginjal, misalnya karena koarktasio aorta atau stenosis arteri renalis dan
penyempitan arteriol dan kapiler ginjal, akan menyebabkan pelepasan renin dari
ginjal. Renin akan mengubah angiotensinogen di dalam plasma menjadi
angiotensin I. Angiotensin I akan diubah oleh ACE (Angiotensin Converting
Enzyme) menjadi angiotensin II. Angiotensin II ini bersifat vasokonstriktor kuat
dan juga merangsang pelepasan aldosterone dari korteks adrenal, yang nantinya

24
akan menyebabkan retensi natrium dan peningkatan curah jantung. Kedua aksi
inilah yang menyebabkan peningkatan tekanan darah (Silbernagl, 2000).
Hipertensi karena hormonal dapat disebabkan karena beberapa penyebab.
Misalnya pada Sindroma Cushing, di mana terdapat peningkatan konsentrasi
glukokortikoid pada plasma. Glukokortikoid akan meningkatkan sensitisasi
terhadap katekolamin yang akan meningkatkan resistensi perifer dan curah
jantung, sehingga menyebabkan hipertensi. Hiperaldosteronisme primer
(Sindroma Conn) karena tumor di korteks adrenal yang mensekresi aldosterone,
berefek pada retensi natrium yang akan meningkatkan curah jantung (Silbernagl,
2000).
Hipertensi neurogenik disebabkan karena penyakit di otak, misalnya
ensefalitis, edema serebral, dan tumor otak yang akan menyebabkan
perangsangan sistem saraf simpatis (Silbernagl, 2000).
Akibat dari hipertensi yang paling penting adalah akibat dari aterosklerosis
pada pembuluh darah arteri. Resistensi vaskular akhirnya menyebabkan iskemia
di berbagai organ dan jaringan (Silbernagl, 2000).
2.2.5. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya hipertensi tidak memberikan gejala spesifik. Umumnya gejala
yang dikeluhkan berkaitan dengan (Tjokroprawiro & Askandar, 2015):
 Peningkatan TD: sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering di daerah
oksipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya berkurang secara
spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi, mudah lelah.
 Gangguan vaskular: epistaksis, hematuria, penglihatan kabur karena perubahan
di retina, episode kelemahan atau dizzinesskarena transient cerebral ischemia,
angina pectoris, sesak karena gagal jantung.
 Penyakit yang mendasari: pada hiperaldosteronisme primer didapatkan poliuria,
polidipsi, kelemahan otot karena hipokalemia, pada Sindroma Cushing
didapatkan peningkatan berat badan dan emosi labil.
2.2.6. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk memastikan dan membuktikan diagnosis
hipertensi, memastikan tekanan darah saat ini, mencari tanda-tanda kerusakan
organ target simtomatik dan skrining terhadap kemungkinan hipertensi sekunder
(Tjokroprawiro & Askandar, 2015).

25
 Pemeriksaan tekanan darah dan nadi:
1. Bandingkan kanan-kiri, posisi tidur / duduk dan berdiri.
2. Bila pada saat berdiri tekanan darah distolik meningkat mengesankan
hipertensi esensial, bila tekanan darah diastolik turun (tanpa terapi
antihipertensi) kemungkinan hipertensi sekunder.
 Catat berat badan dan tinggi badan untuk perhitungan Body Mass Index (BMI).
 Pemeriksaan mata yang teliti: terutama funduskopi untuk memperkirakan lama
hipertensi dan prognosis.
 Palpasi dan auskultasi arteri carotid: mencari kemungkinan oklusi / stenosis
yang mungkin merupakan manifestasi penyakit hipertensi vaskular.
 Pemeriksaan kelenjar tiroid.
 Pemeriksaan dada:
1. Jantung: left ventricular hypertrophy (LVH), gagal jantung
2. Paru: rales
3. Bising ekstrakardiak dan kolateral (koarktasio aorta)
 Pemeriksaan abdomen:Bising pada sisi kanan / kiri garis tengah di atas
umbilikus kemungkinan penyempitan arteri renalis.
 Pemeriksaan ekstremitas: palpasi denyut arteri femoralis, bila menurun dan atau
terlambat dibandingkan arteri radialis maka tekanan darah pada kaki harus
diukur (koarktasio aorta).
JNC 7 merekomendasikan pengulangan pemeriksaan tekanan darah sekitar 5
menit setelah pemeriksaan pertama. Sedangkan menurut American Society of
Hypertension, diagnosis hipertensi dikonfirmasi setelah kunjungan berikutnya (1-4
minggu setelah pengukuran pertama), dengan kedua pengukuran tersebut harus
tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg untuk
menegakkan diagnosis (Weber et all, 2014)
Selain itu, pengukuran tekanan darah juga bisa di luar klinik. Pengukuran
tekanan darah ini biasanya menggunakan Ambulatory Blood Pressure Monitoring
(ABPM). ABPM adalah pengukuran tekanan darah ketika melakukan kehidupan
normal sehari-hari. Pemantauan ini biasanya dilakukan selama 24 jam dengan
menggunakan mesin tekanan darah digital berukuran kecil yang dipasang ke sabuk
yang melingkari tubuh dan terhubung ke manset yang dilingkarkan ke lengan atas.
Normalnya, tekanan darah <135/85 mmHg ketika terjaga dan <120/70 mmHg

26
ketika malam hari (atau saat tidur) dengan rata-rata 24 jam 130/80 mmHg. ABPM
ini sangat baik untuk menyingkirkan kemungkinan white coat hypertension dan
masked hypertension (Fuster et all, 2012).
2.2.7. Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk membuktikan adanya faktor risiko
tambahan, mencari kemungkinan hipertensi sekunder, dan ada / tidaknya kerusakan
organ target. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain (Tjokroprawiro
& Askandar, 2015)
 Tes Rutin
1. Hemoglobin dan / atau hematokrit
2. Glukosa puasa
3. Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL
4. Trigliserida
5. Kalium dan natrium
6. Asam urat
7. Kreatinin (dengan estimasi GFR)
8. Analisis urin: (pemeriksaan mikroskopik, protein urin dengan tes dipstik, uji
untuk mikroalbuminuria)
9. EKG
 Uji tambahan, berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan hasil
laboratorium rutin
1. HbA1c (jika glukosa plasma puasa >102 mg/dL atau diagnosis Diabetes
sebelumnya)
2. Proteinuria kuantitatif (jika uji dipstik menunjukkan hasil positif),
konsentrasi urin kalium dan natrium dan perbandingannya
3. Pengamatan TD di rumah atau 24 jam rawat inap
4. Ultrasonografi karotis
5. Indeks ankle-brachial
2.2.8. Tata Laksana
Tata laksana hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup dan tata laksana
medikamentosa. Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup pada pasien hipertensi:

27
Tabel 4. Modifikasi Gaya Hidup dalam Penanganan Hipertensi (Tjokroprawiro & Askandar,
2015).
Perkiraan Penurunan TDS
Modifikasi Rekomendasi
(Skala)
Menurunkan berat badan Memelihara berat badan normal 5 – 2- mmHg/10 kg penurunan
(Indeks Mass Tubuh 18,5 – 24,5 berat badan
kg/m2)
Melakukan pola diet berdasarkan Mengkonsumsi makanan yang 8 – 14 mmHg
DASH kaya dengan buah-buahan, sayuran,
produk makanan yang rendak
lemak, dengan kadar lemak total
dan saturasi yang rendah
Diet rendah natrium Menurunkan asupan garam sebesar 2 – 8 mmHg
tidak lebih dari 100 mmol per hari
(2,4 gr natrium atau 6 gr garam)
Olahraga Melakukan kegiatan aerobic fisik 4 – 9 mmHg
secara teratur, seperti jalan cepat
(paling tidak 30 menit per hari,
setiap hari dalam seminggu)

28
Tata laksana medikamentosa hipertensi berdasarkan JNC 8:

Gambar 5:
Tatalaksana hipertensi berdasar JNC 8 (Schrier & Robert 2005)
2.2.9. Pengelolaan Hipertensi pada Hipertensi Emergensi dan Urgensi
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan yang besar dari TDS
atau TTD (>180 mmHg / > 120 mmHg) dihubungkan dengan timbulnya kejadia
kerusakan organ yang progresif seperti perubahan neurologis, ensefalopati
hipertensi, infark serebral, perdarahan intra kranial, kegagalan ventrikel kiri akut,
edema paru akut, diseksi aorta, atau kegagalan ginjal (Tjokroprawiro & Askandar,
2015).
Terapi yang dianjurkan untuk hipertensi emergensi adalah obat yang dapat
diberikan secara infus intravena dan titrasi sehingga dapat bekerja cepat tetapi
bertahap untuk mencegah hipotensi dan kerusakan organ target yang berkelanjutan.

29
Labetalol, sodium nitroprusside, nicardipin, nitrates, dan furosemide adalah obat-
obatan intravena yang paling banyak digunakan (Tjokroprawiro & Askandar,
2015).
Peningkatan yang besar dari tekanan darah tanpa kerusakan organ akut
disebut dengan hipertensi urgensi, sering dihubungkan dengan pengobatan yang
tidak teratur atau kecemasan, tidak dimasukkan dalam emergensi. Penurunan
tekanan darah pada hipertensi urgensi dapat menggunakan obat oral
(Tjokroprawiro & Askandar, 2015).
2.2.10. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara
lain (Sudoyo, Aru W dkk, 2006) :
 Otak : stroke
 Jantung : penyakit jantung coroner, gagal jantung
 Mata : Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata)
 Paru-paru : Edema paru
 Ginjal : Penyakit ginjal kronik
2.2.11. Prognosis
Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat.
Terapi dengan kombinasi modifikasi gaya hidup dan obat-obatan anti hipertensi
biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan
kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi
serius dari hipertensi adalah mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan terjadi
(Sudoyo, Aru W dkk, 2006).

30
Daftar Pustaka

Chobanian, AV, Bakris, GL, Black, HR et al. 2003. The Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure: the JNC 7 Report. JAMA; 289 (19): 2560-2572
Figueroa Michael S, Peters Jay I. Congestive Heart Failure : Diagnosis, Pathophysiology,
Therapy, and Implications for Respiratory Care. 2006; 51(4) : 403 – 412.
Fuster, V, Walsh, RA, O’Rourke, RA. 2012. Hurst’s The Heart. 12th ed. New York: Mc
Graw Hill
Lilly Leonard S.. Pathophysiology of Heart Disease, 5 ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health; 2011
Lopez Pablo P, Vazquez Jesus Peteiro, Campos Anna Carcia, et al.. The causes,
consequences, and treatment of left or right heart failure. Vascular Health and Risk
Management 2011: 237-254.
Mahmood Syed S, Levy Daniel, Wang Thomas J.. The Framingham Heart Study. 2014;
383(9921) : 999-1008
McCance K, Parkinson C. Study guide for Pathophysiology, the biologic basis for disease in
adults and children. 6th ed. Mosby: St. Louis, Mo.; 2010.

Pazos-López P, Peteiro-Vázquez J, Carcía-Campos A, García-Bueno L, de Torres JPA,


Castro-Beiras A. The causes, consequences, and treatment of left or right heart
failure. Vasc Health Risk Manag 2011;7:237–54.
Ponikowski Piotr, Voors Adriaan A., Anker Stefan D, et al.. 2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and Chronic Heart Failure. European Heart Journal
2016; 37 : 2129 – 2200
Schrier, Robert, W. 2005.The Patient with Kidney Stones in: Manual of Nephrology. 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins
Silbernagl, S, Lang, F. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart: Georg Thieme
Verlag
Siswanto Bambang B, Hersunarti Nani, Erwinanto, Barack Rossana, et al.. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung, 1 ed. Jakarta: PP PERKI; 2015

Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat.Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Yancy Clyde W., Jessup Mariell,
Bozkurt Biykem, et al.. 2017 ACC / AHA / HFSA Focused Update of the 2013
ACCF / AHA Guideline for the Management of Heart Failure. Journal of the
American College of Cardiology 2017
Tjokroprawiro, Askandar. 2015.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR Airlangga University Press
Weber, MA, Schiffrin, EL, White, WB, Mann, S, Lindholm, LH et al. 2014. Clinical
Practice Guidelines for the Management of Hypertension in the Community: A

31
Statement by the American Society of Hypertenion. The Journal of Clinical
Hypertension; 16 (1): 14-26
Yancy CW, Jessup M, Bozkurt B, Butler J, Casey DE, Drazner MH, et al. 2013
ACCF/AHA Guideline for the Management of Heart Failure: Executive SummaryA
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013 Oct
15;62(16):1495–539.

32

Anda mungkin juga menyukai